"Hikio!" Suara gadis yang sangat kukenal membuatku tersadar dari lamunanku. Aku mengenali rambut pirangya di tengah lautan manusia yang berlalu-lalang di jalanan Tokyo pagi ini. Ia tengah berlari pelan ke arahku. "Sudah lama?"

"5 menit lagi aku mungkin sudah berada di kantor polisi."

Yumiko mendengus kesal. Ia memukul lenganku dengan tas yang ia jinjing. Oi, Yumiko. Apakah kau memasukkan semua isi apartemen ke dalam tasmu? Apa kau yakin tidak ada kulkas di dalam tasmu?

Yumiko menatapku tajam. Ia terlihat seperti singa betina yang tengah bersiap menerkam mangsanya. Harusnya aku mengecat pirang rambutku, dan mimpiku sebagai bapak rumah tangga telah tercapai. Kau tahu, pirang, singa jantan, raja hutan...hehehe. Lupakan. Intinya Yumiko-jou-sama sangat tidak puas dengan jawabanku.

"Ya...ya, Miura-sama. Aku baru saja tiba di sini."

Raut wajah Yumiko melunak. Ia bahkan tersenyum cerah, menyaingi sang matahari. Curang! Kau curang, Yumi-tan. Kau harusnya tidak boleh melakukan serangan tiba-tiba, kau tahu. Unfair attack is forbidden! Sepertinya moodnya benar-benar bagus hari ini.

"Lagipula, Yumiko, untuk apa kita betemu di luar?" Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Tatapan orang-orang di sekitar kami mulai membuatku tidak nyaman. "Kita bahkan sarapan di meja yang sama tadi."

"Hmmmph..." Yumiko melipat tangan di depan dadanya sambil memalingkan wajahnya dariku. Ia lalu memanyunkan bibirnya. Yumiko menggunakan Tsundere no Jutsu! Sangat efektif! "Kau yang mengajakku kencan Hikio. Jadi bersikaplah seperti seorang kekasih yang dapat diandalkan!"

"Mungkin ada yang salah degan ingatanmu, Yumiko." Aku mencubit gemas pipi Yumiko. Aku tidak kebal dengan seranganmu, kau tahu. Bisa-bisa aku terkena diabetes, kau tahu. "Aku hanya ingin membeli beberpa buku, lalu kau memaksa ikut, ingat?"

"Berhentilah mempermasalahkan detail sekecil itu, Hikio!" Yumiko menepis tanganku. Aku dapat melihat rona merah di pipinya. Ia kemudian memegang tanganku dan mulai menyeretku dari tempatku berdiri. "Ayo kita pergi! Aku tidak mau terlambat di kencan kita. Kesempatan ini sangat langka. Aku tidak tahu kapan kau akan keluar lagi dari guamu."

Intrupsi, Miura-san, gua kita. Kita. Kau dan aku. Lagipula, bukankah dirimu yang membuatku menunggu di tempat ini, Yumi-tan. Tentu saja aku hanya mengucapkan hal itu di dalam benakku, aku masih ingin melihat hari esok, kau tahu. Dengar para laki-laki di luar sana! Perempuan selalu benar! Itu adalah fakta! Jika kau berharap untuk merubahnya, kau lebih baik menyiapkan surat wasiat terlebih dahulu.

Pada akhirnya, aku hanya pasrah mengikuti gadis pirang itu.

000

"Ne..., Hikio."

Suara gadis yang berjalan di sampingku menyadarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya. Aku dapat mellihat kelelahan di wajahnya.

"Hmm..." Aku menggumam pelan. "Ada apa, Yumiko?"

"Aku lapar."

Benar juga. Sudah beberapa jam kami habiskan di toko buku yang kami datangi beberapa saat lalu.

Awalnya, aku berniat membeli beberapa buku referensi untuk kuliahku. Dan kebetulan, Yumiko juga berpikiran sama. Hanya saja,ada beberapa buku yang menarik perhatianku, hanya saja tidak mungkin untuk membeli semua buku itu. Pada akhirnya aku memilih untuk membacanya di sana. Untungnya Yumiko tidak keberatan dengan hal itu.

Jadi, tidak heran kalau gadis pirang di sampingku merasa lapar. Aku pun merasakan hal yang sama. Maafkan aku, Yumiko.

"Bagaimana kalau..." Saize. Aku hampir mengucapkannya. Hanya saja tatapan tajam Yumiko membuatku mengurungkan niatku. Bisakah kau berhenti membaca pikiranku, Miura-san. Kau bukan pemuda SMA berambut merah muda dengan sepasang pin besar di kepalanya, kan? "...Kau boleh memilih tempatnya."

"Yaayy..." Yumiko merangku lenganku gembira. "Ayo Hikio, cepatlah!"

"Ya...ya."

Perjalanan kami menuju tempat yang akan kami tuju berjalan seperti biasa. Yumiko masih merangkul lenganku. Ia berjalan dengan langkah riang. Mungkin ia bahagia karena akhirnya memiliki kesempatan untuk keluar bersamaku. Hal itu membuatku sedikit merasa bersalah. Aku harusnya sesekali mengajaknya keluar. Aku pacar yang buruk.

Tanpa sadar, aku menghentikan langkahku. Yumiko melirik ke arahku dengan tatapan bertanya.

"Ada apa, Hikio?" Yumiko memiringkan kepalanya. Matanya menatapku cemas. "Kau baik-baik saja?

"Hmm..." Aku mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, Yumiko." Aku tersenyum kecil untuk meyakinkannya. "Hanya saja, hari ini tidaklah buruk." Aku menggenggam tangan Yumiko erat. "Mungkin kita bisa melakukannya lagi sesekali."

Yumiko tersenyum cerah. Ia memeluk erat lenganku yang menggenggam tangannya. Ia bahkan melompat riang. Aku hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu. Entah kenapa, ia tidak pernah mebuatku bosan untuk memperhatikannya.

"Itu adalah janji, kan."

"Um..." Aku mengangguk pelan untuk memjawab pertanyaan Yumiko. Bagaimana mungkin aku bisa menolak permintaanmu saat kau bersikap semanis ini Yumiko-chan. "Aku berjanji."

"Yosh..."

Yumiko mengangguk puas. Sepertinya moodnya belipat ganda ke arah yang positif. Ia kemudian menarik lenganku untuk melanjutkan perjalanan.

Sayangnya, Hikigaya Hachiman dan hari yang lancar adalah hal yang tidak bisa berjalan berdampingan. Sepertinya Dewa Komedi Romantis memang benar-benar belum melupakanku.

"Hikigaya?"

Aku terdiam, menghentikan langkahku. Seorang gadis berdiri tak jauh denganku. Ia juga menghentikan langkahnya.

"Orimoto."

TBC