Seharusnya Taufan mengawali pagi seceria biasa. Sarapan bersama keluarganya, lalu pergi ke sekolah bersama Yaya, membelah jalan raya di pagi hari dengan motor kesayangannya. Seperti film romansa tentang panglima geng motor dan siswa tercantik satu sekolah yang ia tonton beberapa minggu lalu.

Tapi pagi ini, Taufan menyesal telah bangun. Ia sudah mimpi buruk semalam, dan sekarang harus tersiksa karena mimpi buruknya ternyata menjadi kenyataan. Orang tuanya dinas ke luar kota. Gempa, kembarannya harus meninggalkannya karena sedang pertukaran pelajar di kota sebelah. Jadi, Taufan harus bersabar karena beberapa hari ke depan ia terpaksa tinggal hanya dengan abangnya yang paling menyebalkan.

Dan kejutan puncaknya datang ketika Taufan mampir ke rumah Yaya. Tadinya ia berharap suasana hatinya sedikit terobati lantaran telah dirusak Halilintar. Ia dipaksa bangun pagi, dipaksa bersih-bersih dan mencuci piring. Padahal umur mereka hanya beda setahun, tapi Halilintar menyalahgunakan waktu kelahiran mereka untuk menyuruh-nyuruh Taufan sesuka hati. Yah setidaknya suasana hatinya akan langsung berubah jika ia bertemu Yaya. Tadinya Taufan berharap seperti itu.

Sampai ia menemukan Yaya keluar pagar dengan senyum riang, menghampiri seseorang yang menunggunya di depan gerbang dengan motor sport terbarunya. Mereka berbincang tanpa menyadari kehadiran Taufan. Yaya menunggangi motor dan memeluk sang pengemudi erat. Setelah itu mereka melaju, meninggalkan Taufan yang mematung, tanpa tahu bahwa ia baru saja patah hati.


"Relationshi(t)(p)"

A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady and Fureene Anderson

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

Warning(s) : Highscool!AU, No Superpower, Typo, dll

TauYa / TauYi / HaliYi/ KaiYa / /HaliTauGem/ TauFanGop/


Fanfiksi ini adalah hasil kegabutan Fanlady dan Fureene Anderson. Dipersembahkan untuk kamu yang sedang mencari bacaan, hiburan, asupan, drama remaja dan yang sedang mengalami konflik tentang hubungan. Baik keluarga, persahabatan, platonik maupun romansa yang dipenuhi bunga. Semoga kita selalu berada dalam hubungan yang baik.

.

Selamat membaca ...


"Fang!"

Meja kantin digebrak keras, membuat Fang yang tengah bersantai menikmati sarapan pagi dengan sepiring donat lobak merah kesayangannya terlonjak kaget. Ia memutar mata begitu menemukan Taufan yang berjalan ke arahnya dengan ekspresi marah.

"Apa?" Fang mendelik sang pengganggu jengkel. "Ini masih pagi, Taufan. Jangan buat ribut bisa nggak, sih?"

"Kamu tega ya sama aku," Taufan berujar penuh emosi tanpa basa-basi. "Aku nggak nyangka kamu bisa setega itu sama aku. Sakit, Fang, sakit!"

Apa-apaan sih? Mereka kan sedang tidak terlibat dalam acara televisi, 'Coba Katakan Putus'. Reality show yang sering ditonton Taufan di waktu senggangnya. Gaya darimana? Datang – datang dan langsung menudingnya dengan sebutan tega. Dan Ayolah! Ini masih terlalu pagi untuk Taufan bersikap absurd.

"Apaan, sih? Emang aku habis ngapain?"

"Kamu kok nggak pernah bilang abangmu pacaran sama Yaya?" Tuding Taufan.

"Oh, itu?" Fang akhirnya mengangguk paham, lalu kembali mengunyah donatnya dengan tenang. "Gimana mau bilang? Aku juga baru tau hari ini."

"Bohong banget kamu baru tau hari ini," cibir Taufan dengan mata terputar. "Masa kamu yang tinggal satu rumah sama abangmu, kamu enggak tau? Emang dia nggak cerita?"

"Ngapain dia cerita?" Donat lobak merah kembali dikunyah dengan santai. "Abangku nggak kayak kamu yang apa-apa harus cerita. Lagian kalau dia nggak jemput Yaya pagi ini, mungkin aku masih ga bakal tau kalau mereka pacaran."

"Tapi mereka nggak mungkin tiba-tiba pacaran, 'kan?" Taufan menarik kursi dan duduk di depan Fang. "Masa kamu nggak liat tanda-tanda abangmu pacaran sama Yaya? Kamu kan tinggal serumah sama dia!"

"Ya kamu sendiri gimana bisa nggak tau?" Fang balik bertanya. "Yaya tinggal di sebelah rumahmu, dan kamu bilang sudah naksir dia bertahun-tahun. Masa nggak sadar dia punya pacar?"

Taufan tergagap. Agak terkejut karena Fang bertanya balik. "A-aku? Ya, karena kan aku nggak tinggal serumah," sahutnya asal. "Lagipula kan aku yang suka sama Yaya. Jadi wajar kalau enggak tahu, cinta kan buta."

Fang mendengkus saat kembali menjawab dengan wajah masam. "Kamu emang nggak guna, Taufan. Untung kamu tau sekarang Yaya punya pacar. Kalau enggak, bisa dibikin ngarep terus."

"Sekarang aja aku masih ngarep." Taufan bergumam dengan suara kecil. "Coba kamu bayangin deh gimana rasanya jadi aku. Udah naksir bertahun-tahun, dan tadi pas aku mau jemput dia buat berangkat bareng, ternyata dia udah duduk manis di motor Kaizo!" Taufan merengek. "Kamu bisa rasain sakitnya, kan Fang?"

"Nggak," sahut Fang enteng.

"Cih, dasar fakir asmara," cibir Taufan. "Kau nggak pernah jatuh cinta, sih. Jadi mana bisa tau sakitku ini kayak apa?"

"Alah, kamu aja yang lebay. Cuma begitu aja udah sok-sokan sakit. Paling nanti juga kau sudah genit sama cewek lain, iya kan?"

"Hei, aku enggak genit!" protes Taufan tak terima. "Abangmu itu yang genit main nikung gebetan orang."

"Baru gebetan. Belum jadi hak milik." Fang memutar mata. "Lagian kamu kelamaan nembak sih. Jadinya diserobot orang deh."

"Aku bukan kelamaan nembak. Aku kan juga butuh persiapan supaya bisa jadi lelaki hebat buat Yaya."

"Dan jawabannya ketemu." Fang selesai dengan suapan terakhirnya. "Kau belum jadi lelaki hebat. Makannya Yaya langsung jatuh cinta sama abangku. Karena abangku lelaki hebat."

"Cih, hebat apanya? Motornya?" Sahut Taufan sinis.

"Hebatlah. Nggak lihat aku sehebat apa? Abangku juga pasti hebat. Macam adiknya, hoho." Fang tertawa penuh percaya diri.

"Kamu? Hebat? Masa'?" ledek Taufan. "Ini udah pagi, Fang. Bangun dong, jangan dilanjut terus mimpinya."

"Aku emang hebat, tau!" sungut Fang. Ia membereskan bungkusan donat yang berserakan dan beranjak bangkit. "Aku mau ke kelas. Udah hampir bel masuk."

"Nanti istirahat ketemu sama Gopal ya. Katanya dia mau traktir kalau cokodoknya laku!" Taufan berseru, tapi Fang hanya membalasnya dengan mengacungkan jempol seraya berjalan memunggungi Taufan.

"Cih, sok keren banget." Cibir Taufan seraya mengangkat tangan. Lalu terkejut melihat jam. "Astaga! Sekarang kan pelajaran Ibu Vivi! Enggak boleh telat!"

Taufan menyampirkan tas asal di bahu dan bergegas lari keluar dari kantin. Nyaris saja ia menabrak seseorang di pintu keluar, yang kemudian disadarinya adalah orang yang baru saja ia bicarakan dengan Fang.

"Ah, halo, Kak Kaizo," sapa Taufan canggung. Dalam hati ia melempar seribu sumpah serapah dan kutukan pada pemuda di depannya, berharap bisa mencekiknya karena telah merebut Yaya.

"Oh, Taufan." Kaizo nampak tidak minat menyapa. "Kenapa belum masuk?"

'Ini mau masuk kali,' sungut Taufan dalam hati. Walau kesal, Taufan masih cukup waras untuk tidak menyahut asal-asalan.

"Ini baru mau masuk." Tersenyum palsu. "Sudah ya Kak. Aku duluan."

Kaizo hanya mengangguk dan berlalu masuk ke kantin, sedangkan Taufan beranjak ke arah sebaliknya. Ia masih sempat melempar tatapan sengit ke punggung Kaizo sebelum berlari menuju kelas.

.

.

.

Taufan masih memikirkan bagaimana kejadian tadi pagi mengganggu hatinya.

Ia terduduk di meja dengan tangan yang saling mengait. Pandangan lurus, namun keras. Taufan berpikir bagaimana caranya untuk membuat Kaizo kapok berhubungan dengan Yaya. Memang apa sih lebihnya Kaizo ketimbang dirinya?

"... an ... Fan!"

Taufan tersentak, membentak tanpa sadar. Membuat siswa lain di seluruh ruangan, menatap padanya. "Apaan sih? Ganggu orang mikir aja!"

Ying, si pelaku yang berusaha memanggil Taufan dan duduk di sampingnya terhenyak. Lalu tersenyum. "Kamu dipanggil Bu Vivi."

Taufan terkejut dan menoleh ke depan dengan ngeri.

"Oh, lagi mikir ya Taufan?" Suara itu tegas, penuh dengan penekanan. "Kalau begitu sekarang maju ke depan. Kerjakan nomor empat belas!"

"Nomor empat belas apanya?" Taufan bertanya bingung. Ia melirik Ying panik untuk minta bantuan. Gadis itu hanya menunjuk papan tulis sebagai isyarat.

'Mampus. Soal aljabar,' batin Taufan panik setelah melihat soal yang tertulis di depan. 'Aku nggak ngerti apa-apa tentang aljabar!'

"Taufan, cepat maju! Jangan kelamaan!"

Duh, Bu Vivi juga udah ngomel. Dia kan mulutnya tajem dan kalau ngasih hukuman enggak kira-kira.

Keringat dingin meluncur di pelipis Taufan. Kemudian sebuah ide cemerlang datang tiba-tiba.

"Aduh, Bu. Saya sakit perut. Tiba-tiba mulas ini. Tadi saya mikir apa saya harus izin ke toilet ya?" Taufan berpura-pura memegangi perutnya dan memasang wajah meringis.

"Jangan banyak alasan, Taufan. Cepat maju dan kerjakan soalnya."

"Saya nggak bikin alasan, bu. Ini serius! Ibu mau saya pup di sini kalau nggak diizinin ke toilet?" ujar Taufan memelas.

"Ih, Taufan jorok banget sih!"

"Kenapa enggak dari tadi coba ke toiletnya?"

Siswa lain berbisik-bisik, membuat gaduh. Bu Vivi hanya menghela napas seraya menatap tajam Taufan. Tapi Taufan memang aktor yang hebat. Wajah melasnya ampuh untuk membuat Bu Vivi percaya.

"Ya sudah. Sana ke toilet. Ibu kasih waktu sepuluh menit!"

"Yeay!" Taufan terlonjak. "Makasih Bu." Lalu melesat meninggalkan kelas dengan senyum lebar, meninggalkan Ying yang hanya geleng-geleng kepala.

Taufan tentu saja tak melangkah ke kamar mandi. Ia justru berbelok ke arah lapangan, tempat anak-anak kelas lain tengah mengikuti pelajaran olahraga. Salah satunya adalah kelas si gadis merah jambu yang sudah ditaksir Taufan sejak umurnya 5 tahun. Yaya.

Taufan berjongkok di ujung koridor, mengawasi para siswi yang tengah bermain voli. Sesekali ia ikut tersenyum saat melihat Yaya tertawa bersama teman-temannya.

"Duh, Yaya. Kamu apain aku sih sampe aku klepek-klepek gini sama kamu?" gumamnya entah pada siapa.

Seseorang mendadak menyikut punggung Taufan dari belakang, nyaris membuatnya terjungkal ke semak bunga.

"Apaan sih- oh, kak Hali," Taufan mendongak untuk memandang kakaknya yang sudah berdiri bersilang lengan. "Ngapain di sini?"

"Aku mau ke ruang guru. Mau ngasih laporan." Jawabnya santai. "Kenapa kamu enggak masuk kelas?"

Taufan berdiri dan berdehem-dehem untuk mengatur tensi suaranya agar tidak dicurigai. "Oh, cuma lagi nyari udara segar," sahutnya.

"Pasti bolos." Halilintar memutar mata.

"Sok tahu! Enggak bolos. Aku memang cari udara segar sih."

"Bohong banget." Mata Halilintar berpindah ke arah lapangan dan mendapati objek yang menjadi perhatian Taufan sejak tadi. "Balik ke kelas sana. Atau kulaporin ke guru biar kau disetrap."

"Jahat amat, sih, sama adek sendiri," gerutu Taufan. "Aku tuh penat kalau di kelas terus, kak Hali. Jadi butuh udara segar sedikit!"

"Itu udara segar?" Dagu Hali menunjuk Yaya. Taufan cuma cengengesan.

"Kenapa enggak sekalian aja ke lapangan sana? Kan di sana lebih segar ketimbang di sini?"

"Ya enggaklah!" tukas Taufan. "Nanti bisa-bisa aku dikira bolos kalau sampe ke sana."

"Emang kenyataannya bolos, kan?"

Taufan tersentak, kemudian matanya menyipit. "Pantas aja Ying ga mau deket sama kakak. Kak Hali nyebelin sih."

Perempatan imajiner muncul di kepala Halilintar. "Kenapa bawa-bawa Ying, sialan."

"Kalau nggak mau aku ungkit-ungkit Ying, kak Hali pergi sana. Aku mau menikmati udara segarnya sendirian!"

"Aku akan lapor guru kau bolos," kata Halilintar.

"Aku akan kasih tau Ying kak Hali naksir dia," balas Taufan.

"Siapa yang naksir Ying coba?"

"Nggak usah ngeles kak. Aku tau semuanya!" Seringai Taufan terulas. "Emangnya aku nggak liat, Kak Hali selalu nengok ke kelasku kalau lagi lewat sana? Pasti mau ngeliat Ying, kan?"

"Sok tahu! Aku cuma mastiin kau nggak bikin masalah."

"Bohong," cibir Taufan. "Mana pernah kak Hali perhatian ke aku?"

"Ya terserah." Halilintar mengangkat bahu. "Kalau kamu enggak balik ke kelas, aku benar-benar bakal laporin kamu, Taufan. Sudah ya."

Halilintar melangkah ke arah ruang guru. Membiarkan Taufan memandangnya dengan mata menyipit dan mulut mencibir jengkel.

"Oh iya!" Taufan teringat sesuatu. "Kenapa aku nggak tanya Ying, coba? Dia kan sahabat Yaya. Awas aja sampe dia bilang ga tau tentang hubungan Yaya sama Kaizo."

Tawa Taufan meledak jahat dalam hati. Ia memasang seringai. "Kalau aku enggak bisa ngancam kak Hali, Aku kan bisa ngancam cewek yang dia suka."

Kemudian, Taufan kembali melangkah menuju kelas seraya bersenandung riang.

Halilintar menoleh dan melihat Taufan yang berjalan kembali menuju kelasnya sambil melompat-lompat kecil.

"Dasar," gumamnya. "Awas aja kalau dia sampai macam-macam."

.

.

.

"Sekian pelajaran hari ini anak-anak. Jangan lupa kumpulkan tugas Minggu depan."

"Siap Bu!"

Bel istirahat berbunyi. Siswa lain langsung melesat keluar dengan ribut. Ying hendak keluar dan menghampiri Yaya di kelasnya, tapi ditahan Taufan.

"Kenapa sih, Fan?"

"Tadi, aku ketemu kak Hali, lho."

Kening Ying berkerut. "Kalian kan emang setiap hari ketemu, kenapa harus laporan ke aku?"

"Kamu nggak mau nanya-nanya apa gitu tentang kak Hali?" tanya Taufan. "Dia tadi pagi sarapan apa, mandi berapa gayung, pake sampo apa. Nggak mau nanya?"

"Ngapain? Nggak penting banget," Ying memutar bola mata. "Udah, ah. Aku mau ke kantin. Udah lapar, tau."

"Ying, aku beneran bakal ngasih tau kak Hali kalau kau diem-diem naksir dia."

Ying langsung kembali duduk, tidak jadi beranjak dan menatap Taufan tajam. "Kamu mau apa sih, Fan?"

Taufan menyeringai. Cara ini memang selalu ampuh untuk membuat Ying menuruti keinginannya. Padahal kalau saja Ying tahu, Halilintar juga memiliki perasaan yang sama untuknya.

"Kenapa kamu enggak bilang kalau Yaya pacaran sama Kaizo? Sebagai sahabat yang baik, kenapa kamu enggak langsung ngasih tau aku? Kamu tau enggak, tadi waktu aku mau jemput Yaya, ternyata Yaya udah dijemput duluan sama Kaizo."

"Ya masa' kamu bisa nggak tau? Kamu 'kan lebih dekat sama Yaya daripada aku. Rumah kalian sebelahan lagi."

"Tapi Yaya nggak pernah cerita apa-apa soal Kaizo! Gimana aku bisa tau coba?" Taufan mengerang. "Emang sejak kapan mereka pacaran?"

"Baru beberapa hari lalu," tukas Ying. "Tapi mereka dekatnya udah lama, sih. Dari semester satu."

"Yang benar? Kok aku sama sekali nggak tau?"

"Kamu terlalu ge-er, Fan." Jawab Ying pasti. "Kamu terlalu percaya kalau kamu satu-satunya cowok di hidup Yaya? Padahal terlepas dari kamu, banyak lho cowok-cowok yang naksir Yaya."

"Hah? Masa?" Taufan membeliak. "Aku kan yang paling selalu ada buat Yaya. Enggak mungkin dong Yaya spesialin cowok lain selain aku."

"Ada." Ying mengangguk. "Itu Kaizo buktinya."

"Aku nggak terima! Kenapa harus Kaizo coba? Emang dia siapa mendadak muncul dan main serobot aja?" Taufan mengomel jengkel.

"Kamunya aja kelamaan nembak. Jadi disambar orang, kan. Kasian, deh." Ying tertawa keras dan berlalu pergi meninggalkan Taufan yang misuh-misuh.

Taufan menghela napas dan bangkit.

"Enggak. Enggak boleh dibiarin," Taufan bergumam sendiri. "Gimana pun caranya aku harus bisa bikin Yaya Kaizo putus."

Taufan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencari nomor grup yang isinya Fang dan Gopal. Lalu mengetik pesan.

"On the way kantin! Kita ketemu di sana. Ada rapat penting!"

.

.

.

Ying baru selesai memesan semangkuk bakso di kantin dan kini celingukan mencari tempat kosong untuk diduduki. Namun hampir semua meja sudah penuh. Netra Ying menangkap sosok Yaya yang melambai padanya dari meja di sudut. Ying baru hendak beranjak ke sana saat menyadari Yaya tidak sendirian. Ada Kaizo yang duduk di depannya.

Ying meringis. Ia tidak mau jadi obat nyamuk dari dua orang kasmaran yang baru jadian. Lebih baik ia cari tempat duduk lain saja daripada mengganggu mereka.

Aha! Ternyata ada satu tempat kosong lagi.

"Aku duduk di sini, ya." Ying meletakkan mangkuk baksonya di meja di hadapan Halilintar yang tengah menyantap nasi goreng.

"Kenapa kamu di sini?" Halilintar bertanya setelah menghabiskan satu suapan. Ia menatap Ying yang tengah mengaduk-aduk baksonya.

"Habis enggak ada tempat," jawab Ying. "Kamu sendiri juga makan sendirian kan? Berhubung karena enggak ada yang nemenin kamu makan, jadi aku berbaik hati nemenin kamu. Makasih dong."

Halilintar menyeringai. "Bilang aja kamu emang sengaja biar deket-deket sama aku, kan?"

"Dih, apa coba?" Ying memutar mata. "Aku emang kehabisan meja. Emang kamu pikir aku bakal makan dimana bakso yang udah terlanjur kupesan duluan?"

"Ying!"

Gadis itu menoleh. Dilihatnya cowok bertubuh gemuk tengah melambai ke arahnya. Ia duduk bersama teman-temannya yang kini juga berbalik menggoda Ying. Gadis itu balas menggeleng dan tersenyum.

"Kenapa kamu enggak ke sana? Biasanya kamu nempel terus sama Stainley," tukas Halilintar dengan nada sinis. Ikut menatap Stainley yang curi-curi pandang pada Ying.

"Siapa juga yang nempel? Emang kamu pikir aku perangko mau nempel-nempel?" Ying mencibir. Ia menyendok satu suapan bakso dan memasukkannya ke mulut sambil mengedarkan pandang ke sekitar.

"Kamu duduk sama Taufan aja sana," tukas Halilintar. "Jangan di sini."

"Nggak mau. Taufan berisik. Apalagi kalau udah ngumpul sama Fang Gopal. Dih, bisa kayak ibu-ibu komplek lagi arisan."

"Terus kamu mau di sini?"

"Ya iyalah." Ying memutar mata. "Dan kamu jangan pindah kemana-mana. Temenin aku sampe aku selesai makan."

Halilintar tidak menjawab. Diam-diam tersenyum memperhatikan Ying yang lahap menyantap baksonya.

.

.

.

"Kamu ngapain, Fan?"

Taufan langsung menutup kamera ponselnya begitu Gopal menegur.

"Black mail." Lalu pandangannya menyipit pada Halilintar dan Ying yang duduk mengobrol tak jauh dari mejanya. 'Cih, ngakunya saling kesel. Tapi duduk semeja.'

"Jadi, apa rapat penting itu?" Fang berdecak. "Cepetan nih, aku mau pesan donat lobak merah lagi."

"Tuh." Dagu Taufan menunjuk pada Kaizo dan Yaya yang tengah berbincang. Mereka sama sekali tak segan tampil berdua di depan umum. Terlebih Kaizo adalah siswa populer. Apa Yaya tidak takut jika nanti ia akan dibully fangirl dari Abang Fang itu? "Aku enggak suka liat pemandangan itu. Mataku sakit."

"Sini kucuciin biar nggak sakit lagi," kata Fang, mengambil botol cuka di meja.

"Aku serius, Fang," sungut Taufan. "Aku benci abangmu. Sumpah."

"Ya sama kalau gitu. Aku juga benci dia," Fang mengedikkan bahu.

"Gimana kalau kita racunin makanannya diam-diam? Nanti kita ke rumahmu buat nyiapin racunnya."

"Ogah. Yang ada kita yang duluan dibunuh sama abangku."

Taufan menghela napas. Ia mengalihkan pandang pada Gopal yang tengah asyik menikmati nasi lemaknya tanpa terganggu percakapan mereka.

"Pal! Kasih saran juga, dong. Jangan cuma makan aja."

"Gimana ya?" Gopal berkata di sela-sela kunyahannya."Aku enggak mau ikutan ah kalau berurusan sama Kaizo. Takut."

"Halah badan doang yang besar. Tapi nyalinya ciut," cibir Taufan.

Tapi Gopal tidak peduli, ia memilih untuk tetap melahap nasi lemaknya. "Kamu sendiri juga takut kan, Fan?"

"Nah karena aku takut itu, aku butuh bantuan kalian!" kata Taufan. "Ayolah, ini demi persahabatan kita."

"Persahabatan kepalamu," ketus Fang. "Itu cuma egomu sendiri, Fan. Kalau kamu emang serius sama Yaya, ya kamu bicara baik-baik sama dia. Cari tau sendiri."

"Cari tau apa?"

"Ya cari tau kenapa Yaya bisa pacaran sama abangku. Terus kamu coba ngelakuin hal yang sama kayak yang dilakuin abangku ke Yaya. Siapa tau dia bisa kepincut sama kamu. Tapi aku nggak yakin, sih," Fang menyeringai dan menarik piring donatnya yang baru saja diantar untuk dimakan.

"Cih. Abangmu pasti pakai guna-guna buat naklukin Yaya. Kalau nggak mana mungkin Yaya mau sama dia coba?"

"Ya mau dong." Fang menjawab santai. "Siapa coba yang nggak mau sama abangku? Secara dia kan nomor dua terpopuler di sekolah ini."

"Nomor dua?" Gopal mengunyah. "Nomor satu siapa?"

"Ya akulah!" Fang menepuk dadanya. "Gitu aja ditanya."

"Ah, Fang ... Fang." Tangan Taufan terkibas-kibas. "Udah deh, jangan ngaku-ngaku. Kita harus pikirin gimana caranya misahin Yaya sama Kaizo."

"Kau pikirin aja sendiri. Aku mau makan," tegas Fang, melahap dua donat sekaligus.

"Kalian berdua, ya ..." Taufan menatap kedua sahabatnya yang sibuk makan dan kini mengabaikannya. "Nggak setia kawan banget, sih! Jadi persahabatan kita selama ini nggak ada apa-apanya buat kalian? Hah?"

Gopal meneguk es teh di gelasnya dan melanjutkan makan, Fang mengambil donat ketiganya dan kembali mengunyah. Tak ada yang menanggapi ucapan Taufan.

"Oke, fine! Biar aku urus sendiri! Dasar temen-temen nggak guna!" Taufan bangkit dengan kesal dan berjalan pergi meninggalkan kedua temannya yang hanya tertawa.

.

.

.

"Cih, dasar. Kenapa sih di dunia ini enggak ada yang peduli sama aku?" Taufan bergumam sembari kakinya melangkah kembali kelasnya. "Temen-temenku ga bisa diandalin. Abangku apalagi. Jangankan bantuin adeknya ngurus asmaranya, asmara dia sendiri aja susah. Ah elah—eh, ada yang lagi seneng."

Ying berhenti melangkah, tidak jadi masuk kelas mendengar sindiran Taufan. Senyumnya langsung buru-buru dibekukan karena tidak ingin terlihat kalau ia memang sedang senang.

"Eh, Taufan. Siapa yang lagi seneng?" Ying memutar mata.

"Itu senyum-senyum sendiri. Segitu bahagianya ya makan sama Kak Hali?"

Belum sempat Ying menyanggah ucapan Taufan, sebuah suara menarik perhatian mereka.

"Ying, Taufan!"

Yaya berlari kecil di sepanjang koridor. Taufan menanti dengan senyum lebar ala-ala efek shoujo manga. Di penglihatan Taufan, Yaya tengah berlari dengan background bunga-bunga berwarna merah muda. Ah, manis sekali.

"Kenapa, ya?" tanya Ying.

"Tadi aku mau bilang, tapi ternyata nggak sempat. Jadi, aku samperin kalian aja," kata Yaya setelah ia tiba di depan mereka.

"Iya, kamu mau bilang apa, Ya?"

"Begini, hari ini kalian free nggak?"

"Eh, aku—"

Kalimat Ying dipotong Taufan secepat cahaya. "Aku free! Kenapa, Yaya?"

"Free ya?" Yaya tersenyum. "Oh, bagus. Nanti kalian main ke rumahku, kita makan-makan. Aku udah bilang ke ibuku buat masak banyak."

"Wah, makan-makan? Boleh!" Taufan berseru antusias. "Dalam rangka apa?"

"Pasti dalam rangka jadiannya kamu sama Kak Kaizo, kan?" Ying menebak. Lalu melirik Taufan yang sekarang mendelik pada Ying.

'Oh, Ying balas dendam ternyata.'

"Ah, bukan, kok." Yaya tersenyum malu-malu, membuat Taufan sontak melupakan kejengkelannya dan meleleh seketika.

'Ya ampun, Ya! Kamu mau bikin aku mati jantungan dengan senyummu itu?'

"Terus ada apa?" Ying kembali bertanya.

"Cuma acara ulang tahun adikku, kok. Tapi yang diundang cuma temen-temen dekat aja, sih," terang Yaya.

"Oke! Kami pasti datang!" Taufan mengangguk antusias.

"Ya kamu jelas harus datang, dong. Rumah di sebelah juga." Yaya tertawa lepas. Taufan kembali dibuat mabuk kepayang. "Aku juga udah ajak Kak Kaizo sama Fang, Gopal juga. Nanti pasti rame, deh. Jangan lupa datang, ya!"

'Hah, Kaizo? Lah, kenapa harus ada Kaizo?'

"Err, kenapa kamu harus undang mereka Yaya?" tanya Taufan sangsi.

"Ya, kan biar rame, Taufan." Yaya tertawa. "Kan enggak lucu kalau acara ulang tahun tapi sepi-sepi aja. Lagipula ..." Yaya merona. "Ini kesempatan yang bagus untuk ngenalin kak Kaizo ke keluargaku. Pokoknya datang, ya!"

Yaya kemudian beranjak pergi dan melambai pada keduanya. Taufan mengawasi gadis itu berlari ke ujung koridor, di mana Kaizo sudah menunggu. Mereka kemudian melangkah bersama-sama sambil berbincang mesra.

Tepukan pelan di pundaknya membuat Taufan menoleh.

"Sabar ya, Taufan. Hidup emang berat," ucap Ying prihatin. Ia tertawa, mengibas rambutnya sekali kemudian langsung masuk ke dalam kelas, meninggalkan Taufan.

"Awas kamu ya, Ying!"

.

.

To Be Continued

.

.

.