Summary: 99.92% penduduk bumi adalah manusia normal, sementara 0.08% sisanya adalah keturunan dari moyang yang bukan dari bumi ini. Mereka pun diburu untuk dieksploitasi dan diperdagangkan. AU. Fantasy. HaliSol brotherhood. HaliKaizo friendship.

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi yang saya ambil dari sini.

.

Chapter I

Yarknan

.

.

Seorang berpakaian putih memasukkan sesuatu ke dalam kantung besar bertanda "biohazard" dan lalu menaikkan resletingnya. Kantung itu tertutup sempurna, siap didaur ulang.

Pintu terbuka otomatis. Orang itu menoleh dan melihat atasannya masuk. Ia mengangguk memberikan hormat. Atasannya mendekatinya, matanya nanar menyapu tiap jengkal meja besar logam tersebut, memeriksa hasil kerja bawahannya.

"Sudah selesai semua?" tanyanya.

"Sudah. Tinggal diberikan ke tim daur ulang."

"Bagus," gumamnya. Tanpa sengaja, sang atasan melihat benda kecil terselip di sudut meja besi tersebut. Ia menariknya dan kemudian memperlihatkannya pada orang tersebut. Orang itu langsung merasa gugup karena ia luput.

"Kau belum memasukkan ini. Kau tahu organ sangat kaya dengan nutrisi?" omelnya marah. "Divisi daur ulang perlu tiap tetes protein untuk memberi makan mereka. Divisi perbelanjaan sudah marah-marah pemerintah memotong anggaran makan."

"I... iya Pak."

Si bawahan menarik lagi resleting kantung besar itu untuk menaruh organ yang tercecer tersebut—tampak puluhan kilogram janin dalam berbagai ukuran dan tahap perkembangan bertumpuk-tumpuk. Ia melemparnya ke dalam dan kembali menutupnya.

Pekerjaan selesai.

.

.

.

Lokasi: 16 km dari Desa Makra, pesisir Hutan Hitam Makra, Negara Yarknan

Pemuda itu mengerling ke bawah dan menuruni pohon dengan sangat lihai. Jemarinya yang terkelupas dan kasar dengan erat memegang dahan pohon, kakinya seakan memiliki mata sendiri untuk melihat kemana harus berpijak. Di punggungnya ada tas yang berisi sarang lebah penuh madu—ia berhasil memperoleh panganan berharga itu dengan mengasapi sarangnya hingga kawanan lebah pergi semua. Sekarang saatnya memanjat turun sebelum ratusan lebah kembali dan menyengatnya, tapi itu bukan masalah besar. Tubuh pemuda itu ramping tapi kuat, terbiasa dengan kerasnya keadaan dan sedikitnya sumber pangan. Memanjat turun pohon ketinggian 9 meter sambil membawa sarang lebah seberat 5 kg bukan hal sulit karena ia sudah terlatih dengan kehidupan keras.

Pemuda itu—Halilintar—melompat turun dan mendarat dengan ringan di atas tanah, terdengar bunyi "thud" halus. Dengan sedikit berlari, ia menyusuri jalan pulang ke tempat ia tinggal bersama saudara-saudaranya yang lain. Rumput-rumput setinggi perutnya ia terobos, sesekali ia tebas ilalang dengan sabit besarnya untuk membuka jalan. Halilintar bersyukur hari ini aman, tak mendengar atau melihat drone-drone milik pemerintah berterbangan seperti capung mencari-cari dimana mereka semua berada. Beberapa tahun semenjak naiknya Perdana Menteri Sunaim banyak kejadian aneh yang membuat suasana menjadi lebih mencekam dan menakutkan. Mereka semua menjadi lebih waspada dan penuh curiga daripada sebelum-sebelum ini. Ada rumor persisten yang berhembus kalau perdana menteri mengeksploitasi orang-orang sepertinya, tapi Halilintar masih meragukan berita simpang-siur itu.

Hampir sejam berjalan, Halilintar akhirnya menapaki jalan familiar menuju kawasan tempat tinggalnya. Ia bisa melihat dari kejauhan beberapa rumah kayu berderet rapi, tiga alur asap tipis membumbung ke langit tanda dapur sedang dipakai. Dekat Hutan Hitam Makra yang sangat luas ini, ada desa kecil tempat orang-orang tertentu dikucilkan dan membangun komunitas yang sangat rapat dan kompak. Ada sekitar 21 orang saja di sana tapi mereka begitu erat bahu-membahu dan merapatkan barisan untuk keselamatan bersama. Dengan menjalin suatu grup tertutup yang erat, rasanya mereka menjadi semakin kuat.

Tak berapa lama, sampailah ia di sana. Jejeran rumah-rumah tampak rapi dan arsitektur mereka terlihat unik dan menyenangkan pandangan. Halilintar lalu mendekati sebuah rumah cukup besar berdinding kayu jati, separuh wajah rumah itu dirambati mawar kuning dan mawar merah. Tanpa sengaja, ia melihat seorang adiknya duduk di halaman tengah memperhatikan sesuatu. Halilintar tersenyum tipis dan menghampirinya.

"Di luar dingin, masuklah ke dalam rumah," katanya. Adiknya terkejut dan menoleh. Melihat Halilintar datang, air mukanya langsung cerah.

"Kak Hali!" serunya gembira. "Tanamannya sakit jadi Daun obati biar sembuh. Lihat!"

Saudaranya lalu membelai tanaman itu dan seketika itu pula dedaunannya kembali menghijau. Batangnya berdiri tegap, pucuk-pucuk baru tumbuh mengeluarkan warna segar. Kuncup bunga-bunga pun ikut bermunculan, beberapa ada yang mulai memperlihatkan mahkotanya yang berwarna putih. Halilintar menepuk kepala adiknya itu.

"Kau sudah menggunakan kuasamu hari ini sebanyak empat kali, Daun. Jangan melawan hukum alam," tegur Halilintar, halus.

Mendengar itu, adiknya menatap Halilintar dengan ekspresi mencelos dan takut.

"Maaf Kak, Daun... cuma..."

"Sudah tak apa. Lain kali jangan diulangi lagi," kata Halilintar. "Jangan gunakan kuasamu terlalu besar, kau tahu 'kan akibatnya apa."

Daun mengangguk kuyu.

"Iya. Kak Gempa sudah beri tahu katanya Perdana Menteri punya teknologi untuk mendek... mentesi... mendetesi..."

"Mendeteksi?" koreksi Halilintar. Wajah Daun berbinar lagi.

"Iya! Mentedeksi gelombang energi kuasa kita bila terlalu besar dipakai, jadi mereka bisa menangkap kita," ujar Daun, masih salah dalam mengeja kata sulit. Halilintar tersenyum mahfum.

"Ya. Karena tanamannya sudah sehat, sekarang masuklah ke dalam," ujarnya.

"Iya Kak."

Tepat sebelum kedua kakak beradik itu masuk, tiba-tiba ada sesuatu melesat cepat terbang di udara melewati rumah mereka. Halilintar dengan waspada menatap ke atas mengira itu drone. Ia langsung menghela nafas lega saat melihat ternyata itu adik pertamanya, Taufan. Taufan mendarat di depan Halilintar dan Daun dengan cengiran lebar, jaket biru tuanya berkibar karena angin. Di punggungnya ada ransel hitam besar seperti hendak meletus saking banyaknya muatan.

"Kak Taufan!" sorak Daun gembira sambil memeluk kakaknya itu. Taufan tertawa riang, suaranya renyah.

"Iya dek, Kakak juga rindu," ujarnya. "Bawa permen buat kamu lho!"

"Asyiiik!"

"Kau darimana?" sergah Halilintar, memotong percakapan mereka. "Aku sudah bilang kalau jangan terbang jauh-jauh—"

"Hali, aku tadi hanya ke Saccah sebentar! Nih, aku bawa persediaan buat semuanya, Gempa juga sudah menyetujui kok! Tahu sendiri dia lebih cerewet masalah keselamatan daripada kamu," kata Taufan sambil tersenyum lebar. Halilintar mengurut keningnya, ingin membentak adiknya tapi ia tahan.

"Kota Saccah di Esmahan? Negara sebelah?" tanya Halilintar, nadanya merendah. Taufan mengangguk riang.

"Yap, aku juga bawa sesuatu untukmu!" ujar Taufan sambil menurunkan ranselnya dan membuka resleting depan. Ia mengambil sesuatu dan langsung menariknya keluar. "Lihat, lihat, ada saus super pedas, hehe. Jangan marah ya?"

"Bukan itu," sangkal Halilintar, marah. "Peraturan mereka hampir sama saja dengan di sini! Karena kau terbang menginvasi perbatasan negara tanpa izin, mereka ada otoritas menembakmu dengan rudal."

Mendengar berita suram itu, Daun mengkerut ketakutan sambil meremas ujung jaket Taufan. Taufan pucat pasi meski senyumnya masih terpatri.

"...aku baru tahu, haha," tawanya hambar. Halilintar menggeretakkan giginya.

"Lebih baik kau masuk ke dalam sebelum membuat masalah lebih jauh," ujarnya sambil beranjak pergi. Halilintar membuka pintu depan dengan kasar dan membantingnya sampai dinding rumah bergetar. Suaranya nyaring sekali hingga Daun terlonjak kaget dan langsung menangis kecil karena ketakutan. Sementara Taufan dengan wajah lesu membereskan lagi ranselnya dan memasukkan saus pedas tersebut. Ia lalu berdiri dan mengelus kepala adiknya.

"Sudah, sudah, nanti juga akan dia baik lagi," hibur Taufan. "Lihat, karena kau menangis, semua tanamannya jadi layu."

Daun menoleh ke belakang dan melihat semua tanaman dan rerumputan di sekitarnya layu, sebagian sudah menggugurkan daun-daun cokelat kering. Daun segera menghapus air matanya dan memaksakan diri tersenyum. Taufan balas tersenyum ramah dan menyodorkan beberapa permen cokelat. Daun mengulumnya dengan senang—seiring dengan membaiknya perasaannya, semua tumbuhan yang layu di dekatnya kembali sehat dan menghijau. Taufan mengacak rambut adiknya itu.

"Ayo masuk ke dalam. Gempa perlu banyak bantuan."

"Iya Kak."

99.92% penduduk bumi adalah manusia normal, sementara 0.08% sisanya adalah keturunan dari moyang yang bukan dari bumi ini. Halilintar dan keenam adik kembarnya masuk pada jajaran 0.08% tersebut. Orang-orang ini dinamakan Ras Girim, diambil dari nama seorang raja kuno, Girim of Silla*. Awal mula mengapa ras ini dinamakan "Girim" karena catatan sejarah paling tua tentang kelompok aneh ini terjadi pada masa raja itu.

Ras Girim memiliki kode unik DNA tidak seperti manusia pada umumnya. Moyang mereka bukanlah manusia, tapi siapa moyang mereka dan bagaimana mereka bisa ke bumi masih menjadi misteri dan penelitian, serta spekulasi tanpa akhir. Ras Girim memiliki umur lebih panjang dan ketahanan fisik terhadap penyakit manusia. Sebagian dari ras Girim memiliki zuriyat kekuatan alamiah akibat kentalnya darah moyang mereka. Halilintar dan keenam adik kembarnya—Taufan, Gempa, Blaze, Ice, Daun dan Solar, diurutkan berdasarkan urutan lahir—memiliki kekuatan atau "kuasa" tertentu. Ayah dan ibu mereka keduanya adalah keturunan murni Girim, tak heran mereka bisa lahir dengan kekuatan yang cukup besar juga.

Sayangnya kedua orang tua mereka sudah hilang semenjak Perdana Menteri Sunaim naik 8 tahun lalu. PM Sunaim kerap mendengungkan ujaran anti-Girim yang ia katakan merusak tatanan natural hingga sering mengungkit-ungkit beberapa insiden ras Girim yang melukai orang lain dengan kekuatan mereka. Akibatnya sentimen penduduk asli Yarknan dengan ras Girim menjadi meruncing hingga suatu hari ada kampanye besar-besaran mengeluarkan mereka dari Yarknan, padahal Girim hanya berjumlah 376 orang dari populasi Yarknan yang 34 juta lebih. Ketakutan dengan sentimen negatif masyarakat, beberapa Girim berkumpul membentuk grup lalu mengasingkan diri. Mereka memilih menyingkir dari kota-kota besar atau pergi ke luar negeri.

Halilintar dan keenam adiknya tinggal di pesisir Hutan Hitam Makra, 16 km dari Desa Makra yang sangat jauh dari kota besar, menjadikan tempat tinggal Halilintar bersaudara begitu terpencil. Hanya ada 21 penduduk ras Girim di sana. Komunitas ini mengayomi hidup mereka sendiri, menanam sendiri, beternak sendiri dan berburu sumber pangan di hutan meski dibatasi karena Girim begitu dekat dengan hewan jadi mereka jarang sekali membunuh hewan hutan, hanya sesekali saja mereka menangkap ikan di sungai. Tak hanya itu, komunitas ini berusaha sejarang mungkin untuk tidak pergi ke kota besar. Selama dua minggu sekali, ada seseorang yang pergi ke kota terdekat dengan membawa daftar benda yang diperlukan semua anggota komunitas. Taufan kerap kena giliran karena ia bisa terbang, tapi Halilintar tak setuju karena terbang terlalu mencolok. Pasti ada drone mata-mata yang merekamnya dan mengirimnya ke bagian pemerintah. Walaupun komunitas ini sudah "disembunyikan" dengan kekuatan alam, Halilintar masih yakin PM Sunaim dengan gigih mencari-cari Girim yang tersisa. Entah apa tujuan dan bagaimana nasib Girim-Girim yang sudah ditangkap.

Akibatnya Halilintar sering naik ke puncak gunung di Hutan Makra dan memintal awan agar terjadi petir dan mendung, menyebabkan benda teknologi apapun yang terbang melintas menjadi belok arah dan tidak terbang di atas komunitas mereka. Gempa secara "strategis" menciptakan batu-batu besar di sepanjang jalan dan melebarkan jurang-jurang. Daun membantu Gempa dengan meniupkan serbuk tanaman di jurang dan bebatuan ciptaan Gempa agar ditumbuhi semak berduri nan beracun—bertujuan untuk semakin sulit dilewati. Ice, adik ke-4 Halilintar, bahkan menciptakan sungai besar beraliran deras sekali agar orang-orang tidak menyebrang ke Hutan Hitam Makra. Tak hanya Halilintar bersaudara, anggota komunitas lain turut membantu juga menjaga keamanan dan status incognito mereka. Mereka semua kompak bekerja sama agar tetap hidup hari esoknya.

Siang itu, usai Taufan pulang dari kota Saccah, Negera Esmahan, ia segera memberikan ransel berisi suplai untuk anggota komunitas ke Gempa. Gempa yang sedang memperbaiki panel surya hanya tersenyum.

"Terimakasih, Kak. Taruh saja di sana, di sebelah sarang lebah. Habis ini aku akan bagikan barang pesanan ke orang-orang," ujarnya. Taufan melemparkan cengiran khas.

"Oke! Omong-omong, mana yang lain?"

"Ah, Blaze sedang main bola di belakang. Ice sedang keluar mengecek sungai buatannya," kata Gempa. Jemarinya dengan lihai memasang panel surya dan menghubungkannya. Di sini, semua rumah di komunitas mendapat listrik dari panel-panel surya. Meski terbatas kwh/tenaga listrik yang dihasilkan, tapi setidaknya mereka jadi lebih independen.

Mendengar Blaze sedang di halaman belakang, Taufan hendak ke sana tapi dicegah oleh Gempa dengan pertanyaannya.

"Kenapa tadi ada suara pintu dibanting? Kak Hali dan Kak Taufan bertengkar lagi?"

Taufan tertawa tidak enak. Ia menggaruk kepalanya.

"Ehehe, Kak Hali tak suka aku ke Saccah tadi," ujarnya. "Padahal Saccah yang paling aman 'kan? Itu juga di luar negara, takkan diawasi oleh PM."

Gempa tersenyum mahfum, tangan dan matanya masih fokus ke panel-panel surya tapi pikirannya ke arah kedua abangnya itu.

"Mmm, itu karena Kak Hali lebih protektif pada adik-adiknya daripada aku sendiri," ujar Gempa dengan nada riang. "Sebentar lagi dia baikan, biarkan saja marahnya reda sendiri."

"Aku juga takkan mau dekat-dekat dia saat begini, bisa-bisa lebam mataku nanti ditumbuknya."

Gempa tersenyum geli. Taufan segera beranjak, hendak ke halaman belakang, membiarkan Gempa bekerja dengan tenang. Dalam kesunyian, Gempa jadi merenungkan keputusannya membiarkan Taufan ke Saccah. Saccah terletak 14 km dari perbatasan Negara Yarknan dan Negara Esmahan. Tempat tinggal Halilintar bersaudara di Hutan Hitam Makra memang sengaja tak jauh dari perbatasan negara agar mereka mudah melarikan diri ke negara lain ketika hal tak terduga terjadi. Yarknan dahulu bernama Malaysia, tapi itu ratusan tahun lalu saat mereka belum diinvasi oleh negara asing yang dipimpin oleh Tsar/Kaisar Genghis. Kaisar penjajah itu mengobrak-abrik tatanan negara Malaysia dan melakukan genosida dengan para pemberontak. Ia dengan bengisnya membuat 9 juta penduduk Melayu mati kelaparan kecuali yang mau menyembahnya. Semenjak Kaisar Genghis merajai, bahasa Melayu diharamkan. Ideologi negara diganti. Agama tak diperbolehkan dan dihancurkan semua simbol keagamaan. Banyak pemuka agama yang dibunuh dengan sadis dan digantung mayatnya. Para alim ulama dibakar hidup-hidup dan para pendeta disalib di gereja mereka sendiri. Semuanya adalah cara Kaisar Genghis mengerik negara baru miliknya sendiri di Malaysia, memuaskan ambisinya.

Ratusan tahun setelah runtuhnya Malaysia, hampir tak ada lagi yang berbicara bahasa Melayu kecuali sebagian kecil orang sebagai tanda penolakan mereka terhadap pengaruh asing. Komunitas Girim tempat Halilintar bersaudara tinggal masih menggunakan bahasa Melayu daripada bahasa lain. Hutan Hitam Makra berada di suatu provinsi yang ratusan tahun lalu bernama Sabah, berbatasan dengan Negara Esmahan yang dulu sekali bernama Indonesia. Halilintar skeptis mereka bisa selamat di Esmahan/Indonesia karena Esmahan juga sama saja memiliki peraturan ketat mengenai ras Girim seperti Yarknan/Malaysia tapi Gempa berpikiran lain. Ia bilang kemungkinan mereka sembunyi dan selamat di Esmahan lebih besar karena secara geografis, Esmahan lebih luas daripada Yarknan. Mereka akan lebih mudah ditangkap bila mereka lari di sekitar Yarknan saja.

Gempa sadar dengan bahaya diburu itu, ia paham. Tapi meski mereka berupaya se-independen mungkin, mereka takkan bisa benar-benar terputus dari dunia luar. Kadang ada saja bahan baku yang harus mereka dapatkan dari kota, seperti obat tetes penjernih air, kain, P3K (mereka tak pernah sakit tapi sering ada yang terluka karena medan hutan yang keras) dan sebagainya. Kota Saccah yang berada di Esmahan selama ini bisa memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak, meski mereka harus barter hasil bumi dahulu agar mendapatkan mata uang Esmahan. Saccah dekat dengan perbatasan negara jadi tak terlalu jauh Taufan harus pergi dan mengambil resiko tidak perlu. Taufan juga paham dasar-dasar keselamatan dan anonimitas ketika berpergian—walaupun Taufan sering cengengesan dan suka bergurau, ia bisa menjadi serius ketika situasi memerlukannya serius. Gempa percaya pada Taufan, ia tahu kakaknya cukup mumpuni karena itu Gempa bisa mengirim Taufan ke Saccah.

Namun meski bagaimanapun, Halilintar yang paling keras menentang perkara pergi ke kota dan melakukan barter hasil bumi. Hasil bumi mereka begitu disukai pembeli Saccah karena produknya sangat unggul berkat manipulasi kekuatan, dan ini bisa menimbulkan pertanyaan menyelidik. Halilintar hanya ingin semuanya selamat walau ia tahu interaksi dengan dunia luar itu tak bisa dihindari selama-lamanya. Manusia, Girim, hewan... sehebat apapun makhluk itu semuanya adalah makhluk sosial yang memerlukan intervensi makhluk lain pula. Tak ada makhluk fana yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan luar. Halilintar mengerti itu tapi ia sebisa mungkin meminimalisir kontak yang tak perlu.

Karena itu ia kesal sekali dengan Taufan yang seenaknya. Taufan bisa menjadi sangat ramah dan akrab pada orang lain hingga ia beresiko memberikan informasi lokasi mereka tanpa sengaja, pikir Halilintar. Merenungkan kemungkinan mengerikan itu membuat Halilintar semakin murka. Matanya menatap tajam keluar jendela di kamar tidurnya. Tangannya mengepal erat di bingkai kayu tersebut, masih tak puas. Seharusnya jika Taufan ingin ke Saccah, bawalah orang yang lebih hati-hati. Gempa misalnya. Atau Solar yang cerdik.

Mengingat adik kembar terkecilnya itu, Halilintar tiba-tiba merasakan nyeri yang merambati dadanya lagi. Ia tahu Solar sudah hilang bersama kedua orang tua mereka. Entah mati atau hidup nasib ketiganya, dan bila masih hidup apakah mereka semua selamat? Atau malah disiksa di kamp konsentrasi layaknya penjahat perang? Halilintar tak bisa pergi mencari mereka meski hatinya menggebu-gebu ingin mengacak-acak ibukota. Ia tak mau ambil resiko kehilangan lebih banyak keluarganya. Ia takkan mau menangisi apa yang tiada hingga ia lupa apa yang tersisa. Ia akan merugi lebih banyak dan Halilintar tak yakin ia bisa berdiri tegak di bawah beban seberat itu.

Musim dingin pasti akan berakhir dan membawa angin hangat pertanda musim semi, salju akan meleleh. Begitu pula dengan kesedihan mereka. Selepas 8 tahun kehilangan Solar dan kedua orang tua, mereka semua sudah lebih baik sekarang. Daun tak lagi membenci warna putih kesukaan Solar dan Gempa tak lagi murung. Ice juga lebih mau bergaul sekarang sementara Taufan dan Blaze sudah kembali bersemangat. Kursi ketujuh yang kosong kini tak lagi ditatap dengan sendu, melainkan ditaruh satu vas bunga putih oleh mereka sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas kenangan mereka bersama Solar dahulu. Seiring dengan waktu yang tak menunggu, mereka pun telah berdamai dengan kesedihan.

Setidaknya bagi kelima adiknya. Halilintar masih sakit hati dengan ketidakadilan ini. Ia marah, ia geram sekali. Tapi ia tak bisa berbuat apapun. Bagaimana bisa ia yang hanya seorang remaja lemah berumur 18 tahun bisa melawan mereka semua? Ia bukan Tuhan.

"Kak, mendung."

Halilintar terkejut dan menoleh dengan cepat ke belakang. Ada Ice di sana dengan wajah tanpa ekspresi. Halilintar tak dengar pintu kamarnya sudah dibuka, ia jadi sedikit jengkel. Halilintar benci bila dikejutkan dan ia benci orang mengendap-endap di belakangnya.

"Apanya?" tanya Halilintar dengan nada terganggu.

"Langitnya mendung," ulang Ice. Halilintar menoleh ke jendela dan melihat awan hitam berputar-putar, gemuruh petir bersahut-sahutan dengan sambaran kilat tak henti-henti. Halilintar langsung tersadar.

"Tunggu sebentar," gumam Halilintar. Ia lalu memejamkan mata dan menarik nafas dalam, berusaha meredam amarahnya. Sesaat kemudian, awan hitam mulai menipis dan gelegar petir mulai menghilang. Ice menghampiri jendela dan menengok langit yang berangsur-angsur kembali cerah. Ia lalu menatap kakaknya.

"Jangan buat badai petir, nanti Kak Gempa marah jemurannya basah semua," ujarnya kalem. Halilintar tak menjawab. Ice kemudian menyorokkan sesuatu ke tangan Halilintar. Halilintar menerimanya dan melihat segerombol leci merah di antara jemari kasar dan terkelupasnya.

"Kak Taufan dan Daun titip ini. Biar Kakak ceria sedikit," ujar Ice sambil beranjak pergi. Halilintar menghembuskan tawa kecil, ini khas Taufan dan Daun sekali yang menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan hal-hal manis. Tapi Halilintar tak keberatan dengan upaya mereka. Ia lalu mengupas sebuah dan mencicipinya, rasa manis dan segar seolah meledak di mulutnya, mengingatkan Halilintar pada waktu yang lebih baik.

Halilintar melirik ke arah langit dari tingkapnya. Langit sudah kembali cerah.

.

.

.

Cahaya dan kegelapan. Dua yang melawan satu sama lain, memakan dan menelan. Bagi Solar, pengendali kuasa cahaya, tak ada yang puitis mengenai cahaya dan kegelapan, hanya tentang kadar subatomik partikel bernama photon pada suatu ruang saja. Cahaya bisa dihisap oleh lubang hitam, tak bisa lari dari event horizon karena itu pada dasarnya adalah partikel yang tak mau diam pada ruang vakum, selalu bergerak sangat cepat karenanya cahaya sekalipun tidak bisa lari dari gravitasi lubang hitam. Akhirnya cahaya pun ditelan dan padam.

Fang, si pengendali kuasa kegelapan, berpendapat pemikiran Solar itu suram. Tapi Solar berpendapat itu hanya astrofisika dasar dan fakta. Mereka memang memiliki banyak kontradiksi, tapi mereka setuju untuk bekerja sama memberangus hal-hal jahanam dalam negara mereka dan mencari orang-orang yang mereka sayangi. Kegelapan dan cahaya, bila melebur akan menjadi fajar. Fajar selalu identik dengan awal baru dan harapan baru.

Solar pikir begitu. Ia optimis, tapi Fang agak pesimis. Fang anggap Solar idealis, tapi Solar anggap dirinya seorang realis. Ia hanya memercayai fakta empiris. Dunia nyata tidak berjalan dengan magis, namun sains. Solar hanya mengungkapkan masa depan yang realistis. Di tangan para pemberontak, Yarknan akan berakhir tragis.

Solar mengusap lagi layar kaca tabletnya yang memuat foto keenam saudaranya. Namun itu foto 8 tahun yang lalu, mereka semua sudah berusia 18 tahun sekarang. Ibu mereka adalah Girim asli yang kuat, dapat menopang tujuh kembar berkekuatan besar dalam rahimnya selama 10 bulan. Menurut ceritanya, ibu mereka kerap mengalami hal ganjil saat mengandung. Kala itu, dunia mereka begitu sempurna meski mereka hidup di pengasingan hingga hari itu terjadi.

Solar menutup foto itu. Ia adalah pemuda logis yang tidak berkubang lama-lama di perasaan, karena ia tak mau kepalanya diatur oleh hatinya. Hati hanya akan mengaburkan logika, menggoyahkan pendirian yang benar. Ia bukan orang seperti itu. Fakta dan logika tidak mengemong hati, tidak peduli bagaimana hati bereaksi. Hanya benda mati yang mau tak mau diterima. Solar lebih suka tidak mengindahkan perasaannya dan melangkah maju, tapi pada hari berawan ia biarkan saja biduk melankolis membawa angannya pada hal-hal yang sudah tiada. Itu adalah kemewahan tersendiri baginya.

Solar mengusap pelan wajah Daun di foto itu, kembaran terdekatnya. Solar pikir mungkinkah Daun masih ceroboh seperti dahulu? Ia ingat Daun pernah hendak memakan cacing karena dibujuk Blaze yang berkata cacing itu rasanya seperti es krim. Solar berhasil mencegahnya tentu saja. Solar ingat dahulu Taufan dan Halilintar pernah berkelahi sampai parah sekali hingga atap rumah hancur, ayah mereka sampai menggunakan kuasanya agar pertengkaran mereka berhenti—pada akhirnya Halilintar dan Taufan dihukum skors sebulan oleh ibu mereka. Solar ingat dulu Ice dan Gempa pernah membuat kolam renang agar mereka bertujuh bisa bermain bola air—Gempa membuat ceruk batu besar dan Ice mengisinya dengan air sejuk. Solar ingat Daun pernah mencoba menanami kamarnya dengan 100 jenis bunga berwarna putih agar Solar tak bersedih buku kesukaannya terbakar oleh kuasa Blaze... sayangnya Solar berakhir bersin-bersin karena alergi serbuk sari tapi ia senang Daun memerhatikannya dan berusaha menghiburnya. Mengingat masa itu, Solar tersenyum tipis.

"Tumben tersenyum," komentar seseorang. Solar buru-buru menutup foto itu di tabletnya dan menoleh. Tampak remaja berwajah oriental menaikkan kacamatanya. Fang.

"Apa kata Admiral Kaizo?" tanya Solar, mengalihkan perhatian. Fang menyipit curiga, tapi ia biarkan saja Solar merubah topik.

"Admiral Kaizo sudah bertemu dengan tim di Esmahan," kata Fang. "Kita jadi akan kerjasama dengan mereka."

Solar menatap sebuah layar besar komputer di ruangan kendali utama ini. Sebuah peta Nusantara dengan beberapa titik merah dan tulisan kecil-kecil. Banyaknya lobi yang memungkinkan mereka bisa menunaikan hajat mereka untuk merdeka. Tak hanya ras Girim juga, tapi manusia biasa pun mendukung. Semua atas strategi Admiral saja dan mereka menjalankan bagian mereka.

Solar mengerling ke arah Fang. Adik Admiral Kaizo itu sedang mengerjakan sesuatu di komputernya. Solar skeptis dengan Admiral Kaizo dan langkah-langkahnya, tapi ia simpan saja dalam hati. Solar beberapa kali menemukan kejanggalan dengan manuver aneh Admiral Kaizo, seperti membiarkan sebuah komunitas Girim ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Padahal Admiral Kaizo sendiri adalah Girim juga dan ia bermaksud hendak membebaskan para Girim dan rakyat Yarknan, ah bukan, rakyat Malaysia dari penjajahan tapi bagaimana Admiral Kaizo bisa melepaskan mereka semua dari penindasan asing sementara membebaskan komunitas kecil saja ia tak mau?

Solar tak suka Admiral Kaizo. Ia seperti memiliki agenda sendiri dan egois. Apakah nanti bila kakak-kakaknya ditangkap tentara PM Sunaim akan dibiarkan pula olehnya? Solar mulai curiga dengan andil Admiral Kaizo pada kematian kedua orang tuanya. Ada hal-hal yang tidak diungkapkan dengan jujur. Sayangnya Solar tak memiliki pilihan lain selain bekerja untuk Admiral. Solar adalah seorang Girim yang tangguh dan jenius dalam membuat senjata, pemberontakan ini adalah hal yang terbaik dan Solar pikir sudah seharusnya ia tidak diam saja, tak berkontribusi membuat perubahan. Dia takkan memiliki penyesalan kelak karena ia sudah melakukan hal yang terbaik. Masalah Admiral Kaizo melakukan hal-hal berbau politik jahat akan segera ia bongkar dan ia akan bertindak. Untuk sementara ini, biarlah ia awasi dahulu situasi internal ini agar ia bisa merencanakan strategi selanjutnya.

"Solar, kau kapan akan uji senjata?" tanya Fang tiba-tiba, memecah kesunyian ruangan ini. Solar mengerutkan alis.

"Kukira kau hanya menangani divisi hacking. Ternyata kau sibuk juga ya?" sindir Solar. Fang memutar bola matanya.

"Aku meminta dipindahkan ke bagian Weaponry. Nut sudah menangani divisi meretas karena kuasanya itu," ujar Fang. Solar baru saja ingat kuasa manipulasi kegelapan milik Fang yang cukup kuat, ia pikir cocok juga bila Fang di bagian Defense and Combat, sebuah cabang yang menaungi Weaponry. Solar pun demikian, ia direkrut di divisi yang sama tapi selain persenjataan/Weaponry, ia pun berada di subdivisi Tactics and Strategy akibat kecerdasannya. Ia tak menyangka Fang akan masuk juga ke persenjataan, menjadikan mereka partner sekarang.

Solar menghela nafas. Ia tidak membenci Fang, hanya tak suka saja bekerja sama dengan orang lain. Sifat alaminya memang penyendiri dan benci interaksi tak berguna, seperti mengobrol basa-basi. Kebanyakan orang berbicara tak penting, namun Solar tak mengerti kenapa ia malah senang dengan celotehan Daun dahulu padahal Daun adalah makhluk terbodoh yang ia temui. Mungkin karena Daun adalah orang terjujur yang ia tahu, maka Solar tak perlu menganalisa tiap kata dan perbuatannya untuk mencari celah kejahatan. Daun tak pernah berkata atau berbuat menyeleweng dari hatinya.

Solar mengepalkan tangannya, menahan perasaan sedih dan rindunya. Ia tidak lemah, ia bisa kendalikan hatinya. Solar lalu menoleh ke arah Fang dengan wajah netral.

"Besok pagi akan uji coba barangnya. Harusnya tak ada masalah."

"Biar kulihat blueprint itu," ujar Fang. Solar menekan layar sentuh transparan di sisi kanannya dan layar raksasa utama kemudian menampilkan sebuah benda kecil bulat dengan banyaknya informasi mengelilinginya. Fang menaikkan kacamatanya.

"Ini bom biologis?" tanya Fang, kaget. Senjata biologis biasanya sangat menyengsarakan, jangkaua luas serta lama masa inkubasinya. Biasanya melukai orang tak bersalah sebagai bentuk penekanan kepada pemerintah setempat.

"Ini bukan senjata biologis bengis yang sering kau baca di laporan," kata Solar, agak tersinggung Fang mengiranya tak bermoral. "Ini bom gelombang kejut, bisa melumpuhkan segala teknologi dalam radius ratusan kilometer selama 4 hari. Dengan kata lain, kita bisa melumpuhkan ibukota Yarknan dengan ini. Akibat rumitnya pembuatannya, bom ini hanya bisa diciptakan satu saja. Selain itu, bahan mentahnya langka sekali dan sangat mahal. Sebab itu uji coba hanya dengan skala kecil, bukan skala asli bomnya."

"Memangnya berapa harga bom ini?"

Solar menyeringai puas. Ia melipat tangannya ke dada.

"Cukup mahal untuk membeli satu negara."

Fang tersedak minumannya. Ia menatap Solar dengan tak percaya.

"Mustahil."

Solar tak menjawab hanya mengangkat sebelah alisnya, menantang Fang. Fang hendak membalas perkataan itu tapi keburu ada transmisi masuk dengan bunyi persisten. Solar segera menekan layar sentuh transparan di sampingnya. Tampak wajah Admiral Kaizo di sana, membuat Fang dan Solar langsung bersiaga.

Sang admiral hanya berkata dua kalimat tapi cukup menggoncang dunia Solar.

"Ada penyerangan di Hutan Hitam Makra. Bergerak sekarang."

Transmisi langsung ditutup, tapi bagi Solar kata-kata itu menggema kencang tanpa henti di benaknya, menyebabkan nafasnya seperti tersembur keluar dari paru-paru. Saat itu adalah pertama kalinya Solar hendak berteriak keras dan memukul sesuatu.

.

.

Bersambung

.

A/N

Girim of Silla: nama raja kuno di Korea dulu.

Genghis Khan: nama raja penakluk dulu, pemimpin Mongol

Aux Armes (judul): bahasa Perancis, artinya "angkat senjata" atau ajakan perang.

Halo saya balik dengan ff baru~

Semua pertanyaan akan terjawab, tak bisa dimasukkan ke satu chapter ok? Mengenai update ff saya yang lain, mungkin saya akan segera update insya Allah tapi saya tak bisa janji cepat-cepat. Saya ada proyek nulis novel orisinal, karena saya sadar saya harus buat karya sendiri gak terus-menerus menjadi penulis fanfic. Silakan sapa saya di wattpad dengan username Dee_Carmine!

Silakan review bila ada yang ingin disampaikan, tanggapan, kritik/saran! Sampai jumpa di tulisan saya yg lain~