Hari Buruk Halilintar

Chapter 2. Halilintar vs Trio Troublemaker.

.

.

.

"Sabar, sabar, Hali, Gem… Biar aku urus Blaze dan Thorn itu." Melihat gelagat tidak baik, Taufan langsung menawarkan diri pergi ke lantai dua dan mengurus adik-adiknya yang entah sedang bermain apa.

Taufan yang sedang menaiki tangga berpapasan dengan Ice yang memikul guling biru kesayangannya beserta Solar yang menenteng laptopnya sembari menuruni tangga. "Selamat berjuang, Kak Taufan…" Bisik Solar.

"Serahkan padaku!" Ujar Taufan dengan penuh keyakinan.

.

.

.

Selepas melewati tangga Boboiboy Taufan melewati kamar tidur kedua adik kembar termudanya, yaitu Boboiboy Ice dan Solar. Pintu kamar itu terbuka dan jelas sekali bahwa penghuninya sudah meninggalkan kamar itu karena suara-suara berisik yang berasal dari sebuah kamar lagi yang berada di dekatnya.

Taufan menghentikan langkahnya persis di depan pintu terakhir di lantai kedua rumahnya yang berdesain seperti lorong. Dari dua buah logo yang terpasang pada pintu kamar, jelas bahwa penghuni kamar itu adalah kedua adik kembarnya yaitu Boboiboy Thorn dan Boboiboy Blaze. Menarik napas panjang, ia mengetuk pintu tersebut. "Thorn? Blaze?"

Suara berisik dari kamar Thorn dan Blaze langsung berhenti. "Y.. Ya kak?" Sebuah suara terbata-bata menjawab dari balik pintu. "K.. Kak Hali?"

Taufan memutar kedua bola matanya dan memutar gagang pintu kamar adik-adiknya.

Alangkah leganya Thorn dan Blaze ketika kepala Taufan yang menyembul dari balik pintu kamar mereka.

"Astaga… Kukira Kak Hali…" Blaze mengurut-ngurut dadanya sembari menghembuskan napas panjang.

"Ternyata Kak Taufan… Sore, kak." Sahut Thorn yang melempar senyum dengan wajah polos imutnya.

Di tangan masing-masing Blaze dan Thorn terdapat dua batang sapu yang terlihat mulai rontok.

Tanpa permisi, Taufan masuk ke dalam kamar mereka dan menutup kembali pintunya. "Kalian lagi apa sih? Terdengar sampai ke bawah lho… Nanti Kak Hali ngamuk." Tanya Taufan sembari beranjak duduk pada ranjang milik Blaze yang terletak dekat dengan pintu.

"Kami lagi main-main saja koq." Jawab Thorn.

"Iya, main pedang-pedangan." Tambah Blaze dan memasang kuda-kuda gaya superhero yang pernah dilihatnya di sebuah film bioskop dengan dua batang sapu yang hampir hancur.

Blaze langsung memperagakan gerakan bermain pedang superhero itu dengan dua batang sapu yang dipeganya. "HIAAAH!" Diayunnya sapu-sapu itu ke arah Thorn yang dengan sigap menangkisnya.

"Hey, hey, kan Kak Taufan bilang jangan berisik!" Tegur Taufan. Meskipun sebenarnya cukup menarik melihat kedua adik kembarnya menirukan gaya permainan pedang superhero di film bioskop.

"Ah Kak Taufan ngga asik nih!" Gerutu Blaze dengan kedua pipi yang menggembung.

Thorn ikutan menggerutu dengan bertolak pinggang "Iya nih… Ngga lihat kita lagi seru-serunya."

Tiba-tiba Blaze melirik ke arah Thorn, yang melirik balik ke arahnya. Sebuah isyarat tanpa suara telah diberikan dan disetujui ketika keduanya saling mengangguk.

"SERAAANG!" Pekik Blaze yang menghujamkan pedang nya ke arah Taufan.

"HIAAAAT!" Thorn ikutan menyerang Taufan.

"HEY!" Reflek Taufan menghindar dari serangan kedua adik kembarnya. "Begitu ya… "Desis Taufan yang kini memasang kuda-kuda bertarung yang sebetulnya juga diconteknya dari anime yang ditontonnya "Kalian yang mulai… SINI KALIAN!"

Tanpa membuang waktu, Blaze merangsek maju sembari menyeret pedang-sapu nya pada lantai kamar sampai menimbulkan bunyi deritan yang membuat ngilu di telinga.

"BAGUS BLAZE!" Pekik Thorn yang ikutan menyerbu Taufan

"Ngga kena!" Ledek Taufan yang dengan mudahnya menepis dan menghindar mundur dari serangan kedua adiknya.

"AMBIL INI HIAAA!" Kembali Blaze mengejar dan menyerang kakaknya.

"Lambat kau Blaze!" Tebasan pedang-sapu Blaze meleset karena Taufan merunduk sembari menggeser posisi badannya.

-GUMPRANG!-

Dan sebuah cermin pada lemari milik Blazelah yang menjadi korban serangan pedang-sapunya.

Melihat Blaze yang lengah karena memandangi cermin lemarinya yang pecah, Taufan langsung merebut salah satu dari dua batang sapu yang dipegang adiknya

Bersenjatakan sebuah pedang-sapu yang sudah hancur, Taufan menghadapi kedua adik kembarnya yang ternyata lumayan kuat dalam membela diri. "Kalian semua yang minta…" Desis Taufan yang mulai kehilangan kesabaran. Ya, sesabar-sabarnya Taufan dia itu juga punya batasan lho.

"Coba saja kalau bisa." Ledek Thorn sembari memeletkan lidahnya.

"Adik durhaka…" Taufan langsung menerjang Thorn dengan pedang-sapu yang terhunus.

Serangan Taufan dipatahkan oleh Thorn dengan gerakan menangkis dan melangkah ke samping. Namun belum sempat Taufan mengikuti gerakan Thorn, si adik yang satunya lagi, Blaze, maju menghadang.

'Oke, bertarung lawan dua adikku ini ternyata susah juga.' Pikir Taufan. Ia harus memilih salah satu untuk diserang, antara Blaze atau Thorn. Tidak mungkin ia menyerang keduanya sekaligus. Blaze? Tidak, adiknya yang satu itu justru cukup lumayan kalau urusan berantem. Thorn? Ya, dia yang paling lemah karena memang pada dasarnya Thorn paling tidak suka berkelahi.

Betul saja, begitu diserang, Thorn langsung menghindar dari serangan Taufan dan melarikan diri dengan cara berputar-putar di dalam kamar.

"Hey, sini kau Thorn!" Seru Taufan ketika melihat Thorn hendak lari menuju pintu kamar. Diangkatnya sapu itu tinggi keatas dan diayunkan ke arah adiknya yang hendak membuka pintu kamar.

Sayangnya Taufan tidak sempat menarik serangannya ketika pintu itu mendadak dibuka, dan yang membuka pintu itu bukan Thorn.

-Bletak!-

Ujung sapu itu mendarat persis di kepala orang yang samasekali Taufan tidak inginkan untuk diajak berkelahi.

"Astaga… Ha… Hali…" Taufan memucat ketika menyadari bahwa pukulan sapunya mengenai kakak tertuanya yang samasekali tidak bergeming menerima serangan sapunya.

Halilintar tersenyum manis… Sangat manis sekali sampai membuat takut ketiga adik kembarnya yang berada dalam kamar Blaze dan Thorn itu. "Bagus… Bagus sekali, Taufan…"

"Ini… Ini salah faham, Hali… Aku…Ini, Blaze… Itu, Thorn…" Taufan merasa otaknya sulit untuk merangkai kata-kata. Jantungnya terasa berhenti dan nyawanya berada di ujung tanduk ketika Halilintar beranjak masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

-Cklek-

Pintu kamar ditutup dan dikunci oleh Halilintar

"Kau.. Katanya mau mengatasi mereka…. Kenapa… Malah jadi ikutan?" Tanya Halilintar sembari mengacungkan telunjuk yang sudah gemetaran ke arah Taufan.

Nada datar berjeda yang dikeluarkan Halilintar lebih dari cukup untuk membuat darah Taufan membeku seketika itu juga. "Hali, kau salah faham!" Taufan mengambil langkah mundur. "Aku mencoba-"

"Alasan…" Dengus Halilintar memotong omongan Taufan. "SINI KAU!" Pekiknya sembari menerjang Taufan sampai terjatuh ke belakang

"HUAA! HALI!" Jerit Taufan yang diterjang Halilintar sampai terjatuh.

Dengan cepat, Halilintar mendindih tubuh taufan dan membaliknya. Kedua tangan Taufan langsung ditarik ke belakang badan tanpa basa-basi. Tali yang tadinya berada di genggaman Halilintar telah berpindah dan mengikat kedua tangan Taufan dengan ketatnya. Belum selesai, lebih tepatnya belum puas, kedua kaki Taufan juga diikat dan ditarik mendekati tangannya yang telah terikat. Sebagai sentuhan terakhir, Halilintar menyingkapkan bagian bawah baju yang dikenakan Taufan dan menariknya melewati kepala adiknya

"HALI, JANGAN!" Sekuat tenaga Taufan meronta-ronta dalam kebutaan karena kepalanya tertutup oleh bajunya sendiri. "BESOK UJIAN!"

Dari posisinya yang setengah menindih badan Taufan, Halilintar melihat ke arah bawah ranjang milik kedua adik kembarnya. Sebuah kaus kaki dekil berwarna merah dan sebuah lagi berwarna hijau yang sama dekilnya terlihat berserakan di dekat ranjang. "Nah itu yang aku perlukan." Ujar Halilintar sembari menyambar kedua benda yang dilihatnya tadi.

Tak dihiraukan jeritan Taufan. Kini Halilintar menghadapi kedua adik kembarnya yang sudah nampak gemetaran ketika melihat Taufan yang lebih kuat daripada mereka berdua 'dibereskan' oleh Halilintar dalam hitungan detik saja.

"Habislah kita…" Gumam Blaze sembari meneguk ludahnya. Nyawanya serasa berada di ujung tanduk. "Ini gara-gara idemu, Thorn."

"Mau lari kemana kita…" Thorn memucat dan mulai mencari-cari jalan untuk kabur dari kamar itu.

"Sekarang kalian berdua." Ketus Halilintar yang membentangkan tali di atara kedua tangannya.

Entah kenapa Thorn langsung berlutut pasrah dengan tangan bersidekap. "Jangan kak! Thorn janji ngga berisik!" Pinta Thorn dengan memelas, memohon keselamatan.

"Blaze juga!" Sahut Blaze dengan cepat, ia sangat tidak ingin dirinya berakhir seperti Taufan

"Terlambat!"

Thorn bahkan tidak melawan dan membiarkan dirinya diikat oleh Halilintar. Dibiarkan kedua tangannya ditarik ke balakang badan oleh kakaknya yang langsung mengikatnya dengan cukup ketat. Masih dalam posisi berlutut, kedua kaki Thorn pun diikat dengan cepat tanpa celah baginya untuk bergerak. Pikirnya semakin ia nurut, semakin besar kemungkinan dia selamat. Keinginannya untuk melawan bergejolak ketika kaus kaki dekil warna hijau yang diambil Halilintar tadi didekatkan ke mukanya. "Jangan Kak Hali…" Rengek Thorn. "Itu kaus kaki sudah sebulan ngga dicuci!". Bahkan bau kaus kakinya sendiri yang berada di dekatnya membuat Thorn merasa mual. Dengan usaha sebisanya, ia mencoba mengalihkan muka dari kaus kaki yang semakin mendekat ke wajahnya

"Oh begitu? Baguslah." Dengan wajah tanpa merasa bersalah sedikitpun. Kaus kaki itu disumbatkan ke dalam mulut Thorn yang langsung dililit lakban.

"Mmmh..." Dengan mulut dibekap kaus kaki dan lakban, Thorn hanya bisa mengerang dan memasang wajah yang memelas. berharap belas kasihan dari Halilintar. Kaus kaki dekil tadi cukup efektif menekan lidahnya dan mecegahnya bicara. Sementara lilitan lakban mencegah Thorn memuntahkan kaus kaki terkutuk itu dari dalam mulutnya.

"Ngga usah memelas, Thorn… Ngga mempan, aku bukan Gempa..." Halilintar melilitkan beberapa lembar lakban pada kedua mata Thorn.

Tanpa daya, Thorn hanya bisa mengerang sekeras-kerasnya. Dicobanya menarik lepas tangannya dari ikatan yang dibuat Halilintar namun hasilnya nihil.

Sekarang tinggal Blaze yang semakin terpojok.

"Giliran kau, Blaze…"

Blaze merinding melihat Thorn yang sudah benar-benar helpless. Dengan panik luar biasa, ia mencoba mencari jalan keluar. "HIAA!" Blaze memekik dengan putus asa ketika mencoba melarikan diri ke arah jendela kamar. Baginya jatuh dari jendela di lantai dua jauh lebih baik daripada menghadapi Halilintar.

Sayangnya Blaze kurang cepat. Kedua kakinya tertangkap oleh Halilintar yang menerjangnya.

Dengan kaki yang sudah terikat, Blaze masih mencoba melarikan diri dengan menyeret dirinya menjauh menggunakan kedua tangan seakan sedang dimangsa seekor buaya kelaparan

"Mau lari kemana, Blaze?" Dengus Halilintar yang segera mengikat kedua tangan Blaze di belakang badan dengan sisa tali yang dimilikinya.

"Ampun Kak Hali. Ini idenya Thorn." Sebagai upaya terakhir, Blaze berusaha melempar nista.

"Mau Thorn, Taufan atau kau sama saja, dasar biang rusuh."

Blaze membelalakkan kedua matanya. Kengerian terpancar dari raut mukanya ketika kaus kaki dekil berwarna merah miliknya yang berada di tangan Halilintar mendekat ke arah mukanya. Ia tahu persis apa yang hendak dilakukkan Halilintar dengan kaus kaki dekil itu setelah melihat apa yang terjadi pada Thorn.

"Buka mulutmu." Perintah Halilintar.

Blaze menggelengkan kepala dan mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat.

"Dasar bandel…" Tak kehabisan akal, Halilintar menjepit dan menyumbat hidung Blaze, yang otomatis membuat adik kembarnya itu menarik napas lewat mulut.

"AMPUN KAK!. AAMPfff..." Ditanamkannya kaus kaki merah dekil itu ke dalam mulut Blaze yang membuka. Sebelum sempat Blaze mendorong benda terkutuk itu keluar dari mulutnya, lilitan lakban yang dibawa Halilintar kini telah menutup rapat mulutnya. Beberapa lilitan lakban lagi dari Halilintar menutup paksa kedua kelopak mata Blaze.

"Dah selesai…" Ujar Halilintar dengan napas yang tersengal-sengal. "Kalian bertiga tetaplah disini, dan jangan kemana-mana ya ?... Bukan berarti kalian tidak boleh mencoba lho." Tambahnya lagi sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamar milik Thorn dan Blaze.

"BLAZE, THORN, TOLONG AKU!" Jerit Taufan yang masih berusaha melepaskan diri. Ia tidak tahu bahwa keadaan kedua adiknya jauh lebih parah daripada dirinya sendiri.

Tak bisa bergerak, tak bisa bicara, dan tak bisa melihat. Blaze hanya bisa mengira-ngira dimana posisi kembaran-kembarannya berada. "Ngh… Mpfft… Mrrh…?" Ia hanya bisa menggumam tidak jelas karena mulutnya yang terbekap kaus kaki dan lakban ketika mencoba menanyakan dimana posisi Taufan.

Tentu saja Taufan tidak mengerti apa yang Blaze coba ucapkan. "Adeh… Kau ngomong apa sih, Blaze?" Keluh Taufan. Dicobanya mendekatkan dirinya kepada sumber suara Blaze dengan menyeret-nyeret badannya seperti ulat yang melata.

"Mpftt!" Blaze menggeleng-gelengkan kepalanya. ketika merasakan sesuatu yang benda berat menindih kakinya yang terikat. Dicobanya menggeser kakinya dan mengenyahkan benda yang terletak di atas kakinya itu. Padahal benda itu adalah kepala kakaknya sendiri.

"MMM!" Lenguh Thorn yang kepalanya terantuk kepala Blaze dan badannya terdorong hingga terjatuh dari posisi berlututnya meniban Taufan sekaligus Blaze.

"Habislah kita…" Lirih Taufan pasrah dan berhenti meronta.

Ketiga kakak-beradik itu saling tumpang tindih tak berdaya dalam kebutaan mereka masing-masing.

.

.

.

Untungnya penderitaan Taufan, Blaze, dan Thorn tidak berlangsung lama. Kurang dari dua jam, Halilintar, Gempa dan Solar sudah membebaskan mereka dan kini sedang disidang. Blaze dan Thorn duduk bersila di lantai dan menundukkan kepala, sementara Taufan bersandar pada ambang jendela kamar dengan muka kesal.

"Kapok?" Tanya Halilintar.

"Kenapa mesti pakai lakban sih?" Gerutu Blaze ngambek. Beberapa helai bulu matanya dan hampir seperempat alisnya hilang, tercabut ketika lakban yang menutup matanya ditarik lepas oleh Halilintar. Sepertinya Halilintar agak dendam kepada adiknya yang bandel ini.

"Thorn kapok…" Jawab Thorn pelan. Setidaknya, alisnya yang tercabut tidak sebanyak Blaze karena Solar jauh lebih hati-hati melepaskan lakban yang menutup kedua mata Thorn.

Jauh dari menyesal, malah terlihat sangat jengkel. Taufan yang diselamatkan Gempa balas menghardik "Hey, aku diserang mereka, tahu! Kenapa aku ikutan disekap ?... Nih bajuku sampai melar kayak daster begini."

"Makanya diplomasi itu yang betul sedikit kenapa… Sudah tahu kalau Hali lagi spanneng ngga pandang orang…" Gempa menjawab atas nama Halilintar. "Sudah tahu mau ujian-"

Halilintar menahan Gempa dengan sebuah tepukan pada pundaknya.

"Ya sudah…" Halilintar menarik napas panjang dan memandang ke arah Taufan. "Taufan, aku minta maaf… Aku memang kelepasan karena stress menghadapi ujian besok."

"Kak Hali lupa minum obat hipertensi ya pagi tadi?" Celetuk Blaze yang masih kesal karena disekap di kamarnya tadi. Ingin ia nyerocos lagi, tetapi lirikan maut Halilintar langsung menghentikan niatnya.

Taufan nampak enggan untuk mengiyakan, namun nada tulus Halilintar meluluhkan hatinya. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya

"Oke, Hali… Aku terima. Aku juga stress koq." Jawabnya dengan sebuh senyum kecil. Taufan tahu benar kalau Halilintar sudah gelap mata, siapa saja bisa disikatnya tak pandang kawan atau lawan.

"Sudah selesai kan? Aku mau balik ke kamar…. Tidur…" Celetuk Ice yang yang dari awal 'sidang' hanya diam saja. Tanpa basa-basi lebih lanjut Ice langsung kembali ke kamarnya.

"Nah kalian berdua…" Halilintar mengalihkan perhatian kepada Thorn dan Blaze. "Sudah tahu aku, Gempa dan Taufan mau belajar buat ujian malah bikin gaduh…"

"Maaf Kak Hali…" Dengus Blaze dengan nada yang masih tidak terima.

"Kami bosan kak… Solar sibuk sendiri, Ice tidur melulu… Cuman Blaze yang Thorn bisa ajak main." Jawab Thorn membela Blaze dan dirinya sendiri. "Memang kakak ngga bosan ngeliatin buku melulu?"

Ketiga kembaran tertua Boboiboy itu terdiam. Apa yang Thorn katakan ada benarnya juga. Terlalu lama menatapi buku tanpa refreshing juga bukan cara belajar yang baik. Yang ada malah jenuh dan membuat mood mereka jadi kacau.

Selama beberapa menit, tidak ada satupun yang bicara.

"Kalau dipikir-pikir…." Taufan angkat bicara memecahkan keheningan. "Yang tadi itu sebetulnya seru juga lho…Hitung-hitung menghilangkan stress."

"Hah?" Blaze dan Thorn langsung menengok ke arah Taufan.

"Kita kayak diculik orang jahat," jawab Taufan sembari cekikikan. "Ya kan ? apalagi Hali ngiket kita benar-benar ngga pakai perasaan… Serasa seperti di film-film".

Blaze, dan Thorn sweatdrop.

"Apa?" Taufan lanjut bertanya. "Memang kalian ngga pernah main begituan?"

"Belum." Jawab Blaze.

"Belum." Jawab Thorn.

"Belum." Solar ikutan menjawab

"Nah, seru kan yang tadi itu?" Tanya Taufan lagi.

"… Iya sih… " Thorn mengangguk pelan.

"Sebetulynya asyik juga kayak Kak Taufan bilang, kayak main cerita detektif." Blaze akhirnya mengakui.

"Jangan bilang kalian mau aku ikat lagi?" Halilintar terheran-heran melihat reaksi adik-adik kembarnya.

"Kapan-kapan boleh lah, tapi yang ngiket jangan Kak Hali ah… Sadis banget… Masa aku dijejelin kaus kaki dekil." Gerutu Blaze dengan pipi gembil ciri khas keluarga mereka yang menggembung.

"Oke, besok-besok aku pakai celana dalammu ya?"

Gempa yang dari tadi hanya diam saja langsung angkat bicara. "Bagaimana kalau kita mulai denganmu, HALILINTAR?" Desisnya dengan tatapan tajam ke arah kembarannya yang tertua.

"Eh?" Halilintar meneguk ludah ketika Gempa, Blaze, dan Taufan kompak mendekati dirinya. "Ma.. Mau… Apa… Kalian?" Untuk pertama kalinya Halilintar berkata dengan terbata-bata. Belum pernah dilihatnya sorotan mata begitu tajam dari adik-adiknya, terutama Gempa.

"Aku? Menghilangkan stress belajar seharian saja koq..." Belum sempat Halilintar bereaksi, Gempa sudah memegangi dan menahan kedua lengan Halilintar.

Gempa menempelkan bibirnya pada daun telinga Halilintar. "Ah ya, sekaligus membalas Thorn, kau kan tahu, Hali, dia itu adik kesayanganku dan kau berani-beraninya menyekap Thorn…." Bisiknya di telinga Halilintar yang langsung membuat kakaknya itu memucat.

"SEMUANYA, SERANG!" Perintah Gempa pada Taufan dan Blaze.

"HAJAR!" Sambung Taufan. Tali temali yang masih berserakan di kamar itu kini berada dalam tangannya.

"JANGAN KASIH AMPUN!" Pekik Blaze penuh dengan dendam. Di kedua tangannya terdapat kaus kaki berwarna merah dan hijau.

Sebelum Thorn ikutan menyerang, Solar langsung mengamit tangan kakak kembarnya. "Thorn, yuk, temani aku menulis cerpen saja sini".

"Eh? Cerpen? Boleh, ceritanya apa?" Thorn langsung mengikuti Solar, meninggalkan Halilintar diganyang Gempa, Blaze dan Taufan tanpa ampun.

"Ceritanya? Kak Halilintar diamuk massa."

Sekuat-kuatnya, sehebat-hebatnya Halilintar tetap saja ia bukan tandingan Taufan, Blaze, dan Gempa yang mengeroyoknya tanpa ampun

"HOEE! SOLAR! THORN! ICE! TOLONG !". Itulah jeritan terakhir Halilintar yang terdengar di malam itu

.

.

.

TAMAT

.

Omake:

Setelah tidur hampir seharian penuh, Ice lah yang bangun paling pertama di pagi hari Minggu. "Heeh... Jam lima pagi ?" Gumamnya ketika melihat jam dinding di kamarnya.

"Pagi Ice..."

"Pagi Solar..." Ice menegur balik adiknya yang termuda. "Tumben kamu bangun pagi begini?" Tanya Ice dengan heran karena melihat Solar masih memelototi layar laptopnya.

"Eheheheheh," Solar terkekeh-kekeh. "Aku bukan bangun pagi..."

Ice menggelengkan kepalanya. "Artinya kamu belum tidur..."

"Mumpung hari Minggu." Jawab Solar enteng sambil melanjutkan ketikannya.

"Hobby koq bergadang... Aneh..." Gumam Ice sembari beranjak dari ranjangnya.

"Kamu yang aneh, Hobby koq tidur."

"Tidur itu kebutuhan Sol...".

"Ya, kalau tidur itu tidak lebih dari enam jam sehari... Kamu tidur berapa jam coba?"

"Kamu sendiri? Tidur koq cuman tiga jam..."

Setelah selesai beradu argumen dengan adiknya, Ice beranjak keluar kamar menuju dapur untuk membuat segelas susu hangat. 'Sekalian lah buat Solar.' Koreksi, dua gelas susu hangat.

Sekembalinya dari dapur, Ice menyadari sesosok yang terduduk di kursi di dekat meja makan dan menghadap tembok.

"Eh, Kak Hali... Pagi kak..." Tegur Ice dan berhenti di depan kakaknya yang terikat pada sebuah kursi, tidak bisa bergerak samasekali ditambah mulutnya tertutup berlapis-lapis lakban. "Maaf Kak Hali... Aku beneran ngga tega melihat Kak Hali begini, tapi aku lebih sayang nyawa sendiri... Tiga jam lagi juga Blaze sama Kak Taufan bangun koq... Atau Kak Gempa biasanya dua jam lagi bangun...Maaf ya kak, aku ngga ikut-ikutan mereka lho ya." Dengan itu Ice pergi melenggang enteng kembali ke kamarnya.

"NGH! NGRRRHH!"Halilintar melenguh dan menggeram panjang dengan tatapan kesal pada adiknya yang berlalu begitu saja meninggalkannya terikat di kursi terkutuk itu yang diposisikan rapat menghadap tembok oleh Gempa sejak kemarin malam. 'ADIK DURHAKA KALIAN SEMUA!' Kutuknya dalam hati.

.

.

.

Tamat.

-Sorry Hali, sekali-kali dinistain sama author GID yah (n_n;)