Summary: Halilintar adalah mantan narapidana yang di penjara 5 tahun akibat fitnah keji. Ketika ia bebas, ia bertemu dengan teman masa kecilnya, Yaya yang ternyata putri seorang sultan Malaysia. Kini, Halilintar menatap Yaya dalam lensa yang berbeda, lensa cerah merah lembayung. Romance pertama saya, HaliYaya. Islamic romance.
.
.
BoBoiBoy milik Animonsta Studios
Tak ada keuntungan materi yang saya peroleh dari sini.
.
Chapter I
Sang Puteri
.
.
Pria muda itu tampak marah sambil menahan diri untuk tidak sumpah-serapah. Tangannya terkepal membola, seperti hendak meninju sesuatu—lebih tepatnya sekelompok anak remaja yang baru saja membakar seekor kucing sampai mati mengenaskan. Anak-anak remaja itu juga tampak marah dan menantang pria muda bermata delima itu yang telah menganggu acara "api unggun" mereka.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Lapor ke ibu kami?" ejek seorang dari mereka. Pria muda itu melemparkan senyum gelap.
"Tidak. Tapi ibu kalian takkan keberatan jika aku melakukan ini."
Dua menit kemudian, empat remaja tampak bergelimang di tanah sambil meringis-ringis menahan sakit, dua di antaranya menangis dan merepetkan kalimat ampun. Halilintar—nama pria muda itu—tidak menggubrisnya, ia lalu mengambil ponsel bermodel lama dalam saku dan menekan beberapa tombol yang sangat familiar. Nada sambung terdengar dan tak lama kemudian sebuah suara menyapanya.
"Kantor Polisi Kuala Lumpur, ada yang bisa kami bantu?"
"Ya, saya ingin melaporkan empat remaja di alamat ini yang sudah melakukan pelanggaran hukum..."
Tujuh menit kemudian, sebuah mobil berplat khas polisi mengangkut empat remaja tersebut dan mengamankan barang bukti. Beberapa puluh menit Halilintar ditanyai dan semua keterangannya dicatat oleh petugas. Nomor telepon dan alamat Halilintar juga diminta jika ada hal-hal lain yang diperlukan. Usai semua urusan merepotkan, para polisi pergi membawa empat berandalan itu.
Halilintar menatap jam tangannya dan menyadari ia hampir terlambat untuk datang ke wawancara kerja. Sang pria muda kemudian menghela nafas sambil menatap kemeja merah yang ia pakai, kemeja satu-satunya yang ia miliki. Gempa, adik kembarnya, yang membelikan kemeja ini untuknya karena tahu Halilintar hendak wawancara kerja tapi tak memiliki baju yang sesuai. Tak seperti Halilintar, Gempa—dan adik kembarnya satu lagi, Taufan—sedang kuliah dan meniti masa depan yang cerah. Nilai Gempa selalu sempurna, sangat berprestasi dan kuliah di universitas bergengsi dengan beasiswa penuh. Taufan juga termasuk mahasiswa berprestasi dalam jalur olahraga lari jarak jauh dan mendapat beasiswa separuh, meski nilainya tak sebagus Gempa.
Namun, nasib baik Taufan dan Gempa sangat berbeda dengan Halilintar yang baru saja keluar dari penjara karena ia menjadi kambing hitam kasus seorang anak pejabat bank ditusuk walau tak tewas. Akibatnya Halilintar mendekam di rumah tahanan khusus remaja, dari kelas 2 SMA hingga usianya 21 tahun sekarang—5 tahun di penjara tanpa keadilan. Kedua orang tuanya, Gempa dan Taufan sudah berjuang untuk membebaskan kakak kembar mereka, tapi rupanya mustahil karena korupnya para penegak hukum. Sekarang, bukan undang-undang lagi yang menjadi pedoman, tapi siapa yang memiliki uang paling banyak. Ayah dan ibu mereka tak bisa berbuat apapun, nelangsa dan berkabung melihat anak mereka ditahan dan menderita dalam sel sempit itu. Mereka tiba-tiba saja menyesali nasib mereka yang bukan orang berkuasa dan berharta banyak.
Karena merasa bertanggung jawab, Halilintar akhirnya meminta ayah, ibu dan kedua adik kembarnya menghentikan usaha sia-sia mereka sebelum keluarganya menjadi korban patukan ular-ular itu. Lebih baik Halilintar menahan diri dipenjara sampai bertahun-tahun daripada melihat keluarganya ikut terkena celakanya. Ia masih bisa bertahan. Halilintar itu tangguh dan kokoh diterpa celaka. Ia sudah terlatih mengigit lidahnya untuk tidak berkeluh-kesah.
Walau sekolahnya terputus, di rumah tahanan ia masih diberikan materi pelajaran oleh program pembinaan di sana dan Halilintar terus belajar karena hanya itu saja hal bermanfaat yang bisa ia lakukan. Saat kelas 3 SMA, ia pun mengikuti ujian kelulusan dari balik jeruji besi bersama beberapa tahanan remaja lainnya. Tak hanya masalah belajar, Halilintar bisa membela diri dari perundungan para tahanan lain dan dipandang sebagai tahanan yang disegani karena kelihaian Halilintar dalam ilmu pencak silat. Tak ada lagi yang berani mengeroyoknya atau berusaha menindasnya, semenjak hari pertama Halilintar sudah "menunjukkan" ia bukan tahanan yang bisa dijajah sesuka hati.
Lima tahun berlalu akhirnya Halilintar bebas. Kebebasannya disambut sukacita oleh ayah, ibu, Taufan dan Gempa—mereka mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumah mereka. Sayangnya kebahagiaan mereka menemui sedikit ganjalan. Halilintar tak bisa masuk perguruan tinggi karena sejarah kelamnya sebagai narapidana tapi Halilintar tak peduli—meski ia boleh mendaftar sekalipun, Halilintar memang tak mau kuliah karena ia merasa sungkan akan menyusahkan kedua orang tuanya setelah semua yang terjadi. Ia merasa sudah banyak menimpakan rasa sedih pada kedua orang tuanya dan kedua adiknya akibat kasus penusukan itu, ia tak mau menyusahkan mereka lagi. Setidaknya Halilintar ingin bekerja keras menyekolahkan kedua adiknya walau ia sendiri tidak sekolah. Biarlah menjadi penebusku, pikir Halilintar.
Namun sayangnya niatnya sulit terkabul. Hampir setahun Halilintar mencari pekerjaan yang sesuai, tapi selalu gagal dan terus gagal akibat masa lalunya sebagai narapidana—hingga pada suatu hari seorang teman sekolah masa SD-nya dulu, Fang, menawarinya pekerjaan sebagai petugas keamanan di perusahaan farmasi milik kakaknya, Kaizo Kanayama. Fang tersentuh hatinya melihat tekad baja Halilintar, maka ia merayu Kaizo habis-habisan agar Kaizo mau menerima Halilintar dan tidak mempermasalahkan status Halilintar sebagai bekas narapidana. Dua bulan Kaizo terus-terusan dibujuk oleh Fang, akhirnya pada suatu hari.
"Abang, Halilintar itu hanya menjadi kambing hitam. Bukan dia yang menusuk anak pejabat Bank Daerah Rintis itu, tapi anak pengusaha intan, mereka memang saling benci. Halilintar hanya berada pada tempat dan waktu yang salah," kata Fang untuk kesekian kalinya. Ia sedang duduk di sofa di ruang kerja Kaizo. "Berikanlah kesempatan Abang. Halilintar itu temanku, aku tahu sifatnya. Dia tak seharusnya masuk ke penjara."
Kaizo menghela nafas, lelah mendengar rayuan Fang yang sama. Kaizo baru saja tiba dari acara donasi di negara lain mengenai pemberian vaksinasi gratis dan serah bantuan kemanusiaan sebagai bentuk kerjasama politik. Kaizo selalu berada pada jadwal yang padat, ia tak mau meladeni yang tak ada hubungannya dengan pekerjaannya—tapi baru saja pulang ia sudah menemui adiknya sedang tidur-tiduran di ruang kerjanya sambil mengoceh hal yang sama. Kalau saja tak ingat wasiat mendiang ibu dan ayahnya, sudah Kaizo antar Fang ke panti asuhan terjauh yang ia tahu.
Kaizo melepas jas biru tuanya, memperlihatkan kemeja hitam yang membentuk postur tubuh. Ia tak mengatakan apapun, membiarkan Fang berbicara sesuka hati. Lengan kemejanya ia lipat hingga sebatas siku. Jemarinya menekan sebuah tombol di remote agar shutter pada tingkap kaca raksasa bisa turun sedikit untuk memberikan privasi.
"Sebegitunya kau ingin membantu temanmu? Kau tak pernah merengek sampai seperti ini," komentar Kaizo. Ia duduk pada sebuah kursi besar seraya melipat jemarinya. Matanya awas mengamati Fang, seolah penuh perhitungan dan siap menelanjangi tiap argumen. Fang sering menyebut pose Kaizo itu sebagai pose hakim sedang menghadapi terdakwa... tapi ia tak bilang begitu ke Kaizo, tentu saja.
"Iya, Halilintar itu orangnya agak pemarah, tapi ia sedikit bicara, pekerja keras dan tahan banting. Ia bisa tahan pada kondisi ekstrim," ujar Fang, berapi-api.
"Kau sedang menggambarkan temanmu atau seekor sapi?" tanya Kaizo, sarkastik.
"Bukan begitu," tepis Fang. "Abang tahu 'kan maksudku apa. Dia cocok sekali bekerja untuk Abang, sifatnya juga sesuai dengan etika kerja Abang. Dia hanya... terkena musibah. Aku tak tega melihatnya," gumam Fang, agak malu. Matanya ia alihkan ke arah kaca raksasa yang memperlihatkan pemandangan separuh kota dari puncak gedung pencakar langit ini. Jemarinya memilin ujung sofa beludru yang ia duduki.
"Tolonglah Abang. Sekali ini saja ya? Aku berjanji takkan meminta apapun lagi pada Abang," pinta Fang, memelas.
Kaizo mengerutkan alisnya. Memanglah Fang tak pernah meminta apapun padanya, Fang bukan orang yang meminta ini-itu dan keinginannya juga selalu sederhana. Tak hanya itu, Fang juga tak pernah membantah perintah Kaizo, ia selalu menurut apa kata abangnya. Karenanya Kaizo merasa agak aneh melihat Fang yang sangat penurut tiba-tiba merengek tanpa henti memohon, dan permohonannya bukan untuk kesenangan dirinya. Tabiat murah hati adiknya itu memang tak dimiliki Kaizo, tapi Kaizo juga lama-lama bosan mendengar ocehan Fang.
Kaizo menggumam kecil. Biar Fang diam dan tak menganggu ketenangan hidupnya lagi, lebih baik ia turuti saja. Kaizo lalu mengambil sebuah telepon di meja mahogani itu dan menekan beberapa tombol.
"Selamat sore, Tuan Kanayama. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sekretaris Kaizo tersebut dari seberang telepon.
"Shielda, beritahukan pada kepala HRD akan ada personel tambahan petugas keamanan. Terima dia, wawancarai dia dan jangan meminta surat dari kepolisian, biar adikku yang urus semuanya," titah Kaizo. Hati Fang melonjak senang mendengar percakapan itu.
"Baik Tuan Kanayama. Ada perihal lain yang Anda inginkan?"
"Panggilkan taksi untuk adikku, dia sangat menganggu," tutup Kaizo sambil menekan tombol end pada teleponnya. Wajah Fang agak memucat mendengar pengusiran abangnya itu. Ia cepat-cepat menyambar tas ranselnya dan buru-buru berdiri.
"Ehehehe, baiklah aku pergi sekarang," ujarnya. Ia lalu menghampiri Kaizo dan mencium pipinya dengan cepat lalu lari dari sana.
"Terimakasih ya Abang!" teriak Fang sambil keluar ruangan sebelum Kaizo sempat marah. Kaizo hanya mengusap pipinya yang basah terkena bibir adiknya, ia mulai menyesali keputusannya.
Sementara itu, Fang yang gembira langsung merogoh ponselnya dan menelepon Halilintar sebelum ia keluar dari gedung pencakar langit itu. Tak berapa lama ia perlu menunggu, Halilintar langsung mengangkat teleponnya.
"Halo, assalamualaikum," sapa Halilintar.
"Walaikumsalam," jawab Fang, kalem. Mendengar suara familiar itu, Halilintar menggeretakkan giginya menahan geram.
"Ternyata kau rupanya. Darimana kau tahu nomor teleponku?" tanya Halilintar, kasar.
"Aku minta dari Taufan," balas Fang, santai. Halilintar menggerutu. Buat apa Taufan beri nomornya ke Fang, rival lamanya? Dari SMA ia selalu adu urat dengannya dan Halilintar kurang suka dengan perangai Fang yang kerap merajuk tak jelas dan suka menyindir Halilintar. Mereka sering kejar-kejaran nilai olahraga dan nilai matematika—bahkan adu masak di pelajaran ketrampilan tangan. Pokoknya mereka selalu bersaing dan saling ejek, walau tak sampai ke tahap baku hantam. Halilintar benar-benar tak menyangka Fang menghubunginya.
"Maumu apa?" tanya Halilintar, sudah gatal ingin memblokir nomor Fang.
"Aku ada pekerjaan sebagai personel keamanan di perusahaan kakakku. Kau tertarik? Tak perlu surat kelakuan baik dari polisi," ujar Fang, penuh harap.
"Tak perlu, terimakasih," jawab Halilintar, hendak menutup telepon.
"Tunggu, tunggu, ini bukan mauku, tapi kakakku," ujar Fang, setengah berbohong. "Aku meneleponmu bukannya karena aku suka, tapi karena kakakku yang mau! Bisa-bisa dimarahi kalau aku langgar perintahnya," sungut Fang, berbohong lagi. Demi kebaikan Halilintar, sebab ego Halilintar yang terlalu tinggi itu takkan mau menerima bantuan.
Halilintar yang mendengar kebohongan Fang itu malah semakin tak yakin.
"Abangmu kenal aku darimana?" selidik Halilintar.
Fang jadi gerah. Mau dibantu saja susahnya minta ampun!
"Baiklah aku berbohong," ujar Fang. "Tapi itu karena aku perlu personel garang dan pintar bela diri seperti kamu! Ingat waktu sekolah, kau menang turnamen silat? Aku berusaha menyingkirkan rasa dendam aku ke kamu demi perusahaan, paham?" tambah Fang, defensif bercampur was-was.
Tiba-tiba teleponnya dimatikan oleh Halilintar tanpa salam. Fang tak terkejut rivalnya begitu, itu sangat Halilintar sekali. Malah aneh bila Halilintar langsung menerima bantuannya.
Akhirnya Fang menceritakan perkara itu kepada Gempa dan Taufan via aplikasi obrolan, dengan harapan kedua adiknya bisa membujuk Halilintar. Seminggu penuh dengan bujukan Taufan dan kata-kata lunak Gempa, akhirnya Halilintar luluh juga dan menerima tawaran Fang—sambil bersungut-sungut dan memaki-maki dalam hati tentu saja. Demi Taufan, Gempa dan kedua orang tuanya, mantra Halilintar dalam hati.
Maka begitulah kisahnya, Halilintar pergi hendak wawancara kerja dari Pulau Rintis ke Kuala Lumpur dan malah bertemu dengan sekelompok remaja yang tengah asyik menyiksa kucing. Akibatnya Halilintar terlambat, tapi ia putuskan saja tetap datang mengingat ia sudah berjanji pada kedua adiknya. Kemeja merahnya sudah berantakan, tapi Halilintar biarkan saja. Nanti ia rapikan setiba ia di lokasi.
Halilintar turun dari bus besar itu dan menatap ke gedung tertinggi di seantero Malaysia tersebut. Konon, perusahaan farmasi itu membeli sepuluh lantai dari gedung tersebut dengan harga fantastis. Tak heran kalau mau pamer prestise dan kekuasaan, batin Halilintar. Ia lalu memasuki pintu masuk utama dan melalui detektor logam. Semua barang bawaannya diperiksa ketat dan kemudian ia memasuki lobi utama dengan beberapa resepsionis berwajah cantik penuh senyum di belakang meja mengkilap bersih.
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?"
Beberapa resepsionis tersenyum-senyum melihat Halilintar, mereka berbisik-bisik. Halilintar mulai marah tapi ia tahan, mungkin mereka bergosip karena penampilan berantakannya yang habis berkelahi itu.
"Saya ada janji dengan Fang Kanayama," ujar Halilintar.
"Baik, nama Anda?"
"Halilintar."
"Mohon tunggu sebentar, silakan duduk terlebih dahulu," kata sang resepsionis. Halilintar lalu mendudukkan diri di kursi tunggu sementara resepsionis menelepon. Para resepsionis lain masih tersenyum-senyum ke arah Halilintar, membuat Halilintar merasa marah dan ingin menegur mereka tapi ia tahan. Gempa pernah menegur Halilintar akan sifatnya yang cepat panas dan Halilintar sadar akan kekurangan terbesarnya itu. Karena tabiat jeleknya ini pula ia tak memiliki teman, semua orang takut padanya.
Beberapa saat berlalu, sang resepsionis akhirnya menutup telepon dan berkata.
"Tuan Kanayama akan datang sebentar lagi, silakan tunggu di ruang duduk sebelah sana," arah si resepsionis sambil menunjuk sebuah pintu masuk besar terbuat dari kaca menuju ruangan luas berdesain nyaman. Jejeran kursi-kursi empuk rapi bersisian. Halilintar segera ke sana tanpa berbicara, ia semakin jengah dengan tatapan-tatapan para resepsionis tersebut. Dengan kasar, Halilintar menarik pintu masuk ke ruangan tunggu dan hampir menghempaskan diri ke kursi duduk tapi tak jadi. Ia berbelok ke arah toilet pria untuk merapikan bajunya. Halilintar hanya tak ingin dicap tak sungguh-sungguh mau kerja, sudahlah ia datang terlambat, penampilannya urakan lagi! Ia tak mau juga mengecewakan Gempa dan Taufan. Ia harus lolos wawancara ini.
Tak ada siapapun dalam toilet pria itu. Sepi. Sebuah kaca besar di westafel merefleksikan diri Halilintar—seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan, mata sewarna api, dan kemeja sewarna darah yang berantakan. Alisnya bertaut dan wajahnya gusar, walaupun parasnya manis namun ekspresinya pahit. Halilintar segera merapikan kemejanya, menyibakkan rambutnya dan berusaha merubah ekspresi wajahnya menjadi lebih ramah, seperti Gempa tapi tak bisa. Halilintar menyerah dan keluar dari kamar mandi.
Keluar dengan penampilan lebih rapi, Halilintar mendapati Fang tengah berbicara dengan seorang wanita paruh baya. Mereka duduk di kursi tunggu. Saat Fang melihat sosok rivalnya itu, wajahnya tampak lega.
"Halilintar! Kemari, aku kenalkan pada kepala HRD di sini..."
.
.
.
Halilintar duduk di bangku taman kota. Sebuah botol air mineral tergenggam di tangan kanannya, mata rubinya melirik pada jam merah-hitam melingkari pergelangan tangan. Telah pukul 1 petang dan ia baru saja keluar dari wawancara dan tes alot tersebut. Selesai tes dan wawancara, Fang mengajaknya makan siang di kafe bersama Kaizo tapi Halilintar tolak karena ia malas bertemu Kaizo dan duduk berlama-lama bersama Fang. Halilintar memang tak suka berbicara banyak dan ia juga tak suka interaksi yang ia rasa tak perlu.
Gempa pasti gemas dan berkata Halilintar menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan CEO perusahaan, namun Halilintar tetap tak ingin. Urusan kepegawaiannya hanya bersama HRD, seorang CEO takkan peduli dengan personel rendahan tamatan SMA seperti dirinya. Basa-basi bukan dalam agenda hidup Halilintar, buat apa ia ramah-tamah pada CEO yang sejam kemudian akan melupakan namanya karena sangat tak pentingnya dirinya?
Halilintar memutar tutup botol itu dan meneguk isinya. Datanglah seekor kucing loreng kotor dan mengeong di dekat kakinya. Halilintar merasa ada kesamaan antara kucing kotor ini dan dirinya—sama-sama berusaha mencari makan. Mungkin juga sang kucing memiliki tanggungan, seperti Halilintar.
Ia merogoh kotak bekal yang ada di tasnya dan membuka kotak itu. Tampak beberapa potong daging ayam di dalamnya lalu Halilintar memberikan semuanya. Kucing tersebut makan dengan penuh syukur sementara Halilintar mencicipi tongseng sayur buatan Taufan. Makanan ini sengaja dibungkuskan Gempa dan Taufan tadi pagi. Keduanya memasak dengan penuh semangat. Halilintar mengucapkan terimakasih yang singkat, tapi ia merasa terenyuh pula dengan sokongan kedua adiknya. Setidaknya mereka berdua selalu berpikiran positif pada Halilintar, walau Halilintar selalu gagal memenuhi harapan. Mereka tak pernah putus asa padanya.
Sedang asyik menikmati makan siang, tiba-tiba dari sudut matanya ia melihat kerumunan orang-orang.
Halilintar melihat ada konvoi mobil-mobil hitam dengan banyak personel polisi berjaga-jaga di sekeliling. Melihat pada plat salah satu mobil, Halilintar mengenali itu adalah plat anggota kerajaan. Dengan mata memicing karena silau, ia memerhatikan konvoi itu berhenti dan menunggu siapa yang keluar. Para wartawan tampak siap dengan kamera mereka dan kerumunan orang-orang mulai menyemuti daerah itu. Personel polisi berbaris rapi agar tercipta suasana kondusif dan agar siapapun bangsawan yang keluar bisa menjejakkan kaki dengan selamat tanpa ditarik-tarik oleh massa yang antusias.
Halilintar membereskan kotak makanannya yang sudah habis, sang kucing sedang membasuh mukanya dengan tangannya. Ia lalu beranjak dari sana dan menuju pasar dengan tenda berwarna-warni, hendak memenuhi pesanan Gempa membeli cokelat bubuk dan susu kambing. Mana dia peduli siapa bangsawan yang turun dari sana? Tak ada pengaruhnya. Mereka hanya membebankan pajak negara saja dengan gaya hidup mereka. Harusnya Malaysia tak usah memakai sistem monarki konstitusional layaknya Inggris, malah semakin banyak uang pajak rakyat yang dihabiskan untuk membiayai gaya hidup anggota kerajaan. Harusnya Malaysia menjadi republik saja, ujar Halilintar sambil terus berjalan ke arah barisan tenda-tenda pasar itu. Sekarang, ia pikirkan saja bagaimana mencari serbuk cokelat dan susu kambing di sana.
.
.
.
"Tunku Puteri[1], jalan telah berhasil diamankan," ujar ajudannya dari interkom. Sang putri tersenyum tipis.
"Baiklah, terimakasih."
"Suatu kehormatan, Tunku Puteri," balas ajudannya. Interkom mati. Sang putri lalu membuka pintu Jaguar tersebut dan keluar dari sana, puluhan kamera langsung sibuk memotret dan merekam kunjungannya dalam rangka mempromosikan pasar tradisional dan produk dalam negeri, agar rakyat Melayu memilih produk buatan sendiri. Ekonomi Malaysia di ambang kehancuran akibat hutang yang luar biasa besar pada China, jebakan hutang itu dapat membuat negara mereka bangkrut dan hancur diobrak-abrik kuasa asing. Yaya—sang puteri sultan—tengah berusaha membantu dan mempromosikan usaha dalam negeri agar tercipta kestabilan ekonomi lagi, agar masyarakat tak segan membeli produk lokal.
"Tunku Yaya! Tunku Yaya!" teriak beberapa orang. Yaya hanya tersenyum lebar, ia terus berjalan menuju arah pasar yang hanya tinggal beberapa meter diiringi personel polisi. Kerudung merah jambunya berkibar, panjang hingga perutnya. Bajunya tertutup dan sopan—baju kurung adat Melayu yang tidak ketat dan memperlihatkan lekuk tubuh. Riasan tipis memoles wajah dan bibirnya. Ia adalah putri anggun yang bisa menjaga lisan serta perbuatannya.
"Menepi, menepi! Buat jalan!" teriak para penjaga.
"Tunku Yaya, ayo foto sama-sama!" jerit seorang perempuan. Yaya tersenyum.
"Nanti ya, ayo kita berkumpul di sana," ajak Yaya, ramah. Sontak para penonton semua mengikuti Yaya seolah ratu lebah.
Sesampainya di sana, massa kecil berkemurun dengan para wartawan berada pada barisan depan. Yaya lalu memberikan pidato singkat mengenai pentingnya dukungan pada produk lokal dengan membelinya. Mereka sibuk hendak ekspor produk sendiri namun produk impor menggerus pasar, maka alangkah baiknya jika pertama-tama galakkan dahulu pembelian produk sendiri. Yaya juga bersama kementrian akan mencanangkan pinjaman tanpa bunga pada para petani dan sumbangan alat-alat pertanian agar produk mereka semakin berkualitas. Pidato singkat itu membuat massa yang hadir bertepuk tangan dan bersorak senang. Yaya lalu memulai tur menyusuri pasar itu diiringi penjaganya dan massa yang antusias ingin berswafoto bersama. Sang putri berencana akan memeriksa kondisi pasar dan membeli beberapa produk lokal sebagai bentuk apresiasi.
Sementara itu, Halilintar mulai jengkel sudah bolak-balik di bawah terik matahari mencari susu kambing. Mau apa Gempa minta susu kambing, mau luluran? Mungkin Gempa mengira di Kuala Lumpur Halilintar itu sekalian melancong dan plesiran, padahal Halilintar benar-benar tak peduli dengan suasana Kuala Lumpur dan hanya ingin segera pulang. Jarak yang sangat jauh bisa jadi membuat Halilintar menginap entah dimana, semacam berpetualang, tapi Halilintar bukan petualang. Justru Taufan yang senang menjelajahi tempat baru. Halilintar lebih suka menghabiskan masanya di Pulau Rintis dan berlatih pencak silat. Seharusnya Taufan saja yang seperti ini, gumam Halilintar sambil menengok-tengok ke setiap sudut mencari penjual susu kambing.
Tengah asyik melihat-lihat, tiba-tiba bulu roma Halilintar menegak. Ia merasakan ada sebuah tangan merogoh sakunya. Dengan sigap, ia tangkap tangan itu, membuat si pencopet kaget setengah mati. Halilintar berbalik badan sambil memelintir tangan si pencopet, matanya berkilat-kilat marah. Si pencopet mengaduh kesakitan.
"Berani kau ya?" ujar Halilintar, kian menguatkan pitingannya. Si pencopet berteriak kesakitan.
"Aduh, aduh, ampun Bang!"
"Enak saja, kau ini—"
"Jangan ambil uang saya Bang! Saya mohon! Anak saya lagi sakit!" teriak si pencopet sambil menangis. Halilintar marah dan menampar kepala si pencopet.
"Jangan sembarangan! Kau yang—"
"TOLOOONG! TOLONG SAYAAA!" jerit si pencopet.
"Diam kau!" bentak Halilintar sambil memelintir tangan si pencopet. Si pencopet menangis melolong keras sekali, para pengunjung pasar mulai berkerumun di sekitar Halilintar dan si pencopet. Wajah-wajah mereka tampak gusar melihat Halilintar menyakiti seorang tak bersalah. Secara sengaja, si pencopet memakai baju a la ustadz dan berkopiah, menyelewengkan imej Islam untuk menutupi kejahatannya. Ini sangat tidak menguntungkan Halilintar yang sekarang sedang dikerumuni warga yang marah.
"Wei, lepaskan dia, dasar tak bermoral!" seru seorang bapak paruh baya.
"Tunggu, dia yang—"
"Dia mau ambil uang saya, ya Allah," dusta si pencopet. Halilintar hendak membela diri namun seorang lelaki menghantam kepala Halilintar dengan tangannya. Daripada sakit, Halilintar malah terkejut lalu melepaskan pitingannya pada si pencopet. Si pencopet langsung kabur sementara kerumunan orang-orang mulai menghakimi Halilintar.
"Kamu masih muda tapi cari uang begini?"
"Memangnya orang tuamu tak mendidik apa!"
"Mau jadi apa sudah tua nanti!"
"Bukan aku! Dia itu pencopet!" sanggah Halilintar, ia benar-benar tak ingin berkelahi lagi dan berurusan dengan polisi!
"Sudah-sudah, ayo kita bawa ke pos polisi," lerai seorang emak-emak. Seorang lagi tampak gemas dengan Halilintar.
"Mana bisa, hajar dulu biar jera tak dibiasakan memalak orang!"
"Kalian ini benar-benar... pencopetnya sudah lari!" teriak Halilintar, geram.
"Alasan saja!"
Sekelompok laki-laki dewasa mulai menghujani Halilintar dengan tinjuan dan tendangan—Halilintar terpaksa membela diri dengan menghantam beberapa orang hanya untuk melumpuhkan saja, agar ia bisa melarikan diri. Ia sungguh-sungguh tak mau masuk penjara lagi. Dengan sekali tinju, seorang pria terjatuh tapi seseorang sudah siap mengayunkan sepotong kayu padanya. Halilintar menghindar dan ayunan kayu itu malah memukul orang lain. Maka pecahlah perkelahian di sana, antara Halilintar v.s sekawanan preman pasar.
Sementara itu, ajudan Yaya yang tahu ada perkelahian tak jauh dari sana bergegas memberitahu pada personel keamanan agar evakuasi sang putri ke mobil. Ia sendiri segera menggiring Yaya yang tengah asyik berbincang dengan penjual kain.
"Maafkan saya Tunku Puteri, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Tak aman."
Yaya agak terkejut mendengarnya, ajudannya—Sai—tampak sangat serius.
"Ada apa?"
"Ada perkelahian tak jauh dari sini. Mari, Tunku Puteri, saya antarkan," ujar ajudan yang berbadan tinggi tersebut.
"Ya ampun, sudah diamankan, Sai?" cecar Yaya, heran. Ajudan Sai hanya tersenyum tipis.
"Polisi sudah dihubungi dan secepatnya bertindak. Maafkan saya Tunku Puteri, cerita lengkapnya akan saya jelaskan nanti. Sekarang, mari ikuti saya," tuntun Sai. Yaya akhirnya menurut dan berjalan menuju mobil, diiringi Sai dan sebarisan pasukan keamanan.
Yaya merasa kecewa acara kunjungannya selesai lebih awal —tapi mau bagaimana lagi, itu protokol standar dan Yaya harus menurut apa kata ajudannya dalam situasi menyangkut keamanan. Yaya segera diamankan dan masuk ke Jaguar yang sudah menunggunya lantas pergi dari tempat itu. Sang putri duduk seorang diri di kursi paling belakang sementara Sai si ajudan berada di kursi depan Yaya. Mobil terus berjalan laju meninggalkan lokasi dan Yaya terus menyapu pandangannya.
Dari kejauhan, Yaya melihat ada segerombolan orang tengah dibekuk oleh polisi, mereka disuruh duduk dengan kedua tangan di tengkuk. Ada 10 orang di sana, beberapa berwajah sudah babak-belur dan berdarah-darah. Tanpa sengaja Yaya melihat seseorang yang agak mencolok dengan kemeja merah berantakan, rambutnya kusut masai dan bibirnya merah sekali karena darah. Yaya mengerutkan kening.
Ia seperti kenal wajah itu, tapi dimana ya? Anak konglomerat mungkin? Atau pengusaha muda? Yaya tak ingat tapi ia seperti merasa orang itu cukup penting. Seiring dengan menjauhnya mobil itu berjalan, sosok familiar tersebut juga kian memudar dari pandangannya. Yaya semakin berusaha mengingat siapa dia dan dimana ia pernah menemui wajah tersebut—beberapa detik kemudian Yaya menjerit kaget.
"Astaghfirullah, itu Halilintar!"
.
.
.
Taufan tengah menggaruk kepalanya yang tak gatal, tangan kanannya terselip pensil. Daritadi ia mengerjakan tugas kuliahnya tapi masih mengalami kendala. Di sebelah Taufan, tampak Gempa duduk santai sambil menggenggam sebuah buku tebal mengenai ilmu hukum, sesekali ia menandai sesuatu pada halaman. Taufan tak bisa bayangkan beban kuliah Gempa di fakultas hukum sementara Taufan yang di pendidikan saja sudah pusing setengah mati. Memanglah Gempa kuliah di bidang hukum karena Halilintar—Gempa tak mau ada kasus fitnah seperti Halilintar lagi. Taufan bangga dengan tekad adik kembarnya itu, tapi sayang walau mereka kembar kemampuan otak mereka juga tak kembar. Taufan menyayangkan ini.
"Kriiiiiiiiing!"
Taufan dan Gempa terlonjak kaget mendengar bunyi ponsel Taufan berdering. Taufan heran saat melihat nama Halilintar di layarnya. Ia segera mengangkat telepon itu dalam mod loudspeaker.
"Halo, assalamualaikum, Kak Hali! Kakak dimana?" tanya Taufan, setengah berteriak saking semangatnya. "Kak Hali nanti bawa oleh-oleh ya!"
"Oleh-oleh apa? Borgol?" gerutu Halilintar. "Aku sedang di kantor polisi."
"Hah?!" seru Taufan dan Gempa, terkejut.
"Kenapa bisa?"
"Apa yang terjadi?"
"Aku bukan jadi tersangka, tapi korban pengeroyokan dan penganiayaan," tukas Halilintar sambil menjilat darah yang meleleh di bibirnya. "Aku dituduh pemalak, tapi setelah aku diperiksa, aku dinyatakan tak bersalah dan jadi korban."
Mendengar Halilintar tak menjadi tersangka, Gempa dan Taufan sedikit lega namun perasaan lega mereka langsung berganti menjadi cemas ketika tahu Halilintar menjadi korban pengeroyokan.
"Kakak luka?" tanya Gempa.
"Hanya lecet saja."
"Lecet versi Kak Hali itu luka tusuk yang perlu jahitan," celetuk Taufan.
"Benarkah Kak Hali?" tanya Gempa, mulai panik. Halilintar gerah dengan segala perhatian yang ia rasa tak perlu tapi ia juga tak mau membentak kedua adiknya yang bermaksud baik.
"Gempa, ini memang lecet belaka. Hanya bibirku saja yang kena dan kepalaku benjol sedikit," Halilintar lalu menggumam kecil. "Maaf kemeja hadiahmu robek. Akan aku perbaiki nanti."
"Jangan pikirkan kemejanya, Kak, yang penting Kakak selamat," hibur Gempa.
"Uuh, jadi, kapan Kakak bisa pulang?" tanya Taufan. "Masih ada tiket?"
"Entahlah, mungkin hingga selesai pertanyaan," sungut Halilintar. "Masalahnya ini bukan perkara delik aduan, jadi mau tak mau harus terus diproses hukum."
"Memangnya Kakak berniat damai?" tanya Taufan, heran sekaligus takjub.
"Kalau bisa, aku tempuh jalur seperti itu agar cepat selesai! Bukannya aku maafkan mereka ya," ujar Halilintar, ketus. "Aku muak dengan Kuala Lumpur, aku mau cepat-cepat balik ke Rintis. Tapi aku sudah katakan, ini delik biasa bukan delik aduan, maka tetap harus diproses hukum."
Gempa dan Taufan menghela nafas kecil. Mereka jadi agak sedih juga kakaknya kesusahan. Keduanya lalu berpandangan.
"Baiklah, kita ke sana ya Kak ?" tawar Taufan.
"Jangan, ini hanya sebentar saja. Sehari juga selesai," kata Halilintar. "Aku tutup dulu. Salam buat Ibu dan Ayah, bilang aku terlambat pulang."
"Nanti kalau kemalaman Kakak mau tidur dimana?" tanya Gempa, khawatir.
"Tidur di masjid mungkin," balas Halilintar, setengah asal, setengah serius. "Tak perlu khawatirkan aku, aku ini sudah 21 tahun. Pulsaku mau habis ini, sudah ya."
Tanpa menunggu jawaban kedua adiknya, Halilintar memutus panggilan teleponnya. Bukannya ia tidak apresiasi perhatian kedua adik kembarnya, ia hanya tak ingin Taufan dan Gempa berlarut-larut mengkhawatirkan Halilintar. Sang kakak tertua juga malu sekali ia belum memberikan apapun pada kedua adiknya dan ayah serta ibunya, ia hanya mahir memberikan kesedihan dan masalah saja.
Halilintar mengantongi lagi ponsel lawas miliknya itu. Kalaulah ponsel itu canggih, mungkin ia bisa mengusir kejenuhan dengan membaca sesuatu, tapi ponselnya hanya bisa telepon dan sms saja.
Ia lalu beranjak dari ruang mushalla kantor kepolisian dan berjalan di koridor. Dengan malas-malasan Halilintar duduk menunggu seorang personel polisi di suatu ruangan. Sedang asyik berdiam diri, Halilintar dikejutkan dengan kedatangan orang yang tak ia kenal. Ia memakai setelan jas hitam berkelas dan penampilannya elok sekali. Wangi parfum mahalnya menguar lembut tanpa menusuk indra penciuman. Rambut cokelatnya tersibak dan tertata rapi, ia pria muda yang tampan. Tampilannya seperti eksekutif, berbeda dengan Halilintar yang berkemeja agak sobek, rambut berantakan dan wajah babak-belur.
"Selamat malam, apa betul ini Halilintar?" tanyanya.
Halilintar mengerutkan alis. Utusan Kaizo atau Fang-kah?
"Benar."
Orang itu lalu mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Halilintar. Kartu nama itu berdesain indah dan apik—menunjukkan status sosial yang tinggi. Halilintar merasa semakin aneh ada orang seperti ini mencarinya.
"Mau apa kau?" tanya Halilintar, ketus.
"Saya Sai, ajudan dari Yang Teramat Mulia Tunku Puteri Rania Abdul Aziz Shah binti Almarhum Al-Sultan Tuanku Al-Haj Mahmud Abdul Aziz Shah."
Halilintar bengong dulu. Sedetik kemudian ia meremas kartu nama Sai dan berkata.
"Penipuan apa ini, aku di kantor polisi juga akibat ditipu!" geram Halilintar. Ia berdiri dari kursinya dengan tangan terkepal siap meninju Sai. "Pergi kau dari sini sebelum kuhajar."
"Tunku Puteri sudah memberitahu saya Anda takkan percaya," kata Sai dengan kalem. "Memanglah Tunku Puteri tak dikenal dengan nama aslinya, tapi biasanya beliau dipanggil Tunku Yaya, beliau dahulu pernah sekolah di Pulau Rintis bersama Anda."
Halilintar mengerutkan alis. Kemarahannya menghilang, diganti kebingungan.
"Yaya itu siapa?"
.
.
Bersambung
.
Keterangan:
[1] Yang Teramat Mulia Tunku Puteri adalah gelar kebangsawanan seorang putri sultan Malaysia. Walau ff ini dalam bahasa Indonesia, karena gelaran ini adat sana maka saya memutuskan untuk tetap memakai ejaan sana juga. Mungkin kalau diterjemahkan menjadi "Yang Mulia Paduka Putri"
Saya gak tau ini nulis apa, tapi saya mau promosikan romance a la Islam. Semoga suka dan membuat para author terinspirasi juga menulis romansa khas Islam. UwU
Shaby-chan, ini untukmu~! Selamat berjuang di asramanya wahahaha~
Silakan tinggalkan saran, kritik membangun atau reaksi kalian ya! Sampai jumpa lagi!
EDIT:
Saya mengganti panggilan Puteri Yaya dengan Tunku Yaya karena lazimnya publik Malaysia memanggil anak perempuan sultan bukan dengan "Puteri X" tapi "Tunku X".