Hidupku sempurna. Tidak, bahkan ini lebih dari sempurna. Jauh di atas kalimat itu, tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Aku punya dua orang suami yang sampai detik ini masih terus memperdebatkan siapa di antara mereka yang paling kucintai dan mencintaiku. Aku juga telah dikaruniai sepasang putra-putri pintar, lucu, dan menggemaskan yang perkembangan pesat mereka setiap harinya membuatku diam-diam menangis agar waktu berhenti saja. Aku memiliki dua orang ipar yang kerap kujadikan panutan saat aku menghadapi masalah kecil dalam rumah tangga termasuk bagaimana caranya agar suami-suamiku, Chanyeol dan Sehun, berhenti mencemburui satu sama lain hanya karena aku khilaf lebih memperhatikan salah satu dari mereka. Tidak lupa, dua orang mertua yang mencintaiku dengan tulus seolah mereka adalah pengganti orangtuaku di dunia ini. Kurang sempurna apalagi? "Mo-mmy?" panggilan sehalus suara bocah malaikat di taman surga itu membuyarkan kekosongan kepalaku. Tangan mungilnya menarik piyamaku di bagian depannya. "Mau war-na?" gumamnya lirih sambil menatapku penuh harap dengan mata sebulat kelerengnya yang masih berkaca-kaca itu. Baekhee, putri jelita kami telah berusia tiga tahun sekarang. Ia nyaris sudah bisa berbicara dengan baik untuk ukuran balita, hanya saja, kupikir sifat Haowen yang tidak terlalu banyak berkata-kata sedikit banyaknya juga mempengaruhinya. "Ah, Baekhee mau belajar mewarnai lagi malam ini?" ulangku sambil membelai rambutnya lembut. Aku menghela nafas lega karena Baekhee yang seharian ini rewel dan hanya mau bermanja-manja di tubuhku akhirnya mau beraktivitas kembali. Gadis mungil itu mengangguk sambil menunjuk-nunjuk kotak mainan yang ada di dekat meja, "Oppa juga. Oppa juga warna~Baekhee juga mau warna~" "Haowen Oppa juga diajak mewarnai bersama Baekhee? Baiklah, duduk di sini sebentar, oke?" Aku menarik kotak mainan yang penuh krayon, pensil warna, kertas gambar, buku-buku bermotif yang bisa ia warnai sesuka hati, kemudian meletakkannya di dekat Baekhee yang kududukkan di atas permadani. "Mommy panggilkan Oppa dulu, ya?" "Ung!" Haowen ada di kamarnya. Lelaki kecilku itu sudah kelas satu sekolah dasar sekarang, dan tampaknya, dia sangat suka belajar. Segera setelah Haowen mengenal abjad dan fasih membaca, tak ada satu huruf pun di depan matanya yang tidak ia eja. Bahkan kami sering berhenti saat berkendara hanya untuk membiarkan Haowen selesai mengeja tulisan yang ia temui di jalanan. Kini toko buku adalah tempat favoritnya selain kamar. Sekarang ia juga lebih suka dibelikan buku-buku ketimbang mainan, meski yang ia baca masihlah buku dengan cerita bergambar. Awal yang baik, kan? "Tok-tok! Haowen?" panggilku dengan nada riang. "Mau menggambar bersama Baekhee?" Kupikir dia duduk di meja belajar seperti biasanya. Namun kursi kecil berwarna merah yang biasa ia tempati itu tampak kosong. Saat mata panikku bergulir mengedari kamar, pria kecil yang wajahnya persis Sehun saat masih kanak-kanak itu kudapati tengah meringkuk di ranjang dan ia langsung menyembunyikan kepala ketika melihatku. "Haowen?" Dahiku berkerut dan jantungku mulai berdebar tak karuan. Apa dia sakit? Apa seseorang menyakitinya? Apa Haowen habis menangis? Astaga, dia memang habis menangis! "Haowen, ka-kau kenapa, son?" Aku berpindah dari ambang pintu ke ranjangnya dengan langkah selebar yang kubisa. Begitu aku duduk di sebelahnya dan rambutnya kuusap panik untuk memastikan dia baik-baik saja, isak demi isakan mulai terdengar. Haowen jarang menangis, dan ketika ia melakukannya, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang terjadi. Tadinya kupikir karena dia punya masalah dengan anak nakal di sekolah, atau karena ia ingin dibelikan sesuatu namun takut untuk mengatakannya padaku. Namun ketika aku melihat sesuatu yang ia dekap di depan dada, saat itulah kelegaan sekaligus kesedihan menerpaku. Foto keluarga kami yang diambil beberapa hari setelah kelahiran Baekhee. Chanyeol berdiri di sebelah kananku sambil menggendong Haowen dan Sehun berdiri di sebelah kiriku dengan bayi Baekhee dalam dekapan. Aku sendiri berdiri di tengah dengan kedua tangan yang menggamit bahu suami-suamiku sambil tersenyum bahagia. "Haowen rindu Daddy dan Papa makanya sampai menangis seperti ini?" Kepalanya mengangguk dan perlahan ia beringsut ke pahaku. "Mommy~rin-du~" Aku menarik nafas panjang dan membiarkan putraku membasahi pahaku dengan airmatanya. Selagi dia menumpahkan emosi, aku terus membelai kepalanya tanpa henti sambil membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sudah hampir dua minggu ini hanya ada aku, Haowen dan Baekhee di rumah. Chanyeol, sang Papa sedang dalam perjalanan bisnisnya ke Belgia dan Sehun, sang Daddy, beserta tim dokter-nya tengah pergi ke Afrika untuk satu tugas kemanusiaan sebagai utusan dari Korea. Ini pertama kalinya kami ditinggal selama lebih dari tiga hari berturut-turut oleh mereka berdua. Awalnya kupikir kami akan baik-baik saja— —namun kerewelan Baekhee sepanjang hari dan tangisan Haowen menyadarkanku bahwa kami tidak baik-baik saja. Kalau anak-anak sedang tidak melihat, aku juga terkadang meneteskan airmata diam-diam karena tidak kuat menahan rinduku pada Chanyeol dan Sehun. Kami bertiga merindukan mereka, sangat. "Daddy dan Papa kapan pulang?" tanya Haowen dengan suara sengau. "Kapan Daddy dan Papa pulang ke rumah kita lagi?" "Segera. Mereka akan pulang segera, son. Bukankah kemarin kita sudah melakukan video call dengan Papa Yeoldan dia bilang akan cepat pulang sambil membawakan oleh-oleh untuk kita semua?" "Tapi-tapi Dad tidak pernah menelepon~ Apa Dad sudah lupa pada kita—seperti dulu?" Hatiku langsung berdenyut sakit seketika. Dad yang Haowen maksud adalah Oh Sehun, ayah kandungnya. Kupikir Haowen masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang pernah kami alami dulu, namun ternyata ia sudah tahu semuanya. Ia sudah mengerti kalau Sehun pernah tidak menjadi bagian dalam hidup kami, mungkkin Haowen takut hal itu kembali terjadi dan itu membuatku merasa sangat bersalah. Bukan Sehun yang ingin, tapi akulah yang dengan bodohnya pergi dari hidup lelaki itu. "Mommy? Apa Daddy benar-benar—" "Ssst, tentu tidak, Haowen." Aku cepat-cepat menyela kalimatnya. "Mungkin di tempat kerja Daddy tidak ada sinyalnya, jadinya dia tidak bisa menghubungi kita. Atau bisa juga ponsel Daddy terinjak gajah Afrika sampai rusak atau barangkali—" "—kota sedang diserang oleh Mysterio?" "Eh?" "Kota tempat Daddy bekerja sedang diserang oleh Mysterio dan Daddy tengah menunggu pertolongan dari Spiderman?" ulangnya dengan wajah benar-benar serius. "Iya kan, Mommy? Iya, kan?" Setelah berpikir beberapa detik, akhirnya aku mengangguk mengiyakan meski dengan senyum kaku karena ternyata persetujuanku itu membuat Haowen kembali riang. Ia bangkit dari ranjang dan mengambil komik-komik Marvel yang ada di rak bukunya. Aku terlalu sibuk mendengarkan Haowen yang di beberapa menit selanjutnya asyik menceritakan padaku tentang tokoh-tokoh yang ada di dalam komik hingga aku lupa pada anakku satunya lagi. "Astaga, Baekhee!" Namun kekhawatiranku tak beralasan. Aku dan Haowen berlari ke ruang bermain tempat aku meninggalkan Baekhee tadi dan menemukan malaikat kecil itu sedang sibuk berkonsentrasi pada kertas gambar dan krayon-nya. Dahi mulus di wajah imut itu berkerut sedikit dan setelahnya, ia tersenyum puas. "Syudah!" pekiknya bangga ketika kami tiba di sana. "Mommy, lihat gambar Baekhee! Lihat!" "Oh, Tuhan! Gambarmu indah sekali, Baekhee ya!" Ya, hidupku yang sekarang memang begitu indah. Persis seperti yang tertera di gambar khas kanak-kanak yang Baekhee pamerkan dengan bangganya di depan kami. Nyaris sama seperti foto keluarga yang tadi ditangisi Haowen, di dalam gambar buatan Baekhee tersebut kami berlima tampak begitu bahagia. Tak masalah karena kepala kami tergambar tak beraturan, atau badannya yang hanya berupa garis acak-acakan, itu semua tidak penting. Yang penting adalah hal yang ingin putriku sampaikan melalui karyanya. "Ini Daddy, ini Papa, ini Oppa, ini Baekhee, ini Mommy—" jelasnya penuh antusias. "Ini bintang, ini kupu-kupu, ini bunga—" "Baekhee ya~ kenapa kepala Oppa bentuknya kotak seperti itu?" rengek Haowen sedangkan sang adik hanya membalas dengan kikikan geli. Aku tidak sanggup mendengarkan ocehan Baekhee dan Haowen tanpa emosi menyesakkan yang memenuhi rongga dada dan airmata yang mulai menetes jatuh. Rasanya sangat haru. Anak-anakku memang masih kecil, tapi mereka sudah mengerti artinya sebuah keluarga. Mereka sudah paham kalau kami berlima saling mencintai dan menyayangi—dan tampaknya, ketidak-hadiran kedua ayah mereka saat ini membuat anak-anakku rindu setengah mati. Baekhee dan Haowen mendadak bungkam ketika melihatku berurai airmata. Hanya butuh sepuluh detik dan si bungsu ikut menangis keras sambil memelukku. Kubiarkan saja emosiku tumpah ruah, hingga tak sadar Haowen berinisiatif mengambilkan tisu dan meletakkannya di dekat kami, mengambilkan ponselku dari kamar dan mulai menelepon seseorang. "Papa!" "Hei, Jagoanku! Ini sudah malam, kenapa belum ti—" "Papa! Mommy dan Baekhee tiba-tiba saja menangis, Haowen tidak tahu bagaimana caranya menenangkan mereka! Bisakah Papa tolong Haowen?" Aku sempat mendengar nada panik di suara bocah sulungku itu. "Astaga! Baiklah, bisakah kau beri ponselnya pada Mommy, son?" Menit-menit selanjutnya, aku sibuk melakukan panggilan video dengan suami kesayanganku—maksudku satu dari dua suami kesayanganku—dengan mata yang mulai bengkak, bibir bergetar, airmata dimana-mana dan suara manja yang memang selalu muncul tiap kali aku sedih. Sumpah, ini tidak dibuat-buat karena memang di saat-saat seperti ini, yang kubutuhkan hanyalah bermanja-manja dengan kedua suamiku. Melalui sambungan telepon juga tidak apa-apa. "Jadi kau sangat merindukan kami sampai-sampai hanya karena melihat foto dan gambar saja sudah bisa membuatmu cengeng seperti ini, hm?" "Ung!" jawabku dan Baekhee secara bersamaan. Baekhee duduk di pangkuanku dengan bulir-bulir airmata menggantung di pelupuknya, "Baekhee rindu juga~" Chanyeol terkekeh, "Baekhee juga merindukan Papa?" "Ung! Rindu Daddy juga~" "Papa dan Daddy juga merindukan kalian, sangat!" Aku tahu Chanyeol juga sedang mencoba terlihat kuat di depan kami, tapi getaran di suaranya tidak bisa berbohong. "Papa janji akan pulang secepatnya, jadi, jangan bersedih seperti ini lagi, oke?" "Ung!" Setelah aku berubah tenang dan puas melampiaskan perasaanku, kubiarkan saja anak-anak gantian bercengkerama dengan sang ayah hingga hampir satu jam lebih. Padahal bertelepon dengan Chanyeol adalah hal yang selalu kami lakukan setiap hari, tapi tetap saja rasanya kami bagai sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. "Papa, Papa—tadi Baekhee menggambar kita, lho! Papa mau lihat?" Dari belakang, aku tersenyum kecil dengan hati yang terus berucap syukur. Haowen memang bukan anak kandung Chanyeol, tapi ikatan di antara mereka lebih kuat dari sekedar status kandung atau tidak. "Wah, bagus sekali! Nanti Papa akan belikan bingkai yang cantik dan kita akan menggantungkan gambar Baekhee di dinding. Maukah Haowen membantu Papa melakukannya?" "Ung! Haowen sudah besar dan tinggi, jadi Haowen saja yang akan menggantungkannya di dinding nanti!" "Itu baru anak Papa!" Selanjutnya, Chanyeol kembali memberi wejangan pada si sulung untuk membantu menjagakan aku dan Baekhee selama dia tidak ada. Lelaki itu juga mengiming-imingi kedua bocah kami dengan mainan, buku, krayon baru dan segala macam saat ia pulang nanti dengan syarat mereka tidak boleh nakal dan harus menurut padaku. "Baekhyuna, aku juga sangat merindukanmu." Sebelum panggilannya berakhir, Chanyeol sempat berbicara berdua saja denganku dan kali ini dia tidak bisa menahan airmata agar tidak jatuh. "Aku sangat merindukan kalian dan ingin cepat-cepat pulang, tapi perusahaan di sini sedang butuh bantuanku dan aku tidak bisa pergi sesuka hati." "Iya, Chan, aku mengerti. Ssst, jangan menangis, oke?" "Bagaimana mungkin aku bisa tidak menangis setelah tahu kalian di sana juga menangisi kami? Ah, apakah Sehun masih belum bisa dihubungi?" Aku mengangguk sedih. "Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja di sana. Dia itu seorang dokter dan di sana, ada ribuan orang yang butuh bantuannya. Kita hanya bisa mendoakan agar dia sehat-sehat dan bisa kembali segera, iya kan?" "Kau benar. Tapi—" Ting-tong! "Siapa itu yang datang, Baekhyuna?" "Entahlah, biar kulihat sebentar." Di antara rasa penasaran dan antusias akan seseorang yang membunyikan bel malam-malam seperti ini, aku dalam hati berharap Sehun akan ada di sana. Dia sering memberi kejutan, jadi, mungkin saja kan? Bukannya sosok tinggi dan tampan yang dua minggu ini kehadirannya benar-benar membuatku dilanda rindu hebat, yang kutemui di depan pintu adalah seorang wanita dengan wajah letih dan seorang balita yang tertidur di gendongannya. Ada tas besar diletakkan di lantai dan peluhnya bercucuran di sekitar wajah seolah ia baru saja menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai di sini. "A-apakah benar ini rumah Oh Sehun?" Mataku menelisik curiga, tak kupedulikan suara samar dari Chanyeol yang belum mematikan panggilannya. "Si-siapa?" "Aku Sejeong dan ini putraku, Sehwan. Dan kami—kami mencari—" "Appa?" Bocah dalam gendongan wanita itu terbangun dan kepala mungilnya menoleh kesana-kemari. "Appa ma-na? Appa? Appa!" Kakiku lemas dan ponselku yang masih terhubung dengan Chanyeol jatuh begitu saja ke lantai. "Ssst, Sehwana, tenanglah." Wanita itu tampak panik dan menepuk-nepuk punggung si bocah agar tidak membuat keributan dengan tangisannya. "Maafkan kami, Tuan. Anakku sedang sakit dan kami butuh bertemu dengan Oh Sehun secepatnya." Aku mencoba berpikir jernih, tapi tidak bisa. "Ke-kenapa kalian ingin bertemu Sehun?" desisku dengan emosi yang mulai merambat kemana-mana. "Kenapa kalian ingin bertemu SEHUNKU?" Perempuan dan bocahnya itu tersentak mendengar bentakanku dan langsung saja, si anak lelaki yang sepertinya berusia lebih muda dari Haowen namun lebih tua dari Baekhee itu terisak pelan di dada ibunya. "Appa~" bisik bocah itu lirih. "Sehun adalah ayah dari anakku, Oh Sehwan." — Belgium, 8th of July 2019