Dia sudah duduk di bangku itu lebih dari 45 menit. Tidak, hampir 1 jam. Menunggu dengan gusar—berharap dokter segera memberikan kabar terbaik sesuai dengan harapanya.
Matanya terpejam rapat. Kedua tangannya mengatup. Bibirnya tidak berhenti bergumam, merapalkan doa seingatnya. Disaat seperti ini, tersirat rasa sesal karena jarang mengunjungi tempat beribadah. Ah, tapi dia yakin Tuhannya akan mendengarkan setiap doa yang dipinta hambaNya. Betulkan?
Sudah sekian kali Akihito mengintip dari jendela kecil pintu ruangan PICU. Dua orang suster yang sedang berbincang pada meja jaga menoleh kearahnya. Tatapannya seolah bertanya ada yang bisa mereka bantu, karena itu Akihito kembali memilih duduk menunggu pada kursi besi yang ada di samping pintu.
"Takaba-san."
Akihito bangkit dari duduknya dengan terburu. Jantungnya berdetak cepat ketika dia bergegas menghampiri dokter. Wajahnya terlihat pucat dan kelelahan. Pasti karena sudah tiga hari dia tidak cukup istirahat juga makan makanan seadanya.
"Bagaimana—" Napasnya tersengal, sejenak dia berusaha sekuat tenaga untuk mengisi oksigen ke dalam paru-paru. Dicengkramnya dengan erat kedua lengan dokter dihadapannya."—Bagaimana keadaan Mirai?"
Menunggu jawaban dari dokter adalah hal yang paling dia benci. Bertaruh kemungkinan yang terjadi pada Mirai menyiksa batinnya. Kedua matanya membulat lebar. Ditatapnya dokter itu penuh harapan.
"Kondisinya sudah stabil. Kalau malam ini tidak ada masalah, besok pagi Mirai sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat inap."
Penjelasan singkat dari dokter membuat tubuhnya bergetar lega. Kakinya mendadak lemas, seolah seribu beban pada tubuhnya terlepas begitu saja secara bersaman. Akihito hampir menangis kalau saja dia tidak lupa ada dimana dirinya saat itu.
Akihito melepas genggamannya. Tangan kanannya menyeka keringat yang deras mengalir dari dahinya.
Oh. "Apa aku boleh menengok Mirai?"
Dokter itu tersenyum. Mengelus pelan pundak Akihito. "Tentu saja. Biar aku beri tahu suster jaga dulu."
.
.
.
Let's Write Our Story
Chapter 01
.
.
.
"Papa."
"Hm?"
"Hari ini aku menghabiskan sayuranku."
"Benarkah?"
"Yap! Termasuk wortel."
"Oh ya? Mirai hebat."
"Yap! Hehe. Tapi Papa…"
"Ya?"
"Kapan Mirai boleh pulang?"
Akihito berhenti membereskan bingkisan yang diberikan oleh teman-teman kelas Mirai. Matanya memandangi sebuah boneka beruang yang dihiasi pita biru muda pada lehernya. Tulisan 'Semoga lekas sembuh Mirai!' tertulis pada kartu ucapan yang terikat diantara pita.
Ditatapnya bocah polos yang menunggu jawaban dari papanya. Tubuhnya terlihat kecil dibandingkan ranjang rumah sakit itu. Tangan mungilnya dipenuhi selang infusan dan napasnya sesekali tersengal dibantu oleh oksigen tambahan dari selang kecil yang terpasang pada hidungnya. Meski begitu, Mirai tampak kuat dengan senyuman lebarnya.
Pipinya merona. "Aku sudah tidak sabar ingin bermain dengan Shiro!" Ujarnya bahagia.
Ah. Disaat seperti ini, Akihito akan selalu kalah dengan senyuman manis Mirai. Memang tidak adil rasanya. Kekeras kepalaannya bisa luluh begitu saja hanya karena senyuman seorang anak usia 5 tahun.
"Nanti akan Papa tanyakan dokter dulu, ya?" Akihito mengelus lembut tangan kecil Mirai. Digenggamnya penuh hati-hati kedua tangan itu. "Yang penting saat ini Mirai harus sehat dulu." "Mirai sudah sehat, kok. Lihat!" Dia mengangkat kedua lengannya. Menekuk berusaha menunjukan otot yang muncul, menunjukan seolah dia sudah benar-benar sehat. "Mirai kuat." Ya. Akihito selalu yakin Mirai itu kuat. Selalu yakin.
.
.
.
Awal Mei. 6 tahun lalu.
Akihito tergesa-gesa turun dari motor vespanya. Mengumpat saat helm merahnya terjatuh ketika ditaruh di atas jok motor. Dia sudah mengantisipasi kemungkinan terkonyol yang akan terjadi nanti.
"Aku tunggu kau di rumah. 30 menit dari sekarang, atau kau akan menyesal."
Sial.
Akihito berlari agak terburu-buru. Suara derap langkahnya menggema dalam lobi yang sepi. Sambutan selamat datang dari resepsionis dihiraukannya. Tatapan sinis sesama penghuni gedung apartemen itu tidak dianggapnya. Persetan dengan mereka semua. Akihito berjingkrak kecil saat menunggu lift itu naik mengantarkannya ke lantai 46. Cengiran lebarnya membuat tampangnya terlihat bodoh.
Ding. Dan dia kembali berlari menuju satu dari 3 pintu yang ada di lantai teratas itu. Akihito bersenandung iklan mie instan saat menempelkan kartu identitas penghuni pada kotak hitam depan pintu.
Dua matanya terbelalak kaget. Senyumnya makin lebar. Dia melepaskan sepatunya tidak sabaran. Dilemparnya tas selempang dan tote bag ke arah sofa, tidak perduli apakah mendarat dengan sempurna atau tidak.
"Wow." Ditatapnya penuh tidak percaya.
Ruang bersantai yang biasanya selalu kosong—hanya ada meja kopi, tivi yang terpasang pada dinding, dan se-set sofa besar—kini dipenuhi dengan balon hitam dan emas. Tidak kalah menonjol sebuah kue coklat yang berhiaskan banyak lilin, diletakan pada meja kopi itu.
Akihito mendekat. Dibacanya perlahan tulisan 'Selamat Ulang Tahun, Akihito' dituliskan dengan cream putih yang terlihat manis. Akihito membasahi bibirnya dengan lidah, tidak sabar rasanya ingin segera mencicipi kue itu.
"Ah. Kau sudah melihatnya." Akihito berputar cepat. Mendapati Asami keluar dari ruang kerjanya. Sudah terlepas setelan jas mahalnya. Hanya tertinggal celana kerja berwarna biru dongker dan kemeja abu-abu muda. "Aku berencana ingin mengejutkan mu."
"Well, kalau itu rencanamu, selamat kau berhasil."
Cengiran Akihito makin melebar membuat kedua matanya tertutup membentuk setengah lingkaran. Dia mendekati kue ulang tahunnya, harus membungkuk ketika mencolek bagian pinggir kue tersebut.
"Ganache, huh?" Masih membungkuk, Akihito menoleh kearah Asami yang saat itu mengambil sebuah botol wine dari koleksi heavy liquornya. "Ini juga rencanamu atau Kirishima. Ah. Biar kutebak sendiri. Pasti ini usulan Kirishima karena orang seperti mu tidak mungkin datang ke toko kue."
Akihito berpura-pura bergidik membayangkan Asami dengan perawakan seramnya datang membeli sebuah kue coklat di toko kue yang biasanya dipenuhi oleh ibu-ibu.
"50% benar, 50% salah." Asami meletakan dua gelas goblet di samping kue, lalu membuka tutup botol wine. "Aku meminta Kirishima membelikan kue ulang tahun untukmu. Apa jenisnya kubebaskan dia untuk memilih."
Mendengar penjelasan dari Asami, Akihito mengangguk. Diangkatnya kue coklat tersebut. "Tidak ada lagu ulang tahun?"
"Pft. Hanya anak TK yang melakukan itu." Jawab Asami menyindir.
"Demi Akihito tercinta?" Goda Akihito.
"Bagaimana setelah kau tiup lilinnya lalu kau bisa membuka hadiah dari ku?"
Akihito kembali tersenyum lebar. Asami membawa telapak tangannya berada di atas telapak tangan Akihito. Digenggamnya kedua tangan itu, meyakinkan Akihito apapun permohonan yang dipanjatkannya saat itu akan Asami kabulkan. Selalu dikabulkan.
Dia membuka kedua matanya, ditariknya napas dalam-dalam lalu dihembuskan sedetik kemudian. Memadamkan 10 lilin yang menyala di atas kue ulang tahunnya.
"Selamat ulang tahun Akihito." Bisik Asami pada telinga kanannya.
.
.
.
Getaran ponsel membuat Akihito terbangun dari tidurnya. Dia menoleh ke arah kiri. Mendapati layar ponselnya berkedip beberapa kali sebelum padam. Lagi-lagi dia ketiduran pada bangku yang disediakan di dalam ruang inap Mirai.
Layar ponselnya kembali berkedip. Dia menyapu mukanya agar kesadarannya kembali penuh sebelum meraih ponsel dari meja.
"Halo."
[Takaba-kun, bagaimana keadaan Mirai?]
"Dia sudah membaik. Saat ini berada di kamar rawat inap."
[Syukurlah. Ada kabar dia bisa pulang? Aku sangat khawatir saat kau mendadak ijin pulang dan bilang kalau Mirai pingsan.]
"Kalau tidak ada sesuatu yang buruk, lusa dokter sudah mengijinkan Mirau pulang." Akihito menghela napas panjang. "Maaf membuatmu khawatir."
[Tidak apa-apa. Aku mengerti. Mengenai cutimu, kau bisa kembali bekerja kapanpun kau siap.]
"Jangan." Akihito menjauhi ranjang ketika Mirai mengubah posisi tidurnya. "Aku akan segera masuk setelah Mirai pulang."
[Tapi Takaba-kun—]
"Tidak. Aku sudah banyak ijin belakangan ini. Aku tidak mau Boss juga marah kepadamu."
[Terserah kau kalau begitu. Tapi kalau terjadi sesuatu pada Mirai, aku akan segera menghubungi Boss. Paham?]
.
.
.
Malam itu, Akihito kembali tidak tidur. Dihabiskannya sisa malam sembari memandangi langit dari balik jendela. Matanya terlihat kelelahan, tubuhnya mulai menunjukan efek terlalu diforsir bekerja. Saat itu, Akihito kembali menyambut pagi dengan isakan tangis yang tertahan. Semua akan baik-baik saja. Ya. Semuanya akan baik-baik saja.
.
.
.
tbc.
