kimetsu no yaiba (c) koyoharu gotouge.

iv. 善逸 (zenitsu): goodness.

.

.

beberapa catatan.

i. "Dua hati bertaut dalam malam/Jatuh cinta/Tak pernah bisa saling memandang," merupakan sajak terjemahan dari salah satu novel grafis Chicken Soup for the Soul Hadiah Terindah berjudul "Pengorbanan Terbesar."

ii. Fanfiksi ini mengambil latar Kalimantan Selatan, tepatnya Kerajaan Negara Daha. Beberapa ketidakcocokan linimasa dan peristiwa sejarah yang bertebaran merupakan hal yang disengaja karena cerita harus berlanjut.


life is beautiful, and so are you.

.

.

.

Nama saya Nezuko. Saya lahir dan besar di daerah bernama Jaitan Layar di Borneo Timur. Tahu-tahu, saya terbangun di Kerajaan Negara Daha, wilayah selatan Borneo.

Mereka bilang saya ditemukan pingsan di dalam sampan, di hilir sungai, di tengah-tengah Pasar Terapung Barito, Pelabuhan Baru. Bagaimana bisa gerangan, saya tidak tahu.

Saya perlu istirahat sampai dinyatakan pulih. Setidaknya sampai saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam benak orang-orang kerajaan. Selama itu, sudikah kamu, siapa pun kamu, menjadi teman mengobrol saya?

Kata-kata ini saya ucapkan di waktu malam karena saya tidak bisa tidur. Ini saran tabib istana. Sudah empat hari ini saya menolak bicara. Ia menyarankan agar saya memejamkan mata. Bicara sendiri, membayangkan seseorang. Maka, inilah yang saya coba lakukan.

Suarakan balasanmu pada langit. Tabib istana bilang juga, bahwa semesta adalah sebaik-baik pengulur tangan.

.

.

.

i.

Kaigaku mendengus. Kesal saat menyadari bahwa bisa-bisa ia menghabiskan waktu selamanya tanpa berhasil membuat bocah satu itu peka kalau sedang dipandangi terus-menerus. Menyebalkan sekali. Ia berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki, mendekati si bocah. Ah, astaga, bocah itu masih belum peka-peka juga? Bahkan sampai ketika jarak di antara keduanya sudah dua depa! Kaigaku berdiri, berkacak pinggang.

"Hei." Kaigaku memanggil. Seruan itu diabaikan.

Bocah yang dipanggil—Zenitsu namanya—sedang duduk bersila di depan perahu setengah jadi. Tangan kiri memegangi paku, tangan kanan memegang palu. Sudah tugas bocah itu untuk melanjutkan pekerjaannya membuat sampan. Biasanya, Kaigaku menggergaji kayu di samping rumah sambil mendengarkan tok-tok palu dari halaman depan. Namun, pagi ini, suara itu terdengar lamban dan lamat-lamat.

Awalnya, Kaigaku hanya memaki-maki saja dalam hati. Akan tetapi, lama-kelamaan, karena jeda yang diambil antara satu tok dan tok selanjutnya semakin lama, Kaigaku kesal juga. Maka dari itu, ia menghentikan kegiatannya dan mengecek halaman depan. Ternyata si pemegang palu itu memang sedang melamun. Brengsek betul. Benar-benar pantas dilaknat!

"Hei!"

Panggilan kedua membuat Zenitsu terlonjak sampai-sampai palu yang dipegangnya jatuh. Ia menoleh ke arah Kaigaku, bola matanya melebar. "Y-ya?"

"Kenapa melamun, sih? Tinggal memalu saja, tugasmu itu. Memalu! Bukan melamun! Kamu nggak perlu menggergaji, nggak perlu menebang pohon, susahnya apa?" cerca Kaigaku bertubi-tubi, sementara bocah belasan tahun itu hanya menunduk saja, tidak berani memandangnya. "Merakit sampan tuh, aku bisa sebenarnya! Biar kamu ada kerjaan saja, makanya dibebankan tugas itu!"

Ia menunduk. "Maaf."

Kaigaku membungkuk, merebut palu yang tergeletak di tanah. Dibaliknya palu tersebut, dan persis saat Zenitsu mendongak, ia menempeleng pipi Zenitsu dengan ujung gagang palu. Sabetannya meninggalkan luka goresan kasar yang mengeluarkan darah. Lalu, palu itu dibantingnya. "Dirampungkan segera, dasar tidak berguna! Bisanya memperlambat saja!"

"Kaigaku."

Terdengar suara dari seseorang yang telah lanjut usia. Keduanya terperanjat, menoleh ke arah teras. Seorang kakek muncul di ambang pintu memandangi mereka berdua. Jigorou berdeham. Cuaca yang dingin selalu membuatnya sedikit batuk. Benar-benar merepotkan, tapi, apa yang bisa diharapkan dari angin pagi di hulu sungai? "Jangan terlalu kasar. Suruhan pangeran saja nggak pernah sekasar itu padanya."

Kaigaku mendecak. Ia berbalik, lalu melangkah menuju halaman samping. Hendak melanjutkan pekerjaan. "Ngomong-ngomong, Kek, sang pangeran kini sudah bergelar maharaja. Gelar pangeran sudah ketinggalan zaman. Kalau orang kerajaan dengar, pasti dianggap menghina. Ah, tapi, kalau yang berbuat kesalahan adalah bekas wazir, tentu akan dimaafkan, ya."

Dengan seenaknya, Kaigaku menghilang tanpa menunggu balasan. Jigorou sendiri tidak mengatakan apa-apa. Ia menghela napas, lalu menatap Zenitsu. Pemuda itu membalas tatap, kedua matanya berkaca-kaca. Meskipun awalnya ragu-ragu, ia bangkit dari duduk silanya, meninggalkan perahu yang masih dalam kerangka itu, berjalan ke arah Jigorou. Ia seperti punya sesuatu untuk dikatakan, tetapi terhalangi oleh rasa ketidakyakinannya sendiri.

Jigorou mengusap kepalanya. "Nggak apa-apa, Zenitsu, kalau kamu sedang nggak ingin mengerjakannya."

"Kek, aku boleh tanya sesuatu?"

Ia mengerjap, terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba diajukan itu. "Ya?"

"Apakah aku boleh ke Pelabuhan Baru?"

.

.

.

Nama saya Zenitsu. Saya perakit sampan yang tinggal di wilayah utara Kerajaan Negara Daha. Saya tidak tahu apabila ada kejadian seheboh itu di Pelabuhan Baru, tapi mungkin itu wajar karena kediaman saya jauh sekali dari pusat perdagangan. Sungguh jauh sekali. Terpencil.

Saya menemukan suratmu di dalam ember saat sedang mengambil air di pagi hari. Sekarang saya melakukan yang kamu lakukan. Saya memejamkan mata dan mengucapkan balasan saya. Entahlah. Kayak orang sinting. Tapi saya ikuti saja. Saya tidak punya bayangan akan sampai dalam wujud apa kepadamu.

Tapi, kalau pesannya sampai, saya mau berteman denganmu. Saya juga mau datang ke Kerajaan Negara Daha, kalau boleh.

.

.

.

ii.

Tentu saja tidak akan diperbolehkan, dasar bodoh.

Kamu meringis sendiri mengingat kebodohanmu. Kamu meneruskan langkah dengan ember kosong di tangan. Butuh waktu tiga puluh menit perjalanan—itu pun menggunakan jalan pintas—dari tempat tinggalmu menuju hulu Sungai Barito. Perlu melintasi sebuah kampung kosong dan hutan yang jarak antarpohonnya tidak sama; kamu dapat dipastikan akan tersasar kalau tidak memerhatikan goresan kapur pada batang yang dibuat Jigorou sebagai tanda di tengah-tengah perjalanan.

Dari kejauhan, derasnya arus telah terdengar di telingamu. Entahlah karena pendengaranmu sejak kecil telah tajam, atau arus Sungai Barito memang semakin lama semakin deras. Kamu teringat pertanyaan yang kamu ajukan pada Jigorou, bahwa kamu meminta izin untuk pergi ke Pelabuhan Baru (yang tentu saja ditolak). Tapi yang kamu ingat bukanlah kebodohan itu, melainkan Pelabuhan Baru yang kamu sebut.

Kamu telah sampai di tepi sungai. Berwadah ember di tangan, kamu mengisinya dengan air, sambil terus melamun.

Pelabuhan Baru adalah lokasi bandar perdagangan yang baru. Semenjak bencana banjir di daerah itu diramalkan, warga-warga mulai berkemas dan pindah. Kerajaan Negara Daha beradaptasi dengan perubahan itu, dan mereka memutuskan untuk memindahkan lokasi pasar terapung yang semula ada di hulu Sungai Barito menjadi ke bagian hilir. Di sanalah letak Pelabuhan Baru, lokasi Pasar Terapung Sungai Barito yang sekarang. Dari hulu ke hilir, paling-paling enam jam menggunakan sampan. Atau setengah hari menyusuri pinggir sungai.

Air di ember telah meluap. Padahal kamu tidak melakukan apa-apa, kamu hanya memiringkan embermu dan mencelupkannya menembus permukaan sungai. Arus begitu deras hingga kamu merasa bahwa ramalan bencana itu akan segera terbukti. Kamu mengangkat embermu, dan menumpahkan semua airnya kembali ke sungai. Ada secarik kertas yang menempel di dasar ember. Kamu melepasnya hati-hati, lalu membacanya.

.

.

.

Saya pikir, itu tidak apa-apa, apabila kamu sekonyong-konyong datang di gerbang depan Kerajaan Negara Daha. Katakan saja kamu ingin menemui saya: Nezuko. Nezuko dari Jaitan Layar, atau sekarang disebut Kutai Lama. Mereka tentu mengenali nama itu. Habis, kedatangan saya menggegerkan Pelabuhan Baru.

Terima kasih kamu membalas surat pertama saya, Zenitsu. Sungguh tidak bisa dipercaya. Suratmu mencuat dari perapian di waktu malam. Kalau begitu, kamu akan menerima pesan ini besok pagi, kan? Kita akan bertukar pesan sehari masing-masing sekali.

Tapi, Zenitsu, soal apa yang kita lakukan ini, apakah kamu meragukannya? Apakah sebenarnya alasanmu ingin menemui saya adalah, karena, kamu ingin membuktikan bahwasanya saya nyata?

.

.

.

Tulisan dengan pensil kayu itu terbaca jelas, kendati kertasnya basah dan lepek. Kamu memandanginya lama, membacanya ulang. Seandainya saja kamu bisa menceritakannya pada Kaigaku, tentu omelannya—mengenai ia melamun tadi pagi—akan diurungkan. Habis, kalau diperlihatkan keanehan seperti ini, bahwa ada secarik kertas muncul dari air mengalir, masuk tepat ke dalam embernya, siapa pun akan menghabiskan sebagian besar hari untuk melamunkannya, 'kan?

.

.

.

iii.

Gadis itu sedang duduk di kursi yang ia letakkan di depan perapian.

Sesekali ia berkedip, sesekali ia menarik napas panjang, tetapi yang jelas, ia tidak pernah memalingkan pandangnya. Melalui ekor mata, Nezuko tahu bahwa salah satu pelayan maharaja, Aoi namanya, memandangi terus-terusan dengan jengah, tetapi ia tidak peduli. Biar saja dianggap aneh. Nyatanya, kemarin Aoi juga takjub saat melihat secarik kertas mencuat dari perapian—

—seperti sekarang. Tahu-tahu, terdengar suara lambaian kertas yang terlipat-lipat, dan dari dalam api, secarik kertas meloncat keluar. Nezuko terlalu kaget sampai-sampai setengah kelabakan. Begitu menerima kertasnya, ia menoleh pada Aoi. "Kamu melihatnya?"

Aoi ternyata sedang terpana juga. "Ya," katanya. Ia mendekat. "Itu aneh. Tapi, sekarang setelah kertas yang kamu tunggu itu muncul juga, apakah kamu bersedia berbaring di kasur? Tubuhmu masih lelah, Gadis Kutai."

Nezuko mengangguk, dan berjalan menuju tempat tidur tanpa memandangi Aoi. Pelayan itu memindahkan kursi di depan perapian ke tempat semula, di samping ranjang. Dipandanginya Nezuko, gadis dari Kutai Lama yang baru bisa benar-benar bersuara tiga hari ini.

Sejak kedatangannya seminggu lalu secara dadakan di Pasar Terapung Sungai Barito, gadis itu dirawat secara intensif di Kerajaan Negara Daha. Sepanjang hari, kerjaannya diam saja. Makan dan minum sekenanya. Tapi tidak mau diajak bicara sama sekali. Seolah-olah mulutnya tertutup oleh batang bambu yang kedua ujungnya diberi tali, lalu diikat melingkari kepala.

Tetapi, semua itu berubah sejak tiga hari yang lalu.

Aoi meletakkan gelas dan teko berisi air di meja kecil samping ranjang. Nezuko sedang membaca tulisan itu. Kadang ia tertawa, kadang ia mengernyit—seperti sekarang—kadang ia menoleh padanya dan menanyakan kosakata ragam cakap tertentu, yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka, kelompok bawah. "Eh, Aoi, galah unjam itu apa?"

"Galah unjam itu galah pancang."

"Galah pancang itu apa?"

Astaga. Begini, nih, kalau seumur hidupnya belum pernah bersentuhan dengan perairan sungai. "Galah pancang itu galah yang dipancangkan, duh," jawab Aoi, berusaha keras menahan diri agar tidak kasar-kasar amat. Meskipun ia sudah dicap sebagai pelayan kerajaan yang galaknya bukan main, ia tidak boleh mempertahankan citra itu pada orang baru. "Kalau tempat tinggalmu di tepi sungai berarus deras, kamu butuh galah pancang untuk menambatkan sampanmu. Diikat. Biar nggak terseret arus."

Nezuko manggut-manggut, sama sekali tidak terusik dengan nada sengit Aoi. "Begitu, ya. Sebutannya galah unjam, ya."

Aoi berpikir sejenak. Kalau dipikir-pikir, galah unjam adalah istilah yang ia dengar saat ia kecil. "Nggak juga, sih. Orang-orang Kerajaan Negara Daha menyebutnya galah pancang. Setidaknya orang-orang hilir. Sepertinya yang menggunakan itu adalah mereka-mereka yang masih tinggal di bagian hulu."

"Hulu?"

"Ya, bagian hulu Sungai Barito. Sungai yang sama dengan sungai yang menjadi lokasi Pasar Terapung Sungai Barito, tapi di bagian hulu. Di ataaaas sekali," jelasnya. Aoi menuangkan air dari teko ke dalam gelas. "Bertahun-tahun lalu, saat aku masih kecil, pusat perdagangan ada di sana. Tapi arus makin deras, dan wazir kerajaan berkata bahwa akan ada bencana. Jadi kami semua pindah."

Aoi memandangi Nezuko. Gadis itu sedang sibuk membaca. Ingin sekali Aoi ikut melihat apa isi surat yang keluar dari kobaran api itu. Kata Nezuko, selama dua hari ini, ia telah berkirim surat dengan seseorang, dengan perapian menjadi perantaranya. Benarkah mereka benar-benar saling berinteraksi? Ia sungguh penasaran, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh sembarangan mengambil langkah. Surat itu adalah wujud yang punya kekuatan untuk membuat Nezuko jadi bersedia bicara. Salah-salah, fatal akibatnya.

"Kamu mau membacanya?"

Aoi tertegun. Ia buru-buru menarik diri. "Aku sejak tadi memandangimu bukan berarti karena aku penasaran dengan apa yang kamu baca!" katanya segera, mengucapkannya cepat-cepat.

Nezuko tertawa. Tawa kecil yang lembut. "Nggak apa-apa. Aku ingin kamu membacanya."

Jeda. Aoi ragu-ragu. Sungguhkah? Ia tidak yakin, tetapi akhirnya Aoi menerima surat itu.

.

.

.

Saya percaya kamu nyata. Saya mau ketemu kamu. Sebentar lagi sampan buatan saya jadi. Saya akan menggunakan sampan ini untuk menemuimu. Tapi, Nezuko, ada hambatan yang menghalangi saya untuk bisa ke Pelabuhan Baru. Saya lagi berusaha cari trik, sambil tetap merampungkan sampan saya.

Kalau nanti sampan saya sudah keburu jadi padahal hambatannya belum bisa saya usir juga, saya akan mencari galah unjam dulu untuk sampan saya. Pokoknya, kamu tunggu ya. Tinggal datang ke Kerajaan Negara Daha dan menyebutkan namamu, kan?

Terima kasih balasannya. Saya habis melalui hari yang nggak enak karena telah tidak becus melakukan sesuatu. Saya sungguh nggak berguna, dan bertemu denganmu adalah hal yang saya inginkan karena setidaknya hidup saya akan ada artinya.

.

.

.

"Sudah?"

Aoi diam sejenak. Lalu menyerahkannya lagi pada Nezuko. Awalnya ia bingung apa yang hendak dikatakan, tetapi dengan cepat ia memutar otak. "Sepertinya dugaanku benar. Siapa pun dia, dia seperti seseorang yang tinggal di bagian hulu. Bahasa cakapnya mirip dengan yang digunakan orang-orang tinggal di situ."

Nezuko memiringkan kepalanya. Ia kesulitan membayangkan bagian hulu itu di mana. Ia memejamkan mata. Rapat-rapat. Berusaha mengingat. "Tapi, tapi, kalau bagian hulu itu adalah bagian atas sungai, apakah itu artinya, aku datang dari sana?"

Aoi terperanjat.

Nezuko akhirnya mau mengatakan sesuatu yang memberi tanda bagaimana bisa ia sampai di sini. Dengan tegang, dipandanginya Nezuko. Gadis itu masih memejamkan matanya rapat, sebelah tangannya yang tidak memegang surat memijit dahi. Meskipun lirih, Aoi mendengarnya merintih. Ia tidak ingin mendengar rintihan itu lebih lama, sehingga diselanya segera, "Nezuko!"

Gadis Kutai itu tersentak. Menatap Aoi.

"Jangan memaksakan diri," kata Aoi akhirnya, pelan. Ia menyodorkan segelas air pada Nezuko. Ditunggunya gadis itu sampai isi dalam gelas telah habis terminum. "Ya, mungkin kamu berangkat dari hulu. Karena, sebagaimana yang diketahui semua orang, kamu tahu-tahu datang di Pasar Terapung Sungai Bariton dengan sampan. Tentu itu artinya kamu dari atas. Tapi, entahlah, bagaimana atau kenapa bisa. Dan kamu nggak perlu memaksakan diri mengingatnya. Sudah, itu saja yang perlu kita tahu dulu."

Tidak ada suara. Aoi mengambil gelas di tangan Nezuko, meletakkannya di atas meja. Lalu berlalu meninggalkan ruangan. Nezuko memandanginya.

.

.

.

iv.

Seminggu yang lalu, Kerajaan Negara Daha gempar.

Pagi-pagi sekali, saat para pedagang dan pembeli sedang memenuhi bagian hilir Sungai Barito, sebuah sampan datang dengan kecepatan tinggi. Sampan itu menubruk salah satu perahu milik pedagang buah, menyebabkan jeruk dan pisang dagangannya berlompatan dan tercemplung ke sungai. Guncangan itu merambat hingga ke seluruh perahu, mengakibatkan buah dan sayur-mayur yang dijajakan berantakan. Kondisi pasar begitu gaduh hingga terdengar oleh patroli kerajaan.

Warga-warga dan para pedagang sudah siap sedia untuk melampiaskan kemarahan mereka pada siapa pun biang keladi yang mengemudikan sampan sebegitu liar. Namun, amarah mereka semua lekas berganti menjadi panik ketika seseorang dalam sampan adalah gadis berwajah pucat, dengan pakaian kotor, tubuh penuh luka, dan dalam kondisi pingsan.

Gadis itu dibawa masuk ke istana.

Maharaja beserta jajarannya mengenali corak pakaian gadis itu sebagai motif khas orang-orang timur Borneo. Alhasil, mereka memperlakukannya dengan hati-hati: ia dibawa masuk ke kerajaan, dirawat dalam sebuah ruangan mewah, dan kabar mengenai keberadaannya disebarluaskan ke seluruh penjuru. Gadis itu pingsan seharian dan baru sadar keesokan paginya.

Seolah-olah ingin membuat situasi menjadi semakin rumit, ia tidak mau bicara selama tiga hari. Mereka baru mengetahui namanya setelah gadis itu buka mulut, memperkenalkan diri. Nezuko. Warga Jaitan Layar, atau sekarang disebut Kutai Lama. Setelah desa itu tertaklukkan oleh Kutai Kertanegara, daerah itu berganti nama dari Jaitan Layar menjadi Kutai Lama. Tebakan mereka, gadis ini lari dari kemelut perang itu. Pastilah ia salah satu orang yang menentang masuknya aliran Islam di sana, sehingga memilih kabur.

Tapi, hanya itu saja yang diketahui oleh mereka, pihak Kerajaan Negara Daha. Perihal mengapa gadis itu bisa muncul di Pasar Terapung Sungai Barito pada pagi-pagi buta, dengan sampan dan tubuh penuh luka, masih tidak ada yang tahu alasannya.

.

.

.

v.

Ini cerita dengan latar sebuah pendopo di atas awan.

Pendopo yang menjadi rumah tinggal dewa-dewi, tempat mereka mengamati kehidupan manusia-manusia yang berkelindan satu sama lain, mencoba bertahan dan melalui hari-hari di awal abad enam belas ini.

Kochou Shinobu berbaring, ia menghitung dengan jemarinya. "Ah, sebentar lagi burung punai itu akan datang. Punai yang membawa pesan Nezuko. Kira-kira, seperti apa pesannya, ya? Terakhir, si laki-laki itu berpesan bahwa ia pasti akan datang ke Pelabuhan Baru, kan, dan meminta si gadis untuk menunggu? Benar-benar bikin penasaran, ya."

Kedelapan dewa-dewi lainnya, yang tersebar di pelataran pendopo, tidak mengatakan apa-apa. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada yang sedang duduk bersila, berbaring sepertinya, bersandar pada tembok sambil meluruskan kaki ... Shinobu menoleransi itu selama beberapa saat, sampai akhirnya ia menolehkan kepala, ke arah dewa dalam wujud seorang pria, yang posisi duduknya menghalangi pandangan Shinobu untuk melihat langit lepas.

"Benar-benar bikin penasaran, ya, Tomioka-san?"

Tomioka Giyuu tidak mengatakan apa-apa. Ia duduk bersila dengan tangan menyilang.

Shinobu makin melebarkan senyumnya. Ciri khas apabila terjerembap dalam situasi yang membuatnya naik darah: ia akan terus menyunggingkan senyum. "Apakah kamu bersedia menggeser posisi dudukmu, Tomioka-san? Maaf ya, kalau itu artinya aku bosan memandangi punggungmu terus. Tentu aku tidak bermaksud begitu."

Giyuu tidak berkutik. Shinobu selalu berhasil memancing kekesalannya, tetapi untuk kali ini, ia harus menghemat energi. Sebagaimana yang dikatakan Dewi Serangga itu, sebentar lagi burung punai datang dan memberikan tugas untuknya. Spesifik untuknya, sebagai Dewa Air.

Terdengar isak tangis dari Himejima Gyoumei. Kebiasaan sang Dewa Batu kalau tiba-tiba merasa emosional. Shinobu mendengkus, lalu memosisikan tubuhnya duduk. Diedarkannya pandangan. Uzui Tengen, Dewa Bunyi, sedang mondar-mandir di depan pendopo. Ia pasti diam-diam bersemangat dengan proyek kecil-kecilan yang sudah memasuki hari keempat ini. Dewa Angin, Shinazugawa Sanemi, sedang mengobrol dengan Dewa Kobaran Api, Rengoku Kyojurou. Entahlah apa yang mereka percakapkan, tetapi Shinobu yakin bahwa itu takkan bertahan lama.

Sementara itu, Tokito Muichiro sedang tidur—seperti biasanya kalau tidak ada kerjaan ... atau, merasa tidak ada kerjaan. Sebagai Dewa Kabut, dia tidak berkompeten dalam tugasnya, mengingat kabut-kabut dalam jumlah tak terkendali masih suka dikeluhkan banyak orang tiap pagi. Kemudian, sisanya adalah dua sejoli yang mengusulkan proyek ini, si Dewa Ular dan Dewi Cinta, Iguro Obanai dan Kanroji Mitsuri. Mereka sedang mengobrol, seperti Shinazugawa dan Rengoku, tetapi Shinobu yakin sampai besok pun keduanya masih betah.

Kesembilan dewa-dewi ini adalah mereka yang punya kemampuan untuk mengendalikan sesuatu, sesuai kapabilitas mereka. Itulah yang mereka lakukan semenjak dunia ini terbentuk. Tetapi baru-baru ini mereka merasa bosan. Dan mereka membuat permainan untuk menyambungkan dua manusia di Borneo. Dua manusia lintas kerajaan, dan juga lintas dimensi waktu.

Terdengar kepakan sayap dan pekikan burung punai—burung khas Borneo Selatan. Tak salah lagi. Burung itu memasuki pendopo, membuat semua dewa-dewi menghentikan aktivitasnya segera. Ia itu memekik, mengeluarkan suara yang dapat dimengerti mereka bersembilan sebagai bahasa burung.

"Saya membawa pesan dari Nezuko!"

"Dataaang!" Mitsuri menjerit. Kedua matanya berkilauan, seolah ada gambar hati di dalamnya, sebagaimana selalu seolah ada gambar hati bertaburan di sekelilingnya setiap kali ia bersemangat.

Burung itu berhenti di depan Giyuu yang sudah menyiapkan kertas dan pensil. Inilah saatnya, kemampuannya menyimak dan menulis diuji. Burung itu akan mengulang kata-kata Nezuko di dalam ruangan yang didengarnya dari luar jendela. Semua itu dilakukan si punai atas perintah sembilan dewa-dewi itu. Lalu, Giyuu akan menyalinnya dalam kertas.

Sebagai Dewa Air, surat itu akan sampai pada Zenitsu saat pemuda itu sedang mengisi penuh ember di tepi hulu Barito.

.

.

.

vi.

Saya akan menunggu. Tapi mungkin waktu saya terbatas, Zenitsu. Saya masih bisa tinggal di kerajaan ini karena saya perlu memulihkan diri. Kata tabib kerajaan, saya masih dalam kondisi syok. Tapi, itu tiga hari lalu sebelum saya disarankan membayangkan bicara dengan seseorang.

Jadi, saya sudah jauh lebih baik dari tiga hari lalu. Tapi saya masih butuh istirahat. Mungkin, sampai datang harinya ketika saya sudah bisa mengingat bagaimana bisa saya di sini. Atau mungkin saat tabib istana datang mengecek keadaan saya.

Untuk pertama kalinya, saya berani menunjukkan isi surat ini pada seseorang. Ia pelayan kerajaan, namanya Aoi. Katanya, bahasa yang kamu gunakan mirip seperti orang-orang yang tinggal di kampung hulu Barito. Dan, hulu Barito itu wilayah utara Kerajaan Negara Daha, jadi, apakah kamu memang dari sana?

Tapi, bukankah kampung hulu Barito sudah tidak ada orang? Aoi berasal dari sana. Katanya, semua penduduk pergi setelah muncul ramalan datangnya bencana dari seorang wazir kerajaan.

.

.

.

Surat itu ada dalam genggaman Jigorou. Jigorou mengangkat kepala, dan menatap Zenitsu yang takut-takut memandangnya. Hari masih pagi sekali, Zenitsu habis kembali dari sungai untuk mengambil air. Ia memang biasa melakukannya tiap pagi, tapi biasanya setelah bekerja, jadi tidak sepagi ini. Kini Jigorou mengerti kenapa. Ia menyipitkan mata. Kertas itu masih basah. Tapi tulisannya tercetak dengan jelas.

Aneh dan ajaib.

"Jadi ..." Jigorou mengulangi cerita Zenitsu. Ia terbatuk, lalu berdeham. Dipelankannya suara agar tidak membangunkan Kaigaku. "Kamu surat-suratan dengan seorang gadis yang sekarang ada di Kerajaan Negara Daha? Lewat surat dengan perantara air? Dan kamu membalasnya dengan ... bicara?"

"Dia juga membalasnya dengan bicara, Kek," jawab Zenitsu. Ia menggaruk belakang kepalanya. Suaranya gemetar, antara ketakutan dan juga tidak sepenuhnya memercayai suaranya sendiri. "Aku biasanya membalasnya selama memperbaiki sampan. Bicara sendiri kayak orang sinting. Lalu, Nezuko akan menerimanya dalam bentuk surat."

"Sudah berapa lama?"

Zenitsu tergagap. Di antara banyaknya jawaban yang telah ia siapkan, ia tidak memperkirakan pertanyaan itu. "Itu balasan ketiga. Aku hanya bisa menerima suratnya tiap pagi, saat aku ke hulu Barito untuk mengambil air," katanya, sedikit patah-patah karena gugup. "Dan Nezuko akan menerimanya di malam hari ketika perapian dinyalakan."

Dilihat dari mana pun, itu tidak masuk akal.

Jigorou masih belum memasang ekspresi berarti, tetapi bocah di hadapannya menarik pelan lengan bajunya, menuntunnya hingga keluar dari pintu, berhenti di teras depan. Jigorou menatap Zenitsu yang sedang memandang lurus-lurus entah ke mana tepatnya, lalu dilihatnya ia memejamkan mata.

Zenitsu menarik napas panjang. Mengembuskannya. Dan, ia mulai bicara.

"Sampan saya sudah hampir jadi, Nezuko," ujarnya. Suaranya serius dan hati-hati—belum pernah Jigorou dengar sebelumnya—seolah-olah si Nezuko yang dibicarakan ini benar-benar ada di depan mereka. "Semoga saja bisa tepat waktu, ya. Terus, sesuai tebakan pelayanmu, iya, saya tinggal di hulu. Dan, ya, kampung memang sudah kosong karena semua orang sudah minggat, tapi saya masih di sini. Dan untuk pertama kalinya juga, saya menunjukkan ini kepada kakek saya. Jigorou. Ialah bekas wazir kerajaan yang meramalkan bencana di hulu Barito. Balasan ini saya ucapkan di depan dia. Untuk membuktikan kalau interaksi kita sungguh-sungguh ada. Semua itu dalam usaha saya agar diperbolehkan ke Pelabuhan Baru ..."

.

.

.

vii.

"Pegaaaal!"

Shinobu tertawa.

Rengoku, Dewa Kobaran Api yang bertugas untuk menyalin kata-kata Zenitsu, memutar-mutar tangan kanannya. Di hadapan mereka bersembilan, burung kukulai—burung hantu khas Banjar—akhirnya selesai juga mengoceh seolah-olah tanpa henti. Apabila burung pinau membawa pesan Nezuko, burung kukulailah yang datang dengan pesan Zenitsu. Dan kegiatan menyimak dan menulis ini berjalan dua menit, sampai-sampai Rengoku perlu menyambar lembaran kertas baru. Meskipun begitu, berbeda dengan Giyuu yang mengeluh, Rengoku terlihat bersemangat sekali.

Ia mengacungkan dua lembar surat itu. "Selesai!" katanya dengan senang. "Ah, menegangkan sekali. Rasa-rasanya, emosi keduanya yang berkobar-kobar tersampaikan dalam surat-surat mereka!"

Terdengar suara isakan. Semua saling lirik. Himejima Gyoumei menangis lagi. Sepertinya Dewa Batu itu sangat mudah tersentuh.

Setelahnya, Rengoku mengeluarkan percikan api dari tangannya. Api itu menjalar, membakar dua lembar kertas di tatakan kayu yang menjadi alas pendopo. Sekejap saja dua lembar itu hangus menjadi abu. Dengan kemampuan dewa yang dimilikinya, dua kertas itu akan mencuat dari perapian di ruangan Nezuko.

"Sampai kapan kita akan melakukan ini?" tanya Muichiru.

Shinobu menoleh kepadanya dan tersenyum. "Sebentar lagi, sebentar lagi," katanya, dan sebenarnya ia merasa tak perlu memberikan informasi karena mereka semua toh telah mengetahui hal itu. (Dan sebenarnya Muichiru juga tidak perlu bertanya.) "Sayang sekali karena hanya sebentar, tapi, sebagaimana kita, mereka pun juga sudah cukup bersenang-senang, 'kan?"

Tidak ada yang mengiyakan.

Giyuu menatapnya. "Apakah kamu akan turun, wahai tabib istana?"

Shinobu awalnya tak ingin menjawab. Susah payah ia menahan diri, tapi akhirnya ia meloloskan balasan, "Aku sudah janji dengan si pelayan untuk menemuinya lagi."

.

.

.

viii.

Tawa itu masih sesekali terdengar.

Aoi bahkan sampai lupa berkedip. Nezuko tertawa.

Beberapa kali ia sudah melihat Nezuko tertawa, tetapi itu hanya tawa kecil, dan tidak seperti sekarang. Di tangan Nezuko ada dua lembaran kertas, semuanya penuh dengan tulisan. Dari situ saja, ia sudah tertawa sambil berseru, "Ah, banyak sekali!" dengan riang. Aoi teringat saat kali pertama ia melihat Nezuko: pucat, lemah, tanpa daya. Sekarang, raut kekanak-kanakan gadis itu mulai terlihat. Warna di wajahnya mulai tampak hidup. Rona merah di pipinya pun nampak.

Ia sengaja mengambil jarak aman, kalau-kalau Nezuko memang butuh lingkaran personal untuk bisa menyelesaikan surat itu dengan nyaman. Ia berdiri beberapa langkah dari pintu. Sementara Nezuko duduk di depan perapian, senyum tidak terhapus dari wajahnya.

Aoi sudah berpikir untuk meninggalkan ruangan itu, tapi Nezuko telah selesai membaca. Dan ia mengajaknya bicara. "Aku ingin sekali ketemu dia!" serunya—membuat Aoi tertegun lagi. Ia bisa merasakan keantusiasan yang nyata dari kata-kata itu. "Dia ceriwis sekali, Aoi. Sampai makan dua lembar, lho."

"Ya," jawab Aoi, sesaat bingung mau membalas apa. "Ya, aku bisa melihatnya."

Nezuko berdiri dan berjalan menuju tempat tidurnya. Aoi dengan sigap mendekati perapian untuk mengembalikan posisi kursi ke tempat semula. Bahkan dalam perjalanannya, Nezuko masih memandangi surat itu. Ia melanjutkan, "Intinya dari surat ini adalah, ia akan berusaha untuk kemari. Ke sini."

Aoi sedang memindahkan kursi saat membalas ucapan Nezuko, "Cuma itu intinya, dari surat sepanjang itu?"

Terdengar tawa lagi. "Ya! Sepanjang ini. Dia ceriwis soal sampan buatannya, soal kakeknya, soal tempat tinggalnya. Padahal dia nggak seharusnya membuang waktu untuk melakukan itu. Dia bisa menceritakannya saat kami ketemu."

Aoi menaruh kursi, berbalik badan untuk memandang Nezuko. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi, bertentangan dengan kehendaknya, ia tersenyum.

Menyenangkan melihatnya.

Nezuko pasti tidak tahu seberapa khawatirnya ia di empat hari pertama, ketika gadis Kutai itu benar-benar tidak mau diajak bicara. Menolak makan. Kerjaannya tidur, atau menatap ke arah jendela. Aoi sampai kehabisan akal, meskipun ia sendiri tidak berperan untuk mencari siasat. Itu adalah tugas tabib kerajaan.

Dan, tabib kerajaan itu melakukan tugasnya dengan baik.

Aoi masih mengingat jelas hari itu.

Tabib kerajaan, Shinobu namanya, memang hebat. Malam itu, saat Nezuko tidak lekas tidur juga, Shinobu memasuki ruangan dengan penuh keyakinan, seolah-olah tahu apa yang harus ia lakukan. Didekatinya Nezuko tanpa ragu, sementara gadis itu menunduk menatap selimut yang menutupi kedua kakinya. Mungkin sebenarnya gadis itu sedang tidak menatap apa pun, meskipun kedua matanya membuka. Kosong. Tersesat.

"Nezuko, lihat aku," ujar Shinobu. Saat itu, Aoi berdiri di ujung tempat tidur. Ia melihat Shinobu mengangkat tangannya, lalu dengan lembut mengarahkan dagu Nezuko agar terangkat, menatapnya. Gerakan itu perlahan, dan penuh sabar, dan berhasil. Ia mendapat perhatian gadis itu.

Shinobu tersenyum. "Aku tahu kamu nggak ingin bicara dengan siapa pun di kerajaan ini. Cobalah untuk pejamkan mata. Dan bayangkan kamu bicara dengan seseorang. Apakah kamu percaya uluran tangan semesta, Nezuko? Semesta akan mendengarkan kata-katamu, dan meneruskannya pada seseorang yang tepat. Kalau kamu memercayainya, kamu akan dapat pesan balasan itu."

Setelah mengatakannya, Shinobu berlalu, mendekati Aoi, dan berkata padanya, "Aku akan datang empat hari lagi." Aoi mengangguk. Sejujurnya, saat itu, ia masih sangsi apakah saran Shinobu akan berhasil. Namun ia tidak mengutarakannya, semata-mata atas dasar kesopanan terhadap seorang tabib kerajaan.

Beberapa menit setelah Shinobu meninggalkan ruangan, dan Aoi juga hendak pergi, ia dikejutkan dengan suara Nezuko. Suara yang jernih, meskipun masih lirih dan samar. Gadis itu bicara sambil memejamkan mata.

"Nama saya Nezuko. Saya lahir dan besar di ..."

Dan, setidaknya bagi Aoi, saat itulah semua bermula.

.

.

.

ix.

Semua bermula empat tahun lalu, bagi Jigorou.

Pada saat itu, ia—yang masih menjabat sebagai wazir Kerajaan Negara Daha—telah memantapkan tekadnya. Waktu itu, ia masih belum setua dan selamban sekarang, dan meskipun jarak empat tahun itu tidak terlalu lama, tapi otaknya masih mau diajak berpikir. Dokumen dan laporan cuaca yang telah dikumpulkannya meninggalkan kesimpulan bahwa curah hujan makin lama makin tinggi.

Apabila demikian, Pasar Terapung Barito tidak akan dapat beroperasi lebih lama lagi. Ia segera menyampaikannya pada pangeran. Tentu saja hal itu merupakan tindakan yang berani dan nekat, karena usulan itu dianggap sebagai bentuk kekhawatiran semata. Usul itu ditolak dengan alasan terkesan sewenang-wenang, dan dengan semudah itu, jabatan wazir dicabut begitu saja.

Akan tetapi, para pedagang di sana juga menyadari perubahan cuaca itu. Lambat laun, secara berangsur-angsur, lokasi pasar yang awalnya persis di bagian hulu sungai, makin lama makin bergeser turun. Pihak kerajaan menyadari pula hal itu, dan setelah rapat, jejeran istana memutuskan untuk memindahkan lokasi pasar langsung ke bagian hilir Barito. Keputusan yang berani itu membuat pangeran yang bertahta, Mangkubumi Muzan, mendapat gelar maharaja.

Bersamaan dengan penobatan itu, suruhan maharaja mendatangi kediamannya yang saat itu telah menjadi bekas wazir. Perintah absolut diturunkan. Surat itu ditulis sendiri oleh maharaja dan bersifat rahasia, yang dalam penulisannya tidak diperlihatkan pada siapa pun. Bahwasanya, Jigorou dan garis keturunannya tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di Pelabuhan Baru sampai bencana banjir sungguh-sungguh menimpa hulu Barito.

Selama empat tahun ini, Jigorou berpikir bahwa itu tidak adil.

Ia yang mengusulkan hal itu, dan disebabkan oleh keegoisan dan keangkuhan pihak kerajaan, ia yang justru dicabut dari jabatan dan dilarang pindah sampai bencana banjir datang.

Tetapi, kini, yang menimpa Zenitsu lebih tidak adil lagi.

Pemuda itu tidak salah apa-apa, tidak melakukan apa-apa. Ia ingin pergi ke Pelabuhan Baru, memasuki Kerajaan Negara Daha, untuk menemui seseorang dari Kutai Lama yang sedang menjalani pemulihan di istana. Dan Zenitsu tidak bisa melakukannya karena terseret pelanggaran yang ia lakukan.

Dihadapannya, Zenitsu mengusap air mata. Jigorou sudah hafal sifat bocah itu yang sebenarnya tidak berani-berani amat, sedikit-sedikit menangis, selalu takut menghadapi apa pun, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengkhawatirkan hal-hal yang memenuhi kepalanya. Tapi, saat dilihatnya Zenitsu menunduk untuk berkata, "Tapi, Kek ... mungkin, mungkin, aku akan tetap berusaha pergi," seperti ada sesuatu berdesir dalam diri Jigorou.

Jigorou mengarahkan pandangannya ke bawah. Ember tergeletak kosong di dekat kaki Zenitsu. Beberapa menit lalu, pemuda itu berangkat untuk mengambil air, dan datang secepat kilat dengan napas berkejaran. Pikirannya penuh, membuatnya tak bisa membuang waktu untuk sekadar mengisi ember lagi dengan air dan membawanya hati-hati. Dua lembar kertas tergenggam di tangan kanannya.

Itu pesan terakhir Nezuko.

.

.

.

Terima kasih pesannya. Saya ingin kamu tahu bahwa saya tertawa membacanya saat itu, tetapi saya tidak bisa menyampaikan kesan saya karena tidak ada waktu untuk itu.

Zenitsu, barusan tabib kerajaan datang menemui saya.

Ia senang saat melihat bahwa saya sudah bisa bicara. Tapi, saya belum membuat kemajuan soal ingatan saya, kenapa saya bisa tahu-tahu muncul di Pasar Terapung Barito. Ia menawarkan saya pilihan. Apakah saya ingin mengingatnya atau tidak.

Saya bisa saja membiarkannya lupa, dan tetap bersenang-senang di sini. Kata Aoi, daerah saya sudah menganut Islam. Dan itu lain sama sekali dengan aliran saya sebelumnya. Mungkin saya bisa ada di sini karena diri saya di masa lalu lari dari semua itu. Mungkin ia justru senang karena saya yang sekarang bisa lupa. Mungkin itu hal bagus.

Tapi saya ingin mengingatnya. Dan itu yang saya katakan. Tabib kerajaan memberikan saya obat racikannya. Ia bilang, itu bisa membuat saya mengingatnya dalam mimpi. Malam ini, saya akan tidur, saya akan tahu, dan keesokan paginya saya akan membuat keputusan, akan ke mana saya.

Kamu akan menerima pesan ini besok pagi kan? Kamu takkan sempat.

Kita akan memutuskan dalam waktu yang sama.

Jangan mempertaruhkannya.

.

.

.

x.

Semua bermula empat bulan lalu, bagi penduduk Jaitan Layar.

Jalannya negosiasi cenderung mengarah pada kegagalan. Perwakilan dari pusat Kutai Kertanegara pulang dengan tangan kosong. Kedatangan mereka kesekian kalinya adalah untuk membujuk warga desa menganut aliran Islam. Pertemuan ini merupakan kontak antara perwakilan kerajaan dan kelompok kecil dalam desa tersebut yang bermaksud untuk menolak.

Nezuko ada di dalam ruangan itu.

Ia mendengar kakak laki-lakinya, Tanjirou, berbicara dengan lantang. "Kami tahu bahwa pusat mengumumkan kalau aliran baru ini diterima dengan damai. Menurut kami, hal itu tidak benar!"

"Anak muda, kamu tahu apa? Itu penghinaan!"

"Justru bagi kami, itu yang menghina namanya. Kami terang-terangan tidak menerima itu, jadi, damai dari mananya?"

Ia selalu datang di setiap pertemuan, sebagai salah satu dari pionir yang memulai pergerakan. Namun, pertemuan malam itu berbeda dengan sebelumnya. Pertemuan itu berakhir dengan penuh nada tinggi, dan menyisakan kesan dingin menusuk kulit.

Malam itu adalah kali terakhir proses kekeluargaan diusahakan. Setelah itu, minggu demi minggu setelahnya tidak ada negosiasi lagi yang dilakukan oleh kedua kubu. Butuh waktu beberapa bulan bagi pihak kerajaan sampai akhirnya secara bulat mereka mengirim penyusup untuk menuntaskan orang-orang yang berada di balik kemudi perlawanan ini. Secara tiba-tiba dan tanpa suara, seorang demi seorang menghilang.

Mereka dilenyapkan.

Kakaknyalah yang mendapat firasat bahwa sebentar lagi perburuan atas mereka dimulai. Olehnya, Nezuko diminta mengepak barang untuk berkemas meninggalkan desa. Keduanya menyelinap di antara hutan-hutan. Nezuko tidak tahu ke mana mereka harus pergi. Yang ia tahu, Tanjirou selau berkata, "Selatan. Kita ke selatan."

Nezuko terkesima mendengar itu. Saat itu di malam hari, Tanjirou kembali mengatakannya lagi. Bahwa mereka harus ke selatan. Tidak ada detail selanjutnya, tetapi Nezuko membayangkan bahwa daerah selatan di Pulau Borneo ini pastilah masih ada kerajaan yang mau menerima mereka. Nezuko yakin itu. Mungkin, kakaknya lebih yakin lagi.

Ia melewatkan menghitung hari. Siang dan malam terus berganti dan Nezuko tidak peduli.

Barangkali masih lama, barangkali sebentar lagi.

Ia sadar bahwa napasnya mulai menipis, wajahnya mulai memucat, atau tubuhnya mulai mudah letih. Sama halnya dengan kakaknya, makanya ia tidak mengeluh. Mereka terus berjalan, sesekali berhenti untuk beristirahat apabila menemukan buah-buahan kecil yang tumbuh di semak-semak. Nezuko berjalan dengan melihat punggung kakaknya, dan tahu-tahu, malam itu, Tanjirou tiba-tiba berhenti berjalan.

"Nezuko, kamu dengar itu?" bisiknya.

Sebenarnya, Nezuko ingin lekas menjawab tidak, karena ia memang tidak mendengar apa-apa. Tetapi, dicobanya menajamkan pendengaran. Ia memejam. Sayup-sayup ia mendengar suara aliran air dari kejauhan. Dibukanya mata. "Apakah ada sungai?" tanyanya.

"Sungai?" Tanjirou menoleh ke arahnya, mengerutkan kening. "Nggak, aku nggak mendengar itu. Yang kumaksud adalah suara langkah kaki—"

Bersamaan dengan itu, Nezuko mendengar derap lari beberapa orang makin keras. Keduanya menoleh ke arah yang sama. Dari kejauhan, meskipun samar karena gelap, berkat bantuan cahaya bulan, mereka berdua dapat melihat beberapa orang berlari mendekat.

Tanjirou siaga dengan kayu panjang yang dari tadi dipegangnya, berbisik. "Nezuko, lari!"

Jantung Nezuko berdebar keras. Ia tidak langsung menjawab. "Aku—"

"Ini sungguhan, lari!" Tanjirou meninggikan suara. Sejurus kemudian, sergapan datang dan kakaknya terlibat dalam keroyokan. Nezuko melangkah mundur, sadar bahwa para pengeroyok itu belum menyadari keberadaannya. Ia ingin membantu. Tapi ia tahu bahwa ia akan kalah dalam pertarungan satu lawan satu. Pengeroyok itu kira-kira ada tiga atau empat orang. Masing-masing di antara mereka membawa bambu runcing. Mereka tak segan-segan membuat keributan karena takkan ada yang bisa mendengar sengitnya perkelahian di tengah hutan.

Nezuko menggeritkan gigi. Ia membungkuk, mengambil sesuatu, lalu, "Hei!" teriaknya sekeras mungkin, membuat perkelahian terjeda, dan perhatian teralihkan karenanya. Nezuko melempar sebongkah batu yang ia pegang, mengenai salah satu kepala pengeroyok itu. "Tangkap aku kalau bisa, kalian mengincarku juga kan!"

Tanjirou karuan saja panik. Nezuko dapat merasakan kekhawatiran dalam jumlah besar, saat kakak laki-lakinya meneriakkan namanya. Ia tidak peduli. Apabila kakaknya rela mengorbankan nyawa untuk melindunginya, maka ia pun juga sama.

Nezuko berbalik badan dan berlari. Ia mendengar suara salah satu pengeroyok itu berkata, "Dia orang terakhir dalam daftar. Tangkap dia juga!" dan ada teriakan, "Jangan!" dari Tanjirou, tetapi sekalipun kakaknya berusaha, tak mungkin ia dapat benar-benar mampu menahan semua pengeroyok itu. Nezuko mendengar derap langkah mendekat, mengejarnya.

Degup jantungnya berkejaran. Ia menyadari penglihatannya mulai kabur. Kedua kakinya yang telah lemas sejak lama sebenarnya tidak cocok untuk berlari, tetapi ia harus memaksanya. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, tetapi ia terus berlari. Lari, lari, pokoknya lari.

Ia mendengar suara arus sungai makin keras.

.

.

.

xi.

Semua bermula empat minggu lalu, bagi dewa-dewi dalam pendopo.

Entah sejak kapan tepatnya, tetapi mereka bersembilan sedang kelewat bosan. Bukan karena tidak ada kerjaan. Perang dan segala kecamuknya memang masih ada, dan sepertinya tidak dapat dihentikan semudah jentikan jari, tapi, biar bagaimanapun juga, hidup toh begini-begini saja. Biasa. Manusia akan punya mimpi, lalu dalam proses pendewasaan mereka, mereka akan mengorbankan mimpi itu sebagai ganti hal lain yang lebih berharga. Ekspektasi bertemu realita dan terpaksa takluk olehnya. Cerita lama.

Mitsuri menepukkan kedua tangannya. "Aku dan Obanai ada ide hebat!"

"Yaaay!" Shinobu yang pertama kali antusias. "Jadi, Tomioka-san akan kita apakan kali ini?"

"Oi." Giyuu memprotes. Selalu saja begitu. Sudah cukup ia menjadi korban keisengan.

Dewi Cinta itu menyampaikan idenya. Ide untuk menyambungkan dua manusia melalui sebuah surat, dengan menggunakan dewa-dewi sebagai perantaranya. Dua manusia itu akan membalas pesan dengan cara bicara, kemudian mereka dapat mengutus seekor burung untuk menguping pesan itu dan menyampaikannya pada mereka. Permainan sederhana yang takkan merugikan siapa-siapa.

Uzui menggumam, lalu bertanya, "Bagaimana cara membuat mereka mau percaya kalau dengan bicara kayak orang sinting bisa merupakan pesan bagi orang lain?"

Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat.

"Mungkin kita perlu membuatnya jadi bermakna! Walaupun sedikit. Tapi, bermakna!" Rengoku mengepalkan tangannya bersemangat. Sebagai Dewa Kobaran Api, bukan hal yang aneh apabila ia selalu berapi-api setiap waktu. "Misalnya, dua orang yang sejak kemarin kamu lihatin terus-terusan itu, Shinobu, yang sedang berusaha menyelamatkan diri dari hutan."

"Ah." Giliran Shinobu yang menepukkan kedua tangannya kini. Senyumnya terbawa hingga ke kedua matanya. Sejak awal, ia memang menyemangati kakak-beradik Jaitan Layar yang berusaha menerobos hutan itu. Dari atas pendopo, ia bisa bertepuk tangan dengan riang sembari melihat dua bocah manusia terengah-engah menaklukkan hutan. "Maksudmu, mungkin proyek ini bisa menyelamatkan mereka?"

Giyuu mendekatkan jemari tangannya ke dagu. Berpikir. Ide itu bagus juga. Semua diam-diam merasa tidak nyaman melihat Shinobu dan hobi buruknya yang menonton hidup-mati seseorang dengan senyum bermain-main di wajah saking bosannya, jadi sebisa mungkin dihentikan segera. "Pesan seperti apa yang bisa membuat penyelamat datang ke sana?"

Semua berpandangan.

Belum ada yang menerima usul Mitsuri, tetapi melihat jalannya diskusi, ada kesepakatan-kesepakatan yang otomatis berlaku. Pertama, mereka akan mengaplikasikan ide ini. Kedua, mereka akan membuatnya menjadi punya makna. Dan ketiga, mereka akan menargetkannya untuk penyintas Jaitan Layar yang kini sedang melintas hutan.

Tahu-tahu, Shinobu menggandeng Mitsuri. "Tenang saja!" ujarnya, dengan senyum intimidasinya yang biasa. "Para gadis ini yang akan memikirkan caranya. Dewi Cinta pasti bisa diandalkan!"

Giyuu menelan ludah. Mitsuri sebagai Dewi Cinta memang bisa dipercaya, tapi kolaborasi dengan Shinobu si pemilik sifat jelek itulah yang membuatnya menjadi mengkhawatirkan.

.

.

.

xii.

Semua bermula empat hari lalu, bagimu.

Pada pagi-pagi sebelum pagi itu, kamu menyusuri kampung kosong dan hutan untuk mencapai hulu Barito. Kamu mengisi air seember, kembali ke kediaman, dan menuangkan itu di guci air depan rumah. Selesai menuangkannya, ada selembar kertas menempel di dasar ember. Sebuah pesan dari seseorang bernama Nezuko, yang mengirimkannya dengan bicara sendiri pada langit.

Awalnya kamu tidak percaya.

Tapi, untuk membela diri: mana ada yang percaya?

Namun, kamu telah kehilangan kepercayaan pada apa pun juga: kemampuanmu merakit sampan, kemungkinan kamu akan dapat diandalkan Kaigaku, bahkan keyakinanmu untuk dapat membuat bangga Jigorou. Kamu cukup banyak mengacau, dan kamu merasa sendiri, jadi, apa pun yang membuatmu merasa punya arti, akan kaulakukan. Termasuk apabila itu artinya kau perlu memasrahkan kata-katamu pada uluran tangan semesta.

Keesokan paginya, kamu menemukan balasan. Dari orang yang sama, Nezuko namanya. Ia membalas seperti telah mendengar kata-katamu. Katanya, pesanmu masuk lewat perapian. Kata-kata yang kauucapkan tertuang dalam bentuk tulisan dan sampai melalui perapian. Perapian! Kamu tak tahu bagaimana bisa kau dengan ringan menerimanya, mempercayainya.

Sepertinya, semesta sedang kurang kerjaan sampai-sampai mau bekerja sekeras itu.

Balasan baru datang keesokan paginya. Nezuko bercerita bahwa ia membiarkan salah satu pelayan membacanya. Itu memberimu keberanian untuk mengutarakannya pada Jigorou. Sekaligus membuatmu mengoceh sebegitu banyak sebagai balasan.

Baru ketika kamu hendak benar-benar menikmatinya, pesan yang datang setelah itu adalah pesan terakhir. Informasi bahwa Nezuko akan pergi. Atau tepatnya, sudah pergi. Nezuko berkata bahwa ia memilih untuk mengingat semuanya, bahwa ingatan itu akan ia gunakan dalam penentuan keputusan mengenai ke mana ia akan pergi besok pagi. Atau tepatnya, pagi ini.

Ah.

Kau habiskan banyak waktu merenung di teras depan. Dan kalau sedang memasuki labirin pemikiran, kau takkan menyadari hal-hal di sekitarmu. Kau tak menyadari kalau Kaigaku muncul dari halaman depan, mendekatimu. Kau baru kembali tersadar saat pemuda itu menjitak kepalamu.

"Oi! Katanya mau pergi?"

Refleks, kamu mendongak dengan tangan memegangi kepala. Kaigaku ada di hadapanmu. Hari telah malam. Sebelah tangan pemuda itu terkepal, dan tangan yang satunya lagi memegang kapak. Bola matamu membesar. Kapak.

"Nggak usah kaget begitu." Kaigaku menukas, seperti membaca pikiranmu. Kapak itu ia sodorkan. "Kamu nggak kaget apa, sampan rakitanmu sudah nggak ada di halaman depan?"

Kamu berdiri. Kau begitu terkejut seperti kena sambaran petir. Halaman depan kosong melompong. Pagi tadi, kau telah berhasil menyelesaikan sampanmu. Seharusnya kamu memanfaatkan waktu sepanjang sore untuk menyeret sampan itu ke hulu Barito dan menambatkannya menggunakan galah unjam. Tapi sekarang sudah malam, dan kau begitu sibuk melamun hingga tak sempat melakukan apa pun—

Terdengar tawa Jigorou. Kau menoleh. Kakeknya muncul juga dari halaman depan. "Kamu begitu asyik melamun sampai nggak tahu kalau aku dan Kaigaku menggotong-gotong sampanmu dan menambatkannya."

Kamu memandangi kapak di tangan Kaigaku yang masih belum kauterima juga. Kamu menengadahkan kepala. Kaigaku tidak tersenyum, ia masih memasang tampang jutek yang penuh keinginan untuk membunuhmu kapan saja. Bukan tidak mungkin apabila kau berkedip dan kapak itu digunakannya untuk menyabet kepalamu.

Tapi, masih dengan tampang mengerikan itu, ia berkata sengit, "Aku sudah dengar semua dari Jigorou. Sana, tantang bahaya yang kaumulai sendiri. Mari kita buktikan seberapa jauh kamu bertahan, penakut."

Kamu masih terlalu terkejut untuk meresapi itu semua. Tapi kamu tersenyum. Kapak itu kauterima, dan kamu berlari meninggalkan keduanya. Menembus perkampungan. Menerobos hutan. Sebentar lagi kau akan mendekati hulu Barito, di mana di sana ada sampan rakitanmu yang sudah tertambat. Kamu akan menaikinya, kamu akan memutus tali tambatan dengan kapak di tanganmu, dan kamu akan benar-benar berangkat.

Kamu akan benar-benar berangkat menemuinya.

Seperti pesan yang kaukirimkan tadi pagi.

.

.

.

Nezuko, mungkin pesan ini tidak akan sampai padamu. Malam nanti, kertas ini akan mencuat di perapian dalam ruangan kosong. Tidak ada yang di sana karena kamu sudah pergi paginya. Seperti yang kamu bilang, kita akan membuat keputusan yang sama. Jadi, bersamaan dengan keputusanmu melancong entah ke mana, saya juga membuat keputusan menemuimu.

Saya akan pergi saat hari telah gelap. Saya akan ke sana.

Mungkin kamu sudah pergi, tapi saya akan tetap ke sana.

.

.

.

xiii.

Zenitsu menarik napas panjang. Menahannya. Mengembuskannya.

Mau secepat apa pun berangkat, mau sederas apa pun arusnya, ia tetap baru sampai di Pelabuhan Baru besok pagi. Tepat sehari setelah Nezuko bilang ia akan pergi. Apakah gadis itu sungguhan telah pergi tadi pagi? Apakah pesan yang ia kirimkan sungguhan tidak sampai? Bagaimana kalau mereka tidak bertemu, dan ia berakhir dikurung di sel bawah tanah karena pihak kerajaan telah sadar kalau ia garis keturunan Jigorou?

Tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Zenitsu menggelengkan kepala kuat-kuat. Kapak di tangan. Sampan di hadapan. Ia hanya perlu melangkah masuk dan memutus talinya.

.

Nama saya Nezuko.
Saya lahir dan besar di daerah bernama Jaitan Layar di Borneo Timur.
Tahu-tahu, saya terbangun di Kerajaan Negara Daha, wilayah selatan Borneo.

.

Terdengar suara langkah lari. Dari belakangnya. Diiringi napas yang berkejaran.

Zenitsu menoleh. Dan entah bagaimana, pesan pertama Nezuko melintas di kepalanya. Ia tidak mengerti mengapa bisa memori itu mencuat pada kejadian sekarang, tetapi apa pun itu artinya, ia menangkap bayangan seseorang dari kejauhan. Zenitsu menyipitkan mata untuk bisa melihat lebih jelas.

Sosok itu makin dekat. Lalu berhenti di hadapannya.

Seorang gadis. Pucat. Letih. Tersengal-sengal.

.

Mereka bilang saya ditemukan pingsan di dalam sampan, di hilir sungai, di tengah-tengah Pasar Terapung Barito, Pelabuhan Baru.
Bagaimana bisa gerangan, saya tidak tahu.

.

Keduanya berpandangan.

Zenitsu tertegun. "Nezuko?"

Sosok itu membelalakkan mata. Dan, ah, pikir Zenitsu, ternyata ini artinya.

Terdengar langkah beberapa orang makin jelas. "Ia ke arah sungai! Di sana!"

Zenitsu menggeser tubuhnya, membuat Nezuko menyadari keberadaan sampan yang masih tertambat. "Naik," perintahnya. Zenitsu tidak tahu apa kekuatan yang tiba-tiba memenuhi dirinya. Tetapi, saat itu, ia mengatakannya dengan begitu tenang. Nezuko dengan keadaan masih terengah-engah, menaiki sampan itu dalam sekali lompat.

Kejadian itu cepat sekali, Nezuko merasa perlu angkat suara, "Kamu—"

"Aku akan melindungimu, Nezuko."

.

Bertemu denganmu adalah hal yang saya inginkan
karena setidaknya hidup saya akan ada artinya.

.

Senyum Zenitsu yang tak terlihat terulas ketika ia mengingat potongan kata-katanya dalam surat balasan. Ya, ia membatin, setengah geli, bicara pada diri sendiri, ternyata ini arti hidupmu, Zenitsu. Dengan satu sentakan, kapak berayun. Memotong tali yang menambat pada galah unjam dan membuatnya terputus seketika. Sampan melaju dengan cepat. Jarak di antara keduanya melebar. Mereka terpisah secepat tertemukan.

"Jalan buntu, ia tersudut! Sekarang waktunya!"

Sebilah bambu runcing yang dilemparkan dari jauh mengenai punggung Zenitsu, menembus tubuhnya. Serangan itu begitu tiba-tiba, membuatnya jatuh terdorong ke dalam sungai. Para pengeroyok mengira Nezuko telah mati.

.

.

.

xiv.

Nezuko terbangun dengan air mata membasahi pipi.

Aoi, yang sudah berjaga di depan pintu, kontan panik. "Nezuko?"

"Aku nggak bisa bertemu dengannya." Ia memandang dengan kosong.

Nezuko mengingatnya. Kini ia tahu kenapa ia sangat ingin mengingatnya. Sejak awal mereka tidak dalam kedudukan waktu yang sama. Pesan terakhir yang ia sampaikan pada Zenitsu di hulu Barito sana adalah hal yang menyelamatkan nyawanya. Pesan itu adalah pesan yang menggerakkan pemuda itu agar berangkat, yang membuatnya menyiapkan sampan berhari-hari.

Kenapa ia bisa tahu-tahu ada di Pasar Terapung Barito pada pagi buta?

Selama ini, ia mencari. Ternyata itu jawabannya.

.

.

.

xv.

Mereka membuat permainan untuk menyambungkan dua manusia di Borneo. Dua manusia lintas kerajaan, dan juga lintas dimensi waktu. Permainan itu telah berakhir.

Shinobu berbaring. Ia memainkan jemarinya. Giyuu duduk bersila di sampingnya, menghadap ke arahnya. Memandang. Tapi Shinobu tidak melakukan hal yang sama. "Ada apa, Tomioka-san?" tanyanya tanpa mengesahkan keberadaan Giyuu, seolah-olah sedang bicara dengan jemarinya.

"Bocah itu meninggal, kan."

"Benar, Tomioka-san."

"Gadis itu hidup karenanya, kan."

"Itu juga benar, Tomioka-san."

Giyuu terdiam sejenak. "Sebagai dewa, apakah kita tidak bisa melakukan sesuatu lagi?"

Shinobu tersenyum. Ia berhenti memainkan jari, dan memosisikan tubuhnya duduk. Duduk bersila. Keduanya berhadapan. "Justru itu," jawabnya. Berbisik, seolah tak ingin didengar oleh dewa-dewi yang lain. "Karena kita dewa itulah, makanya kita tidak bisa melakukan sesuatu lagi."

.

.

.

xvi.

Nezuko bermimpi keduanya bertemu.

"Karenaku, kamu mati, ya."

Karenaku, kamu hidup.

"Kita belum sempat benar-benar bicara." Nezuko mengangkat sebelah tangannya, seperti hendak melambai, tetapi hanya berhenti di situ. Ia ingin menggapai pemuda di hadapannya, tapi keberaniannya membeku. Nada bicaranya seperti orang melamun, "Kita berkirim surat. Tapi itu nggak berarti apa pun, selain pertukaran informasi tanpa emosi. Itu nggak cukup."

Mungkin kamu benar, mungkin kamu salah, tapi manusia tidak pernah merasa cukup.

Nezuko menunduk, menatap sebelah tangannya yang menempel di tubuhnya. Ada secarik kertas di situ. Pesan terakhir Zenitsu yang mencuat dari perapian. Yang ironisnya, diawali dengan: mungkin pesan ini tidak sampai padamu. Pesan itu sampai. Ia tidak meninggalkan ruangan hari itu. Termasuk hari-hari setelahnya.

"Aku menetap di istana. Aku tinggal. Aku tidak kembali ke kerajaanku, karena ternyata menuju ke sini adalah tujuanku pergi dari sana sejak awal. Oleh karenanya, aku membaca pesan terakhirmu. Mencuat dari perapian."

Kini, Nezuko mengangkat kepala. Satu depa di hadapannya, Zenitsu berlinang air mata.

Aneh. Sisi lemah pemuda itu justru memberinya kekuatan untuk tersenyum. Rupanya dari tadi, dia hanya sok tegar ya? Nezuko meloloskan tawa. Ia melanjutkan gerakan tangannya yang telah terangkat, mendarat untuk menangkup pipi pemuda di hadapannya. "Aku salah. Maafkan aku," ujarnya. "Hidup ini penuh arti, sebagaimana kamu."

Wujud pemuda itu samar-samar menghilang.

Terima kasih.***