Biskuit Legit
.
.
"Kak Hali, Gem. Aku mau belajar bikin biskuit dengan baik dan benar."
Kalimat itu terucap tiba-tiba dari mulut Taufan, si anak tengah yang gemar bertopi miring. Penuh tekad. Halilintar dan Gempa saling pandang dalam diam. Lalu berbarengan menatap sang bocah lelaki sepuluh tahun berbaju biru yang mendadak ngerandom, masih sambil berbaring-baring tak jelas di sofa ruang keluarga. Curiga, jangan-jangan otak saudara kembar mereka itu ikut-ikutan miring seperti topinya.
"Hah?"
.
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
Animasi "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta(c)
Fanfiction "Biskuit Legit" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.
AU. Elemental Siblings. HaliTauGem (brotp). Untuk #DrabbleChallengeSpecialRamadhan (Prompt: sekompleks).
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
.
Halilintar melempar tatapan datar ke arah Taufan yang baru saja memasuki ruang keluarga sambil bersiul-siul. Bahagia sekali kelihatannya. Mau tak mau, kening Halilintar berkerut penuh prasangka. Apalagi kedua tangan adik pertamanya itu penuh barang belanjaan berwadah tote bag dengan logo minimarket sejuta umat, tak jauh letaknya dari rumah mereka.
"Kau jadi mau bikin biskuit?" Halilintar bertanya tanpa basa-basi setelah menjawab salam dari sang adik.
Sudah beberapa hari ini, Taufan memang selalu bicara penuh semangat tentang rencananya menyambut bulan Ramadhan. Halilintar bisa menebak dengan mudah, apa isi tas belanjaan adiknya. Selain keperluan rumah tangga yang sekalian dibelikannya atas permintaan Gempa.
"Ooh ... Jadi, dong." Taufan tersenyum lebar. "Pokoknya, aku mau bikin biskuit yang banyak, buat semua tetangga kita sekompleks."
Halilintar mengernyit. "Itu bisa dimakan?"
Bukannya tersinggung atau ngambek, Taufan malah tertawa. Kakaknya sampai khawatir, jangan-jangan ada satu atau dua baut di kepala sang adik yang terlepas.
"Kak Hali suka gitu, deh," katanya. "Kalau bercanda lawak bener."
"Aku serius."
Melihat tampang datar Halilintar, kelihatannya memang seperti itu. Namun, Taufan tak peduli.
"Kak Hali, sih," Taufan merajuk tiba-tiba. "Nggak pernah mau nyobain biskuit buatanku~"
"Aku masih waras, tahu." Halilintar menatap tajam. "Mengingat waktu pertama kali belajar bikin biskuit empat tahun yang lalu, kau sudah membuatku nggak mau lagi melihat biskuit untuk selamanya."
Bahkan Halilintar yang hebat pun selalu bergidik tiap kali mengingat hari nahas itu. Betapa tidak? Karena resep biskuit yang dijadikan bahan pembelajaran oleh Taufan kecil waktu itu adalah biskuit legendaris buatan sang Ratu Biskuit, Yaya Yah. Tetangga sebelah rumah mereka yang—Halilintar harus mengakui—cantik jelita, tetapi berbakat dalam meracik biskuit beraroma kematian.
"Yaelah, Kak Hali. Itu 'kan sudah empat tahun lalu," kata Taufan diiringi satu tawa kecil. "Wajar aku pakai resep Yaya waktu itu, soalnya dialah yang pertama kali mengajariku bikin biskuit. Tapi aku sudah memperbaiki diri, kok. Aku yakin seribu persen, biskuit buatanku yang sekarang sudah sangat layak konsumsi."
Halilintar memutar bola matanya yang beriris delima. Ya, ya, ya. Begitu juga Yaya yang sampai detik ini pun masih terus menghasilkan biskuit legendaris yang sama. Apa itu 'peningkatan'? Kalau ada yang menjual, Halilintar mau sekali membelikannya untuk Yaya. Terlebih, gadis maniak pink itu selalu memberikan biskuit buatan tangannya sebagai hadiah untuk keluarga mereka.
"Kalau nggak percaya," lanjut Taufan, "tanya aja Gempa."
Sekali lagi Halilintar memutar bola matanya. Kadang-kadang Taufan khawatir dengan kebiasaan kakaknya yang satu ini. Gimana, coba, kalau suatu hari nanti mata Halilintar jadi jereng?
"Gempa terlalu baik," kata si sulung. "Mana tega dia terang-terangan mengkritikmu."
"Ya udah, kalau gitu cobain dulu biskuitku."
"Ogah."
Taufan bersungut-sungut. Dalam hati ada rasa kecewa. Namun, dia juga tak bisa menyalahkan bila kakaknya masih trauma.
"Ya udah, deh. Kalau gitu aku ke dapur dulu."
Taufan berlalu, sementara tatapan Halilintar mengikutinya penuh pertimbangan.
"Tunggu!"
Taufan menoleh sejenak, heran ketika melihat sang kakak beranjak menyusulnya.
"Kubantu."
Taufan mengedip, mengira dirinya salah dengar. "Hee?"
"Aku perlu mengawasimu biar nggak bikin yang aneh-aneh. Ini buat tetangga sekompleks, 'kan? Keluarga kita bisa dituntut ke pengadilan kalau biskuitmu membuat semua orang sakit."
Taufan tertawa spontan.
"Kakakku memang baik hati. Makasiiih~"
"Berisik."
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Gempa membatu di ambang pintu dapur, hanya menyisakan kedua netra beriris keemasan yang mengerjap-ngerjap bingung. Beruntung, Taufan melihatnya dan langsung menyapa dengan riang gembira.
"Hai, Gem!" serunya. "Ah. Kamu bukan mau pakai dapurnya, 'kan? Aku lagi bikin biskuit, nih."
"Biskuit?" ulang Gempa.
Si bungsu dari tiga bersaudara itu akhirnya tersadar dari kekagetannya. Ia beranjak mendekati kulkas, menuntaskan hasratnya semula yang ingin mengambil es krim.
"Tumben, Kak Hali mau bantuin?" Gempa mengulurkan tangan, hendak meraih satu-satunya es krim cokelat miliknya yang masih tersisa. "Ada angin apa, nih?"
"Aku cuma mau memastikan bocah ini nggak memproduksi biskuit yang bakal bikin orang sakit." Halilintar mendengkus samar. "Apalagi dia mau kasih biskuitnya ke tetangga sekompleks. Bayangin, gimana kalau keluarga kita mendadak jadi tersangka pembunuhan massal?"
Gempa terkekeh canggung, sementara Taufan tertawa terbahak-bahak.
"Kak Hali kalau bercanda suka nyeremin, deh~"
"Aku nggak lagi bercanda, BoBoiBoy Taufan bin Amato."
Gempa terkekeh. Paham dengan kekhawatiran kakak tertuanya. Tangannya yang masih setengah terulur ke dalam kulkas, ditariknya kembali.
"Kalau gitu, aku ikut bantu juga, ya?" tawar Gempa sembari menutup pintu kulkas.
"Eh? Serius, Gem?" sang pemilik iris safir seketika menampilkan ekspresi berseri-seri.
Gempa mengangguk sambil tersenyum ramah. "Biskuit sebanyak itu, pasti repot kalau bikinnya cuma berdua."
"Waah, makasiiih!" Taufan menepuk pundak adiknya sambil tersenyum lebar. "Gempa memang terbaik~"
"Hahaha ... Sama-sama, Kak."
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Menjelang sore, tiga bersaudara itu sudah hampir menyelesaikan kesibukannya memasukkan biskuit buatan mereka ke dalam bungkusan-bungkusan plastik. Halilintar hampir takjub dengan diri mereka yang mampu menyelesaikan semua itu dengan cepat.
Setidaknya ia cukup lega, semua biskuit ini tampak normal. Sejauh yang diingatnya, bahan pembuat biskuit yang dilihatnya hari ini pun semua normal-normal saja. Memang berbeda dengan resep biskuit ala Yaya yang pernah diajarkan kepada Taufan.
Tak ada bawang putih. Apalagi susu kambing jantan berperisa apel hijau. Sampai detik ini Halilintar masih tidak habis pikir, dari mana Yaya mendapatkan bahan absurd yang satu itu untuk membuat biskuitnya dulu.
Halilintar bergidik, padahal udara masih hangat.
"Kenapa, Kak?" tanya Gempa heran.
"Nggak." Halilintar menatap Taufan yang sejak tadi terus bersenandung kecil. "Jadi, ini mau diantar kapan?"
"Nanti habis Ashar," jawab Taufan. "Aku antar ke rumah-rumah tetangga satu per satu. Bisa buat takjil selama bulan puasa nanti, 'kan?"
Taufan memamerkan senyum lebarnya lagi, kali ini disertai kedua tangannya yang membentuk lambang 'victory'. Halilintar yang melihat itu hanya menghela napas lelah.
"Kak Hali belum coba biskuit Kak Taufan, 'kan?" tanya Gempa tiba-tiba.
"Nggak usah."
Jawaban Halilintar yang terlalu cepat, membuat Taufan mengambil bagian biskuit yang sejak tadi disisihkannya di dalam toples. Diulurkannya toples yang terbuka itu kepada sang kakak.
"Iya, nih." Taufan memasang jurus kitty eyes andalannya yang selalu mempan kepada siapa pun kecuali Halilintar. "Cobain, dong~"
"Aku bilang, nggak."
"Ini biskuit legit kebanggaanku lho, Kak~"
"Ck! Berikan saja pada Gempa."
Ketika Halilintar dan Taufan menoleh ke arah Gempa, ternyata yang bersangkutan sudah asyik ngemil biskuit dari toples yang lain.
"Apa?" tanya Gempa dengan wajah tanpa dosa, sementara Halilintar menatapnya datar.
"Kamu doyan banget kayaknya."
"Enak kok, Kak. Aku jamin. Cobain, deh."
Jaminan dari Gempa, ditambah Taufan yang terus menatapnya penuh harap, membuat Halilintar akhirnya menerima toples berisi biskuit dari tangan sang adik pertama.
"Tadi katamu 'biskuit legit'?" Halilintar mengernyit sedikit. "Maksudnya manis banget, gitu?"
"Ooh ... Jangan khawatir, kakakku tersayang," Taufan menyahut riang. "Khusus buat Kak Hali, sudah kubuatkan yang nggak terlalu manis."
Walau ragu, Halilintar mau juga mengambil sekeping biskuit. Lantas digigitnya ujung biskuit itu sedikit, dan matanya sontak membulat.
"Apa ini?" Halilintar menyadari nada suaranya lebih antusias daripada yang diinginkannya. "Ada rasa jahe? Dan kayu manis?"
"Rasa jahe yang kuat dan sedikit kayu manis," kata Taufan. "Kombinasi yang kurasa pas buat Kak Hali."
Kali ini Halilintar sudah tak segan lagi untuk memasukkan satu biskuit utuh ke dalam mulutnya. Memang enak dan komposisinya pas.
"Aku nggak lihat ada jahe, tadi," komentarnya. "Kapan kau membuatnya?"
Taufan hanya terkekeh. Puas melihat sang kakak menikmati biskuit buatannya. Gempa yang masih tak bisa berhenti ngemil pun ikut tersenyum senang.
"Biskuit Kak Taufan memang bikin nagih," Gempa ikut berkomentar. "Iya, 'kan, Kak Hali?"
Halilintar tidak menyahut. Namun, tingkahnya yang tak bisa berhenti mengambil biskuit lagi dan lagi, sudah cukup untuk menjawab semuanya.
"Nanti kubantu antar biskuitnya," kata Halilintar tiba-tiba.
Taufan antusias seketika. "Seriusan, Kak? Waaah, makasiiih~"
"Aku juga bantu ya, Kak!"
Gempa pun ikut-ikutan, membuat Taufan semakin tersenyum lebar.
.
.
TAMAT
.
.
.
* Author's Note *
.
Hai, haiii~! XD
Mencoba ikut meramaikan drabble challenge di bulan Ramadhan. Ehehehe ...
Maafkan kalau akhirnya yang terpikir malah bikin biskuit buat tetangga sekompleks. *bow*
Ini ngikutin fakta canon yang katanya Angin pandai bikin biskuit. Berarti Taufan juga, dong~ uwu
Akhir kata, selamat menjalankan ibadah puasa bagi Teman-teman yang menjalankannya. Semoga jadi berkah buat kita semua di bulan yang suci ini. Aamiin.
.
Regards,
kurohimeNoir
25.04.2020