A/N:

Cerita iseng, terinspirasi dari ff Lin Xiao Li tentang mantan dan cerita konyol pengalaman pengemudi ojek daring yang diunggah situs brilio.

Ini bagian 1, mungkin ada bagian-bagian berikutnya dengan pair yang berbeda.


Disclaimer:

Naruto milik Masashi Kishimoto.


ForgetMeNot09

dengan

.

.

.

Ketemu Mantan

Bagian 1

Sore ini hujan turun cukup deras. Membasahi jalanan kota. Aku menatap titik-titik air yang serupa peluru jarum ditembakkan dari langit. Menerpa jendela mobil dan menimbulkan suara yang berisik. Aku suka hujan, petrichornya yang membuatku jatuh cinta. Namun, dalam keadaan di dalam mobil seperti ini tentu saja aku tak bisa menghirup aroma tanah berbaur air hujan itu. Sembari menyandarkan kepala ke sandaran kursi, aku menatap langit yang dipenuhi awan gelap. Untung saja tidak ada petir, atau aku harus segera kabur dari sini.

Bicara tentang kabur, aku pikir-pikir, akan susah. Justru di saat seperti ini aku menanti rezeki luar biasa. Sebab itulah, aku menyamankan diri, sambil menikmati pemandangan orang berlalu lalang.

Getar ponsel terasa menggetarkan dasbor mobil. Aku tersentak.

"Rezeki," teriakku.

Mataku berbinar senang, segera kutancap gas menuju tempat yang disebutkan dalam aplikasi. Lumayan dekat, sekitar satu kilometer.

Saat hujan seperti ini, adalah rezeki bagi pengemudi taksi daring sepertiku. Orang-orang yang biasa menaiki ojek, pasti akan berpikir sekian kali. Meskipun memakai jas hujan, tetap saja, di bawah hujan sederas ini mereka akan basah kuyup.

Jalanan sedikit macet, seperti biasa saat-saat jam pulang kantor, ditambah hujan yang cukup deras. Aku menggerutu. Lantas mengambil ponsel untuk mengetik pesan kepada pelanggan.

"Mohon maaf Mbak, jalannya macet, apa tidak masalah menunggu?"

Tidak lama, aku mendapatkan jawaban.

"Tidak masalah Mas, saya tunggu saja."

Aku tersenyum. Tentu saja sangat jarang pelanggan akan membatalkan pemesanan di saat hujan seperti ini. Kenapa? karena jika hujan sedang deras, maps pada aplikasi sering ngeblast. Jika kau memesan di daerah A, bisa-bisa kau dapat pengemudi di daerah C yang notabene jauh dari A. Pelangganku ini, pasti berpikir bijak, daripada membatalkan pesanan, dan kemungkinan mendapat pengemudi yang jauh, lebih baik menunggu saja.

Setelah dua puluh menit berjalan, akhirnya aku sampai di titik penjemputan. Aku menengadah, melihat tulisan yang terpampang di depan sebuah gedung.

"Dinas Pariwisata," gumamku.

Aku segera menghubungi pelanggan, mengatakan bahwa aku sudah sampai di titik penjemputan. Baru saja menekan tombol "kirim", jendela mobilku diketuk dari samping. Aku terkejut. Dengan sigap kuturunkan kacanya.

Tahu apa yang terjadi?

Netra biruku membulat, bibirku menganga, hawa panas mendadak menguasai tubuhku. Katakan saja, aku mematung seperti batu.

Tak jauh berbeda, orang di depanku menderma reaksi yang sama. Tambahan, rona merah yang menguar di belah pipinya.

"Cantik," gumamku.

Lantas aku mengutuk diri dalam hati. Apa-apaan ini? Semacam kebetulan yang mengerikan.

"Hi … Hinata?" sapaku.

Aku pikir dia tidak sengaja mengetuk jendela.

"Na … Naruto-kun," lirihnya.

Aku tertawa gugup, "A … apa kau yang memesan taksiku?"

Dia mengangguk.

Sial! demi apa aku tidak memperhatikan namanya. Tunggu, tapi memang tadi bukan nama Hinata yang kubaca.

"Tapi di sini nama pemesan …."

"Sabaku Matsuri, temanku. Dia yang memesankan karena ponselku mati," jelasnya sambil bergerak-gerak gelisah.

Aku hanya mengangguk, tapi masih belum sepenuhnya membaca situasi.

"Bo … boleh aku masuk, Naruto-kun? Aku kehujanan."

Sial! apalagi kali ini? Bodoh kau Naruto! bodoh! bodoh!

Dengan cepat aku membuka pintu, keluar dan membukakan pintu penumpang untuknya. Mempersilakan dia masuk. Jangan tanya kenapa tidak tinggal buka kunci saja dan biarkan Hinata masuk sendiri? Tidak, tidak, aku tidak mau jadi orang bodoh kesekian kalinya.

"Apa tidak masalah aku duduk di sini, Naruto-kun?" tanyanya setelah aku mulai menancapkan kunci kontak.

Aku menggeleng, "Tidak apa-apa."

Justru ini lebih aman. Aku tidak tahu akan seperti apa jantungku nanti kalau Hinata duduk di kursi depan.

Kulihat dia mengangguk. Untunglah, aku belum siap menjawab seandainya dia bertanya lebih lanjut.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku yang masih shock karena tahu Hinata adalah penumpangku, dan gadis itu sepertinya juga tidak keberatan, diam saja. Hinata malah memasang earphone di telinganya.

Sekali-kali aku mengintip melalui kaca spion, memperhatikan sosok penumpangku dengan saksama. Ia duduk bersandar, dengan kepala menoleh ke samping. Mungkin tengah memandang jalanan yang kami lewati, sembari mendengarkan musik. Wajahnya putih, tanpa make up berlebih, hanya bibirnya yang terpoles semacam pelembab, tidak mampu menutup warna alami bibirnya yang sewarna buah persik.

"Cantik," ujarku lirih.

Tak masalah kan? Dia tak akan mendengar.

Namun, kenapa tiba-tiba dia bergerak gelisah? Pipinya yang sudah kembali normal tadi, kini merona lagi. A … apa dia mendengar?

Tunggu, tadi rasanya dia bilang kalau ….

"Sabaku Matsuri, temanku. Dia yang memesankan karena ponselku mati."

Bukankah ponselnya mati? Lantas sedang apa dia dengan earphone itu?

Mati aku!

Pipiku terasa panas. Tanpa sadar aku menutupnya dengan lengan bawah. Ya Tuhan, dia pasti mendengarnya kan? Earphone tadi hanya untuk menghindar agar kami tidak perlu mengobrol kan?

"Na … Naruto-kun, lampu merah!"

Hardikannya mengejutkanku. Aku menekan pedal sedalam mungkin. Bisa dipastikan, rem mendadak.

"Aduh."

Aku merasa bersalah setengah mati. Kutengok ke arah Hinata dengan panik.

"Hinata, kau tidak apa-apa?" tanyaku.

Kulihat dia mengangguk, tapi hidungnya meringis kesakitan.

"Ma … maafkan aku Hinata, aku melamun tadi."

Sumpah, rasa bersalahku menyesakkan dada. Apalagi ketika melihatnya tersenyum yang dipaksakan.

"Tidak apa Naruto-kun. Aku baik-baik saja, hanya sedikit … perih."

Nah kan, dasar! mau bersikap bodoh sampai kapan kau Naruto?

Sifat cerewetku kembali. Aku minta maaf berkali-kali meskipun gadis itu berkali-kali pula mengatakan baik-baik saja.

Sampai lampu lalu lintas menyala hijau, aku bertekad untuk lebih berhati-hati.

"Hihihihi … Naruto-kun tidak berubah ya."

"Apa Hinata?"

"Baik hati, selalu memikirkan orang lain."

Aduh, tolong Hinata! Tolong jangan bernostalgia! Apa kau tidak tahu, jantungku sudah jumpalitan mendengar kalimatmu baru saja?

"Ti … tidak juga, wajar kan, Hinata penumpangku. Kalau sampai terjadi apa-apa nanti aku disuspend," gerutuku.

"Naruto-kun sudah lama jadi pengemudi taksi daring?"

"Satu tahun lah. Pagi sampai siang saja, Hinata, kalau malam aku kerja di restoran."

"Uhm … melanjutkan restoran Paman Minato? atau punya Naruto-kun sendiri?"

"Punya ayah, aku belum punya modal untuk buka restoran sendiri. Ini mobil juga ayah yang pinjamkan," ujarku sambil cengar-cengir.

Kutatap dari kaca spion, Hinata mengangguk. Ya Tuhan, untung suasananya sedikit cair. Aku bisa mati mendadak kalau masih canggung terus seperti tadi.

"Hinata sendiri?" tanyaku balik, mencairkan sisa-sisa es suasana yang masih beku.

"Kerja di Dinas Pariwisata, Naruto-kun. Tadinya ingin melanjutkan kuliah lagi, tetapi tak ada biaya. Jadi ikut penerimaan pegawai negeri saja tahun lalu."

"Wah Hinata hebat ya … wajar sih, Hinata dulu juga kan selalu dapat IPK di atas 3,00. Tidak seperti aku, nasakom."

Kami tertawa …

… lalu hening lagi.

Aku kehabisan kata-kata, dan Hinata sepertinya juga tidak ingin melanjutkan pembicaraan.

Keheningan sepanjang sisa perjalanan itu aku manfaatkan sebaik-baiknya, untuk menikmati kecantikan makhluk terindah ciptaan Tuhan. Untung kan Hinata kembali memandang jalanan, jadi aku bisa leluasa.

Terlalu lama terlena dalam vinyet indah itu, aku tidak sadar, nadiku berdetak laju. Sesak kembali muncul, padahal tadi sempat hilang.

Dalam jarak pandang, aku melihat sebuah rumah bergaya tradisional, ah … betapa aku rindu, mengingat dulu aku sering sekali main ke rumah ini.

"Sudah sampai," ucapku.

"Ah … iya, syukurlah," ujar Hinata, membuka tasnya untuk mengambil dompet, "Ini uangnya Naruto-kun."

Aku bergeming. Ini air mata tidak tahu kenapa mendadak berdesak-desakan di kelopak. Tolonglah, jangan sekarang! Malu Naruto! malu!

"Naruto-kun … ini uangnya," ulang Hinata dengan suara lebih keras.

Aku menoleh, "Hinata," ujarku dengan suara serak.

Pasang mata kami bersirobok. Tatap matanya yang kebingungan lekas berganti dengan nyalang. Apa dia melihatnya?

Lama kami terdiam, dengan pandangan saling menyelam.

"Aaa … tidak apa-apa Hinata. Uangnya ambil saja, anggap ini traktiran dariku."

"Tapi …."

"Sudah, pintunya sudah bisa dibuka tuh."

Hinata diam sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk. Aduh, kenapa kasih serangan mendadak lagi sih? Tidak tahu ya, ini jantung sudah konser di dalam.

"Terima kasih, Naruto-kun tidak mau mampir dulu? Ibu sering menanyakan Naruto-kun lho."

Aaargghhh! Hinata!

"Ti … tidak, maksudku lain kali saja Hinata. Terima kasih."

Akhirnya, gadis itu pergi juga. Ya Tuhan, apa salah dan dosaku, hingga Kau tega mempertemukanku dengan mantan terindah?

Aku bergegas menjalankan mobil. Tujuanku satu, rumah. Aku mau pulang pokoknya. Aku tidak mau melanjutkan lagi hari ini. Baper Ya Tuhan … aku baper ….

.

.

.

esoknya~

Ponselku bergetar, tepat saat aku baru keluar kamar mandi. Kulirik layar yang masih menyala itu. Pesan dari aplikasi taksi daring?

Aku membukanya.

"Oh … penilaian penumpang," gumamku.

Aku iseng membukanya. Padahal biasanya kan tidak pernah. Entahlah, hari ini rasanya seperti permen nano-nano.

"Hinata?"

Mataku membulat saat membaca sebuah kalimat di bawah gambar bintang lima berwarna kuning.

"Terima kasih Naruto-kun … udah bikin baper."

Aku meloncat ke kasur. Mengabaikan tubuh yang hanya berbalut handuk kecil di bagian bawah, aku menjatuhkan diri ke kasur.

Kugeser layar ponselku mencari sebuah nama di daftar kontak. Tidak, aku tidak pernah menghapus namanya pun sejak kami putus setelah lulus kuliah tiga tahun lalu.

"Na … Naruto-kun?" sapanya di seberang.

Yes! Dia masih menyimpan nomorku juga ternyata.

"Hinata, a … apa kau sudah punya kekasih?" tembakku.

Aku tidak peduli, aku harus mendapatkan jawaban itu sekarang. Setidaknya aku jadi tahu, apa aku masih berkesempatan memenangkan kembali hatinya, atau harus mundur perlahan … selamanya.

"A … apa?"

Aku diam dan tidak mau mengulangi pertanyaanku. Bisa kupastikan saat ini gadis itu tengah gugup, dia tahu, aku yang diam artinya aku sedang dalam mode sangat serius. Serius menanti sebuah jawaban.

"Uhm … aku … mmm … aku …."

"…."

"Be … belum."

Yes!

Senyumku terkembang, konyol memang. Biar saja, yang jelas hatiku sedang berbunga-bunga. Walaupun aku tidak tahu apa alasan Hinata belum punya kekasih. Yang aku tahu, jawaban Hinata tadi menandakan adanya kesempatan bagiku.

"Besok malam, boleh main ke rumah?"

Pertanyaanku disambut keheningan. Apa dia menolak?

"Bo … boleh," jawabnya lirih.

Aku berteriak kegirangan sambil melompat-lompat di atas kasur.

Siapa sangka, aplikasi tempatku mengais rezeki, bisa mendatangkan rezeki lain. Rezeki yang tak diduga-duga.

Bertemu mantan tak seburuk yang kukira.

.

.

.

TAMAT