disclaimer © Animonsta Studios
warning OOC, human-abusing, AR, Human!Alien, salah genre, no super power, miss EBI, typo(s), diksi menyedihkan, death chara(s), plotless.
sudut A/N begini nih kalau lagi sakit, nulisnya ngawur gini, hiks. Maksa banget gitu ya hahahaha. So, hari ini Hari Ibu Sedunia, Happy Mother's Day! Edel sadar kalau tulisan ini bakal mengandung kontroversi, tapi ... bodo amat lah /heh hshshs—maafkan atas ketidakjelasan fiksi yang satu ini :")) (memangnya fiksi kamu pernah jelas, Del?). Kenapa di antara semua karakter yang terpilih itu Adu Du? Because he's my fav chara for real, teehee~


"Kamu harus menjadi dokter."

Baik, Mama.

"Kamu harus belajar setiap hari."

Iya, Mama.

"Kamu harus bisa segalanya."

Apa pun untukmu, Mama.

"Kamu tidak boleh bermain dengan mereka, sama sekali tidak boleh."

... Baik, Mama.


Namaku Abdul. Usiaku empat tahun. Aku bersekolah di TK Pulau Rintis.

"Ayo kita main!"

Aku menggeleng. "M-Maaf, aku ... tidak mau …."

"Sudahlah, tinggalkan saja dia! Dia tidak suka main dengan kita!"

"T-Tapi—"

"Ayo! Kalau kamu telat, kamu yang jadi kucingnya, lho!"

Aku merapikan topi yang terasa tidak nyaman. Aku duduk di bangku panjang mengikuti kata Mama. Aku menolak bermain kejar-kejaran seperti apa yang Mama minta. Aku tidak tersenyum, menuruti pesan Mama.

Mama, aku anak yang baik, 'kan ...?

Mama datang. Mama mengobrol dengan Cikgu yang selalu menjaga kami saat pulang sekolah. Aku mendengar Cikgu menyebut namaku beberapa kali, Mama mengangguk, aku pura-pura tidak mendengar. Rasanya seru, seperti bermain rahasia walau tak lama, karena aku tahu dan yakin nanti pas pulang juga Mama akan cerita padaku.

Tanganku digenggam Mama. Kami berjalan pulang seperti biasa.

"Kata Cikgu, nilaimu sempurna untuk hari ini."

Oh, jadi itu kata Cikgu ya, Mama? Apa Mama tahu? Aku senang sekali kalau Mama mengetahuinya! Apa aku bisa mendapat pujian seperti yang pernah ayahnya Gopal katakan waktu Gopal akhirnya bisa berhitung satu sampai sepuluh? Atau Mama akan memberiku hadiah seperti Stanley yang mendapat mobil-mobilan karena kemarin-kemarin dia dapat nilai A di gambarnya?

"Gantilah bajumu, lalu makan siang, sehabis ini kamu harus belajar."

Aku mengerti, Mama.

Mungkin Mama sedang lelah. Mungkin nanti Mama akan mengucapkan kata selamat saat malam. Mungkin aku harus mendapat nilai-nilai bagus lagi supaya Mama tersenyum. Mungkin saja—

"Mama pergi dulu. Tetap diam di sini dan jangan ke mana-mana."

—Mama membenciku.


Namaku Abdul. Usiaku delapan tahun. Aku bersekolah di SD Pulau Rintis.

Aku tidak akan pernah melupakan ini. Tidak akan pernah.

Cikgu memberikan ulangan. Aku mengecek buku agendaku, takut jika aku ternyata melewatkannya. Ternyata aku tidak salah, tak ada catatan mengenai ulangan Seni Budaya dalam bukuku. Seisi kelas protes, lalu Cikgu berkata bahwa kami semua harus siap dengan segala kemungkinan.

Ulangan dimulai. Aku meneguk ludah.

Ulangan berakhir. Aku menunduk lemas.

Ulangan dibagikan hari ini juga. Aku ingin mati sekarang.

Harus siap dengan segala kemungkinan, ya?

Tanganku gemetar memegang lembaran kertas yang kurobek dari pertengahan buku. Nilai enam puluh dengan lingkaran merah tampak berbayang. Kacamataku yang bermasalah atau ... ini karena aku yang menangis?

"Abdul?"

Aku mengedip sekali, membuang seluruh air mata yang ada dalam kantung mataku. Sekarang sudah waktunya pulang sekolah, waktu yang paling tak kuinginkan. Mama akan menjemputku dari sini. Bisakah aku menyembunyikan ini dari Mama ...? Aku tak ingin Mama marah padaku.

"Hei, jangan menangis! Nilai enam puluh itu sudah bagus, kok!"

"Priporios ...?"

"N-Namaku Prophyrios, artinya batu ungu. Prophyrios Betelgeuse lengkapnya. Orangtuaku memang aneh seleranya, hehe."

"Oh …."

"Janganlah murung! Oh, teman-teman yang lain biasa memanggilku Probe, lebih mudah kata mereka. Kau juga bisa memanggilku begitu!"

"Kau siapa?"

"Tega sekali!" Orang yang memintaku memanggil Probe itu mulai menangis. "Aku hanya ingin membantumu! Maksudku, bersedih terlalu lama itu tidak bagus, tahu!"

Ketika Probe selesai berbicara, Mama datang. Aku tak berkata apa-apa pada Probe sampai aku tak melihatnya lagi.

Probe itu hanya orang asing. Dia itu tidak tahu apa-apa.

"Enam puluh?!" Mama membanting tasku dan ulangan itu. Mana mungkin aku bisa mengelak dari Mama yang selalu memeriksa tasku sepulang sekolah. "Apa kau tidak pernah belajar, hah?!"

Mama, ini ulangan mendadak. Aku terkejut. Aku panik. Aku tidak suka pelajaran Seni Budaya. Aku kurang menguasainya. Akuakuakuaku ... —

"Anak bego!"

Mama menampar pipi kiriku. Panas. Sakit. Pedih. Sakit. Perih. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sudah kukatakan, Probe itu tidak mengetahui apa pun. Apa yang sebenarnya kuharapkan?

Telingaku ditarik Mama. Aku diseret sampai ke kamar mandi. Mama menyiramiku gayung demi gayung. Permohonan maafku tenggelam setiap kali air tumpah di atas kepalaku, sehingga Mama tidak mendengarnya sama sekali.

"Mau jadi apa kau besar nanti, hah?! Dasar Bobocu!"

Tubuhku menggigil. Sejak kecil, aku tak pernah tahan dingin. Gigiku bergemeletuk. Kedua tanganku terkepal di depan dada. Aku duduk di sudut kamar mandi dekat bak dengan lutut tertekuk yang menjadi tempatku menundukkan kepala.

"Bodoh! Bolot! Cecunguk! Jangan makan sampai malam tiba!"

Aku mengerti, Mama.

Mungkin Mama sedang pusing dengan pekerjaannya. Mungkin nanti Mama akan meminta maaf saat malam. Mungkin aku harus belajar lebih giat lagi supaya Mama tetap menjadi orang yang kusayang. Mungkin saja—

"Mama pergi dulu. Tetap diam di sini dan jangan ke mana-mana."

—Mama membenciku.


Namaku Abdul. Usiaku dua belas tahun. Aku bersekolah di SMP Pulau Rintis.

Sebentar lagi aku akan naik ke kelas dua. Cikgu mengumpulkan kami semua sepulang sekolah, meminta waktu sejenak. Aku harap Mama tidak marah karena menunggu lama.

"Karena sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan perpisahan untuk kakak kelas kalian, kelas satu diminta untuk menampilkan pertunjukkan drama. Cikgu menyarankan drama Putri Duyung, ada yang ingin memberi usul?"

Hampir semuanya menjawab serentak. Aku tidak termasuk. "Tidak, Cikgu!"

"Baiklah, kalau begitu langsung saja Cikgu beritahukan sedikit alur cerita yang dipakai, karena banyak sekali kisah-kisah mengenai Putri Duyung yang alurnya berbeda, setelah itu Cikgu bagikan perannya, ya."

Aku mengalihkan pandanganku ke arah pintu kelas yang terbuka lebar. Meski tak benar-benar berdiri di depan pintu, aku tahu Mama di sana. Mungkin Mama kesal pekerjaannya terganggu karena harus menjemputku. Meski aku sudah pernah meminta untuk pergi dan pulang sekolah sendiri, Mama tidak pernah mengizinkannya.

"Tersisa peran penyihir. Siapa yang mau menjadi penyihir?"

Kelas mendadak diam, tidak terlalu lama sampai akhirnya orang di belakangku berdiri.

"Abdul saja, Cikgu!"

Aku terkejut. "E-Eh ...?"

"Waktu pentas kelas di SD kamu cuman jadi kupu-kupu saja, 'kan?" Ada murid yang lain berbicara padaku, tapi aku tak tahu siapa. "Sekaligus memperbaiki cara bicaramu yang aneh itu."

"Hah ...? T-T-Tapi aku—"

"Catat saja nama Abdul, Cikgu! Dia hanya malu!"

"Kautahu, Abdul?" Erick Jonathan, siswa di depanku, membalikkan badan sambil tersenyum. Beberapa murid ada yang memanggilnya Ejo Jo. "Kami semua percaya padamu, tahu!"

Hanya dalam satu detik, semuanya berubah. Intonasi tinggi seruan berubah menjadi rendah berbisik. Senyum melebar membentuk seringai. Hitam. Gelap. Sesak.

"Maksudnya, kau itu menyedihkan. Jangan berharap terlalu tinggi."

Aku tak pernah ikut berlatih dengan kelompok drama, karena aku tak mau mengganggu jadwal Mama yang harus menjemputku di jam yang berbeda. Mama tak memberi komentar apa pun saat aku menghapal naskah di sudut rumah mana pun aku berada. Ketika diminta untuk ikut dalam gladibersih di Minggu ini, Mama mengiyakan dan membawaku ke sekolah.

Wali kelasku memujiku yang bisa mengejar ketertinggalan dengan bersandiwara seperti seorang profesional meski tak pernah ikut latihan. Mama duduk di depanku, di salah satu di antara ribuan bangku kosong. Aku seperti melihat kilatan cahaya, atau hanya perasaanku saja?

"Aku jatuh cinta pada pria itu. Oh ... dia tampan sekali, tapi ... bagaimana aku bisa menemuinya? Aku tak bisa …."

"Tentu kau bisa, Nona."

Aku melangkah memasuki panggung, menghampiri Putri Duyung seperti bagaimana yang tertulis dalam naskah. Namanya Ayu yang sering diplesetkan menjadi Ayu Yu mengikuti nama julukan Ejo Jo, pacarnya. Dialah orang yang menyarankanku sebagai penyihir waktu pemilihan peran.

"K-Kau siapa?"

"Aku adalah seorang penyihir yang ingin memberikanmu sebuah penawaran."

Ayu Yu memasang wajah penasaran. "Penawaran ... apakah itu?"

"Aku punya ramuan yang bisa mengubahmu menjadi manusia, tetapi sebagai gantinya ...,"—aku mengangkat telunjukku—"akan kuambil suaramu."

"Jika kau memang bisa, aku mau! Ambil saja suaraku, asalkan aku bisa bertemu dengannya sebagai sesama manusia!" seru Ayu Yu.

"Pilihan yang sangat tepat."

Kurogoh botol ramuan yang seharusnya terselip di balik jubah.

Tidak ada.

Tidak ada!

"Nghh ...?!"

Aku mengecek sisi lain jubah. Tetap tidak ada!

"Tuan Penyihir, apa terjadi sesuatu ...?"

Aku kembali menatap Ayu Yu. Dia mengulum senyum pura-pura bingung. Aku tahu itu palsu, sebab selanjutnya dia berkata,

"Apa kau kehilangan ramuanmu, Tuan?"

Tidak. Seharusnya tidak begini.

Pandanganku teralihkan pada penonton. Mereka mulai berbisik-bisik yang menggema dalam satu ruangan aula. Mama ada di sana, di kursi yang sama saat Mama menyaksikanku dalam gladibersih. Aku tak yakin dengan ekspresi Mama karena aku tak memakai kacamata, tapi aku yakin ... Mama tidak menyukainya.

"Tuan, apa kau—KYAAAAAAAA!"

Seseorang yang berkostum kepiting tiba-tiba menerjang Ayu Yu, menampar wajahnya dengan kedua capit dari bahan kain. Para guru berebut naik ke atas panggung, memisahkan si kepiting yang hanya terlihat matanya saja dan Ayu Yu yang tampak berantakan. Tirai merah segera diturunkan, pertanda drama dihentikan paksa.

"Akting macam apa itu?! Tadi itu mengapa kau hanya diam saja di atas panggung?!"

Di rumah, Mama mendorongku hingga jatuh menumbur pintu yang keras. Aku spontan meraba kepalaku di bagian belakang sambil menggumamkan keluhan sakit dan pening.

"Setidaknya, kepiting itu yang menghancurkan dramanya, bukan kau," lanjut Mama. "Apa kau tak pernah paham dengan apa yang selama ini Mama minta?! Kau harus menjadi orang yang pintar dan berbakat! Jangan pernah berinteraksi dekat dengan orang lain, mereka hanya akan memanfaatkanmu! Kamu harus bisa segalanya sehingga nantinya kamu bisa hidup sendiri tanpa bergantung pada siapa pun! Apa kamu paham?!"

"Ma-Ma-Mama—"

Mama menarik kerah bajuku, memaksaku menatap mata cokelatnya yang memancarkan amarah. Mama, aku takut Mama yang seperti ini. Akan kulakukan apa pun, aku berjanji setelah ini aku akan menjadi anak yang benar-benar baik dan sempurna untuk Mama, asal Mama jangan begini … aku sayang Mama ….

"APA KAMU PAHAM?!"

Aku mengerti, Mama.

Mungkin Mama merasa stres karena waktu kerjanya berkurang. Mungkin nanti Mama akan menghiburku saat malam. Mungkin aku harus berjuang lebih keras. Mungkin saja—

"Mama pergi dulu. Tetap diam di sini dan jangan ke mana-mana."

—Mama membenciku.


Namaku Abdul. Usiaku enam belas tahun. Aku bersekolah di SMA Pulau Rintis.

Kuisap rokok yang mulai kehabisan tembakaunya, mengembuskan semuanya bersama dengan tekanan yang kurasakan dalam bentuk asap. Abu-abu mengambang tinggi, terbang hingga tak terlihat oleh mata lagi.

Mungkin ini sudah yang kelima. Mungkin sudah setahun kujalani ini tanpa diketahui Mama. Entah kapan semua ini akan terkuak. Entah kapan aku tak mampu lagi menahan rasa muak. Apa peduli Mama padaku? Bukankah selama aku mendapat nilai bagus dan menjauhi orang-orang seperti maunya, aku tak akan terkena masalah?

"Abdul."

"Kau?"

"Mengapa kau melakukan ini? Ini tidak boleh. Kalau sekolah tahu—"

"Berisik. Diam sajalah."

Taman belakang sekolah adalah salah satu tempat yang jarang dikunjungi. Lihat saja sudah seberapa rumit rangkaian akar menjalar yang mengikat dan menimpa satu sama lain. Daun ragam warna mengotori nyaris segalanya. Belum lagi dengan tempat yang sedikit berpasir yang kurang disukai orang-orang. Sejauh ini, hanya Probe yang tahu aku di sini, memperingatiku seakan-akan dia mengerti.

"Apa kau ... kepiting dalam drama waktu SMP itu?"

"Heish, pertanyaan itu lagi." Probe menjawab desis. "Kenapa kau sangat yakin dan terus bertanya itu, sih? Sudah kukatakan aku bukan kepiting!"

"Karena hanya kau yang mencoba dekat denganku."

"Hei Abdul, jika kautahu identitas si kepiting yang selalu kautanyakan itu, kaumau apa?"

"Aku ingin tahu mengapa dia melakukan itu."

"Itu? Maksudnya menyerang si protagonis menjengkelkan sampai dramanya dibatalkan?" Probe menerka tanpa menyadari satu kesalahan fatal di dalamnya. Yang tahu protagonis itu menjengkelkan hanyalah aku dan mungkin pemeran yang lain. Penonton tidak tahu apa yang terjadi di atas panggung. "Kepiting bodoh. Mungkin dia melakukannya karena dia memang ingin mencari masalah."

"Hah?" Elakan macam apa lagi ini?

"Tapi akan kuberitahu kau satu hal, Abdul." Bersikap serius itu bukan Probe sama sekali. Ah, tapi siapa aku? Kami bukanlah teman. Probe yang sering sekali mendatangiku, menceritakan hal yang kebanyakan tak pernah kuminta. Hubungan apa ini namanya? Aku tidak pernah memikirkannya. "Kalau seandainya kepiting itu tidak menyerang Ayu Yu, menurutku ... kau akan hancur."

Aku tertegun. Probe ada benarnya. Aku tak bisa berpikir. Aku merasa jatuh sedalam-dalamnya. Tawa para pemain terngiang-ngiang di telingaku meski mereka sesungguhnya hanya tersenyum. Di titik itu, aku merasa duniaku benar-benar runtuh untuk selamanya.

"Kepiting itu adalah malaikat Tuhan yang ingin menyelamatkanmu, Abdul."

Mulai lagi. "Apa yang kaukatakan ini, Probe?"

"Hehe, entah?" Justru dia bertanya balik. Aku tak bisa menahan diri untuk tak kesal padanya. "Jadi jangan lakukan ini lagi. Merokok tidak akan menyelesaikan masalahmu. Kau akan benar-benar hancur kali ini jika kau tidak berhenti, Abdul."

"Kau ini siapaku?"

"Sejauh ini, kita memang bukan siapa-siapa, tapi aku manusia, kau juga manusia. Bukankah sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa sesama manusia harus saling mengingatkan hal-hal baik?"

Aku mencengkeram pinggangku. Begitu nyeri dan tidak tertahankan. Rokok di bangku itu tersapu tubuhku yang jatuh ke tanah, terpental entah ke mana. Kupejamkan mataku sebagai perintah impuls. Aku tidak begitu ingat apa-apa dalam duniaku yang tiba-tiba menggelap—

"ABDUL!"

—lalu terbangun di bawah lampu yang bersinar menyilaukan, seakan aku sedang menyaksikan matahari secara langsung.

Mama duduk di samping kananku, menangis sambil memeluk tanganku yang kini berkabel infus. Walau pandanganku kabur nyaris total, aku tahu bahwa kini aku berada di rumah sakit, dari kabel oksigen yang membuat hidungku risih dan tak bisa bernapas dengan normal hingga bunyi konstan dari mesin entah apa yang tak kukenal.

"Kondisi ginjal anak Ibu sudah parah. Secepatnya kita harus mencari donor yang cocok."

Air mata. Aku merasakan air mata Mama. Hangat dan ... menyakitkan.

Aku berusaha menggenggam tangan Mama yang tak bisa kulakukan dengan sempurna akibat jarum infus yang tertanam dalam kulit. Mama mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah memerah dengan mata bengkak. Aku menangis melihatnya. Mama adalah satu-satunya orang yang kumiliki dan kusayangi. Tuhan, mengapa setiap kali aku adalah alasan untuk air mata Mama?

Setiap malam, aku akan selalu mengintip ke dalam kamar Mama. Memastikan Mama masih mendengkur. Memastikan perut Mama masih naik-turun. Memastikan Mama tak tidur dengan mata terpejam yang dipenuhi guratan lelah dan sakit.

Mungkin orang lain yang mengetahui kisahku akan mengatai Mama adalah orang yang kejam. Tidak! Mama mencintaiku, dan aku tahu itu! Mungkin caranya memang salah, tapi aku tahu yang sebenarnya bahwa Mama menyayangiku!

Aku tahu itu, tapi mengapa aku masih menyakiti hati kecilnya? Menyakiti orang yang senyata-nyatanya melahirkan dan membesarkanku?

Aku tahu segalanya, namun aku seolah lupa setiap kali Mama membentakku, menghinaku, bahkan memukulku dengan berbagai bentuk kekerasan. Aku berakhir membenci Mama, bahkan terkadang aku tak berharap Mama ada di dunia ataupun mengharapkan mama baru yang lebih menyayangiku. Bahkan aku melupakan Mama dengan justru menyakiti diriku sendiri.

Di sini, akulah yang kejam, akulah yang salah.

Aku mengerti, Mama.

"Mama pergi dulu. Tetap diam di sini dan jangan ke mana-mana."

Sesungguhnya. Mama tidak pernah membenciku.

dan aku tidak pernah menduga bahwa akan ada saatnya, di mana sebuah kalimat bisa menjadi pertanda dari suatu akhir.


Di suatu malam, sesosok figur memasuki kamar seorang anak kecil. Rambut hitam dibelai lembut, sebuah pesan disampaikan kepada telinga.

"Mama bangga atas prestasimu. Pertahankan, ya? Semoga kelak kau akan menjadi orang sukses."


Di sebuah malam yang dingin akibat hujan deras, seorang wanita tergopoh-gopoh membawa baskom berisi air dan kain ke dalam kamar. Rambut hitam dibelai dengan tangan gemetar, dahi dipersatukan dengan kain hangat, beberapa rantai kalimat menggaung lirih.

"Maafkan Mama, Sayang. Mama tidak bermaksud menyakitimu. Mama salah, Mama tahu itu. Mama minta maaf padamu. Apakah sekarang kamu masih merasa kesakitan? Maafkan Mama, maafkan Mama ... seharusnya Mama tidak melakukan itu …."


Di malam hari yang diisi orkestra para serangga, perempuan di penghujung angka empat mendatangi kamar putranya dalam diam. Rambut hitam dibelai perlahan, nada-nada mengintip keluar dari bibir wanita itu.

"Kamu sudah berjuang dan melakukan yang terbaik. Mama bangga padamu. Saking bangganya, Mama sampai melihat kebodohan Mama sendiri dan justru melampiaskannya padamu. Mama memang salah ... Mama menyayangimu, anakku sayang, selalu."


Awalnya, Mama tak pernah mencintaimu.

Kamu adalah bukti atas kebodohan Mama yang terlalu dekat dengan seorang pria, hingga perbuatan tak termaafkan pun terjadi. Mama ingin membuangmu sebelum kamu tumbuh besar, tapi Mama tak bisa melakukannya.

Kamu mewarisi rambut, senyum, bahkan juga tingkah laku dari papamu yang tidak bertanggung jawab itu. Mama ingin membencimu, tapi Mama tak bisa melakukannya.

Karena apa pun dirimu, kamu tetaplah anak Mama. Anak yang paling Mama cintai.

Mama minta maaf atas semua yang pernah Mama lakukan. Mama tahu, meski Mama sudah meminta maaf, Mama pasti akan melakukannya lagi. Kamu pasti akan semakin membenci Mama, bahkan mungkin kamu menyumpahi Mama yang sebaiknya mati saja, musnah dari dunia ini hingga tak bersisa satu sel pun.

Tidak apa-apa jika kamu membenci Mama, asalkan kamu jangan bodoh dengan membenci dirimu sendiri, ya?


Seminggu setelah operasiku dinyatakan berhasil dan dikembalikan ke ruang rawatku, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang.

"Probe, terima kasih ... sudah membantuku ... sampai sejauh ini …."

"Sama-sama." Probe mengangguk dengan senyum lima jari. "Sehabis ini—"

Aku melewati pintu ICU yang sedikit terbuka. Aku tak mengerti mengapa aku begitu penasaran, dengan mencoba mengintip seperti apa keadaan di balik pintu.

"Tidak ...!"

Kakiku melemas hingga tak mampu berdiri. Suara hempasan tubuhku menarik perhatian para tenaga medis yang berada di dalam. Beberapa perawat menghampiriku dan mencoba untuk membantuku berdiri, tetapi aku bisa kembali tegak dengan kedua kakiku sendiri dan berlari dari sana, sejauh dan secepat yang aku bisa—

"AAAAAAAAAAAAHHHHHH!"

—namun aku tahu benar, aku takkan bisa lari dari kenyataan yang telah mengambil Mama pergi untuk selamanya.

"Aku ... hrrnghh ... mengapa ... mengapa ...," racauku, "mengapa Tuhan, mengapa? Aku ... krhh ... ngghh ... aku rasa ini salah! Salah! SALAAAAAAAHHHH!"

Aku menangis.

"Tuhan, ini ... hiks ... baru saja terjadi ... tolong Engkau cek lagi pekerjaan malaikat-Mu! Aku ... sniff ... yang seharusnya dipanggil, bukan Mama ...! Khhh!"

Kucengkeram dadaku yang bronkusnya seperti menyempit. Kuhentak-hentakkan kakiku yang aku sendiri tak mengerti mengapa aku melakukannya. Aku menggeleng kuat, menepis realita yang terus memaksaku agar tetap menerima perbuatan jahatnya.

"Kembalikan nyawa Mama ... kembalikaaaaaaaaaannn, aku mohon pada-Mu, Tuhaaaaaaan …."

Aku tak yakin aku dapat hidup tanpa Mama.


Namaku Abdul. Kini usiaku dua puluh tahun. Sekarang aku adalah seorang pegawai tetap di salah satu perusahaan kecil.

Walaupun Mama telah tiada, tapi aku tahu Mama selalu menyaksikanku. Menjadi awan di siang hari, menjelma bintang dalam panorama malam, turun menyertai rinai hujan, menari bersama angin, dan—

"Mama, apa kabar? Abdul datang untuk Mama."

—menyertai setiap jejakku dalam meninta masa depan.


tamat


~himmedelweiss 10/05/2020