disclaimer © Animonsta Studios
warning AU, AR, OOC, Cahaya POV, mungkin bisa dianggap darkfic, salah genre, sinetron, PWP (plot? what plot?), confused plot, typo(s), kebutaan EBI, ide klise, diksi ambyar, (niatnya) prekuel Forgotten Forest, totally random.
submitted to #NulisRandom2020
catatan author uwaw! Tanpa terasa Edel sudah maso satu bulan /plak XD ah, sekadar pemberitahuan. Bagi yang membaca Sweetle Giftalk, Edel pernah berjanji mengenai fiksi ultah Gopal yang asli, 'kan? Sayangnya Edel harus menundanya ke tahun depan karena ... tidak profesional :"D aslinya sekarang mau menulis fiksi di fandom lain kalo tidak teringat draft ini, ehe XDD


Namaku Cahaya, putra tunggal dari salah satu duta Malaysia, Amato … seharusnya.

Dari kecil, aku sudah dibiasakan untuk mengurus semuanya sendiri, akibat kesibukan pekerjaan yang membuat Ayah jarang pulang. Ibu memang di rumah, namun kondisi tubuhnya lemah sehingga tak boleh terlalu banyak bergerak, dan aku tidak mau terlalu membebani orang yang telah melahirkanku. Aku bersekolah di salah satu sekolah internasional di Kuala Lumpur, mengikuti kemauan Ayah—terus terang aku tidak terlalu mempermasalahkan itu.

Hari-hariku bisa dibilang cukup bahagia. Ayah dan Ibu sangat baik. Teman-temanku di sekolah hampir semuanya kompetitif, namun aku merasa tak memiliki masalah pertemanan. Aku punya Tok Aba, kakek dari pihak Ayah yang mencintaiku. Beliau tinggal di kota kecil Pulau Rintis, tempat wisataku saat liburan sekolah. Tok Aba membuka kedai cokelat dekat rumahnya, dan rasa makanan maupun minumannya pun tak main-main enaknya. Benar-benar kehidupan yang menyenangkan.

Sampai suatu ketika, tepat di hari ulang tahunku yang kedua belas, seseorang datang ke dalam kehidupanku, bersama Ayah yang telah berjanji jauh-jauh hari akan datang merayakan pesta ulang tahunku.

Anak itu terlihat mirip sekali denganku. Kalau seandainya dia mengganti pakaian hijaunya dengan warna putih atau abu-abu kesukaanku, kurasa mustahil kami bisa dibedakan. Pertama kali bertemu denganku, dia tersenyum lebar sekali. Mata bulat melihatku, terlihat senang.

Akan tetapi, tentu saja yang pertama kali menarik perhatianku adalah banyaknya perban di tubuhnya.

Ayah membawa kami ke depan kue ulang tahunku. Karena aku tidak punya alasan untuk protes, aku diam saja. Ibu yang baru turun dari tangga tampak kaget, langsung berlari dan berlutut memeluk tamu yang Ayah bawa, menangis tersedu-sedu.

Hal itu tak berlangsung lama. Ayah dan Ibu menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Aku meniup lilin berbentuk angka satu, sementara dia meniup yang berbentuk angka dua. Setelah itu, Ayah membereskan ruangan, sementara Ibu membawa dia ke kamarku. Aku merasa senang karena setelah sekian lama, Ayah bisa datang merayakan ulang tahunku bersama Ibu.

"Cahaya, ini kakak kembarmu. Namanya Daun. Ayo, kalian bersalaman."

Aku menuruti permintaan Ibu dengan mengulurkan tanganku. Daun, um, maksudku Kak Daun memandangi tangan dan wajahku bergantian, sebelum ikut merentangkan tangan kanannya ke depan, membalas uluran tanganku dengan gemetar. Ada sensasi dingin menusuk yang kurasakan dari jabat tangan itu.

"Jadi ini adik Daun, ya? Cahaya namanya?" Kak Daun lagi-lagi tersenyum. "Adik Daun lucu!"

Ah, jadi Kak Daun itu adalah tipe orang yang memanggil diri sendiri dengan namanya, ya? Terus terang, aku merasa geli dengan orang yang seperti itu, tetapi sepertinya aku harus membiasakan diri dari sekarang.

"Ibu, ini siapa?" tanyaku. Aku tahu pertanyaanku membingungkan, tapi Ibu sangat memahami aku. Aku yakin Ibu mengerti dengan pertanyaanku.

Ibu pun menjelaskan bahwa aku dan Kak Daun sudah dipisahkan sejak bayi. Selama ini, yang merawat Kak Daun adalah kakekku, ayah Ibu. Ketika aku bertanya mengapa aku tak pernah melihat kakekku itu, wajah Ibu berubah sedih, jadi aku tak bertanya lagi. Ternyata kakekku telah meninggal seminggu yang lalu, sehingga tak ada orang yang mengurus Kak Daun dan akhirnya Ayah menjemputnya.

Setelah cerita itu, Ibu meninggalkanku bersama Kak Daun. Ibu meminta agar aku mau berbagi kamar dan tempat tidur dengan Kak Daun. Karena kupikir tidak ada masalah, maka aku mengiyakan saja.

"Cahaya Cahaya, kenapa Cahaya pakai benda itu di mata?" tanya Kak Daun.

"Hah? Kacamata maksudmu?" tanyaku spontan, kemudian aku menjawab, "Aku suka."

"Oh, jadi itu yang namanya kacamata ya, Cahaya? Jadi itu benda yang sering Atok pakai sebelum membaca sesuatu! Ah, tapi tapi, kacamata yang Atok pakai itu tangkainya hanya satu, Cahaya! Apa itu kacamata juga?"

Mendengar celotehan Kak Daun, aku mengernyit. Kak Daun ini kakak kembarku, 'kan? Berarti usianya sama denganku, seharusnya ...? Tapi—

"Apa Ayah dan Ibu itu baik, Cahaya?"

"Tentu saja, Kak."

"Hehe, begitukah? Atok juga sangat baik, dan Atok bilang dia menyayangi Daun! Kata Atok, orangtua Daun itu jahat, jadi Atok menyelamatkan Daun. Daun jadi bingung kenapa Ayah dan Ibu tadi tidak membelai Daun."

"H-Ha?"

"Atok dulu sering melakukannya, pada kaki dan tangan Daun. Rasanya sakit sih ... Atok memakai sesuatu yang tajam begitu, dan Daun jadi luka. Tapi Atok bilang itu namanya membelai, dan katanya itu bentuk cinta. Ayah dan Ibu tadi tidak melakukannya, apa berarti Ayah dan Ibu tidak baik, Cahaya?"

Aku terdiam. Penjelasan Kak Daun entah mengapa membuatku ingin menangis. Tadi aku sempat melihat Ibu mengganti semua perban pada tubuh Kak Daun, kemudian mengoleskan obat merah sambil menangis, sementara Kak Daun menjerit-jerit dan ikut menangis. Aku tahu rasanya pedih sekali. Luka-luka pada tubuh Kak Daun bermacam-macam warna. Ada yang masih merah, dan ada pun yang sudah menghitam.

Jelas-jelas Kak Daun bukan mendapat cinta. Perbuatan kakekku tidak manusiawi. Dari penjelasan Kak Daun, aku paham kalau itu bentuk penyiksaan yang ironisnya tidak Kak Daun sadari. Aku harus bereaksi bagaimana ...?

"Ti-Tidak seperti itu, Kak Daun. Itu—ah, Kakak," Kuputuskan untuk mengganti topik. Suaraku sudah terdengar gemetar, "apa Kakak bisa menuliskan nama lengkap Kakak?"

Aku bergegas beranjak dari tempat tidur, mengambil sembarang buku dan pena, kemudian menyerahkannya pada Kak Daun. Seperti reaksinya saat aku mengulurkan tangan, Kak Daun memperhatikan kedua benda yang kuberikan dengan tatapan bingung sebelum mengambilnya. Lama Kak Daun memandangi buku yang terbuka di bagian tengah, hingga pada akhirnya aku mengambil kesimpulan dengan bertanya,

"Um, Kakak ... tidak bisa menulis?"

Kak Daun menggeleng sambil menutup buku.

"Apa Kakak bisa ... membaca namaku yang ada di sini?"

Lagi-lagi, Kak Daun menggeleng, membuatku tercengang. Tidak bisa membaca dan menulis ... usia dua belas tahun bukanlah usia yang wajar! Bagaimana kehidupan Kak Daun selama ini bersama kakekku, kira-kira?

"Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian semester. Setelah itu, bersamaku, Kakak harus belajar membaca dan menulis, juga mengerti beberapa hal," jelasku. Aku juga memahami bagaimana kosa kata kakakku yang sangat sedikit.

"Apa itu ... menyakitkan, Cahaya?" Kak Daun bertanya. Suaranya lucu sekali. "T-Tapi, Daun itu kakaknya Cahaya! Daun tidak boleh membuat Atok susah—oh, maksudnya Adik!"

"Tidak, tidak! Itu akan menyenangkan, Kak Daun!" Sebenarnya aku kurang suka tersenyum. Tidak ada alasan jelas, hanya ganjal saja. Kali ini aku mencobanya, supaya terlihat lebih meyakinkan. "Aku yang akan mengajari Kak Daun, bersama Tok Aba!"

"Atok? Daun punya Atok lain?"

"Iya, Kak. Setiap liburan, aku selalu datang ke rumah Tok Aba. Cokelatnya enak sekali, lho!"

"Cokelat ...? Atok bilang Daun tidak boleh makan cokelat—"

"Kakak harus mencicipinya!"


Aku bukan seseorang yang suka mengingkari janji. Apa yang kusampaikan pasti akan kulakukan.

Saat aku dan Kak Daun siap untuk berangkat ke Pulau Rintis, kami menyalami tangan Ayah dan Ibu. Kak Daun sudah tidak lagi memakai perban, meski beberapa lukanya masih terlihat berbekas. Sesekali aku memberitahu Kak Daun mana yang seharusnya dan yang tak seharusnya dilakukan—seperti pernah sekali Kak Daun tiba-tiba menunjuk pisau dapur saat aku dan Ibu memasak di dapur, bilang kalau itu yang Atok pakai padanya karena Atok menyayanginya.

Perjalanan dari Kuala Lumpur hingga Pulau Rintis memakan waktu lama. Karena aku sudah terbiasa, aku tidak merasa lelah sama sekali, berbeda dengan Kak Daun yang tertidur di pundakku setelah satu jam dalam kereta, bahkan sempat-sempatnya memintaku bernyanyi untuk membantunya tidur semakin lelap.

Kami sampai di stasiun ketika sudah malam. Tok Aba selalu menungguku, menyambut kami berdua dengan merangkul kami sekaligus. Kamar yang biasa aku tempati setiap kali datang berlibur, kini memiliki dua buah kasur singular yang bersebelahan.

"Ooh, sekarang Atok punya dua cucu," tutur Tok Aba. Keningku dan kening Kak Daun dikecup beliau. "Dua-duanya sudah besar! Nah sekarang tidur, jangan begadang, ya?"

"Begadang itu apa, Atok?" Seperti yang telah kuduga, pasti Kak Daun akan bertanya begitu.

"Tidak tidur saat malam, Kak." Aku mengambil alih tugas Tok Aba menjawab pertanyaan Kak Daun. "Itu namanya begadang."

"Nah, besok kalian harus bangun pagi. Bantu Atok di kedai, oke?" Tok Aba sudah berada di balik pintu. Satu tangannya terulur ke arah sakelar, siap memadamkan lampu. "Selamat tidur, cucu-cucu Atok."


Aku bertemu dengan teman-temanku di Pulau Rintis. Kami berteman sudah sangat lama. Ada Gopal yang merupakan anak Pakcik Kumar sang penjual es krim berketurunan India, yang menyebutku sebagai teman baiknya dan memiliki utang paling banyak di kedai menurut catatan Tok Aba. Aku juga memiliki dua teman perempuan, Ying dan Yaya nama mereka. Ying itu keturunan Cina, sifatnya pemalu, bicaranya cepat sekali, tetapi dia sangat baik. Yaya berketurunan Melayu sama sepertiku, berhijab, sama baiknya dengan Ying, sempurna kalau saja tidak hobi membuat undangan ke akhirat berbentuk biskuit.

Bicara soal biskuit, Yaya sedang menawarkannya pada Kak Daun sekarang!

"Hai, Daun! Mau mencoba biskuit buatanku?" tawar Yaya sembari memperlihatkan keranjang biskuitnya yang masih penuh.

Gopal dan Ying sudah memberikan sinyal-sinyal waspada. Aku sudah berusaha mencegah dengan mencoba memanggil Kak Daun, namun dia terlalu fokus dengan bentuk-bentuk lucu biskuit Yaya. Tangannya menjumput satu, dan tanpa bisa kucegah, biskuit itu sudah masuk ke dalam mulut Kak Daun.

"Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanyaaaaa?" Yaya bertanya antusias.

"... Enak."

Aku, Gopal, dan Ying melongo di tempat. Setiap kali aku lupa kepribadianku, kalau sudah berada di dekat Kak Daun. Kakakku itu ... selalu penuh dengan kejutan.

"Rasanya mirip dengan minuman dan makanan yang Atok berikan," tambah Kak Daun.

Yaya bersorak bahagia. Keranjang itu disodorkan tepat ke wajah Kak Daun. "Kalau mau, kau bisa mengambil semuanya, Daun!"

"Sungguh? Aku jadi ... rindu Atok …."

Aku ingat sekali rasa maut biskuit Yaya. Dari kami kecil hingga sekarang, bentuknya masih sama persis. Bahkan saat aku melihat Kak Daun mengunyahnya, tekstur keras itu sangat terdengar meyakinkan. Sebetulnya aku ingin berpikir bahwa Kak Daun hanya ingin menyenangkan hati Yaya, tapi begitu aku mengingat penjelasan Kak Daun mengenai Atok ... pemikiranku benar-benar dibantah kuat.

Mereka adalah teman yang berbeda dengan teman-teman di sekolahku. Saat kujelaskan perihal kondisi Kak Daun yang tidak bisa membaca dan menulis, mereka sama sekali tak menghina. Justru mereka menawarkan diri untuk membantuku mengajari Kak Daun bergantian. Ketika aku menjaga kedai bersama Tok Aba, Kak Daun bersama teman-teman akan duduk di salah satu meja, belajar bersama dengan tugas yang mereka bagi sendiri. Gopal mengajari Kak Daun menulis, Ying mengajarinya membaca, dan Yaya mengajari cara berhitung—aku tak meragukan kemampuan Yaya sebagai ketua klub Matematika di sekolahnya.

Di titik ini, kupikir hidupku tak banyak berubah dengan kedatangan satu orang, tapi kurasa ... aku salah besar.


Liburan telah usai. Itu berarti aku dan Kak Daun harus meninggalkan Pulau Rintis. Kami sangat merindukan Ibu yang menghabiskan waktunya di rumah sakit, setiap kali aku berlibur. Kesehatan Ibu memburuk ketika cuaca ekstrem—seperti bulan Juni yang memiliki bulan dengan curah hujan paling sedikit, dan bulan November dan Desember yang hampir setiap hari selalu hujan. Tentu saja, bagi Kak Daun, saatnya memulai kelas baru, tentunya setelah berhasil mendapatkan ijazah sekolah rendahnya melalui ujian paket.

Kak Daun bisa bergabung di kelas yang sama denganku berkat permintaan Ayah. Malahan, Kak Daun ditempatkan sebangku denganku. Kak Daun cepat akrab dengan orang lain karena sifatnya yang—harus kuakui—memang menggemaskan, berbeda denganku yang memang agak sedikit menjauh dari mereka. Saat mendapat formulir pendaftaran klub, Kak Daun tertarik dengan klub botani sekolah dan selalu mengikuti kegiatan klub setiap Sabtu. Kak Daun juga pandai dalam belajar. Aku tahu Kak Daun itu sesungguhnya pintar, terbukti dengan Kak Daun yang cepat belajar selama bersama dengan Gopal, Ying, dan Yaya.

Semua itu membuat kami berjauhan, tanpa sadar. Kak Daun yang sibuk dengan klubnya, sementara aku yang sibuk meraih prestasi sebanyak mungkin agar tetap menjadi yang terbaik. Sedikit demi sedikit benang persaudaraan kami merenggang, kemudian pada akhirnya—

"Kak Daun, aku membencimu!"

—putus.

Aku tahu Kak Daun tidak sengaja merusak puzzle yang sudah kuciptakan dengan susah payah—membuat lima ribu keping puzzle yang membentuk sebuah panorama. Kak Daun bahkan sudah meminta maaf sambil menangis keras. Aku seharusnya bisa berpikir rasional, maksudku, rekor menciptakan puzzle lima ribu keping dalam waktu satu minggu ini bukan apa-apa, dibandingkan kakakku tersayang yang sudah lama menjauh dariku—atau aku yang menjauhinya? Apa pun itu, aku begitu menyesal membiarkan emosi mengambil alih semuanya.

Kak Daun mengusap air matanya kasar. Seluruh bagian tubuhnya gemetar. "Ca-Cahaya ... Daun ... Daun minta maaf …."

"Aku tidak akan sempat menyusunnya lagi! Kalaupun sempat, aku tidak akan bisa!" rutukku frustasi.

"Cahaya ... jangan marah lagi ... Daun ... tidak ... tidak sengaja—"

"POKOKNYA AKU MEMBENCI KAKAK!"

Aku tahu. Aku sangat tidak dewasa. Aku telah menghancurkan hati kecilnya.


Paginya, Kak Daun menghilang. Kuasumsikan Kak Daun sudah pergi sekolah lebih awal, namun saat aku mendatangi kelas dan taman belakang sekolah, tidak ada Kak Daun di sana. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Kak Daun, aku ingin meminta maaf padanya. Aku sadar kalau aku sudah keterlaluan sekali.

"Cahaya?" Seorang siswi teman sekelasku menyapa saat aku menjejakkan diri di taman belakang sekolah, markas klub botani. Namanya Amy. Dia teman satu klub Kak Daun. "Ada apa kamu datang ke sini?"

"Aku ... uh ... aku ke sini ... aku ingin mencari Kak Daun," jawabku kikuk.

"Eh, begitu. Daun baru saja meninggalkan rumah kaca." Amy mengangguk singkat. "Apa kaumau melihat rumah kaca klub kami, Cahaya? Semua itu Daun yang menyusunnya, indah sekali. Kautahu? Dia bilang dia terinspirasi setelah melihat sesuatu."

"Ke mana perginya Kak Daun?"

"Maaf, aku tidak tahu, tapi tadi dia pergi sambil menangis. Mau mengintip sebentar? Hanya perlu memastikan Daun tidak tahu. Jangan bilang aku yang memberitahumu, ya?"

Amy membimbingku hingga sampai di depan rumah kaca. Melalui gerak tangannya, Amy memberi kode agar aku yang membuka pintu rumah kaca itu sendiri.

Begitu pintu terbuka, tungkaiku melemas. Aku jatuh dan langsung menangis.

Aku hapal sekali. Seisi rumah kaca ini ... sama persis dengan cetak biru puzzle buatanku.


"Cahaya sedang membuat apa?"

"Aku ingin membuat puzzle, Kak."

"Puzzle?"

"Itu seperti menyusun sesuatu hingga membentuk sesuatu yang berbeda."

"Wah, sepertinya seru! Cahaya mau membentuk apa?"

"Taman bunga dalam hutan di malam hari. Ada kolam, dan mungkin akan kutambahkan banyak kunang-kunang. Bentuknya seperti ini, ini rancangan yang kubuat."

"Cahaya memang bisa segalanya, hee hee!"

"Aku terinspirasi dari Hutan Pulau Rintis yang sama sekali tak pernah dikunjungi. Kata Gopal banyak hantu di sana, tapi waktu aku datang sendiri, pemandangan itu yang justru kulihat. Indah, bukan?"

"Uwaaa! Indah sekali! Daun mau pergi ke sana bersama Cahaya kalau ke Pulau Rintis lagi, boleh?"


Hari itu juga, aku memutuskan untuk pergi ke Pulau Rintis dengan mengambil uang tabunganku, tanpa bicara pada siapa pun.

Aku tidak bisa meminta maaf, dan aku tahu aku tak pantas dimaafkan. Dengan alasan itu, aku memutuskan untuk melompat dari ranting tempatku berpijak, menari bersama rangkaian tali yang mengikat ranting dan memutari leherku, bergerak seperti ayunan lalu mengakhiri semuanya. Aku berharap semua orang melupakan eksistensiku, dan bersumpah jika keinginanku ini terkabul, akan kubuat siapa pun yang masuk ke sini bernasib sama sepertiku, tanpa terkecuali.

Hei, percayakah kalian dengan hal magis yang ada dalam hutan tak terjamah?


Hari yang tak kuinginkan datang.

Mengapa ... dia datang? Mengapa ...? Mengapa kau membuatku harus memenuhi janji—sumpahku—dengan merasa sakit lagi, Tuhan?


tamat


~himmedelweiss 30/06/2020