Let's Stop This

.

Naruto Masashi Kishimoto

.

Romance, Drama T rated

PERINGATAN! OOC, TYPO, CRINGE CHEESY

Alternate Universe – YAOI/BL

.

Dari sepersekian kemungkinan yang ada di alam semesta, inikah jalan yang harus kulalui?


#1. Sebab Musabab


"Uh—ano—".

Tutur kata terbata lagi-lagi keluar dari mulut seorang pemuda pirang yang tengah duduk di atas kursi. Wajahnya jelas mencerminkan suasana hati dan kepala yang berantakan—betul-betul gelisah dengan situasi yang membelitnya kala itu. Mata Naruto—si pemuda yang dimaksud—melirik dua orang yang juga duduk bersamanya, bergantian.

"I—Itu… haruskah aku benar-benar menjawabnya?". Kembali, Naruto menanyakan sesuatu yang sama pada pemuda lain yang ada di depannya. Alisnya memelas, berusaha memperoleh amnesti. "Tentu saja. Konsekuensimu memilih truth tadi,". Layaknya seorang tiran yang tidak punya ampun, ia—Sasuke—melipat kedua tangan di atas perut, dengan santai menunggu jawaban Naruto yang tak kunjung didapatnya.

Mendengar balasan Sasuke, si pirang lalu menggigit bibir, pindah menatap Sakura—kawan perempuannya yang turut hadir—untuk meminta bantuan. Ia tidak merasa mampu untuk menjawab pertanyaan itu sendirian. Tidak setelah pikirannya dibuat kusut seperti sekarang.

Seolah paham dengan kode yang Naruto pancarkan, gadis merah muda itu mengangguk kecil sebelum akhirnya menghadap laki-laki berambut biru kehitaman itu. Ia menarik napas dan menghembusnya sekali, menyusun strategi kilat untuk menyelamatkan kawannya.

"Ara—Sasuke-kun, pertanyaanmu tidak seru. Ganti saja,". Akhirnya, Sakura mengambil langkah agar sobat ghibahnya—Naruto—selamat dan tidak perlu menjawab pertanyaan Sasuke barusan. Dengan nada tidak tertarik dan tawa kering, gadis itu menepiskan tangannya beberapa kali, berharap pemuda bermarga Uchiha itu termakan kibulannya. "Lagi pula, Naruto-kun tidak punya orang seperti itu. Iya kan?".

Eh… ada sih, protes Naruto dalam kepala.

Tapi melihat senyum Sakura yang terlalu lebar, rasanya tidak mungkin ia menjawab jujur seperti tadi, bukan?

"Ahaha—yup, tidak ada!" timpal Naruto didahului tawa buatan untuk meyakinkan pemuda yang tidak banyak berubah ekspresi itu. Si pirang tahu persis kebohongan kecil ini tidak akan mampu menutupi kenyataan yang disembunyikannya bersama Sakura. Dari tempatnya duduk, ia dapat merasakan tatapan Sasuke yang serupa pendeteksi dusta. Naruto harap—Sasuke akan memilih untuk menyerah, sekali pun ia tahu Naruto tidak jujur.

"Aku tidak percaya," sanggah Sasuke selang beberapa momen. Tangan pemuda itu ganti posisi, dengan kedua siku kini bertumpu pada paha bagian atas, bertopang dagu. Lirikan tajam nan sipit milik Sasuke lalu tertuju pada Naruto, sontak makin membuat dada si pirang berdebar tidak karuan.

Sial. Ia lupa kalau Sasuke adalah jenis laki-laki yang menyebalkan dan keras kepala hampir dalam segala situasi,

tidak terkecuali dalam permainan bodoh seperti ini.

.

.

"Rasanya tidak mungkin, kau, tidak memiliki orang yang kau sukai—bukan begitu, Naruto?".

.

.

Agh, mati sajalah aku.

.

.


Getar ponsel yang berkali-kali datang itu agaknya mengusik bunga tidur yang sedang Uzumaki Naruto dekap erat-erat. Dengan tubuh setengah sadar, tangannya menggapai sisi lain kasur tempat ponsel pintarnya berada—apalagi kalau bukan untuk mematikan sumber pengganggu yang membangunkannya saat itu.

Jam digital pada layar ponsel menunjukan pukul lima, bukan pagi. Dan hal apa yang membuat ponselnya begitu berisik…

[Sakura-chan. 6 panggilan tak terjawab].

[Sakura-chan. 11 pesan baru].

Oh, shit

Kantuk Naruto sontak menguap setelah ia ingat mengapa Sakura memborbardirnya hari ini. Tubuhnya ia paksa untuk bangkit dan mandi—walau kepayahan— secepat yang ia bisa agar Naruto tidak terlambat ke acara tahunan itu. Sungguh, mengapa ia kelepasan untuk tidur di hari spesial seperti ini?

"Halo, Sakura-chan?". Sembari berpakaian, Naruto membuat panggilan dengan sahabatnya melalui sambungan telepon. Tidak butuh waktu yang lama bagi Sakura untuk menjawab, tentu saja.

"NARUTO KAU—AGH BENAR-BENAR! Jangan bilang kau baru saja bangun,". Semprotan perempuan itu spontan membuat Naruto tertawa. "Enak saja. Aku sudah mandi," sahutnya, seraya jemari mengancing kemeja hijau tua yang baru saja dipakainya. Ia lalu mengambil outer dengan warna dan bahan yang lebih lembut, kemudian menyambung percakapan yang tadi dijedanya, "Aku akan segera pergi. Belum terlambat, kan?".

Sakura menghela napas, terlalu kencang sampai-sampai Naruto bisa mendengarnya. "Tidak, sih. Lekas, aku tidak ingin sendirian di sini hanya karena menunggu seorang idiot,". "Apa—kau sudah sampai?". "Menurutmu? Ugh, kau harus tancap gas, Naruto-kun. Kecepatan penuh. Aku akan meninggal kalau menunggu lebih lama dari ini,". Pemuda berambut pirang itu mendenguskan tawa kala mendengar keluhan Sakura. Ia sudah rapi dan wangi, siap untuk keluar dan berpesta semalam suntuk.

"Aku akan menelponmu lagi kalau sudah sampai, oke?". Tanpa menunggu respons dari pihak seberang, Naruto memutus sambungan telepon dan menyimpan ponselnya di salah satu saku celana. Segera. ia menyambar kunci mobil dan berkendara menuju tempat yang dimaksud, sebuah restoran apik yang disewa oleh kawan-kawan sekolah menengah atasnya dulu. Alias, malam ini Naruto akan datang ke reuni.

Temu kangen oleh alumni SMA-nya ini adalah acara tahunan dan selalu diselenggarakan di tempat yang sama. Jujur saja, Naruto tidak memiliki alasan yang kuat untuk datang ke reuni, selain karena sahabatnya Haruno Sakura yang selalu memaksanya bergabung untuk melepas penat dan makan enak. Ia tidak masalah, selama tidak berbenturan dengan jadwal kerjanya yang agak bajingan itu.

"Sakura-chan? Aku sudah di lobby,".

Sesuai janji, laki-laki berambut pirang itu kembali membuat panggilan pada sahabatnya—Sakura—setelah ia tiba di lokasi. Masih dengan ponsel di telinga, Naruto melangkah maju. Matanya menyapu ruangan besar nan benderang itu, mencari sobat jambonnya yang telah datang lebih dulu.

"Jutaan tahun telah lewat, kau baru datang—JABRIK!".

Semburan yang minim rasa malu itu dilontarkan—siapa lagi kalau bukan—Sakura, perempuan yang tengah mendekat ke arahnya dengan mata hijau menyala. Naruto paham betul kalau ia telah membuat kawannya menunggu, namun agaknya reaksi si tunggal Haruno terlalu berlebihan.

"Gomen,". Sambil memutus sambungan telepon yang ia buat beberapa detik lalu, Naruto membalas ucapan selamat datang Sakura. Ia kembali menyakukan ponsel dan terkekeh. "Aku baru saja tidur—kau tahu? Mohon maklum," lanjutnya dengan cengir lebar, mencari alasan agar diampuni perempuan bergaun biru langit itu.

"Kau—" ucap Sakura, dengan jari telunjuk mengarah ke wajah laki-laki yang ia sebut dengan jabrik. Si tunggal Haruno mendesis, "—nyaris terlambat untuk makan enak,". Naruto memijat pelipis, heran dengan sobatnya yang (entah mengapa) selalu menomorwahidkan makanan itu. "Yang penting aku sudah datang, kan?" sanggah si pirang, lalu berjalan menuju elevator untuk mengangkut mereka menuju restoran yang dimaksud.

Sakura mendengus lalu memajukan bibir, walau akhirnya mengekor di belakang Naruto dengan patuh. Ia menyandarkan tubuh berbalut gaun off-shoulder di dinding elevator. "Jadi, kuharap kau memiliki alasan bagus untuk membuatku menunggu," ujar perempuan itu, membuka pembicaraan mumpung hanya ada mereka berdua (dan CCTV). Lawan bicaranya—Naruto—menolehkan kepala. "Aku baru tiba dari luar kota tadi pagi. Siangnya aku pergi ke rumah seorang narasumber. Menurutmu aku tidak bisa tidur sedikit?".

Hela napas terdengar dari pihak perempuan sebagai respons. "Ganti saja pekerjaanmu," katanya, tidak bermaksud serius. Ini bukan kali pertama baginya mendengar cerita Naruto perihal profesinya sebagai seorang jurnalis. Jujur, ia kasihan. Beban pekerjaan yang diterimanya tidak sebanding dengan upah yang ia dapat. Salah-salah, kawannya bisa jadi meninggal karena kelaparan dan kelelahan. Parah betul memang.

"Ingin, tapi tidak bisa,". Yup, reaksi yang sama kembali didengar Sakura.

Terlanjur cinta, katanya. Hilih.

"Awas saja kalau besok ada berita 'seorang wartawan ditemukan tewas dalam keadaan lapar di apartemennya',". Kalimat perempuan itu malah membuat Naruto melontarkan tawa, tergelak dengan lawak yang memang populer di kalangan sesama jurnalis. "Itu tidak akan terjadi karena aku pergi ke reuni untuk makan enak," balasnya kemudian.

Kala tawa keduanya reda, Naruto berdehem dan merapikan outer yang dikenakannya, melihat sebentar lagi mereka akan sampai di lantai tujuan. "Ah—sepertinya ada alasan lain," gumam Naruto, setelah sekelebat ingatannya masuk dalam kepala.

Si pirang baru saja sadar mengapa istirahatnya begitu lelap tadi sore. Walau sejenak ia mendaratkan badan di atas kasur, mimpi yang dihimpun dari ingatan masa lekas diputarnya sepanjang tidur. Samar, ia mengingat bayang dirinya dan Sakura—yang waktu itu masih duduk di bangku tahun ketiga di SMA.

"Dan apa itu?". Tepat saat Sakura bertanya, denting bel elevator berbunyi—bersamaan dengan kedua pintunya yang membuka perlahan. Naruto belum berubah posisi, pun belum menjawab apa yang Sakura ingin tahu.

Ia beku, saat sosok lain dalam mimpinya muncul dalam wujud nyata di hadapannya. Naruto belum bisa lupa bagaimana sorot tajam dan dingin milik laki-laki itu memandangnya.

.

.

.

"Sasuke…?".


tbc~


ekhem jadi Ao kembali gaess dgn lagi2 drama (ya km drama melulu seeh wkwkwk) menurut klen gmn readers-tachi uwu silakan review yaa