"ASTAGA! Aku terlambat! Ya ampun! Ayah pasti sudah siap menyiksaku di rumah!" rusuh sosok berhelai pirang sambil melihat jam tangannya.
Malam itu, tepatnya pukul sembilan larut—kota Domino diguyur hujan yang cukup deras. Namun hal itu tidak menghentikan sang pemuda berlari tergesa-gesa, menerobos terpaan hujan sambil sesekali mencuri pandang cemas ke arah jam tangannya.
"Waduh! Lewat jalan mana yang lebih cepat ya?" dua tungkai diperlambat, pandangannya memindai jalan sekeliling yang dipenuhi lampu kota. Bergumam tanpa henti pada dirinya sendiri, berharap tidak salah mengambil keputusan.
"Ah, lewat sini deh…"
Selama perjalanan, punggung tangannya sibuk menyisir poni keemasan panjang—menghalau helaian-helaian yang basah karena air hujan turun semakin deras dan mulai membuat pandangan matanya tidak fokus.
Tepat ketika menyeberangi zebra cross, tubuhnya dikejutkan oleh cahaya silau yang menghadang dengan cepat. Sebagus apapun refleks seorang Jounouchi Katsuya, malam itu dia gagal menggeser kakinya lebih jauh untuk menghindar.
CKIIIIIITTTT
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGHHH!"
FAKE REALITY
(Side A; Kaiba)
YGO (c) Takahashi Kazuki
Warning: Boy x boy. Keju. Headcanon. 'Animal' abuse.
.
by Ratu Obeng (id: 1658345)
.
.
.
Chapter 01
Aku terkejut akan sekelebat bayang-bayang melintas di hadapanku. Secepat itu juga aku menginjak rem dan membanting setir cekatan, membuat mobil Limousin kesayanganku terpaksa berhenti semena-mena di tengah jalan.
"Ya Tuhan! Apa itu tadi? Ada apa ini?" riuh mulai terbit mengisi telinga tepat ketika kaca mobil kuturunkan. Tampak pejalan kaki mulai melepaskan haknya berjalan di trotoar dan malah berkerumun di seputaran mobilku.
(Dasar rakyat jelata rendahan. Aku tahu kalau jalan raya bukanlah milikku pribadi, tapi berada di tengah jalan tanpa tahu aturan juga bukan hal yang benar.)
Tanpa peduli akan derasnya hujan, aku keluar dari mobilーbermaksut menghalau mereka. Atau jika ingin main kasar, aku mau mereka semua masuk penjara karena sudah berani mengganggu perjalanan pulangku. Aku punya uang banyak, aku bisa melakukan apa saja selama kupikir itu benar.
Ditimpa rasa penasaran, akhirnya aku ikut menyeruak ke dalam kumpulan pedestrian yang mulai berteriak.
"Ada yang tertabrak!"
"Kasihan, padahal masih muda."
"Seseorang tolong panggilkan ambulans!"
Aku berhasil melewati segerombolan manusia panik di sekelilingku untuk melihat figur tak berdaya terbaring dalam genangan air hujan, juga genangan darahnya sendiri. Rambut serupa kuning telur matang yang sangat kukenal membuatku spontan meneriakkan namanya.
"JOUNOUCHI!?"
Melupakan sejenak siapa aku dan siapa saja yang melihatku saat ini, aku mengotori celana mahalku di bagian lutut untuk meraih leher belakangnya dengan hati-hati.
"Jou! hei, JOU! BANGUN!"
Percuma. Tidak kulihat sedikitpun reaksi positif yang menyambut. Kurasakan tubuhnya pun semakin dingin, entah karena darah yang terus mengalir keluar atau memang pengaruh cuaca yang tidak bersahabat.
Tak mengacuhkan pertanyaan mahluk-makhluk sialan yang mengerubuni, aku buru-buru mengangkatnya dan kembali menuju mobil. Kurebahkan tubuh kurusnya di kursi penumpang dalam posisi senyaman mungkin, tanpa peduli bahwa darahnya akan mengalir mengotori properti otomotif milikku. Seperti yang kubilang sebelumnya; aku punya uang. Hanya mengganti jok mobil bukanlah hal yang perlu dirisaukan.
Segera kunyalakan mesin, lekas melarikan Limousin dengan kecepatan luar biasa menuju rumah sakit Domino.
.
.
.
Sesampai di dalam gedung bertingkat yang didominasi warna putih, aku memapah Jounouchi di tanganku seraya berjalan cepat menuju meja informasi. Beberapa perawat yang menyadari adanya tetesan darah segera berlari menghampiriku.
"Suster, tolong! Dia tertabrak."
Dengan sigap, para suster jaga mengambil tempat tidur dorong lalu membantu merebahkan tubuh sang korban di atasnya.
"Maaf, tuan. Tolong tunggu di lobi. Saya akan mendatangi anda untuk proses selanjutnya." salah satu dari suster dengan sopan mengarahkanku ke ruang tunggu pasien, "Sebelumnya, tolong isi berkas-berkas ini demi kepentingan pasien."
Aku mengangguk dan berjalan menuju tempat yang ditunjuk. Untunglah saat ini rumah sakit sedang sepi karena aku tidak tahu harus berkelit bagaimana jika ada pers yang memergoki sementara aku masih harus mengurus ini dan itu. Sungguh sial. Setumpuk kerjaan dan masalah di kantorku ternyata belum cukup banyak.
Sesampai di ruang tunggu, aku menjatuhkan tubuhku malas di kursi terdekat. Menatap langit-langit rumah sakit yang tidak didominasi warna lain selain putih.
Kejadiannya cepat sekali, batinku. Aku lelah dan masih belum mampu berpikir jernih.
Setelah menenangkan diri dengan segelas kopi hangat yang memang menjadi fasilitas rumah sakit, kucoba membaca perlahan kertas-kertas yang diberikan suster tadi. Beberapa bagiannya agak basah karena tetesan air hujan yang masih berkumpul di jari-jari.
"Biodata pasien, eh?" gumamku sambil membolak-balikkan kertas tersebut.
Aku tidak banyak tahu tentang anjing kampung itu, dan aku sedang tidak bawa laptop sehingga tidak bisa mengeceknya di Internet. Daripada tidak menulis sama sekali, kuputuskan untuk mengisi yang kuingat saja.
Nama, Jounouchi Katsuya. Mudah-mudahan ejaannya tidak salah. Jenis kelamin, Laki-laki. 16 tahun. Hmm, tanggal lahir 25 januari. Untuk hal ini aku terpaksa ingat, mengingat Yugi gencar mengajakku patungan untuk membeli kadonya walau ulang tahunnya masih lebih dari sebulan lagi.
Yugi?
Ah, benar juga. Aku harus menelpon Yugi supaya dia bisa memberi tahu keluarga si anjing kampung tentang keadaannya sekarang. Lagipula pemilik rambut unik bak bintang laut itu merupakan sahabatnya yang paling dekat, tentu saja dia harus tahu.
KRIIIINGG
Aku terlonjak sekilas karena dering handpone dari saku celanaku menyita perhatian. Yang menyebalkan, aku harus menekan tombol dengan sedikit gemetar karena belum menguasai diri sepenuhnya. Kecelakaan lalu lintas bukanlah kejadian sehari-hari yang terbiasa kuhadapi.
"Ya, Mokuba?"
"Kakak!" sambut suara dari seberang sana, "Ini sudah hampir tengah malam dan operator kantor bilang semua karyawan sudah pulang dari tadi. Kenapa kakak tidak memberi kabar? Kakak lagi ada di mana?" pertanyaan itu bertubi-tubi dan bernada panik.
"Sorry, Mokuba. Aku di rumah sakit Domino. Jounouchi tertabrak."
"HAAAAH? JOU? Apa aku perlu menyusul ke sana?"
Harusnya aku tidak sejujur itu. Kurasakan nada bicara adikku menjadi getir. Aku hampir lupa kalau adik kesayanganku dan Jounouchi merupakan sahabat dekat.
"Jangan! Besok kau harus sekolah. Lebih baik gunakan waktumu untuk segera makan, mandi, lalu tidur."
"Tapi kak—"
"Mokuba! Turuti kataku!" bentakanku menghentikan aksi protesnya.
"…oke, aku tidur sebentar lagi." suaranya menipis, "Tapi… Jou tidak kenapa-kenapa, kan?"
"Cepat tidur, Mokuba. I love you." tanganku memutuskan sambungan, mengembalikan ponsel ke dalam saku celana.
Kembali fokus, kukerjakan lagi berkas-berkas merepotkan tadi sebisaku. Untunglah pengalaman di kantor membuatku terbiasa menangani dokumen-dokumen, sehingga sedikit banyak aku terbantu karena hafal posisi-posisinya. Saking konsentrasi, aku tidak menyadari seorang suster berdiri di belakangku dan menepuk ringan pundakku.
"Permisi, Tuan…"
"Kaiba." tambahku tajam
Dia tampak terkejut mendengarnya. Tentu saja harus. Karena bagaimanapun rumah sakit ini termasuk salah satu dari tempat yang disponsori oleh perusahaanku.
Ah, aku yakin belum memperkenalkan diri. Kalau begitu cobalah mengingat dengan kapasitas otak kalian yang pas-pasan.
Namaku Kaiba Seto.
CEO dari perusahaan Kaiba yang bisa mengendalikan kota Domino tempatku sekarang tinggal. Itulah mengapa sebelumnya aku berkata memiliki uang banyak. Membeli dan melakukan apapun bukan masalah besar untukku. Tapi, tidak—tidak untuk sekarang. Aku tidak bisa memutar waktu dan berharap saat ini masih sibuk di dalam kantor, di balik meja kerja. Berharap ketika pulang mobilku akan mencari rute lain agar tidak terlibat masalah apapun. Meskipun ingin mengutuk anjing kampung itu untuk semuanya yang tengah kualami sekarang, semua sudah terlambat. Lagipula aku punya prinsip untuk mengakhiri apa yang sudah kumulai.
"Tuan… Kaiba…" ucap suster tadi sekali lagi, "Pasien sudah bisa dikunjungi. Boleh saya mengambil berkas-berkasnya?"
kutaruh lembaran yang sudah kuisi ke tangannya, "Dia di ruangan mana?"
"Ruang 312, lantai tiga. Dia dirawat oleh dokter bernama Dawson. Tuan, apa anda perlu handuk? Badan anda basah sekali." tanyanya gugup namun memaksakan tersenyum.
"Tidak usah, urus saja berkas-berkas ini. Jangan lupa untuk untuk menyiapkan dokumen biaya rumah sakitnya."
"Ba-baik, Tuan" dia menundukkan kepalanya lalu dengan cepat menghilang ke balik meja informasi.
Aku menaiki tangga dan berjalan hingga menemukan ruangan yang dimaksud. Suasana hening rumah sakit membuat dentuman sepatuku yang bersinggungan dengan lantai terdengar berdecit mengisi sudut-sudut ruangan. Sesampainya, Aku terdiam sejenak dengan tatapan kosong ke arah pintu kamar di mana Jounouchi sedang terbaring.
"Anda tuan Kaiba?" kulihat seorang pria paruh baya perlahan menghampiriku.
"Siapa?"
"Saya dokter Dawson yang menangani pasien ruangan ini. Apa anda yang membawa pasien kemari?"
"Namanya Jounouchi Katsuya. Boleh aku masuk?"
"Tentu saja. Tapi setelah itu, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada anda."
Aku menggigit bibir—menelan harga diriku. Seumur hidupku aku tidak pernah begitu peduli pada orang lain kecuali Mokuba, tapi kali ini aku benar-benar dibuat penasaran, "Lalu tentang keadaannya?"
"Silakan masuk dulu untuk melihat."
Pria berbalut jubah putih itu membuka pintu kemudian mengajakku menyusuri kamar dengan fasilitas terbaik. Di sana tubuh kurus Jounouchi terbaring, dihiasi beberapa alat infus dan alat bantu pernafasan, tak ketinggalan balutan perban di sekujur tangan serta kepalanya. Mukanya pucat sekali, sesekali napasnya terdengar lemah.
"Apa saja luka-lukanya, Dok? Bagaimana jelasnya?" tanyaku berusaha tidak terdengar panik.
"Dia mengalami gegar otak yang cukup parah dan beberapa patah tulang. Karena nutrisi di tubuhnya sangat kurang, maka metabolisme pemulihannya diyakini akan berjalan sangat lambat. Karenanya tuan Jounouchi harus diberi infus nutrisi terlebih dahulu untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya, setelahnya kami akan segera memberikan perhatian khusus bagian yang patah." jelas suara parau itu panjang lebar.
Kurang nutrisi? Mata kepalaku selalu melihat seorang Jounouchi mengunyah seperti anjing kelaparan di sekolah, mana mungkin dia bisa kurang nutrisi.
"Kira-kira kapan dia sadar?" tanyaku lagi.
"Jika treatment yang diterapkan berhasil, dia akan bangun dalam dua atau tiga hari. Karena kami lihat, semangat hidupnya cukup kuat."
"Ooh…" ujarku lega. Semangat hidup—memang hanya itulah yang bisa dibanggakan dari anjing kampung satu ini.
"Bisa anda ke ruangan saya sebentar? Saya kira, banyak hal yang perlu saya ketahui tentang teman anda."
"Dia bukan temanku!" sergah ketus.
"Ah… maaf." kulihat dia kebingungan, "Dia saudara anda?"
Aku mengerutkan poros dahi, "Apalagi itu…"
"Jadi? Masa…?"
"Sebaiknya kita bicara di ruangan anda saja." potongku sembari menghela nafas panjang.
Dia mengangguk paham dan mulai memimpin jalan. Aku melihat Jounouchi untuk terakhir kali di hari itu sebelum mengikuti lelaki tua ini ke ruangannya.
.
Sudah tiga hari berlalu, namun Jounouchi masih terbaring lemah seperti yang tampak dihadapanku. Dia masih belum juga memberikan tanda-tanda akan siuman. Dua hari yang lalu Yugi dan teman-teman busuknya datang menjenguk. Yugi terus menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri, tentang kenapa dia tidak mengantar Jounouchi setelah main dari rumahnya malam itu.
Sementara aku selalu datang setiap jam sebelas malam atau lebih larut setelah kerjaan di kantorku selesai. Aku tidak mau terlihat oleh teman-temannya seolah tengah peduli. Aku tidak peduli pada Jounouchi, tentu saja aku sangat tidak peduli. Meskipun pada kenyataannya kami teman sekelas dan lebih dari sering membuat kegaduhan karena perdebatan tidak penting, aku tidak akan pernah peduli.
Bagiku dia hanyalah teri kelas rendahan. Hanyalah seorang Jounouchi Katsuya.
Aku tahu Yugi dan yang lain akan selalu datang menjenguk setiap pulang sekolah atau saat tidak ada pelajaran tambahan, maka datang pada malam hari merupakan saat yang terbaik. Lagipula aku malas menyakiti telingaku dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting mereka. Karena hal ini juga, aku meminta seluruh pihak rumah sakit untuk merahasiakan keterlibatanku dalam kecelakan yang menimpa pasien malang nan menyusahkan ini.
Hal yang menurutku tidak masuk akal adalah permintaan salah satu temannya yang berambut rancung—ukh, namanya Honda kalau tidak salah—untuk tidak memberitahukan keadaan Jounouchi pada keluarganya kecuali adik perempuannya.
Memang kenapa dengan keluarganya? Apa mungkin ada hubungannya dengan keadaan 'kurang nutrisi' yang dibicarakan tempo hari?
Kutepis pertanyaan di benakku, membiarkannya menguar tanpa peduli akan jawabannya. Itu bukan urusanku, dan seperti yang kukatakan tadi; aku-tidak-peduli.
(Tapi kalau aku tidak peduli kenapa mau saja repot seperti ini?)
Hubungan kami sangat tidak baik. Di sekolah, di jalan, atau kapanpun kami bertemu, bumbu pertengkaran akan selalu menghiasi. Bagiku, membuatnya marah menjadi hal yang paling menyenangkan. Setiap selesai bertengkar dengannya, pikiranku menjadi segar dan bisa menaikkan mood-ku di kantor. Mungkin saja tanpa sadar seluruh energiku selama di sekolah ternyata sudah kuhabiskan untuk menghadapi Jounouchi. Pegawai-pegawai sialanku itu harus berterima kasih pada anjing kampung ini, karena berkatnya'lah mereka tidak langsung kupecat kala berbuat kesalahan.
Aku tersenyum simpul, menarik kursi kayu di belakangku agar bisa duduk di dekatnya yang masih bergeming dalam tidur, mengamati hal-hal tentangnya lebih seksama. Alat Bantu pernapasan sudah dicabut dan hanya terdapat beberapa alat infus di bagian lengan. Perlahan aku membelai rambutnya yang berkilau keemasan melewati jemari panjangku.
Halus sekali, kagumku.
Kuraih perlahan tangan kanannya yang hangat dengan kedua tanganku.
Kalau diam dia manis juga.
Meskipun hanya dalam hati, ini pujian serius. Aku memang tidak pernah benar-benar melihatnya setenang ini. Jika berada sekitarku, dia dipastikan berisik dan tidak bisa diam persis seperti anak kecil yang dilepas di taman bermain.
"Cepat bangun, anjing kampung! Aku mulai rindu teriakan bodohmu yang bisa menghancurkan semua kaca mobilku." bisikku tepat di telinganya.
Mendadak, aku dikejutkan oleh suara desahan dan gerakan tubuh Jou. Dimulai dari jemarinya yang bergerak satu per satu, lalu sangat perlahan dia membuka kedua mata. Menampilkan manik madunya yang cerah pada dunia.
"Jounouchi?" aku berdiri untuk mengamatinya dengan tidak percaya. Hampir saja kursi yang kududuki terjatuh karena melakukan gerakan yang tiba-tiba.
Beberapa saat dia mencoba menyesuaikan diri dengan silaunya lampu yang menghujam retinanya. Tatapannya terlihat kosong dan bingung, terutama saat menatapku.
"Jangan banyak bergerak! Sebentar, kupanggilkan dokter."
"Kau…" ucapnya lirih sebelum melanjutkan kalimatnya.
"—siapa?"
To be continued...
R&R maybe? C: