Before the Graduation

.

.

Naruto Uzumaki

"AKU TELAAAAAT!"

Suasana pagi di kediaman keluarga Umino mendadak yang semula tenang mendadak pecah oleh teriakan keras dari lantai atas. Sang kepala keluarga, Iruka Umino, yang tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur, tersentak sedikit sebelum kembali melanjutkan kegiatannya sambil geleng-geleng kepala.

"PAAP! KENAPA TIDAK MEMBANGUNKANKU?!"

Terdengar suara bergedebukan heboh, disusul suara pintu kamar mandi yang dibanting menutup.

Dengusan tawa kecil terlepas dari bibir Iruka. Jelas kegaduhan di pagi hari seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di rumahnya. Ia sudah terbiasa. Naruto Uzumaki, putra angkat kesayangannya itu, punya kebiasaan tidak bisa tidur setiap kali menghadapi hari-hari penting. Padahal di hari-hari biasa Naruto tidak kesulitan bangun pagi—bahkan kalau hari libur pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan ngelayap ke tempat Sasuke atau pergi joging. Namun sepertinya antusiasme yang berlebihan dan energi yang meletup-letup di saat-saat tertentu seperti sekarang membuatnya sulit terlelap. Seperti saat di sekolah dasar dulu, Naruto tidak bisa tidur semalam sebelum ikut program kemping musim panas dan esok harinya Iruka terpaksa harus mengantar putranya yang ngambek ke tempat kemping karena tertinggal bus rombongan.

Dan kali ini pun bukan pengecualian. Hanya saja kali ini Iruka sudah mengantisipasinya. Seraya menggumamkan senandung kecil, ia kembali menyibukkan diri dengan telur mata sapi di atas penggorengan.

Dua porsi sarapan sudah siap di atas meja makan ketika Naruto akhirnya bergedebukan turun dari kamarnya. Dengan kemeja setengah rapi, dasi yang masih terikat longgar di kerahnya, dan tas selempang yang menggantung serampangan di bahunya, Naruto muncul di dapur—yang mencakup ruang makan—Rambut pirangnya berantakan. Wajahnya yang memerah diliputi kepanikan.

"Pap lihat togaku tidak? Aku tidak menemukannya di mana-mana!" tanya Naruto panik, berkutat memasukkan ujung kemejanya yang masih menyembul berantakan ke dalam celana.

"Pagi, Naruto," sapa Iruka kalem, sambil mengocek kopi. "Di situ. Aku baru menyetrikanya," pria itu mengendikkan dagu ke salah satu kursi di depan meja makan, tempat toga Naruto disampirkan.

Tanpa buang waktu Naruto langsung melompat menyambar toganya.

"Sarapan dulu," kata Iruka, seraya tersenyum geli mengawasi Naruto yang berusaha memasukkan lengannya ke lengan toga dan mengancing bagian atas kemejanya yang masih terbuka sekaligus. "Aku sudah buatkan rot—"

"Tidak ada waktu buat sarapan, Pap!" sela Naruto tak sabaran. "Kita sudah terlambat banget!"

Iruka yang tidak menghiraukan kata-kata Naruto, dengan santai meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan berjalan ke arah kulkas. "Kau mau susu atau sari jeruk?"

"PAP! KITA SUDAH TELAAT!" Naruto praktis menjerit panik. Bagaimana tidak? Jika Nona Tsunade—yang menurut Naruto lebih cocok dipanggil 'Nenek' alih-alih 'Nona'—mengancam jika ada yang terlambat, maka orang tersebut akan diwisuda tahun depan dan ditangguhkan ijazahnya.

"Coba kau cek lagi jam berapa sekarang," balas Iruka kalem, seraya meraih gelas di rak di dekat kulkas.

Dengan geraman tak sabar, Naruto menyambar jam meja di sisi meja makan. "Sekarang sudah hampir jam sembi—" suaranya mendadak menghilang. Mata birunya membelalak dramatis ketika mendapati jarum jam di tangannya menunjukkan waktu yang sama sekali berbeda.

Iruka melirik putranya sambil mengulum senyum. "Jadi kau mau susu atau sari jeruk?"

"Susu," gumam Naruto, mengguncang-gunjang jam di tangannya, membolak-baliknya untuk memastikan benda itu masih berfungsi. Masih belum yakin, ia beranjak ke ruang keluarga, mengecek jam dinding. "Kok bisa salah?" gerutunya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal setelah kembali ke dapur, tampak kebingungan. Naruto yakin sekali tadi tidak salah melihat waktu di bekernya, meskipun agak aneh mengingat benda itu terlambat berbunyi dari waktu yang sudah ia setel semalam. Tadinya ia kira benda itu rusak—kecuali ...

"Pap?" Naruto melirik ayahnya dengan mata menyipit curiga.

"Hm?" Iruka balas menatap Naruto dengan kedua alis terangkat, sembari meletakkan gelas berisi susu di atas meja. Ekspresinya polos seolah tak tahu apa-apa, namun kedutan yang kemudian muncul di sudut bibirnya segera membuka kedoknya. Rahasianya seketika terbongkar.

"AAAAH!" jari Naruto menuding dengan dramatis. "JANGAN-JANGAN PAP MENGUTAK-ATIK BEKERKU LAGI!"

Kali ini Iruka tak bisa menahan tawanya lagi. Ekspresi Naruto yang komikal dengan mulut menganga itu benar-benar hiburan di pagi hari. "Jangan mangap begitu, nanti kemasukan lalat," ujarnya geli sambil duduk.

Selama beberapa saat Naruto menatap ayahnya yang menyesap kopi, tak tahu harus berkomentar apa. Sebagai seseorang yang punya hobi mengerjai orang lain—dengan target favorit bernama Sasuke Uchiha—Naruto biasanya sangat sensitif jika ada orang yang berniat mengisenginya. Tetapi dengan ayahnya ini ia seringkali lengah. Bukan kali ini saja Naruto kena dikerjai. Namun alih-alih kesal, Naruto justru lega luar biasa. Karena kali ini keisengannya justru sudah menyelamatkannya.

Naruto lantas menghenyakkan diri di bangku kosong di seberang Iruka, meraih gelas susu lalu menenggak isinya banyak-banyak. "Wow—Pap. Thanks sudah mengerjaiku," ujarnya setelah menemukan kembali suaranya.

"Bukan mengerjai, Naruto. Hanya sedikit tindakan pencegahan," sahut Iruka sambil tersenyum.

Naruto mendengus, memutar bola matanya. "Yeah, betul." Ia menggigit potongan besar roti bakar dari piring sarapan yang telah Iruka siapkan untuknya. "Kalau Pap melakukan ini padaku terus-terusan, aku bisa kena serangan jantung di usia muda!" protesnya dengan mulut penuh.

"Tidak kalau kau mulai menghilangkan kebiasaanmu bangun terlambat di hari-hari penting." Ekspresi Iruka melembut ketika menatap Naruto di seberang meja. "Apa lagi sebentar lagi kau akan tinggal di Suna. Tidak ada Pap yang bisa membangunkanmu."

"Gampang!" Naruto mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku tinggal telepon malam harinya dan minta Pap membangunkanku besok pagi-paginya lewat telepon."

"Kau ini suka seenaknya sendiri..." Iruka terkekeh-kekeh sambil geleng-geleng kepala.

Naruto hanya membalas dengan cengiran, sebelum kembali menekuni sarapannya.

Beberapa saat berlalu tanpa ada yang berbicara. Yang terdengar hanya denting peralatan makan dilatarbelakangi suara televisi yang menyiarkan berita pagi. Sesekali ditingkahi suara samar deru kendaraan yang melintasi kompleks dan para tetangga yang mulai beraktivitas. Suasana rumah di pagi seperti biasa—yang dalam hitungan minggu akan segera ia tinggalkan. Meskipun tidak selamanya, tetapi Naruto yakin ia pasti akan merindukan suasana seperti ini di Suna nanti.

Pemikiran itu kerap menghantuinya semenjak ia tahu permohonan beasiswanya berhasil tembus. Naruto sejak awal memang berencana melanjutkan pendidikan di luar Konoha—ia ingin merasakan suasana baru, berkeliling tempat-tempat baru, menjelajah. Dan ketika ada tawaran untuk beasiswa khusus untuk atlet berprestasi di Suna, tanpa pikir panjang Naruto langsung mendaftar. Dan ia berhasil, bersama salah seorang teman seangkatannya dari klub basket. Kans untuk tinggal di luar Konoha membuatnya bersemangat, tetapi sekaligus membuatnya cemas.

Bagaimana dengan ayahnya? Meninggalkan Konoha berarti meninggalkan Iruka sendirian. Bertahun-tahun sejak istrinya—ibu angkat Naruto—meninggal, mereka tinggal hanya berdua saja, tentu saja Naruto jadi mencemaskan ayahnya itu. Meskipun Naruto menyadari bahwa Iruka adalah laki-laki dewasa yang bisa mengurus dirinya sendiri, tapi tetap saja. Ah, terkadang Naruto berharap Iruka segera menemukan perempuan yang baik dan menikah lagi.

Lagipula ayahnya sama sekali tidak jelek, pikir Naruto sambil memperhatikan ayahnya dari seberang meja. Wajahnya cukup menarik untuk laki-laki seusianya. Ia punya sepasang mata cokelat yang hangat, senyumnya manis, ramah—walau terkadang bawelnya seperti ibu-ibu—bisa masak dan jago menangani anak-anak. Laki-laki dengan kualitas suami idaman begini, masa sih tidak ada yang naksir? Pak Hatake yang suka baca buku begituan saja bisa menikah lagi kok.

Bukannya Naruto tak pernah menyinggung hal ini pada Iruka. Sudah beberapa kali ia mencoba, meskipun dibawa dengan nada bergurau. Namun ia tak pernah mendapatkan kepastian yang diinginkannya. Iruka selalu memberikan jawaban yang diplomatis, membuat Naruto gemas. Kendati sangat ingin, Naruto tentu saja tak bisa memaksa ayahnya. Jika Iruka belum menemukan seseorang yang tepat, memangnya ia bisa apa?

Atau mungkin Iruka masih belum bisa melupakan mendiang istrinya—ibu angkat Naruto. Fotonya masih terpajang di beberapa sudut rumah, dan ia juga masih mengenakan cincin pernikahan mereka hingga saat ini. Naruto menduga itulah alasan terbesar ayahnya belum menikah lagi sampai sekarang.

"Ada apa, Naruto?" Iruka bertanya keheranan ketika Naruto tiba-tiba saja berhenti makan. Pandangannya menerawang ke arah lemari buffet di seberang ruangan—tempat foto ibu angkatnya dipajang.

Naruto mengerjap, lalu memandang Iruka. "Ah—tidak," sahutnya seraya menusuk telur orak-ariknya, membawanya ke mulut. "Hanya kepikiran sesuatu."

Iruka menaikkan kedua alisnya menatap sang putra. Piring sarapannya sudah bersih dan sekarang ia tengah menyesap sisa kopinya yang sudah mulai dingin. "Kepikiran soal promdate-mu lagi? Memikirkan gadis mana yang bisa diajak di saat-saat terakhir untuk menggantikan Hinata?" godanya, teringat curhatan Naruto tempo hari.

"Bukan ituu!" Naruto buru-buru membantah. "Aku tidak peduli punya promdate atau tidak. Lagipula, Sai juga pergi sendiri." –Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun berlagak tak memikirkannya, sebenarnya Naruto masih sedikit memendam kekecewaan setelah Hinata membatalkan rencana mereka pergi ke prom bersama karena ada acara keluarga yang tak bisa ditinggalkan. Apa boleh buat. Gadis itu pun terlihat kecewa dan merasa bersalah, jadi Naruto tak bisa marah padanya. Tapi sekarang permasalahannya sama sekali bukan itu. "Aku kepikiran Mam."

"Ah ..." Iruka meletakkan cangkir kopinya. Sorot matanya melembut—sorot mata yang sama setiap kali mereka membicarakan mendiang istrinya. "Ada apa tiba-tiba?"

Naruto mengendikkan bahu. Sejenak ragu, sebelum menyahut lambat-lambat, "Mungkin ... karena sebentar lagi aku akan pergi jauh. Entahlah ..." Ia mengangkat bahunya lagi, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sementara ayahnya menunjukkan ekspresi tidak mengerti. "Rumah ini akan sepi tanpaku, kan? Maksudku ... er ... kalau Mam masih ada, Pap tak akan kesepian."

Iruka yang menangkap arah pembicaraan anak lelakinya itu tertawa kecil. "Baiklah. Aku berjanji tidak akan kesepian, jika itu yang kaucemaskan, Naruto. Lagipula, ibumu tidak pernah meninggalkan kita. Dia selalu ada ... di sini," ujarnya seraya meletakkan tangan di dada, tepat di atas jantungnya.

Naruto menghela napas. Kata-kata ayahnya tepat seperti dugaannya. "Yeah, tentu saja. Mam pasti juga menginginkan Pap bahagia."

Sekali lagi Iruka terkekeh-kekeh. "Kau ini ... Cepat habiskan sarapanmu. Bisa-bisa kita terlambat betulan."

"Aye aye, Sir!" sahut Naruto, nyengir lebar. Di seberangnya, Iruka beranjak dari bangku, mengacak rambut sang putra sebelum pergi ke garasi untuk mengeluarkan mobil tuanya.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Naruto bergegas membereskan meja makan, meletakkan semua peralatan makan kotor di dalam wastafel sebelum meraih tas serta toganya dan menuju pintu depan tempat Iruka sudah menunggunya.

"Sudah siap?"

"Yep!" sahut Naruto seraya mengenakan sepatu pantofel yang sudah ia sikat sampai mengilat semalam.

"Kemari," Iruka memberi isyarat setelah Naruto memakai sepatunya, kemudian mulai membantu putranya itu merapikan simpul dasinya yang masih longgar. "Akan kupertimbangkan," katanya tiba-tiba.

"Apanya?"

Iruka tersenyum simpul, sembari merapikan keliman kerah kemeja Naruto. "Memberimu ibu ba—"

"YES!" Sebelum Iruka menyelesaikan kata-katanya, Naruto sudah melempar kedua lengannya memeluk sang ayah erat-erat sambil berseru kegirangan. "Yes! Yes!"—Iruka mau tak mau ikut tertawa bersamanya.

"Baiklah, baiklah—kau mencekikku, Naruto." Iruka menepuk-nepuk bahu Naruto.

"Ups!" Naruto buru-buru melepaskan pelukannya sambil nyengir lebar. "Sori."

"Pap serius, kan?" tanya Naruto memastikan, setelah keduanya masuk ke dalam mobil.

"Hmm ..." Iruka mengangguk, memasang sabuk pengamannya.

"Tapi Pap harus berjanji melakukan itu demi dirimu sendiri, bukan karena aku."

"Naruto ..."

"Janji?" desak Naruto.

Iruka menghela napas, sebelum menyunggingkan senyum dan mengangguk. "Baiklah. Aku berjanji."

Dengan begini, ia bisa pergi ke Suna dengan tenang, pikir Naruto lega.

"Omong-omong ... Bu Mitarashi?"

Iruka hanya terbahak.

.

.

Sakura Haruno

Sakura Haruno melangkah mundur dari depan cermin untuk kesekian kalinya, memandang pantulan bayangannya sendiri dengan dahi mengernyit. Dengan helaan napas tak sabar, ia menyisiri helaian-helaian merah muda di atas kepalanya, memastikannya terlihat rapi. Setelah beberapa kali mencoba menata rambutnya sejak setengah jam yang lalu—mengepang, menguncir, menyanggul—akhirnya gadis itu memutuskan untuk menggerai saja rambutnya yang sudah mulai panjang itu. Kelihatannya itu yang paling baik. Meski entah mengapa Sakura merasa masih belum puas dengan penampilannya.

Seperti ada yang salah ...

"Sakura, kau sudah siap?"

Suara ibunya mengalihkan perhatian gadis itu dari cermin. Ia menoleh, mendapati Azami sudah berdiri di pintu kamarnya. Wanita paruh baya itu terlihat anggun dalam balutan setelan resmi. Rambut merah gelapnya tersanggul rapi di belakang kepala. Bibirnya yang dipoles lipstik menyunggingkan senyum. Mata hijau yang diwariskannya pada Sakura berkilat mengawasi sang putri yang masih sibuk mematut diri.

"Ibu bisa lihat sendiri," tukas Sakura panik, sembari berbalik memelototi cermin. Ia menggeram ketika poninya yang sudah kelewat panjang dengan bandel terus-terusan terjatuh ke matanya. "Urgh ... bisa-bisa aku terlambat hanya gara-gara ini."

Azami tertawa kecil melihat putrinya begitu senewen. Ia tidak lagi heran. Dulu Himeko—mendiang kakak perempuan Sakura—juga mengalami hal yang sama di hari kelulusannya, panik hanya karena masalah sepele. Yah, siapa pun pasti akan antusias menghadapi saat-saat seperti ini. Dan untuk kasus putri semata wayangnya ini, kelewat antusias sampai jadi senewen.

"Sini, Ibu bantu."

Sakura memutar tubuhnya, membiarkan Azami membantu merapikan rambutnya—ia hanya mengambil jepit rambut dari meja rias, menyisir poni putrinya ke belakang, lalu menjepitnya. Dan masalah pun teratasi—sebelum memakaikan toga hijau lumut di atas setelan kemeja dan rok sepan selutut yang dikenakannya.

"Nah, sekarang anak Ibu sudah cantik," Azami berkata sambil tersenyum memandangi hasil kerjanya. Tangannya dengan cermat merapikan keliman kerah toga putrinya.

Setelah ibunya selesai, Sakura kembali memandangi cermin, memeriksa bayangannya sendiri, memastikan tak ada sisa sarapan tertinggal di wajahnya. Sudah rapi, pikirnya akhirnya, seraya meraih tube lipstick berwarna pink nude dan memoleskannya tipis-tipis di bibirnya sebagai sentuhan terakhir. Sakura bisa melihat ibunya mengawasinya lewat cermin. Ekspresi di wajahnya membuat Sakura mengerutkan dahi.

"Ibu kenapa?"

Pertanyaan Sakura tampaknya membuyarkan apa pun yang sedang dilamunkan wanita paruh baya itu. "Ah—tidak apa-apa. Ibu hanya merasa waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin Ibu membuai anak Ibu yang manja ini dalam gendongan, melihatmu berlarian di sekeliling rumah memamerkan gaun Ciderella pemberian ayahmu, dan lihatlah sekarang." Azami menghela napas seraya melangkah ke belakang putrinya, dengan lembut menyampirkan rambut merah muda Sakura ke belakang bahunya sambil tersenyum hangat. "Sakura-ku sudah tumbuh menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, lulusan terbaik ... Jika ayah dan kakakmu ada di sini, mereka pasti akan bangga sekali. Sama seperti Ibu yang bangga padamu, Nak."

Sakura tak tahu dengan pasti bagaimana perasaannya mendengar kata-kata ibunya. Di satu sisi ada perasaan haru—bercampur malu—mendengar pujian itu. Namun di sisi lain, mendengar mendiang kakak dan ayahnya disebut membuatnya merasakan kembali kehampaan yang lama ia lupakan sepeninggal dua orang yang amat dikasihinya itu.

"Ibu ..."

Suasana penuh haru itu mendadak dienterupsi oleh tawa kecil Azami. "Kenapa malah jadi cemberut begitu? Kau tidak mungkin kan naik ke podium dengan wajah muram begitu? Nanti cantiknya hilang lho."

Terkadang Sakura heran sendiri dengan kemampuan ibunya membelokkan pembicaraan secara tiba-tiba. Di satu waktu dia bisa melankolis seperti drama-drama televisi yang sering ditontonnya saat senggang, tapi detik berikutnya ia bisa mengatakan sesuatu yang ... yah, bisa merusak suasana. Seperti sekarang ini.

"Please deh, Ibu. Aku naik ke podium untuk berpidato, bukan untuk kontes kecantikan."

"Hmm ..." Azami mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata hijaunya berkilat nakal. "Memangnya kau tidak ingin kelihatan cantik di depan Sa—"

"Ibuu ..." Sakura buru-buru merajuk, sebelum ibunya menyentuh topik yang berbahaya. "Sasuke tidak ada hubungannya!"

Jika ada satu hal lagi yang membuat Sakura heran pada ibunya, itu adalah bagaimana ibunya bisa sampai tahu perasaannya pada Sasuke Uchiha? Padahal sejak kejadian dengan Neji, Sakura tak pernah sekali pun membicarakan perasaan spesialnya pada anak laki-laki kepada ibunya. Terlebih ini adalah Sasuke, cowok yang bisa dikatakan tetangga dan hampir setiap hari bertemu dengan ibunya. Bagaimana jika ibunya keceplosan—mengatakan hal yang tidak-tidak di depan Sasuke?

Bisa mampus.

Tapi toh tanpa diberitahu pun, pada akhirnya ibunya bisa tahu.

"Kau itu memang jago akting, Sakura. Kecuali jika berhubungan dengan perasaanmu. Aktingmu payah," komentar Ino saat Sakura curhat tentang kegalauannya ini.

Mungkin karena itu.

"Darah itu lebih kental dari air, Sakura. Ibumu sedikit banyak bisa merasakan apa yang kaurasakan," Kakashi pernah berkata padanya dulu—walaupun komentarnya ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Sasuke.

Bisa jadi karena itu juga.

"Drama queen," kata Sai, langsung menusuk di hati.

Urgh.

"Memangnya kenapa dengan Sasuke? Ibu tidak bilang Sasuke lho," ujar Azami geli. "Ibu kan tadi mau bilang 'memangnya kau tidak ingin terlihat cantik di depan sahabat-sahabatmu?'."

Sakura menggeram, "Ya Tuhan ... Aku bisa gila ..." Ia lantas berpaling, berusaha tidak menatap ibunya yang terkekeh geli dengan menyibukkan diri mengenakan toga di atas blusnya.

"Ibu mau ambil kamera dulu. Jangan terlalu lama. Ibu tunggu di bawah ya." Azami menepuk punggung putrinya.

"Okey," sahut Sakura tepat sebelum Azami berlalu meninggalkan kamar. Gadis itu menghela napas, mencoba menenangkan diri.

Entah mengapa setiap kali ibunya menyinggung Sasuke selalu membuatnya berdebar-debar tak keruan. Benar-benar membuat frustrasi. Padahal seharusnya ia lega karena ibunya menyukai Sasuke—bahkan keduanya pun tampak akrab, walaupun Sasuke sedikit canggung berinteraksi dengan Azami jika dibandingkan Sai atau Naruto—Sakura belum lupa betapa paniknya ia ketika ia tahu Sasuke pernah mengantar Azami berbelanja ketika gadis itu sakit flu. Keesokan harinya ia langsung mengintrogasi Sasuke, menanyakan apa saja yang mereka bicarakan. Sasuke mengatakan mereka hanya membicarakan hal-hal biasa, tetapi sampai saat ini Sakura selalu merasa mereka merahasiakan sesuatu darinya.

Barangkali hanya perasaannya saja, seperti kata Ino. Atau ia memang seperti kata Sai, 'drama queen'.

"Sakura, sudah siap, Nak?" Suara Azami yang berasal dari lantai bawah membuyarkan lamunan gadis itu.

"Iya, Bu. Aku turun sebentar lagi!" Sakura balas berseru, seraya buru-buru menyambar topi toga dan tasnya dari atas tempat tidur. Gadis itu baru saja mencapai pintu ketika ia teringat sesuatu. "Oh, ya! Pidatoku! Ya ampun—hampir saja!" Sakura menepuk dahinya. Ia lantas buru-buru berbalik menuju meja belajar untuk mengambil binder tempat ia menyimpan catatan pidato kelulusannya.

Dan saat itulah pandangannya tertumbuk pada lembaran-lembaran kertas yang tercecer di bawah binder. Beberapa berisi tulisan-tulisan dengan banyak coretan di sana-sini—draft teks pidatonya yang gagal. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan lembaran kertas lain yang terselip di antaranya. Yang berisi tulisan lebih banyak dari yang lain, juga lebih tidak formal.

Sakura tak dapat menahan tawa kecil yang meluncur begitu saja dari bibirnya ketika mengambil kertas-kertas tersebut. Itu adalah tulisan iseng yang dibuatnya semalam, saat tengah berlatih untuk pidato kelulusannya. Di satu saat ia masih sibuk berlagak sedang berpidato sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, dan saat berikutnya konsentrasinya sudah tak lagi tertuju pada pidatonya.

Selembar foto dalam pigura di atas meja belajarnya sukses membuat perhatiannya teralih.

Foto dirinya yang tengah mengenakan jubah bertudung merah a la Red Riding Hood, dengan diapit tiga cowok kesayangannya saat festival sekolah beberapa bulan yang lalu. Festival bertemakan fairy tale yang—konon menurut pengakuan cablak Sai dan Naruto, di bawah pelototan galak Sasuke—sengaja dirancang khusus oleh Sasuke untuknya.

"Kami hanya menyesuaikan tema dengan drama kalian," Sasuke langsung berkilah saat itu, seraya menatap galak pada Sai dan Naruto.

Tapi Sasuke tak tahu bahwa saat itu Sakura menyadari telinganya yang memerah. Juga bahwa fakta kecil itu—meskipun dibantah mati-matian olehnya—membuat Sakura serasa melayang ke langit ke tujuh. Gadis itu tak akan pernah lupa bagaimana dirinya tak bisa berkata-kata, linglung saking bahagianya. Dan bukan hanya karena Sasuke.

Kebetulan festival itu diselenggarakan di bulang Maret, hampir bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dan rupanya teman-temannya berencara memanfaatkan momen untuk memberinya kejutan. Sakura tak akan pernah bisa melupakan saat Naruto, Sai, Sasuke, Ino dan yang lain tiba-tiba muncul di panggung sesaat setelah pertunjukan drama tahunan selesai, membawa kue tart lengkap dengan lilin sejumlah usianya, sambil menyanyikan lagu happy birthday untuknya di depan seluruh penonton yang memadati gymnasium.

Tapi itu hanyalah sebagian kecil jika dibandingkan dengan apa yang telah mereka lewati dua tahun belakangan. Kejadian-kejadian tak terduga yang kemudian menyatukan mereka. Konyol, jika Sakura mengingatnya kembali sekarang. Tapi ia tak akan pernah menyesalinya. Hari ketika Naruto memutuskan untuk melayangkan tinjunya pada Sasuke di koridor sekolah adalah hari bersejarah dalam hidupnya.

Dan saat itulah—tadi malam, maksudnya. Saat kenangan itu kembali berputar dalam kepalanya—tangannya mulai bergerak mengikuti kata hatinya, menuangkan semua yang ia pikirkan dan rasakan tentang mereka. Menuliskannya, seakan sedang berbicara langsung pada mereka. Dan itu membuat perasaannya campur aduk. Entahlah ...

Sakura hampir-hampir tak menyadari betapa sayang dirinya pada mereka bertiga sampai ia memikirkan bahwa waktu mereka semakin sempit. Setelah hari ini, mungkin sulit bagi mereka untuk melewatkan waktu bersama-sama seperti saat mereka masih menjadi siswa Konoha High. Naruto akan segera terbang ke Suna untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Begitu pula dengan Sai yang memutuskan untuk kuliah di Ame. Hanya tinggal dirinya dan Sasuke. Itu pun Sakura tak yakin mereka bisa seleluasa sebelumnya.

Haah ... hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatnya merasa kesepian.

Dan Sakura ingin ketiga sahabatnya itu tahu betapa berharga mereka baginya. Itulah yang membuatnya kemudian memutuskan untuk menjadikannya semacam pengingat sebelum mereka berpisah. Mungkin kedengarannya konyol dan terlalu sentimentil, mengingat mereka tidak berpisah selamanya—mereka masih bisa bertemu saat liburan, tentu saja. Apalagi Sasuke. Sakura masih bisa menemuinya kapan saja ia mau—Tapi Sakura tak peduli.

Karena ada hal-hal tertentu yang rasanya lebih mudah dikatakan tidak secara lisan—kalau kau tahu maksudku.

"Sakura!" panggil Azami lagi. Kali ini suaranya lebih mendesak. "Kalau tidak cepat-cepat, kita bisa terlambat, Nak."

Sakura buru-buru menyelipkan kertas-kertas di itu ke dalam bindernya sebelum menjejalkan semuanya ke dalam tas. "Aku datang!"

.

.

Sai Shimura

Sai Shimura duduk seorang diri di ujung meja panjang itu, menyantap sarapan paginya dalam suasana hening di ruang makan rumah besarnya di Root Hills. Seorang laki-laki berseragam pelayan, yang rambutnya sepenuhnya telah memutih, seperti biasa berdiri di dekatnya seperti patung yang bernafas, siap melayani jika ia membutuhkan sesuatu. Bukan pemandangan aneh.

Hampir tak ada yang istimewa, kecuali pakaian yang ia kenakan lebih rapi dan resmi dibanding hari-hari biasa. Sedikit menyedihkan, memang, mengingat hari ini bisa dibilang hari istimewa bagi Sai. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada lagi keluarga yang tersisa selain sang kakek, Danzou Shimura, yang bisa diajak merayakan. Itu pun jika sang kakek berkenan.

Dan mengingat perselisihan kecil yang terjadi beberapa hari sebelumnya, Sai ragu kakeknya bersedia hadir di acara wisudanya. Memang tidak sampai terjadi keributan besar seperti saat Sai berhenti dari Konoha Art Academy dua tahun lalu, tapi tetap saja membuat suasana menjadi tidak enak. Perbedaan pendapat antara dirinya dan sang kakek memang bukan hal yang aneh bagi Sai, begitu pula yang terjadi saat ini. Mereka berbeda pendapat tentang ke mana Sai melanjutkan pendidikannya setelah menamatkan studi sekolah menengahnya.

Danzou menginginkan Sai mengambil jalur seni murni dan menjadi seniman profesional, tetapi Sai memiliki keinginan yang berbeda. Ia ingin mendalami jurnalistik. Sai mengerti sang kakek menginginkannya memimpin Konoha Art Academy suatu hari nanti. Tapi menurut pendapatnya, memimpin sekolah seni itu tidak lantas harus seorang seniman. Sampai sekarang mereka belum menemukan kesepakatan. Danzou bahkan belum benar-benar bicara pada cucunya sejak perdebatan mereka.

Dan Sai ragu kakeknya itu bersedia hadir di acara wisudanya. Barangkali akan diwakilkan dengan Nona Yuugao, seperti yang sudah-sudah. Ah, diam-diam ia iri pada Sasuke, yang kedua orangtuanya jauh-jauh datang dari Oto hanya untuk menghadiri upacara kelulusannya.

Seolah itu belum cukup buruk untuk merusak suasana hatinya di hari kelulusannya ini, Mina, gadis keempat yang dikencaninya semenjak kelas tiga, memutuskan hubungan mereka tepat sehari sebelum kelulusan.

What a great day.

Hanya dengan memikirkannya saja membuatnya tidak berselera makan.

Menghela napas berat, Sai meletakkan garpunya di atas piring omelet yang baru setengah dimakan dan menenggak sari jeruk banyak-banyak. Ia mengerling arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia masih memiliki banyak waktu sebelum berangkat.

Sai lantas mengambil tas yang diletakkan di bangku kosong di dekatnya, mengeluarkan sebuah buku berukuran A4 hard cover berwarna hijau lumut dari dalamnya. Lambang Konoha High School diembos di bagian depan sampul bersamaan dengan tahun kelulusan—buku tahunan sekolah, di mana ia menjadi ketua panitia penyusunannya. Sebenarnya buku itu baru saja selesai dari percetakan dan belum sempat dibagikan pada anak-anak. Yang berada di tangannya hanyalah contoh, tetapi sejauh ini Sai cukup puas dengan hasilnya—setidaknya lebih baik dari milik angkatan sebelumnya.

Dibukanya lembaran kertas lux itu satu demi satu, menyusuri wajah-wajah tersenyum teman-teman seangkatannya di setiap halaman. Ada yang ia kenali, ada pula yang tidak. Tetapi semua menampilkan senyum terbaik mereka—bahkan Sasuke dan Kinuta yang pelit senyum. Timnya benar-benar bekerja keras untuk itu. Memotret satu demi satu anak-anak, mengabadikan setiap kegiatan—mulai dari kegiatan rutin klub, pertandingan olahraga, hingga acara besar seperti festival tahunan sekolah. Ditambah momen-momen kecil di koridor atau di kantin sekolah pun ikut mereka abadikan untuk dimasukkan ke dalam buku—Mengumpulkan profil semua siswa senior dan para guru, wawancara, membuat artikel, hingga merancang design buku ... dan semua itu terbayar lunas.

Rencananya buku tahunan itu akan dibagikan hari ini setelah upacara selesai. Rasanya Sai sudah tidak sabar melihat reaksi teman-temannya saat buku itu sampai di tangan mereka.

"Habiskan sarapanmu, Sai."

Sai tengah asyik membaca profil Sasuke di rubrik jajaran organisasi sekolah ketika suara serak yang sudah amat dikenalnya mengalihkan perhatiannya. Kedua alisnya terangkat tinggi mendapati sang kakek sudah berdiri di ujung meja. Namun bukan kehadiran laki-laki tua itu yang membuatnya terkejut. Alih-alih mengenakan jumper yang biasa dikenakan di rumah, Danzou mengenakan setelan jas rapi berwarna gelap. Setahu Sai tidak ada kegiatan di KAA selama dua minggu ke depan, dan ia juga sudah memastikan pada Nona Yuugao kakeknya tak ada jadwal apa pun hari ini.

Tapi tentu saja Sai tidak membiarkan harapannya melambung terlalu tinggi. Danzou tidak pernah mengatakan apa pun tentang hadir di acara kelulusan sang cucu sebelum ini—bahkan ketika Sai menyampaikan undangan langsung padanya.

"Kakek ada acara di kampus hari ini?" tanyanya, menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu berharap. Dan tentu saja yang dimaksud dengan 'kampus' adalah Konoha Art Academy.

"Akademi sudah memasuki masa liburan. Kau tahu itu, Sai," sahut sang kakek serak, selagi Sandayu—sang kepala pelayan yang sejak tadi berdiri di dekat Sai—dengan sigap menarik kursi di ujung meja untuknya duduk. "Siapkan sarapan untukku juga."

"Baik, Tuan," sahut Sandayu kalem. Ia menuang air ke dalam gelas berkaki sang tuan sebelum meminta diri.

Danzou meletakkan tongkat berjalannya, lalu mengeluarkan secarik amplop tebal dari dalam saku jas dan meletakkannya di atas meja. Sai langsung mengenalinya sebagai undangan acara kelulusannya.

"Acaranya pukul sembilan pagi ini, bukan?" Danzou menyeruput airnya.

"Y-ya ..." sahut Sai ragu setelah beberapa saat seakan kehilangan suaranya. "Tapi—tapi bagaimana dengan Nona Yuugao? Kukira dia yang akan pergi."

Dan Sai langsung menyesali kata-katanya. Ia merasakan suasana langsung berubah tegang ketika sang kakek menatapnya dengan dahi berkerut dalam. Kendati demikian, ketika berbicara nada suaranya terdengar tenang. "Yuugao barangkali sedang tidak ada di Konoha. Dia mengambil cuti untuk berlibur dengan calon suaminya. Tapi kalau kau lebih suka didampingi Yuugao, aku bisa menyuruhnya kembali."

"Tidak—tidak perlu, Kek!" kata Sai buru-buru. "Sebaiknya kita tidak mengganggu liburannya. Nona Yuugao sudah cukup direpotkan oleh kita selama ini. Aku hanya ..." Sai terdiam beberapa saat, berusaha menemukan kata-kata yang tepat, "... kukira Kakek tidak akan pergi."

"Hari ini akhirnya cucuku akan keluar dari sekolah itu. Tentu saja aku harus datang," Danzou berkata dingin, seraya menyampirkan serbet di pangkuannya. Sandayu yang sudah kembali dari dapur meletakkan piring sarapan di depannya, serta mangkuk kecil berisi obat.

Sai tak dapat menahan senyumnya kali ini. Meskipun perkataan sang kakek terdengar kasar, tetapi itu cukup bagi Sai. "Apakah nanti jika aku lulus menjadi jurnalis, apakah Kakek juga akan datang?"

Danzou mengambil waktu untuk menelan oatmealnya sebelum berkata datar, "Aku akan lebih senang datang ke resital pianomu." –Sai merasakan senyumnya sedikit memudar—"... tapi ya, aku akan datang—jika aku belum mati."

"Kakek ..."

Danzou menurunkan sendoknya, menatap cucunya lekat-lekat dari seberang meja. "Aku masih kakekmu, dan kau akan tetap selamanya menjadi cucuku. Ingat itu, Sai."

"Oh—"

"Sekarang singkirkan buku itu dan habiskan sarapanmu. Kau terlalu kurus untuk remaja seusiamu. Kau boleh saja keras kepala dan membantah keinginanku untuk melanjutkan studi senimu, tapi untuk yang satu ini kau harus mendengarkan kakekmu."

Sai tersenyum lepas. Beban yang selama beberapa hari ini menyesaki dadanya setiap kali ia berada di rumah perlahan terangkat, membuatnya bisa menghela napas dengan lega. Sekarang ia paham, kendati Danzou tidak mengatakannya secara eksplisit, bahwa betapa pun sang kakek tidak menyetujui keputusan-keputusan yang ia ambil, Danzou tidak akan pernah meninggalkannya. Apa pun yang terjadi, mereka tetap satu keluarga.

Satu-satunya keluarga.

"Baik, Kakek ..." Sai lantas menutup buku tahunannya, memasukkan kembali ke dalam tas, sebelum menarik piring omeletnya yang baru setengah dimakan. Tiba-tiba saja ia menjadi sangat berselera.

.

.

Sasuke Uchiha

"Kenapa wajahmu masam begitu, eh?" Itachi Uchiha mengerling adik laki-lakinya yang duduk di bangku penumpang. "Hari ini kan upacara kelulusanmu. Ceria sedikit dong."

Sasuke Uchiha hanya menanggapi dengan dengusan pelan. Mata hitamnya memandang keluar jendela mobil yang tengah melaju meninggalkan Crimson Drive, tampak tak bersemangat.

Itachi menghela napas sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya yang moody sejak pagi-pagi buta. "Kenapa? Marahan dengan Sakura atau bagaimana? Ah—jangan-jangan kau masih ngambek gara-gara hanya dapat peringkat kedua."

Mendengar nama Sakura disebut, Sasuke langsung menoleh memandang sang kakak. Dahinya berkerut. "Aku tidak ngambek," bantahnya. "Dan aku tidak marahan dengan Sakura."

"Lalu kenapa? Jangan bilang PMS." Itachi menyeringai kecil.

"Diamlah," Sasuke menggerutu. "Kau tahu alasannya, Itachi!"

"Kakak, Sasuke," Itachi mengoreksi. Nadanya geli. Sasuke hanya memanggilnya dengan nama depan jika ia sedang marah padanya—dan tentu saja Itachi tahu alasannya, meskipun ia pura-pura tidak mengerti.

Entah bagaimana Itachi mengetahui tentang taruhannya dengan Naruto dan yang lain. Barangkali ia menguping pembicaraannya dengan Sai tempo hari tentang hukuman mereka, atau malah Naruto yang memberitahunya—Sasuke akan mengintrogasi Naruto tentang hal ini. Awas saja kalau memang benar bocah pirang itu biang keladinya.—Oke, mungkin Sasuke tidak terlalu peduli Itachi tahu tentang taruhannya, tetapi saat ia tahu kakaknya itu berniat merekam aksinya dan memamerkannya pada sepupu-sepupu mereka di Otto, itu membuatnya kesal. Ditambah ketika ia mengetahui ayahnya—ya, AYAHNYA, FUGAKU UCHIHA—juga turut menghadiri upacara kelulusannya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Sasuke tidak terlalu malu jika di depan ibunya. Tapi ayahnya?

Ini mimpi buruk.

Dan Sasuke curiga Itachi yang meminta Fugaku datang. Dasar musang!

"Kau ini seharusnya bersyukur karena ayah mau repot jauh-jauh datang dari Otto kemari hanya untuk menghadiri upacara kelulusanmu, Sasuke," kata Itachi kemudian. "Dulu waktu kelulusanku, ayah malah tidak datang. Padahal sekolahku di Otto, dekat dengan rumah."

"Ayah datang karena kau yang minta—untuk mempermalukanku. Ya, kan?" Sasuke jelas tidak mendengarkan kata-kata Itachi.

Itachi—pura-pura—terkesiap mendengar tuduhan Sasuke. "Tega sekali kau menuduh kakakmu yang baik hati ini, Sasuke!" bantahnya—sok—dramatis. "Aku tidak meminta ayah datang untuk mempermalukanmu."—tidak sepenuhnya benar. Itachi memang meminta ayahnya untuk datang ke upacara kelulusan Sasuke, tapi sebelum ia tahu adiknya kalah taruhan. "Aku tidak sejahat itu. Lagipula bukan salahku kau dihukum joget—"

Sasuke memutar matanya. "Baiklah," tukasnya. "Tapi kau tidak boleh merekamku."

"APA?!"

"Itachi ..."

"Baiklah," Itachi menghela napas, pura-pura mengalah, "Lagipula kalau bukan aku, ibu yang akan merekammu. Ibu selalu merekam momen-momen penting kita, ingat?"

Sasuke menggeram. Ia tidak ingat.

Di sebelahnya, Itachi mengulum senyum geli. "Tak perlu dipikirkan. Anggap saja seperti kau sedang bernyanyi di kamar mandi."

Kata-kata Itachi tidak membuatnya merasa lebih baik. Sasuke bertanya-tanya mengapa dulu ia bisa-bisanya menerima taruhan Sakura dan Naruto yang kekanak-kanakan ini? Meskipun saat itu ia percaya diri bisa mengalahkan Sakura, seharusnya ia bisa berpikir seperti orang dewasa yang waras. Jangan salah—Sasuke sama sekali tidak menyalahkan Sakura. Ia bisa menerima kekalahannya dari gadis itu dengan lapang dada. Hanya saja hukumannya itu ...

Akh—diam-diam ia iri pada Sai yang tampaknya cuek bebek dan tidak peduli dengan prospek mempermalukan diri sendiri di depan umum. Malahan sahabatnya yang berkulit pucat itu bertanya-tanya lagu apa yang sebaiknya dipakai nanti.

Astaga.

"Hei, Sasuke," Itachi melirik adiknya lagi ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di lampu merah. Kali ini ekspresinya serius.

"Hn?" Sasuke menyahut tanpa minat.

"Jangan bertampang masam begitu kalau ada ayah, hm? Bagaimana kalau dia berpikir kau tidak menginginkan kehadirannya?"

Sasuke menatap sang kakak, dan menyadari apa yang dikatakannya benar. Ia mengangguk. "Aku tahu."

Itachi melempar senyum padanya. "Sudah seharusnya begitu. Ayah datang untukmu, kau tahu kan?"

"Entahlah," Sasuke mengendikkan bahu. "Mungkin ayah tidak akan datang ke Konoha jika tidak kebetulan ada rencana bertemu dengan keluarga Inuzuka dan undangan Paman Hiashi."

"Kau ini," kata Itachi gemas, seraya mengulurkan tangan mengacak rambut adiknya, "Berpikir positif sedikit bisa, kan? Aku bilang ayah datang untukmu karena memang begitu."

Sasuke mendengus. Ia bisa merasakan sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar, meskipun masih agak kesal. "Jangan mengacak-acak rambutku," gerutunya sambil menepis tangan Itachi. "Dan jangan menampik kalau ayah datang ke Konoha untuk Kak Hana juga."

Itachi terkekeh. "Yah, aku mengaku. Aku sengaja merencanakan pertemuan dengan keluarga Hana dekat dengan upacara kelulusanmu supaya ayah bisa datang. Puas?"

"Sudah kuduga."

"Tapi bukan berarti ayah tak ingin datang ke upacara kelulusanmu," Itachi buru-buru menambahkan.

"Hn."

Lampu lalu lintas menyala hijau. Mobil yang mereka tumpangi kembali melaju dalam kecepatan sedang menuju hotel tempat kedua orangtua Uchiha bersaudara itu menginap. Selama beberapa saat tak ada yang bicara. Hanya alunan musik jazz dari stereo mobil, ditingkahi suara lalu lintas yang mengisi keheningan.

Kali ini ganti Sasuke yang melirik ke arah sang kakak. Bicara soal pertemuan dengan keluarga Inuzuka, Sasuke penasaran dengan apa yang dipikirkan kakak lelakinya itu.

Itachi telah melamar kekasihnya beberapa minggu lalu, dengan makan malam romantis yang direncanakan sedemikian rupa dan sebagainya. Ia juga telah mengajak Hana ke Otto untuk diperkenalkan pada kedua orangtua mereka. Sasuke tidak tahu cerita detailnya, tapi dari cerita sang kakak sepertinya ibu mereka sangat menyukai calon menantunya itu. Namun tanggapan ayah mereka, Itachi tak pernah menyinggungnya. Itachi hanya mengangkat bahu jika ditanya, entah itu berarti baik atau sebaliknya.

Sasuke masih ingat betapa sulitnya Itachi mendekati Tsume Inuzuka, ibu Hana. Ia pernah diteriaki, bahkan diusir. Butuh waktu yang tak sebentar dan kegigihan luar biasa dari Itachi sampai akhirnya ia mendapatkan restu calon ibu mertuanya itu.

Ayah mereka dan ibu Hana sama-sama orang yang sulit didekati. Dan dalam waktu dekat dua orang itu akan dipertemukan. Sasuke benar-benar penasaran bagaimana perasaan Itachi tentang hal ini.

Sejauh ini Itachi terlihat sangat tenang.

"Kakak tidak cemas?" tanya Sasuke kemudian.

"Apanya?" Itachi mengerling sang adik dengan kedua alis terangkat.

"Pertemuan dengan keluarga Kak Hana."

Itachi melempar senyum misterius pada Sasuke, sebelum kembali menatap ke jalanan. "Apa kau cemas?" Alih-alih menjawab, ia malah balas bertanya.

"Kenapa malah tanya aku? Yang mau menikah kan Kakak."

"Karena pertemuan dengan keluarga Sakura justru lebih dekat." Mata hitam Itachi yang identik dengan sang adik berkilat. "Hari ini, kan? Kesempatanmu untuk memperkenalkan calon ibu mertua pada ayah dan ibu."

Sasuke merasakan wajahnya langsung memanas. Ia membuka mulutnya untuk membantah, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Itachi terkekeh geli. Sasuke menatap kakaknya sebal.

"Ibunya Kiba juga datang—"

Itachi menggeleng. Ekspresinya puas. "Dia menghadiri seminar hari ini jadi tak bisa datang. Hana yang akan menghadiri kelulusan Kiba. Jadi ..." Itachi mengerling sang adik. "... kau cemas?"

Sasuke terdiam beberapa saat, sebelum ia membalas Itachi dengan seringai licik di wajahnya. "Setidaknya aku tidak pernah diusir ibu Sakura."

"Eeey!"

.

.

.

.

Ketimbang itu, sebenarnya Sasuke lebih mencemaskan hubungannya dengan Sakura—tentang perasaannya pada gadis itu.

Ungkapkan ...

... atau tidak?

.

.

.

Bersambung ke chapter terakhir.

... sepertinya.

.

.


Arlene's Notes: Setelah dua tahun tidak memposting apa pun di akun ini, mudah-mudahan ini ga terlalu aneh ya. Jujur aja, agak kaku nulisnya—karena kebiasaan nulis proposal, laporan, silabus, bahan ajar dll. Heuheu... Mohon maaf karena terlalu lama tidak mengapdet cerita ini, dan cerita yang lainnya juga. Dan terimakasih buat teman-teman yang masih mengikuti cerita ini sampai sekarang. *sungkem*

Sebenernya ini adalah potongan chapter terakhir, tetapi karena kayanya kurang sreg kalau disambung, akhirnya saya pisah saja. Sebagai gambaran sekilas apa aja yang terjadi di sela waktu satu tahun antara chapter lalu dan bagian akhirnya, walaupun lebih ke family ya, bukan friendshipnya. Jadi harap maklum kalau pendek ya.

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca :)