Author's Note:
Fanfic yang di-request sama Nazuki Kyouru dan NanashiNeko. Terinspirasi dari lagu Korea, After Love-nya FT Island… Kayaknya Megu kena virus boyband Korea nih…*ngelirik folder video SuJu & FT Island yang dikopikan minggu lalu…*
Ng… Jadi dibikin Song fic deh… Padahal Song fic itu dilarang ya?? =___= " Gomen…!!!

O, ya, mau nambah catatan nih…
Untuk 'Seseorang' yang sudah mereview Orange and Blue, biarpun nggak tahu siapa anda, saya yakin 'Anda' membaca fic ini. Berhubung saya akan menggunakan istilah 'teme' dan 'dobe' lagi, Megu hanya mau meluruskan. Teme artinya bukan bastard, 'teme' itu adalah bahasa kasar dari 'kau'. Sedangkan Dobe? Dobe bahkan bukan bahasa Jepang. Kata aslinya adalah 'dope'. Tapi, coba bayangkan kalau Megu menulis kata 'dope', dijamin bakal ada yang review: "Megu salah ketik ya?" So, apa salahnya sedikit membodohi diri dengan menggunakan Teme-Dobe dalam konteks yang tak benar? Karena kalau semua fanfic yang pernah menggunakan Teme-Dobe mau buat sa'benar-benarnya, kita semua bakal salah. Dan untuk menambah kebahagiaan anda, Megu memutuskan untuk tidak melanjutkan Orange and Blue. Situasi di rumah memang tidak terlalu 'killer', tapi juga bukan situasi menyenangkan bagi Megu dan Hide untuk terus bermain-main di RP. Jadi…

Akihito: Kok jadi emo gitu sih?

Megu: Higs, higs, huwaaaang!!!! TToTT *berlari memeluk Akihito* *ditepok-tepok kepalanya sama Akihito* -dilempar pembaca karena mulai gila-


Disclaimer:
I do not own Naruto, Naruto and all of the Characters is belongs to Masashi Kishimoto-sensei.
I do not own 'After Love' lyrics either. 'After Love' is belongs to FT Island. Dipinjam duluuuu! =D


After Love

-Chapter 1-


I though you were my love, and

I though you were my everything…

I believe that you would be my last love.


"Aku ingin kau berada di sisiku," kataku.

Kutatap kedua mata birunya yang melebar dalam kebingungan. Sungguh, ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Berbicara jujur padanya tentang masalah ini tidak sama dengan berpidato di depan seluruh siswa pada hari kelulusan. Kalau bisa memilih, aku akan lebih memilih berpidato selama beberapa jam di depan ribuan siswa ketimbang mengatakan beberapa kalimat ini padanya. Tapi… aku juga paham, kalau aku diam saja, hubungan kami tak akan kemana-mana. Dia yang bodoh dan polos itu tak akan pernah menyadari perasaanku. Dan mungkin aku tak akan pernah mampu memilikinya… Jadi, setelah diam-diam menelan ludah dalam ketegangan, aku pun melanjutkan…
"Aku ingin kau terus berada di sisiku, lebih dari seorang teman, Naruto."

Ia hampir membuka mulutnya, aku tahu persis apa yang akan ia katakan. Karenanya, sebelum satu suku katapun terucap dari bibirnya, kusentuhkan jemariku di bibirnya. Menahannya untuk bersuara.

"Juga bukan sebagai sahabat," kataku, membalas kata-katanya yang tak terucap.

Kali ini, mata biru langitnya yang jernih dan indah itu melebar lagi. Bukan karena kebingungan, tapi karena keterkejutan. Itu berarti, kini ia paham apa yang kumaksudkan. Jantungku rasanya berdetak lebih pelan. Aku tidak ingin ia mengucapkan kata-kata itu… kata-kata penolakan yang selalu membuatku menghindar untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku takut, sungguh takut, ia mengucapkan kata-kata itu.

"Sasuke…" kudengar namaku terucap di bibir manisnya. Kini tak ada lagi rasa kejut yang terpancar dari matanya… melainkan sebuah sinar bahagia. Kedua bibir berwarna merah muda itupun membentuk sebuah senyum. Senyum terindah yang pernah kulihat darinya.

"Aku juga," katanya lembut, "aku juga, Teme!"

Sayang sekali aku tak mampu melihat senyum indah itu lebih lama. Ia keburu menghempaskan dirinya ke arahku dan memelukku erat. Sejenak, aku terpaku. Tapi tidak kubiarkan kebodohan menguasai tubuhku. Akupun melingkarkan lenganku ke punggungnya, balas mendekapnya dengan erat. Kurasakan jantungku berdebar lebih cepat, dan tanpa melihatpun aku tahu ada rona merah yang terukir di wajahku… lengkap dengan sebuah senyum tulus.

Tak kusangka, sungguh tak pernah kusangka, orang yang paling kucintai di dunia juga berpikir begitu tentang aku. Sungguh, dia adalah segalanya bagiku. Meski aku tak pernah mengatakannya, orang yang telah menjadi rivalku selama bertahun-tahun ini adalah segalanya bagiku. Cinta pertamaku, dan mungkin cinta terakhirku…


I smiled only for you…

I lived only for you…

I thought that was happiness…

I believe in your love.


"Sas-" ia tak mampu menghabiskan kata-katanya.

Dekapanku keburu membuatnya lemas. Bibirku terus bergerak di lehernya. Nafasnya berubah menjadi desahan-desahan pendek yang membuat akalku semakin hilang. Tapi Naruto mencoba melepaskan diri dari kedua tanganku. Ia mendorongku tapi aku tak bergeming, hanya peganganku saja yang terlepas darinya. Akhirnya ia sendiri malah terjatuh di atas tempat tidur kami yang berbungkuskan bedcover berwarna cokelat muda. Ia lalu menutup wajahnya dengan punggung tangan kanannya. Kemeja berwarna oranye miliknya masih berantakan karena ulahku. Kupikir ia telah pasrah, tapi kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya.

"Jangan sekarang, Sasuke…" katanya, lengkap dengan napas yang masih terengah-engah. Masih dalam posisi itu, dalam posisi dimana aku tak dapat melihat dua mata birunya yang indah… kedua mata yang membuatku gila, dan seharusnya tengah diselimuti kabut nafsu itu, ia berkata lagi… "belum saatnya. Aku belum siap."

Aku menghembuskan napas panjang dan mendudukkan diriku di sisi ranjang. Aku hanya bisa membalas pendek,
"Hn."

Toh dengan itu ia pasti sudah paham betapa besar rasa kecewaku sekarang.

Aku melonggarkan dasi biru tuaku tanpa menatap wajahnya. Hanya menatap pada karpet merah tua yang ada di sisi ranjang ini, tempatku meletakkan telapak kakiku sekarang. Aku sadar benar, aku tak mungkin memaksanya. Aku terlalu menyayanginya untuk bisa memaksakan kehendakku sekarang dan melukainya habis-habisan. Tidak. Aku tak pernah ingin ia terluka. Tapi aku juga kecewa… aku sungguh kecewa, karena selama hubungan kami sejak lulus kuliah itu… sejak dua tahun lalu itu, aku belum pernah bisa menyentuhnya. Aku belum pernah bisa menunjukkan cintaku yang sesungguhnya terhadap Naruto. Aku juga tahu, pernyataan cinta bukanlah dengan hubungan fisik belaka. Aku tahu. Hanya saja… aku bukanlah orang yang akan mengatakan ribuan kata cinta tak bermakna. Juga bukan orang yang akan mengirimkan ratusan buket bunga beserta puisi gombal setiap harinya, hanya untuk menunjukkan rasa cintaku. Sebuah sentuhan cukup untuk menggantikan itu semua. Tapi… jangankan hubungan intim, ciuman kamipun masih bisa dihitung menggunakan jari.

Dari ranjang tempatku duduk, kurasakan ia berubah posisi. Tak lama, kakinya menyusul kakiku di atas karpet merah ini. Ia duduk di sisi ranjang, tepat di sebelahku, dan mungkin tengah menatapku. Bukan lagi mungkin, meski tak kulihat secara langsung, aku bisa merasakan bagaimana tatapannya yang terus saja tertuju padaku saat ini.

"Teme," panggilnya lembut. Ya, 'Teme' memang bukan kata-kata yang manis. Tapi kami memang sudah terlalu terbiasa untuk terus saling memanggil dengan sebutan Teme dan Dobe… ejekan dekil yang telah melekat pada kami selama bertahun-tahun.

Mendengarnya memanggilku, aku hanya membalas,
"Hn." Tanpa menatap wajahnya sedetikpun. Aku terus saja melanjutkan kegiatanku melepaskan dasi biru tua garis-garis itu, juga membuka kancing-kancing teratas di kemeja putihku.

"Tatap aku, Teme," pintanya. Aku tak mengindahkan permintaan itu. Tanganku berhenti melakukan aktifitasnya. Kusandarkan tanganku di atas lututku. Tapi aku tak menatapnya. Aku tak menatap ke-

"Pandang aku, Sasuke," katanya lagi, kali ini dengan tangan kiri yang berada di daguku. Tangan kiri yang menarikku menoleh padanya, untuk menatap tepat pada kedua mata safirnya.

Kali ini aku tak membalas. Hanya mata kami saja yang terus saling berpandangan. Mengucap kata-kata non verbal. Saling melemparkan obrolan tanpa kata. Lalu kulihat matanya tersenyum …bibirnya juga.

"Kau tahu bagaimana perasaanku padamu 'kan?" tanyanya lembut. Aku masih membisu. Dan ia meneruskan, "Suatu saat nanti, Sasuke… aku berjanji."

Aku menghembuskan napas panjang lagi. Mengusir jauh-jauh semua emosiku. Sungguh, aku tak pernah bisa marah pada orang ini…
"Hn," balasku lagi.

Senyumnya berubah menjadi sebuah cengiran lebar. Aku sungguh suka semua senyum yang pernah ia berikan padaku.

"Kalau gitu, ayo anak mama! Senyuuum!!" serunya sambil tertawa kecil, ditambah dengan jari-jemarinya yang mencubiti dan menarik-narik kedua pipiku… mungkin berusaha untuk mengukir sebuah senyum di bibirku. Ha, apa dia pikir wajahku ini tanah liat?

Aku bergerak maju dan membuatnya jatuh ke atas kasur lagi. Kini aku berada di atas tubuhnya, dengan wajah yang saling berhadapan satu sama lain. Kutatap mata birunya erat. Sedikit banyak ia terkejut. Apa ia pikir aku akan menyerangnya lagi?

Untuk menghilangkan rasa takutnya, sebuah senyum pun mulai terukir di bibirku.

"Apapun katamu, Dobe," balasku sambil tersenyum padanya. Tentu, iapun membalas senyumku.

Akupun mengeliminasi jarak diantara kami. Kembali mempertemukan kedua bibir kami. Dan ia menerima sentuhan itu. Kedua mata biru indah itu tersebunyi baik di balik kelopak mata yang tertutup rapat. Untuk saat ini, sebuah kecupan manis sudah lebih dari cukup. Sebuah kecupan sudah cukup untuk membahagiakanku. Aku tersenyum bahagia hanya untuknya. Aku hidup hanya untuknya. Dan aku percaya… aku percaya pada cintanya.


Receiving love from one person,

and giving your love to that one person…

Like a fool, I thought that that person was you.


Lelaki muda yang mengenakan T-shirt oranye ini memandangku tak percaya. Mata birunya melotot ke arahku. Mulutnya sempat ternganga sejenak… sungguh, hanya sejenak.

"KAU SERIUS?!!" serunya keras. Cukup keras, sampai aku bisa yakin semua orang di restoran ini bisa mendengar suara indahnya tadi. Aku hanya tersenyum manis padanya, tanpa mengalihkan mataku dari kedua matanya yang luar biasa.

"Untuk apa kuberikan itu padamu kalau aku hanya main-main, Naruto?" balasku.

Ia tak lagi mempelototiku, tapi masih menatap tak percaya pada benda yang ada di hadapannya sekarang. Sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua ditambah dua benda yang membuatnya berteriak tadi. Sepasang cincin perak tanpa mata, tanpa berlian, tetapi berukirkan nama kami berdua di baliknya.

Pemuda pirang ini kembali menatapku, kali ini dengan tatapan resah dan khawatir,
"T-t-tapi, Sasuke-"

"Tidak ada 'tapi'," kataku, "kalau kau mau, kita tak akan langsung menikah Naruto. Yang penting kita sudah memajukan hubungan kita ke taraf yang lebih tinggi lagi." Dalam otakku, aku mencoba mencari alasan lain yang lebih logis, agar ia tak bisa menolak benda itu. Tapi aku sudah terlanjur panik. Di balik ketenanganku ini, aku sudah terlanjur takut bahwa ia akan menolakku. Aku takut ia tak akan menerima cincin itu. Aku takut ia akan menolak lamara-

"Aku mau, Sasuke," katanya, memotong semua pikiranku. Kulihat ia bangkit dari kursinya, berjalan memutari meja dan memelukku erat. "Mana mungkin aku bisa menolakmu, Teme?!" serunya riang.

Tanpa sadar aku tersenyum. Kubalas pelukannya. Tak peduli pandangan aneh yang dilemparkan oleh semua orang di dalam ruangan luas ini. Aku tidak akan peduli pada apa yang mereka pikirkan. Tidak akan. Ini adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupku. Aku menerima kasih sayang dari Naruto, dan memberikan kasih sayang yang sama. Aku hanya milik Naruto… Dan Naruto hanya milikku. Seharusnya begitu.


It was all a lie.

It's all a lie.

Your love was a complete lie.

This love has hurt me so much,

Making me this sad,

Leaving me to cry…


Kulihat Naruto duduk di atas kursi, di sisi meja sebuah café. Sebuah café terbuka, dengan meja-meja yang berada di luar ruangan. Kulihat rambut pirangnya sesekali bergerak tertiup angin yang lewat. Jas hitamnya bergantung di sandaran kursi cokelat tua itu. Dasi merah tua itu sudah agak melonggar, tapi masih melengkapi kemeja biru mudanya.

Kalau dalam kondisi biasanya, aku akan berjalan meninggalkan mobil Porsche biru tuaku dan menuju padanya. Menyapanya hangat, duduk di kursi yang ada di hadapan meja itu, dan kemudian memesan secangkir cappucino. Lalu menghabiskan jam-jam berikutnya dengan mengobrol bersamanya. Tapi ini bukan kondisi biasanya. Sudah beberapa hari kami jarang bisa mengobrol karena kepadatan aktifitas kami masing-masing. Pekerjaan di Uchiha's Industry beberapa hari ini sellau membuatku pulang lebih larut, hanya untuk mendapatinya telah tertidur di ranjang kami. Sebaliknya, pagi-pagi sekali ia sudah harus pergi mengurusi klien di kantor advokatnya. Katanya, ada kasus baru yang harus ia urus.

Bukan itu saja yang membuat kondisi ini jadi berbeda… kursi itu, kursi yang sangat ingin kutempati itu, telah diduduki oleh seseorang. Seorang gadis dengan rambut hitam kebiruan yang panjang, berkulit putih, dan dengan mata yang hampir tak berpupil. Mungkin mata itu punya pupil yang berwarna pucat, hingga tak begitu bisa terlihat dari mobilku sekarang. Aku tidak tahu pasti… satu hal yang aku tahu pasti, Naruto tertawa begitu ceria pada gadis bergaun putih ungu itu.

Bukan bermaksud cemburu… tapi sejak lulus kuliah tiga tahun lalu, aku tak pernah melihat Naruto tertawa seperti itu… selain di depanku.

Kuambil ponselku yang berwarna hitam. Segera kutekan tombol 2 dalam waktu lama… speed dial untuk nomor orang itu. Sebenarnya tanpa speed dial sekalipun, aku bisa menekan angka-angka itu sendiri, karena angka itu sudah kuhapal mati. Tapi aku tidak ingin membuang waktu lebih lama, dan membiarkannya tertawa pada gadis itu lebih lama lagi.

Nada sambung segera terdengar.

Sekali.
Kulihat Naruto tak bergeming. Masih terus memberikan senyumnya yang berharga pada gadis yang tak kukenal itu.

Dua kali.
Kini Naruto berhenti mengobrol, ia lalu bangkit dari kursinya dan melangkah menjauh dari gadis itu sambil tersenyum salah tingkah.

Tiga kali…
"Halo?" kudengar suaranya sampai ke telingaku.

"Hei, Dobe," panggilku, mencoba bersikap biasa sebisa mungkin.

"Kenapa, Teme?" Mendengar kata itu dari mulutnya, tanpa sadar aku tersenyum. Memang hanya dia yang bisa membuatku tersenyum.

"Aku akan pulang cepat hari ini," kataku, "proyek hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Apa kau bisa sampai di rumah lebih cepat?"

"Ng," kudengar ia bergumam, ragu. Aku langsung menatap kembali pada lelaki muda berambut pirang yang tengah berdiri sambil memegang ponsel oranye itu. Kulihat ia menoleh sebentar pada gadis itu. Mata mereka bertemu, dan mereka saling melempar senyum. Sejenak, kurasakan hatiku bagai tertusuk jarum. Tapi hanya sejenak itu saja… "Aku belum bisa pulang. Aku masih ngobrol dengan klien, Teme. Dan setelah ini, aku harus kembali ke kantor. Maaf, ya?"

Aku terpaku tak percaya. Ya, jarum di hatiku tadi sudah menghilang. Hanya untuk berganti dengan sebuah pisau yang menusuk begitu dalam. Tanpa sadar aku tertunduk menatap dashboard mobilku yang berwarna hitam. Rasanya aku tak mampu menatapnya lebih lama.

…klien?

"…hn," balasku lirih. Aku sungguh tak tahu harus berkata apa. Aku tak tahu harus melakukan apa selain melihat kemudi mobil di hadapanku seperti orang bodoh.

"Sekali lagi maaf ya! Kuusahakan agar bisa pulang sebelum jam 7! Tunggu aku di rumah, Teme," katanya, "I love you!"

"…hn, love you, too," ucapku lemah. Ya, lemah. Baru kali ini aku merasa begitu sakit saat mengucap maupun mendengar kata itu dari Naruto. Dan hanya dua detik setelahnya, Naruto memutus telpon. Memang kapan aku mengakhiri pembicaraan kami…?

Aku mengangkat wajahku. Kulihat ia kembali ke meja itu dan melanjutkan obrolannya. Dan… ia tersenyum lagi. Tertawa lagi.

Aku terus menatapnya dari jauh dan menghembuskan napas panjang.
"Klien, ya…?"


You said you'd only love me…

That you'd protect me…

Your love was a complete lie…

You took my entire heart,

and

You took my love.

What is leaving is love…


Aku termenung di ruangan kerjaku. Kusandarkan punggungku di kursiku dan memejamkan mata. Nafas panjang keluar dari paru-paruku. Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi sejak seminggu lalu… Naruto bersikap sangat aneh. Terlebih semalam. Ia masih mau tidur seranjang denganku, tapi ia bahkan tak membiarkanku menyentuh jemarinya. Jangankan sentuhan, ia tak mau menatapku. Ia terus menghindari tatapanku, juga tak mau berlama-lama ada di ruangan yang sama denganku. Mengatakan ada hal lain yang harus dikerjakan, atau malah berpura-pura tidur. Aku tahu ia pura-pura, karena jarak nafasnya belum teratur. Malah sesekali kurasakan ia membuang nafas panjang. Tadi pagi, pagi-pagi sekali ia sudah tak lagi ada di atas kasur. Bahkan sudah pergi meninggalkan rumah dengan membawa mobilnya sendiri. Tanpa pamit, tanpa pesan.

Ada apa… ada apa sesungguhnya dengannya?

Aku tak bisa konsentrasi pada pekerjaanku. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan meninggalkan ruanganku. Pikiran-pikiran tentang Naruto tak bisa berhenti memenuhi otakku. Apa ini… apa ini ada hubungannya dengan 'klien' yang ia temui seminggu lalu? Ataukah-

Handphone-ku berdering.

Aku mengeluarkan ponsel berwarna hitam itu dari sakuku. Kulihat sebuah nama sang penelpon tertera di sana… nama orang itu.

"Ya, Naruto?" tanyaku segera setelah menekan tombol 'answer'.

Lelaki yang sedang terhubung denganku itu tak langsung menjawab. Aku juga jadi terdiam. Ada apa dengannya? Sikapnya benar-benar beda dari biasanya. Kemana Naruto yang akan langsung berseru senang saat telponnya kuangkat?

Akhirnya kudengar ia membuang napas panjang sebelum berkata,
"Maaf, Sasuke."

Aku mengernyitkan dahi dalam kebingungan. Kubuka lagi mulutku untuk membalas,
"Maaf kenapa, Naruto?"

Lagi-lagi… lagi-lagi ia tak langsung membalas. Namun saat kudengar lagi suaranya, kalimat inilah yang ia katakan,
"Sebaiknya…" ada jeda sejenak, "sebaiknya kita berpisah."

Aku terpaku. Nafasku tercekat. Rasa-rasanya duniaku jadi gelap tiba-tiba. Dan semua hal berputar di sekelilingku. Membuatku pusing seketika. Aku mencoba menenangkan diri dan menguasai diriku lagi. Setidaknya aku harus menguasai bibir dan lidahku untuk bisa membalas.

"A-a-apa maksudmu?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku tidak bisa lagi ada bersamamu."

Untuk yang kesekian kalinya aku tercekat. Apa maksudnya ini?!

"Naruto, kenapa-"

"Aku tidak tahan, Sasuke," katanya, bisa kurasakan getar dan gemuruh dalam suaranya. Apa… apa ia sedang menangis? Tanpa mempedulikan ataupun menunggu jawabanku, lelaki ini terus melanjutkan, "aku tidak tahan dipandang rendah karena hubungan kita. Aku ingin menjalani hidup yang biasa saja. Aku tidak tahan dianggap seperti sampah oleh orang-orang yang tidak bisa memahami cinta kita. A-aku tidak mampu terus-terusan dihina dan diejek hanya karena aku seorang gay. Aku ingin hidup yang biasa saja, Sasuke. Bukan hidup bagaikan manusia terburuk di dunia seperti sekarang!"

"Tapi-" lagi-lagi ia memotong kalimatku.

"Aku mencintai orang lain," ucapnya. Berhasil membuatku membisu. Sukses membuat lidahku serasa dipotong dan tak mampu untuk berbicara sepatah katapun lagi. Tapi ia masih terus melanjutkan… "Beberapa waktu lalu aku bertemu lagi dengan Hinata, temanku di sekolah dasar. Saat ini… sudah dua minggu aku menjalin hubungan dengannya."

Aku hanya berdiri terpaku. Terpaku dan membatu meski kakiku justru terasa begitu lemah, seakan tak mampu untuk menopang berat tubuhku lebih lama lagi. Mulutku juga begitu, tak mampu mengucap apapun lagi.

"…selamat tinggal, Sasuke."

Telpon diputus.

Aku membeku.

Setelah itu… entah berapa menit atau malah berapa jam, aku sudah tak mampu untuk menghitung lagi. Yang pasti, segera setelah aku bisa menguasai diriku lagi, kunaiki mobilku dan segera pulang ke rumah. Pulang dan mencari pemuda itu. Tapi… aku pulang hanya untuk mendapati semua barang-barangnya telah tiada.
Aku sampai ke rumah… hanya untuk mendapati sebuah cincin perak yang tergeletak tak berdaya di atas bantalku.

…ia telah pergi. Meninggalkanku.

-
To Be Continued…
-


.

.

.

Akihito: Song fic itu dilarang…
Megu: Un… Megu tahu! Tapi… tapi… tapi-
Akihito: Biasanya song fic itu nggak bersambung.
Megu: Yaaah, soalnya kalo dilanjutin ntar kepanjangan! DX
Akihito: Video aslinya 'kan straight… kok bisa ya, kamu bikin versi SasuNaru-nya?
Megu: …CARI IDE ITU NGGAK GAMPANG!!! –digetok Akihito- Waduh! *benjol* Nyuhuhu… kalo kawan pengen spoiler, noh sono, cari videonya… baca terjemahan liriknya… pasti bakal tahu fic ini mau kemana… TT^TT
Akihito: Nggak, nggak. Nggak persis sama video kok.
Megu: Berisik! Diam aja 'napa?! –digetok lagi- Nyuwaaang… TToTT Megu 'kan cuma pengen yang lain tahu gimana lagunyaaah… TToTT

Ya sudahlah, review… kalau nggak keberatan. =)