Author's Note:
My Neechan… TT___TT Megu minta maaf kalau isi cerita ini sudah melukai Nee… Megu nggak pernah bermaksud… Maafkan Megu…
I will always wait for you. Megu yakin yang lain juga gitu.

Gomennasai, no Review Replies for now. Tapi Megu ucapkan banyak terima kasih untuk semua yang sudah mereview.
Arigatogozaimasu… m(_ _)m


Disclaimer:
Naruto bukan punya saya.


After Love

-Chapter 2-


The thing called love is a lie.

The words 'I love you' is also a lie.

The word 'Forever' is also a lie.

You left the belief that you would come back…

Where did you go?

You're getting further and further away…

Where did you go?

What are you doing when I love only you?!


Malam telah tiba. Dalam ruangan yang gelap, aku duduk di sofa dengan mata terpejam. Kusandarkan punggungku ke sofa berwarna cokelat tua ini. Aku tak kunjung membuka mataku. Tak lagi kurasakan sakit di tanganku yang berkali-kali kutinjukan ke tembok karena kekesalanku. Tidak pula kupedulikan peluh yang membasahi tubuh dan kemeja putihku, hasil dari semua amukanku... amarahku.

Telingaku hanya mendengar detak jarum jam. Jarum detik jam yang terus menggema dalam keheningan, bersinkronisasi dengan suara jam di ruangan lainnya. Baru kali ini aku merasa rumah ini sangat sepi… hening, dan kosong. Hampir tanpa suara. Sebenarnya kalau mau, aku bisa saja menyalakan TV dan menyetel volumenya hingga penuh. Atau memutar musik sekeras mungkin. Atau apapun, apapun, yang bisa membuat suara berisik di rumah ini. Tapi bagiku tetap saja hening. Keheningan ini bukan karena tak ada suara TV. Bukan karena tak ada musik yang terdengar. Bukan pula karena malam yang telah melingkupi… tapi karena ketiadaan Naruto.

Untuk yang kesekian kalinya aku membuang napas panjang. Masih dengan mata terpejam, lagi-lagi kurasakan pipiku basah. Lagi-lagi aku menangis. Aku menangis. Sudah beberapa hari aku menangis dan terus menangis. Kadang aku sudah mencoba untuk bertahan, tapi tidak bisa. Air mata terus saja membanjiri pelupuk mataku jika teringat pada nama itu, pada orang itu.

Naruto…

Kupikir kaulah cintaku. Bahkan kupikir kaulah segalanya bagiku. Aku percaya… dulu aku sungguh percaya, kau akan menjadi cinta terakhirku.
Aku tersenyum, aku bernafas, aku hidup… semuanya hanya untukmu. Kupikir, itulah yang namanya kebahagiaan. Kebahagiaan yang kurasakan hanya saat berada bersamamu. Aku percaya pada cintamu.
Menerima cinta dari seseorang, dan memberikan cinta pada seseorang itu… seperti pecundang, kupikir orang itu adalah kau.
Ternyata semuanya bohong. Semuanya bohong. Cintamu hanyalah sebuah kebohongan. Cinta ini hanya menyakitiku, menyakitiku sampai sebanyak ini. Membuatku sesedih ini… membuatku menangis seperti ini.
Kau bilang, kau bilang kau hanya mencintaiku… kau bilang kau akan melindungiku… Cintamu hanya bohong belaka. Kau mengambil seluruh hatiku, dan kau mengambil cintaku. Apa yang tertinggal setelah itu?
Sesuatu yang disebut cinta hanyalah kebohongan. Kalimat 'aku mencintaimu' juga hanya kebohongan. Kata 'selamanya' juga sama…
Tapi kenapa… kenapa aku masih percaya bahwa kau akan kembali? Kemana kau pergi, Naruto? Kemana? Kau semakin jauh, dan jauh dariku… kemana kau pergi?

Apa… apa yang akan kau lakukan kalau... kalau yang bisa kuperbuat hanyalah mencintaimu, Naruto? Apa?

-

-

-

Enam minggu sudah terlewati. Tanpa ada kabar apapun. Aku tak bisa hanya menunggu. Aku sudah mencoba menghubungi ponselnya bagai orang tak waras. Tapi, jangankan berharap untuk diangkat, ponselnya bahkan tak pernah aktif saat kuhubungi. Aku mencoba mencari Naruto kemanapun, kemanapun aku bisa. Ke kantornya, ke teman-temannya, ke kampung halamannya… tapi aku tidak menemukan apapun. Aku belum bisa menemukan Naruto. Ironisnya, aku juga tak bisa mencarinya pada keluarganya, Naruto tak lagi punya keluarga. Dari yang ia ceritakan padaku, kedua orang tuanya telah meninggal, bahkan sejak aku belum bertemu dengannya. Hanya tinggal satu orang saja yang belum kutanyai… orang itu. Gadis itu. Perempuan yang merebut Naruto dariku.

Aku ragu. Sungguh ragu. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tak mampu berhenti. Akan kucari dia, sekalipun aku harus bertanya pada perempuan itu.
Ya, orang itu... Hinata Hyuuga.

-

-

-

"N-Naruto-kun?" tanya perempuan itu dengan suara bergetar, mengulangi nama yang baru saja kusebutkan. Tangannya terus saja memegang cangkir milk tea pesanannya itu dengan gemetar. Aku tak tahu ia sengaja atau apa, ia terus saja bicara dengan gaya yang seperti itu. Suara bergetar, kata-kata yang terbata. Ditambah dengan pipi yang terus bersemu merah dan kepala yang menunduk. Kalau bukan untuk Naruto, sudah kutinggal dia sebelum mampu mengucap sepatah katapun.

Perempuan ini masih terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Rasa gugup terus saja menyelimutinya.

Apa? Apa dia takut kepadaku? Atau ia berniat untuk membohongiku? Seharusnya ia bisa berbohong dengan lebih baik kalau ia memang mau berbohong. Kuambil sendok dan mulai mengaduk cappucino yang kupesan dengan penuh kekesalan. Bukankah… bukankah kekasihnya sekarang adalah orang yang telah mampu membohongiku selama bertahun-tahun?

"A-a-aku belum bertemu dengannya lagi." Kalimat itu akhirnya terdengar di telingaku. Otomatis aku mengernyitkan dahi. Juga berhenti mengaduk minuman berwarna cokelat muda di dalam cangkir putih itu. Kebohongan apalagi ini?

"A-aku belum b-bertemu Naruto-kun sejak satu setengah bulan lalu. W-waktu itu, Naruto-kun mengurusi kasus tuntutan ke perusahaan a-ayahku," katanya sambil terus menunduk, "t-tapi hanya hari itu saja. Setelah pengadilan, ia mengajakku b-berbincang-bincang sejenak, dan pergi. Hanya waktu itu saja."

Lidahku jadi kelu. Entah kenapa aku tidak bisa untuk terus tidak mempercayai gadis ini. Berarti, berarti waktu itu ia tidak… Tunggu, kalimat mana yang sesungguhnya benar?

"Apa…" aku membuka suara, tapi berhenti dan menelan ludah sejenak. Hampir tak mampu berkata, sungguh tak ingin berkata, "apa Naruto adalah kekasihmu?"

"Eh?!" pekiknya terkejut. Kemudian wajahnya merona amat merah dan ia membalas penuh kepanikan, "T-t-ti-tidak mungkin! Tidak! A-a-aku hanya temannya! N-N-Naruto-kun, a, o-orang sepertiku t-tidak mungkin bisa bersamanya!"

Kali ini aku membeku di tempat dudukku. Kini aku paham kalimat Naruto mana yang bohong… dan mana yang benar. Rasa-rasanya aku ingin menangis lagi. Mengutuk diriku yang begitu mudahnya terjebak dalam kebohongan Naruto. Mengutuk diriku yang tak bisa membaca kejujuran dan kebenaran dari lelaki it-

"U-Uchiha-san," panggil perempuan di hadapanku. Aku tersadar dari lamunku dan menatapnya lagi. Nampaknya ia berani menatapku saat ini, dan bahkan memberikanku tatapan memelas penuh permohonan. Aku balas menatapnya tanpa tatapan tajam apapun. Kalau tadi ia menatapku seperti itu, aku sudah pergi meninggalkan café ini. Tapi, kali ini aku tak punya alasan apapun untuk membencinya. Iapun melanjutkan, "K-kalau anda b-bertemu dengan N-Naruto-kun, tolong sampaikan m-maafku. K-kurasa a-a-aku sudah berbuat salah padanya."

Aku bertanya lewat tatapanku. Gadis inipun membalas lagi,

"S-saat mengobrol waktu itu, a-aku memberinya kabar yang t-tidak menyenangkan. S-s-setelah itu, N-Naruto-kun bersikap aneh. Dia t-tidak tersenyum seperti biasanya lagi."

…eh?

"Apa yang kalian obrolkan?" tanyaku, berusaha menyembunyikan rasa penasaran dalam hatiku sebisa mungkin. Hari itu… sejak hari itulah Naruto mulai berubah sikap kepadaku. Apa mungkin perubahan sikapnya ini ada hubungannya dengan pembicaraan mereka? Ya, mungkin saja.

Naruto paham benar, aku tidak mungkin membiarkannya pergi hanya dengan alasan tak tahan dengan hubungan kami. Naruto juga paham, aku benci pengkhianatan. Yang jadi masalah sekarang, apa sesungguhnya motif Naruto untuk meninggalkanku? Apa alasan Naruto untuk meninggalkanku sampai harus berbohong dan menjadikan gadis ini sebagai alasannya?

"Aku m-memberitahunya kabar tentang teman kami…," ujar Hyuuga, lagi-lagi menghentikan pikiranku yang kembali melanglang buana. Kepala gadis ini tertunduk lagi. Ia meneruskan, "…teman kami yang baru meninggal beberapa bulan lalu… N-Naruto-kun tidak tahu, a-akulah yang memberitahunya."

"…siapa?" tanyaku lagi.

Kali ini gadis Hyuuga ini benar-benar terlihat seperti akan menangis kapan saja. Tapi bibirnya masih menjawab,
"H-Haruno Sakura."

Aku terhenyak.
Sakura… nama itu, nama itu terpatri erat dalam ingatanku. Bukan karena aku pernah bertemu dengannya, bukan pula karena aku mengenalnya. Tapi karena perempuan itu… perempuan itu mantan kekasih Naruto di sekolah menengah atas. Naruto sendiri yang menceritakan padaku. Ia memang menceritakan segala sesuatu tentang hubungannya di masa lalu. Termasuk hubungannya dengan Sakura. Juga tentang mereka yang sudah pernah-

"S-Sakura-chan meninggal karena AIDS."

Untuk yang kesekian kalinya aku terpaku. Mataku melebar dalam kejut. Keringat dingin membasahi dahiku, mengalir ke pipiku.

…AIDS?
…HIV/AIDS?
Naruto… mungkinkah-

Aku mencoba untuk tidak membuang waktu lagi. Aku segera mengambil handphone dan menelpon Sai, adik sepupu sekaligus wakilku di Uchiha's Industry. Tidak butuh waktu lama sampai pemuda berambut hitam itu mengangkat telponku.

"Hai, Sasuke," sapa pemuda itu.

"Sai, aku butuh bantuanmu."


That you would come back…

That you would come back to me…

I can't love again.

Even if you hurt me this much,

Even if you made me this sad,

I'm waiting for only you.


"Beberapa waktu lalu, Uzumaki Naruto memang sempat dirawat di sini," ucap dokter lelaki paruh baya dengan rambut yang mulai memutih itu. Ia masih terus duduk di kursinya, menyandarkan siku di atas meja kacanya. Tepat di hadapan meja itu, aku dan Sai duduk menunggu penjelasan darinya. Sebisa mungkin aku menahan rasa kejut dan penasaranku, mencoba untuk tetap berada dalam topeng stoic-ku. Cepat atau lambat, lelaki berumur yang kutahu bernama Jiraiya ini akan segera memberi penjelasan bagiku.

"Hanya sebulan. Dua minggu yang lalu ia kukirim ke rumah sakit temanku di Konoha untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Di sana Naruto bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik ketimbang di sini."

Aku agak risih mendengarnya memanggil nama kecil Naruto dengan begitu seenaknya. Aku saja butuh tiga tahun penuh untuk bisa memanggilnya langsung seperti itu. Tapi aku menghalau pikiranku ini dan bertanya,
"Jadi, dok-" tapi pertanyaanku dipotong olehnya.

"Naruto memang positif terkena HIV."

Lagi-lagi aku membeku. Jantungku terasa akan copot saat ini juga. Nafasku jadi sesak seketika. Tanpa melihat sekalipun, aku tahu persis topeng tanpa ekspresi itu sudah terlepas dari wajahku.

Kenapa… kenapa Naruto menyembunyikan ini dariku?

"Awalnya ia datang untuk menanyaiku tentang Haruno Sakura yang sempat dirawat hingga kematiannya di sini. Saat aku tahu mereka sudah pernah berhubungan intim, aku memaksa untuk mengetes darah Naruto, dan… yah, seperti itulah," ujar Jiraiya, kembali memberi penjelasan padaku.

Mulutku terbuka lagi,
"Perempuan itu yang-"

"Bukan," potongnya lagi. Dahiku berkerut dalam kekesalan. Lelaki bertubuh gempal yang masih mengenakan jas putihnya ini seakan bisa membaca semua pikiranku. Termasuk rasa benci yang tiba-tiba saja muncul terhadap perempuan bernama Haruno Sakura yang kuanggap telah menularkan penyakit terkutuk itu pada Naruto. Tetapi ia malah memotongku. Dan kalimat setelahnya yang keluar dari mulutnya, sukses membuatku lebih terdiam lagi…

"Narutolah yang menularkan HIV pada perempuan itu."

Kedua mata hitamku melebar dalam kejut lagi.
Ya, Tuhan… sampai kapan aku harus menerima kabar yang mengejutkan seperti ini?
Sampai kapan kau siksa aku dengan kenyataan-kenyataan ini?

"Sebenarnya penderita penyakit ini tidak bisa dibilang sedikit. Tapi kasus HIV/AIDS yang berhasil terungkap memang masih sangat langka. Saat kami periksa, seluarga Sakura terbebas dari HIV/AIDS. Jadi, aku mencoba mencari informasi tentang Naruto dari teman-temanku yang pernah menangani kasus ini. Uzumaki Kushina, ibu Naruto, meninggal karena AIDS. Ia bahkan dirawat oleh temanku tadi itu, Tsunade, hingga saat terakhirnya. Jadi besar kemungkinan Naruto membawa penyakit itu dari orang tuanya. Sayangnya, saat itu pengasuh Naruto yang kalau tak salah bernama Umino Iruka, terus merawat Naruto tanpa tahu keadaannya. Bahkan ia membawa anak itu pindah dari Konoha, jauh dari Rumah Sakit Konoha tempat ibunya dirawat. Kesimpulannya... selama ini Naruto hidup tanpa tahu bahwa ia mengidap penyakit ini."

Aku kembali terpaku. Kepandaianku tak punya arti apapun saat ini. Hanya perasaanku saja yang bisa terus berbicara.
Jadi… jadi Naruto baru mengetahui ini semua saat ia mendengar kabar dari Hinata? Pantas... pantaslah saat itu ia bersikap sedingin itu padaku. Tapi… kenapa Naruto malah menyembunyikan ini semua? Kenapa ia malah pergi meninggalkanku? Kenapa ia tidak memberitahuk-

"Bisa dibilang, hidup selama lebih dari dua puluh tahun dengan penyakit ini adalah keajaiban. Terlebih Naruto sendiri mengaku ia sangat jarang sakit. Ia sungguh tak tahu apa-apa tentang ini."

Ya, Naruto memang hampir tak pernah sakit… tapi, andai lelaki ini pernah melihat sendiri bagaimana keadaan Naruto saat ia sedang tak sehat... keadaan Naruto yang sangat tersiksa, bahkan saat ia terkena penyakit ringan semacam flu sekalipun. Setiap kali Naruto sakit… aku terus berdoa agar bisa menggantikan posisinya, agar aku bisa membuatnya sehat dan bisa tersenyum, bukan tersiksa dalam tangis bisunya, bukan terus tersenyum miris dan mencoba menguatkan diri di hadapanku.

"Ngomong-ngomong, Uchiha-san. Apa hubunganmu dengan Naruto?" tanya pria tua itu padaku, kembali menyadarkan aku dari lamunku. Kudapati mata abu-abunya memandang tajam kepadaku, menunjukkan rasa tak suka-nya tanpa ragu. "Kalau bukan dari keluarga Uchiha, aku tidak mungkin membeberkan rahasia pasien ini pada kalian."

Aku membisu selama beberapa detik.
"…aku kekasihnya," balasku akhirnya, tanpa menatap pada wajahnya sedikitpun.

"Eh…?" rasa kejut tak bisa disembunyikan dari kata-kata Dr. Jiraiya, "…astaga. Jangan-jangan… b-biarkan aku memeriksamu!"

Aku segera bangkit dari dudukku dan memberi kode pada Sai untuk melakukan hal yang sama. Aku berdiri di sana untuk sejenak, lalu menatap pada Jiraiya, tepat di matanya.

"Tidak perlu," kataku, "aku tidak perlu diperiksa. Tenang saja, sekalipun aku mengidap penyakit itu, aku tidak akan menularkannya pada orang lain lagi."

"Tapi-" ia mencoba membantah. Tapi aku tak membiarkannya mengakhiri kalimatnya lagi. Sekalipun ia meneruskan, aku sudah tak mau mendengarkannya lagi.

Aku mulai melangkah meninggalkannya, membiarkan Sai menutup pintu itu di belakangku. Pemuda yang baru saja lulus Universitas itu pun mengikuti langkahku. Kami menelusuri koridor rumah sakit hingga akhirnya sampai ke tempat parkir rumah sakit, tepat di hadapan kedua mobil kami.

"Sasuke," panggilnya dari belakangku, menghentikanku masuk ke dalam mobilku. Dari nada suaranya, nampaknya sedikit banyak iapun khawatir padaku. Aku berbalik, dan memandang pada wajah tanpa ekspresinya. Tanpa ekspresi... ia memang orang yang seperti itu. Saat pertama kali aku mengenalnya bertahun-tahun lalu, ia malah terus memberikan senyuman palsunya padaku. Tapi sesungguhnya, Uchiha Sai adalah orang yang seperti ini. Tak butuh kata-kata ataupun tatapan khawatir bagi Sai untuk membuatku paham bahwa ia mengkhawatirkanku.

Aku hanya membalas tanpa senyum,
"Jangan khawatir."

Aku lalu meninggalkannya dan membuka pintu mobil. Aku masuk dan duduk, tak menyempatkan diri untuk berhenti dan melihat Sai melakukan hal yang sama di mobilnya sendiri. Aku segera menyalakan mobil dan meninggalkan rumah sakit ini.

Tujuanku satu, Rumah Sakit Konoha.


It was all a lie...

It's all a lie…

Our breaking up was all a lie.


Aku menelusuri jalanan Konoha yang ramai. Konoha memang kota yang jauh lebih besar ketimbang Otto, kota tempat tinggal kami. Di sisi jalan ini sekalipun, masih ada beberapa gedung tinggi meski ini adalah bagian pinggir Konoha. Dari info yang kudapat, seharusnya Rumah Sakit Konoha tidak jauh lagi. Kata orang yang kutemui tadi, tinggal melewati dua perempatan lagi, dan berbelok ke sebelah kiri untuk bertemu RS Konoha.

Jalanan masih padat oleh berbagai kendaraan. Orang-orang juga terus berjalan di terotoar yang ada di sisi jalan. Sesekali aku melemparkan pandanganku ke sisi jalan, mencari tahu perempatan yang dimaksudkan. Ya, tikungan pertama akan terlewati sedikit lagi, mobilku bergerak tempat menuju perempatan itu. Lampu-lampu lalu lintas yang berwarna-warni menjadi tandanya.

Aku menghembuskan napas panjang. Rasanya tak sabar… rasanya sungguh tak sabar untuk cepat-cepat sampai ke rumah sakit itu dan bertemu dengannya… berbicara dengannya. Aku yakin, semua yang dikatakannya saat menelponku itu bohong. Bukan hanya tentang keletihannya menghadapi orang-orang itu… Naruto yang kukenal adalah lelaki dengan hati kuat, yang tak akan bergeming meski dicaci maki sekalipun. Bahkan, kalau mau jujur, malah dia yang akan balik mencaci orang itu. Tentang Hinata sekalipun… itu juga bohong. Jadi semuanya bohong… termasuk berpisahnya kami. Ia tidak mungkin, tidak mungkin benar-benar ingin berpisah dariku.

Kalau aku bisa menerka… dan kalau terkaanku benar, ia menjauh dariku… ia meninggalkanku, karena tak ingin aku ikut terkena penyakitnya. Karena ia tak menginginkan kematianku.

Dasar bodoh.

Aku juga tak mungkin membiarkannya mati. Apalagi menghembuskan napas terakhir sendirian tanpaku. Tidak. Kalau ia mati, akupun akan mati bersamanya. Aku pasti mati menyusulnya.

Dari lampu lalu lintas di sisi kiri jalan perempatan yang kulihat tadi, aku menggerakkan mataku untuk menatap pada orang-orang yang berada tak jauh dari sana. Mengamati orang-orang yang berjalan di atas terotoar itu, juga beberapa orang yang menyebrang saat lampu di jalan yang memotong jalanan tempatku berada sekarang.

Tak lama, aku melihat sosok itu… sesosok lelaki muda yang mengenakan celana panjang hitam, ditambah kemeja putih berlapis sweater merah tua. Lelaki muda berambut pirang yang berjalan pelan dengan tangan yang berada di dalam masing-masing kantung celananya. Lelaki yang, meski tak bisa kulihat dari tempatku sekarang, pastilah memiliki mata berwarna biru indah yang sangat kukagumi… Naruto.

Naruto… benar-benar Naruto... hanya beberapa meter dariku!

"Na-" aku berniat berseru memanggilnya, namun segera terpotong.

Terpotong saat kusadari mobilku berhadapan dengan seorang wanita yang hendak menyeberangi jalan. Ternyata lampu di bagian jalanku telah berganti dari hijau menjadi merah. Aku sama sekali tak menyadari itu. Aku pun segera membanting setir dan berbelok ke arah kanan untuk menghindarinya, berhasil.

Untuk sedetik aku menghembuskan napas lega, tapi hanya sedetik. Hanya sedetik.

Kini mobilku berhadapan dengan truk merah besar yang akan berbelok… kurasakan mataku melebar dan tanganku yang membatu. Sama sekali tak sempat untuk berbuat apa-apa. Kusaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri… bagaikan dalam film yang diputar dengan gerak lambat... moncong mobil biruku yang bersentuhan langsung dengan logam berwarna merah itu. Suara keras menghentak telingaku. Dan setelah itu… gelap.


Because you are my love…

Because you are my everything…


Ya... gelap.

Aku sungguh tak tahu bagaimana keadaan mobil maupun diriku sendiri sekarang. Saat aku membuka mata, yang kulihat hanyalah gelap, dan hitam. Singkat kata, aku tak bisa melihat apa-apa. Mungkin sesuatu terjadi dengan mata atau sarafku, atau mungkin aku memang terjepit begitu dalam di mobilku hingga tak ada satupun partikel cahaya yang bisa masuk dan menyapaku. Karena kuanggap percuma, akhirnya kubiarkan kelopak mataku terpejam.

Aku berusaha menggerakkan tangan kiriku, tapi tak bisa. Kedua kakikupun begitu. Ada sesuatu yang menindihnya… ataukah memang aku tak mampu lagi menggerakkan tubuhku itu? Aku tidak tahu. Aku pun beralih ke tangan kananku, berusaha bergerak untuk tahu, minimal untuk tahu bagaimana keadaanku sekarang. Dengan gemetar, jemariku meraba-raba, mencoba menghindari logam panas yang menjepit tubuhku. Panas, rasanya amat membakar. Tapi di saat yang bersamaan, kurasakan tubuhku basah… basah oleh cairan kental yang hangat… ah, darah...?

Apa... apa aku akan segera mati?

Pada saat yang bersamaan ingin aku menghembuskan napas panjang sekaligus mengejek keadaanku sekarang. Aku tak lagi menggerakkan tanganku. Pasrah. Rasanya sungguh lucu, di koran besok mungkin akan ada header yang berbunyi "Putra Bungsu Uchiha Meninggal Karena Kecelakaan". Direktur Uchiha's Industry yang terkenal sempurna dan perfeksionis itu malah meninggal karena kecelakaan lalu lintas… konyol. Kenapa aku bisa sampai tertabrak? Ah, iya… Naruto.

Naruto…. Bagaimana ia sekarang? Apa ia masih bisa mengenali mobilku? Apa ia sedang terpaku menatap mobilku yang hancur ini, atau-

"…SUKE! SASUKE!!" entah aku yang tak memperhatikan, atau telingaku yang memang baru bisa digunakan lagi, barulah aku mendengar suara itu… suara orang yang amat kucintai. Suara dari orang yang menjadi segalanya bagiku. Dan orang itu… suara itu… memanggilku.

"KAU D…NGAR …KU 'KAN?!! K…UAR DAR… SANA!! KA… MASIH HIDUP 'K…? SASUKE!!"

Padahal Naruto berteriak… tapi aku tak begitu bisa mencerna kalimatnya. Ah, mungkin telingaku memang sudah rusak. Aku memang tak bisa lagi merasakannya, tapi samar-samar aku bisa mendengar suara keras... seperti suara tumbukan ke logam. Apa... apa Naruto sedang memukuli mobil ini?

Aku membuka mulutku, berusaha menggerakkan lidahku. Yang kudapatkan hanyalah kegagalan. Aku tak mampu mengucapkan kata apapun, rintihan sekalipun. Apa lidahku memang sudah tak bisa lagi bergerak? Kurasa, otak atau tulang punggungku memang sudah terluka berat. Sebagian saraf-sarafku memang sudah tak berfungsi lagi. Singkat kata, kini tubuhku telah lumpuh.

Namun... aku bisa merasakan ini... detik demi detik, nafasku semakin sesak. Detak jantungku semakin lemah. Kini aku bahkan tak bisa lagi membuka kelopak kedua mataku. Tanganku yang tadinya bisa digerakkan juga sama… berat bagaikan batu. Seolah aku bukan lagi pemilik tubuh ini… ataukah… ataukah memang begitu?

Kalau roh telah dicabut, tubuh ini bukan milikku lagi bukan?

Aku juga masih bisa mendengar suara lelaki itu, tetapi semakin samar juga semakin sayup. Meski sedikit kecewa karena tak bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas, sebuah senyum tertoreh di wajahku. Ya, aku tersenyum. Entah seperti apa senyumku sekarang, tapi aku tersenyum. Rasanya bahagia… sungguh bahagia, bisa mendengar suaranya lagi. Bisa mendengar ia memanggilku lagi. Memanggil namaku lagi dengan bibirnya itu. Setidaknya aku tahu, aku masih punya tempat di dalam hatinya. Tidak salah 'kan aku menunggu? Penantianku tak sia-sia. Ia masih mencariku… masih menginginkanku… masih… masih mencintaiku.

Meski harus menunggu lebih lama lagi, aku akan menunggu. Aku akan tetap menunggu. Sampai kapanpun, aku akan tetap menantinya.

Kuucap sebuah sumpah dalam hatiku, sumpah terakhir yang bisa kubuat sebelum akhirnya jantungku berhenti berdetak.

Naruto,
…kutunggu kau di sana.


I'll be waiting only for you.


-
FIN
-

.

.

.

Review, if you don't mind.