Disclaimer: Sumpah, bukan punya saya!!

Pairing: NejixHinata

Warning: OOC

a/n :

Selamat membaca!!

~*~*~*~*~*~*~*~*~*

ONE DAY…

~*~*~*~*~*~*

CHAPTER : 3

Udara pagi biasanya akan membawa kesejukan, ketentraman bagi setiap warga Konoha. Apa lagi masih berkisar 06.30. Aktifitas kehidupan bergulir sebagaimana mestinya. Toko-toko dibuka, warga yang berpapasan saling menyapa –sekedar basa-basi tidak penting-, ibu yang menyeret anak ke Akademi sebab si anak terlalu malas mengikuti proses belajar-mengajar, dan banyak aktifitas-aktifitas eksotis lainnya.

Tapi hari ini berbeda.

Zoom ke ruang makan keluarga Hyuuga, temperatur justru meninggi.

1 meja dengan 4 kursi yang hanya terisi 3. Kursi yang kosong sendiri merupakan harta milik anak semata wayang yang tidak dapat mengikuti sarapan bersama sebab harus menjalankan tugas.

Piring di depan mereka masih belum bersih, setengahnya pun belum sampai.

Di sisi kiri Ny. Hyuuga, Hinata, duduk dengan tidak nyaman. Tangannya digenggam erat dengan telapak tangan berkeringat. "Neji-kun… Jangan.. Tidak perlu." Kata Hinata, memohon lagi kepada suaminya untuk membatalkan keputusan yang baru saja diambil.

"Harus." Balas Neji sengit "Tidak ada kata 'jangan' maupun 'tidak perlu'."

"Terlalu berbahaya." Hinata menggeleng putus asa "Ayah… Ayah bisa celaka."

Neji mendengus keras "Ayah mantan KEPALA klan. Pasti bisa."

"Tetap saja. Terlalu berbahaya."

Hiashi diselimuti perasaan bangga dan terharu mengikuti setiap kata yang keluar dan mulut anak dan menantunya. Yang satu khawatir akan keadaannya, yang satu lagi percaya akan kemampuannya. Ia bingung harus membela yang mana. Kedua pihak nge-fans setengah mati pada dirinya. Inikah rasanya jadi artis?

"Ck, tidak ada yang bahaya." Kilah Neji, nada ke-tidaksabar-an terselip di antara kalimat terucap. Ia capek dan bosan mengulang pernyataan yang sama. Posisinya juga tidak menguntungkan. Ia berniat memenangkan argument ini, tapi kalau salah bicara bisa-bisa tangisan Hinata pecah.

Menurut rumus matematika:

Tangisan Hinata= Rasengan+Jyuuken+Gigitan Akamaru+Serangan-serangga Shino+Genjutsu Kurenai.

"Ayah sudah t-tua. Tidak seperti dulu."

Tua lagi, tua lagi "Ok, kalau begitu lupakah bahwa Ayah adalah mantan Kepala Klan Hyuuga." Hinata menyuarakan setuju-nya pelan "Tapi ingat, Ayah adalah seorang Hyuuga!" Hinata berjengit mendengar suara Neji yang meninggi "Lihat kakek Sui, usianya lebih dari 80 tahun dan dia melakukan aktifitas yang tidak jauh beda dengan kita. Sedangkan Ayah, Ayah baru menginjak kepala 5. Memangnya Ayah bisa bisa lebih tua, lapuk, dan reyot?!"

Mata Hinata memerah. Bukan karena ingin menangis, melainkan ada perasaan lain yang jarang ia rasakan.

Marah. Neji tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau mengeluh.

"K-kalau tahu Ayah 'tua, lapuk, reyot' kenapa dipaksakan?!"

Tapi, Hiashi yang tadinya bingung kini tahu pasti, arah pembicaraan ini telah melenceng jauh dari arah yang sebenarnya. Sudah saatnya ia turun tangan "Kalau boleh menginterupsi, seben---"

"Tidak boleh!" Suami-istri Hyuuga kompak dalam bidang yang satu ini.

"Hinata-Chan, jujur saja, kau sangat memanjakan Ayah. Kalau begini caranya, Ayah akan jadi Kakek tua gemuk-manja."

"Neji-kun, kau ada dendam terselubung pada Ayah?"

"Tidak." Neji berbohong dengan wajah innocent, sama sekali tidak mendatangkan rasa curiga Hinata ataupun Hiashi "Hanya menyatakan fakta."

"Oh?" Hinata mengerti, suaminya tidak mungkin begitu. Hanya saja, kemarahan dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan dalam mengendalikan apa yang diucapkannya.

"Ya. Dan kalau Hina-Chan yang penuh pengertian tidak tahu apa namanya, Neji tersayang akan beri tahu. Ini namanya kepercayaan bukan dendam." Kata Neji sarkatis. Melting malihat Hinata yang masih sepat merona, namun buru-buru kembali focus pada topic pertandingan.

"D-dengar…"

"Ya,ya. Aku dengar."

Hinata berusaha memberikan death glare yang sayang gagal karena ia jadi ingin menangis. Ini pertengkaran terhebat mereka dan bodohnya terjadi tepat di hadapannya sang Ayah. Juga, ia tahu satu hal sekarang, Neji terkadang bisa jadi sangat menyebalkan "K-kau… Menjengkelkan!"

"Bagaimana dengan sikapmu yang terlalu perhatian? Itu juga menjengkelkan." Serang Neji tanpa ampun. Ia tidak terbiasa kalah dalam hal apapun.

Hiashi menelan ludah gugup. Tidak menyenangkan ada di antara pasangan suami-istri yang sedang berperang. "Kalian tidak perlu bertengkar hanya gara-gara masal---"

"Ayah jangan ikut campur."

Kalimatnya dipotong lagi.

"K-kau ini kenapa? Selalu marah-marah." Hinata menggigit bibir, menahan agar tangisannya tidak pecah di depan lawan "Jadilah lebih baik, mungkin dengan begitu kau bisa punya banyak kawan. Tidak hidup dalam kehidupan sepi dan membosankan."

"Hidupku jauh lebih baik dari pada hidupmu. Aku kapten ANBU, dan punya banyak fangirl meski sudah menikah dan punya anak." Tutur Neji, tidak memperhatikan apa yang baru ia katakan.

Kemarahan Hinata pecah sudah "OH! Jadi itu sebabnya kau selalu pulang terlambat? Berkeliling menyambut mereka meski sudah menikah dan punya anak?!"

~*~*~*~*~*~*~*~*~*

"Aku pulang." Salam Hikaru hanya dijawab anggukan dingin Neji dan senyum lemah ibunya. Hikaru menganggakat sebelah alis "Itu saja?"

Ia baru menyelesaikan misi di Amegakure, capek. Biasanya selalu disambut ceria oleh Ibunya, bahkan Ayah yang cuekpun akan menyempatkan diri memukul punggungnya sebagai tanda selamat kalau tidak mau dibilang berusaha membunuhnya. Ada yang salah.

Mungkin karena cuaca yang panas jadi tidak bersemangat… Hikaru memutuskan.

"Aku dipromosikan jadi ANBU." Ia pikir ini bisa mencairkan suasana. Ayahnya selalu ingin dia menjadi ANBU secepat mungkin. Ibu tidak memaksa, tapi ia percaya ibu juga menginginkannya. Karena setiap ada seorang ibu yang lewat dengan anak yang berprofesi sebagai ANBU ibunya selalu berkata "Beruntung ibu itu… Anaknya ANBU."

Hikaru melipat kakinya diatas sofa menunggu reaksi anggota rumah. Sedetik kemudian, ia bisa merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang dan rambutnya di acak pelan "Hikaru-kun memang hebat. Malam ini ibu masak enak. Ada makanan khusus yang perlu ibu buatkan?"

Hikaru bernafas lega. Ternyata memang hanya perasaannya. Tidak ada yang salah.

"Mencari sekutu?"

Pelukan ibunya tiba-tiba mengerat, Hikaru menepuk lengan ibunya untuk menyampaikan informasi secara tidak langsung bahwa ia baru saja diserang asma mendadak. Hinata yang tidak sadar, mendengus keras "H-hikaru sedang bahagia, sebagai ibu wajarkan aku ikut bahagia?" Jawabnya atas kalimat pendek Neji.

"Terserah. Ditambah Hikarupun tidak akan ada bedanya."

Dan perang mulut terus berlanjut. Hikaru agak merasa aneh melihat orang tua-nya yang tidak banyak omong jadi bicara panjang lebar dengan tema tidak menentu, menyempit, di satu waktu meluas. Mulai dari kebiasaan sampai hal-hal bodoh lainnya.

Di saat perdebatan memasuki topic Rate-M, Hikaru merayap ke kamarnya dalam keadaan merah padam. Ia memutar gagang pintu, membuka, lalu tidak tanggung-tanggung membanting pintu dibelakangnya dan jatuh bersandar dengan lutut ditekuk, bernafas keras dengan kepala pusing setiap kali beberapa kalimat maut kembali terngiang.

Ini tidak baik untuk kesehatan anak manapun.

Hikaru mencengkeram bagian depan bajunya, tangan yang lain memijit kepalanya yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kedamaian. Ketika ia menengadah, pemandangan pertama yang tertangkap byakugannya adalah Hyuuga Hiashi yang sedang duduk tanpa harapan di tempat tidur dengan tampang lesu. Ia bahkan tidak menyadari kakeknya ada di situ…

Entah mengapa Hikaru diliputi rasa kasihan pada kakek nyentriknya.

"Kakek?"

Mungkin ia masih punya hati sebagai seorang cucu…

Hiashi mengerjap, meluruskan kakinya yang dilipat sebelum menjawab dengan wajah menerawang "Orang tuamu, menantu dan anakku, bertengkar."

"Aku tahu." Hikaru mengerti sekarang, keadaan hati jauh lebih mempengaruhi keadaan fisik seseorang dari pada usianya. Kakek yang pertama ia kenal terkesan lebih muda dari pada yang kini ada di hadapannya. "Nanti baikan. Memang begitu, biarkan saja." Komentar Hikaru sambil lalu, masih berusaha menstabilkan nafasnya yang memburu.

Dahi Hiashi berkerut "Jadi, mereka sering bertengkar?"

"Tidak!" Hikaru menggeleng, setelah itu menyandarkan kepalanya yang secara misterius jadi makin berat ke daun pintu "Jarang, bahkan. Walaupun pertengkaran hari ini, aku akui, lebih bar-bar. Pertengakaran sebelumnya karena alasan-alasan yang konyol. Pertengkaran yang sekarang karena apa lagi?"

Hiashi mendadak duduk tegak di tempatnya, mulutnya kering "Karena kakek." Katanya dalam suara serak.

"Karena kakek?"

Bibir Hiashi membentuk senyum sedih "Ayahmu dan Kakek ingin naik gunung, ibumu tidak mengizinkan. Dan.. yah, begitulah." Ia mengangkat bahu kemudian melambaikan sebelah tangannya.

"Kalau kakek mau tahu pendapatku, dari awal Aku sudah bisa menebak kakek akan membawa banyak masalah."

Hiashi menatap Hikaru lama pasca pernyataan terbuka yang baru dilontarkan. Wajahnya menampilkan ekspresi tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka, tampak ingin berbicara tapi yang keluar hanya suara tercekat.

Hikaru benar-benar menyesal. Ini percakapan normal pertama yang pernah ia miliki bersama kakek dan ia menghancurkan semuanya. Kakeknya sedang butuh dukungan dan yang bisa ia beri hanya beban. Sebenarnya, ia tidak bermaksud mengatakannya se-kejam itu. Sudah kebiasaan. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya menghibur orang lain. Jadi, Hikaru melakukan apa yang ia pikir perlu.

Minta maaf.

Meski terdengar tidak ikhlas, ia melakukannya dengan tulus.

"Jangan. Kakek tidak marah." Hiashi nyengir lebar "Kakek justru bangga!" Hikaru yang bisa pasang tampang 'WTF?!!' "Itu juga yang Kakek katakan pada Kakek-nya-kakek dulu. Kau baru saja membuktikan bahwa kau adalah cucuku!!"

Tawa membahana mengisi kamar Hikaru.

Dari situ, Hikaru bercerita banyak pada Kakeknya. Mereka membicarakan banyak hal, seperti budaya, politik, ekonomi, kesehatan, gossip panas seputar selebriti, de-el-el. Lama ia tidak tertawa selepas ini. Kakeknya bahkan menceritakan masa mudanya yang sudah berlalu jauh. Hikaru tersenyum sekali lagi.

"Pertama kali, Aku tidak menyukai Kakek. Ayah juga." Hikaru mengatupkan mulutnya. Ia untuk kesekian kalinya bicara sembrono. Hikaru menunggu lama kemudian bernafas lega saat Hiashi tampak tidak begitu terpengaruh. Kakeknya sudah kebal rupanya.

"Ayahmu masih dendam pada Kakek?"

Hikaru mengernyit. Berarti selama ini Kakek tahu "Ayah bilang, Kakek selalu menghalanginya. Tentang ibu, semacam itulah."

"Dan sekarang mereka berdua malah bertengkar. Ironis sekali." Hiashi mengeluarkan tawa kecil lain "Ayahmu belum mengerti. Dia akan mengerti jika suatu saat ia mengalaminya sendiri. Ia akan mengerti jika suatu saat kau, anaknya, dilamar untuk dibawa pergi ke rumah orang lain."

Hening lama mengisi ruangan sampai Hikaru membuka mulut "…Aku… tidak akan… err… dilamar." Kata Hikaru lambat-lambat. Ngeri sendiri membayangkan ia dilamar dan dibawa pergi ke rumah orang lain.

Tidak mungkin.

Lagian, kalaupun kejadian, scenario yang paling mungkin terjadi adalah,

Neji menyeringai senang, puas dengan hasil perundingan, tidak memperdulikan anaknya yang terisak dipelukan sang ibu yang berteriak putus asa 'Aku tidak mau!' "Baiklah, kita sudah setuju kan? Anak saya mau diambil kapan saja boleh. Perawatannya tidak mahal. Dikasih makan sehari sekali juga tidak masalah. Tidak di kasih makanpun baik-baik saja. Kalau tidak berfungsi hubungi service center terdekat."

Ending: Evil laughter

-

-

-

"I-iya, ya. Tidak mungkin…" Hiashi tertawa lagi, sebuah tawa gugup yang diikuti Hikaru dengan khidmat "Tapi.. Ada lho wanita yang melamar pria."

Informasi ini tidak membantu apa-apa

"B-begitu?"

"Makanya kau cepatlah menikah. Melamar sebelum kau dilamar tante-tante, ok?" Seperti ini wujud Hiashi dalam a smart grandfather mode: on.

"…"

"…?"

Hikaru jadi makin gugup. Kenapa pembicaraan yang tadinya menarik malah menjurus ke urusan lamar-melamar?

Sesuatu yang gelap bagi Hikaru adalah kenyataan bahwa Hiashi tak kalah gugup. Ia sama sekali belum siap mental untuk mengajarkan pelajaran sejenis lamar-melamar pada cucunya. Ia sudah menyiapakan semua perbekalan untuk menjadi Kakek hebat, tapi bukan yang ini. Ia juga tidak yakin apakah kalimat yang ia ucapkan tadi benar? Atau salah?

Suara high-pitch Hinata menyelamatkan mereka, menyerap semua perhatian mereka kembali kepada pertengkaran suami-istri Hyuuga untuk sejenak melupakan apa saja yang baru saja mereka diskusikan.

"Cucu, yakin Ayah-Ibumu akan segera rujuk?" Bisik Hiashi, kekhawatiran terpatri jelas.

Hikaru menyisir rambut coklatnya dengan jari-jari panjang tangan kanannya "Untuk yang satu ini, aku tidak yakin."

"Kakek sudah coba menjelaskan, tidak pernah diberi kesempatan."

Hikaru mendesah. Pertengakaran yang biasa cepat saja terselasakan karena ibunya selalu mengalah. Tapi, keadaan sekarang tidak menunjang hal itu untuk terjadi lagi. Apa pertengkaran akan berjalan panjang…

-

Tenang saja, karena Daddy Dearest selalu ada di sini.

T B C . . .

a/n:

Gak begitu banyak humor. Lebih ke perkembangan hubungan Hiashi-Hikaru… Semoga mereka bisa jadi Cucu dan Kakek yang kompak, begitu pula dengan Neji-Hiashi agar bisa menjadi menantu-mertua kompak. Amin. Moga-moga Family di-fic ini berasa…

Ava sendiri kecewa dengan chap

Ah… Yang menjalankan, selamat menunaikan ibadah puasa, un! *digampar Dei-Dei; itu trademark gue!* Sekolah-sekolah pada libur, ya? Ato ada yang gak libur?

R E V I E W, PLZ!!

Salam,

Ava^^v