Akhirnya!!! Kesampean juga mau bikin fic NaruGaa!!! Oh My! Akhirnya!!!! Tapi ini lebih menjurus ke arah friendship sih ^^
Warning: Karakter OOC yang gak tanggung-tanggung.

Disclaimer: Naruto bukan punyaku, tak akan pernah menjadi milikku.

"....." = orang bicara
'.....' = bicara dalam hati
"....."
= monster bicara
"....."
= orang bicara pada masa lampau


Unbeloved Monster

Chapter 1: I'm a Monster

Langit yang gelap dengan udara dingin yang menusuk kulit. Di hari yang begitu larut ini, nyaris semua orang di Suna memilih untuk bersembunyi di balik selimut hangat mereka. Bagaimana tidak? Cuaca gurun pasir sangatlah ekstrim. Saat siang hari begitu panas sampai terasa seperti panggangan dan malam hari begitu dingin layaknya es.

Pada malam yang larut serta dingin seperti itu semua orang sudah terlelap. Kecuali beberapa ninja yang masih patroli. Suasana desa pun menjadi dingin dan sepi. Bahkan disertai rasa mencekam yang tak biasa.

Namun, sama seperti malam-malam biasanya, ada satu orang anak yang tetap tak tertidur tanpa peduli betapa gelapnya malam. Ia hanya menatap kosong ke depan. Menerawang jauh sesuatu yang tak ada di kepalanya. Jika diperhartikan baik-baik, terdapat genangan kecil air mata di pelupuk matanya yang telah menolak untuk jatuh selama berjam-jam. Ia memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan lengannya.

Rambut merahnya melambai tertiup hembusan angin malam yang membekukan, namun ia masih tak bergeming, matanya masih berkaca-kaca dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Sepintas terlihat tenang dan dingin namun dari matanya bisa diketahui kalau ia sedang merasa terluka dan sakit. Air matanya yang sampai sekarang menolak untuk jatuh adalah tanda bukti betapa sakitnya derita yang ia rasakan saat ini.

"Akhirnya, kau kutemukan!" suara parau membuat anak itu kaget dan menoleh ke belakang dengan ekpresi kaku namun terbalik dengan suasana hatinya yang masih diliputi suasana sedih dan takut.

Di matanya ia melihat seorang wanita paruh baya dengan ekspresi yang sampai saat ini masih ia benci. Ekspresi kebencian yang seakan menginginkan anak itu lenyap dari permukaan bumi ini.

"Kau monster! Akan kubalaskan dendam anakku yang telah kau bunuh!" dan dengan perkataan itu, sang wanita yang dari penampilannya saja jelas bukan seorang ninja menerjang anak itu. Tanpa perlu mengelak pun, serangan wanita yang bermodalkan sebilah pisau dapur itu sama sekali tak berarti. Dinding pasir segera menyelimuti anak itu dan tak membiarkan anak itu terluka segores pun.

Sang wanita tak kunjung menyerah. Ia berusaha menyerang lagi, lagi dan lagi. Air mata mengalir di wajah rentanya. Anak itu hanya bisa memandangi wanita itu tanpa ekspresi. Matanya berkilau aneh saat melihat air mata sang wanita paruh baya tersebut.

"Kau monster!! Kembalikan anakku! Kembalikan dia! Kenapa kau merenggut nyawanya? Kenapa!?" wanita itu berteriak histeris sambil terus menghunuskan pisau yang selalu tenggelam ke dalam dinding pasir.

Anak itu tak tahu harus berbuat apa. Ia meremas dadanya yang kini terasa sangat sakit meskipun tak ada darah yang mengalir di sana. Ia terus berusaha untuk menahan air matanya untuk jatuh.

"Kau monster!!! Tak ada yang pernah menginginkan kau lahir! Tak ada yang mengharapkanmu berada di sini! Enyah kau! Kembalikan anakku!" wanita itu terus berteriak menguraikan setiap kata yang menorehkan luka dalam pada hati anak tersebut. Anak itu menutup matanya, berusaha mengusir pikiran kelam dan rasa sakit yang menyerang dadanya. Namun, semua itu percuma.

"Pergilah!!! Enyahlah!!! KAU ADALAH MONSTER!!! KAU ITU CUMA BERUPA KUTUKAN UNTUK DESA INI!!!!!"

Anak itu menundukkan kepalanya disertai dengan air mata yang akhirnya kalah dan jatuh mengalir dipipinya. Ia membuka matanya dan menatap sang wanita dengan penuh dendam. Hanya butuh satu gerakan untuk membuat wanita paruh baya itu untuk kehilangan nyawanya.

Anak itu memejamkan matanya saat pasir membungkus tubuh renta wanita itu dan meremasnya sampai hancur. Darah pun bermuncratan keberbagai penjuru, termasuk menodai sedikit wajah anak itu.

Air mata masih mengalir di pipinya. Ekspresi psikopath yang dahulu selalu terpampang di wajahnya kini tergantikan dengan ekspresi pilu yang bagaikan seorang anak yang kehilangan arah dan tujuan.

Matanya yang masih berkaca-kaca hanya bisa menatap ke bawah. Menyembunyikan rasa penyesalan yang menyelimuti dadanya.

"Kenapa? Kenapa aku terlahir sebagai monster?" gumam anak itu disela-sela isak bisu tangisnya.

"Kenapa? Kenapa aku terlahir sebagai 'Gaara'?" gumamnya lagi dengan nada parau dan lemah.


Anak berambut merah itu menatap sembunyi-sembunyi kedua kakaknya yang sedang makan di sampingnya. Ia bisa merasakan hawa tak nyaman dari keduanya. Makan malam yang seharusnya terasa hangat dan terasa nyaman ini tak pernah ia rasakan selama ini. Ia sadar, kedua kakaknya tak nyaman dengan kehadirannya. Ia tahu, sebenarnya jika dirinya tak ada di dekat mereka, kedua kakaknya adalah orang yang ceria dan sangat ramah, mereka begitu 'hidup' tak suram seperti ini.

Daritadi kakak laki-lakinya, yang bernama Kankurou sudah berkali-kali hendak memulai suatu bahan obrolan yang selalu berakhir dengan diam. Kakak perempuannya yang bernama Temari pun sudah mencoba bersikap santai dan akrab kepadanya yang selalu diakhiri dengan kegagalan.

Mengapa mereka selalu gagal? Karena adik bungsu mereka tak mengerti caranya bersikap 'normal'.

Akhirnya, anak berambut merah yang memiliki nama Gaara pun bangkit dari meja makan. Ia tak tahan dengan sikap kedua kakaknya yang seakan ingin mengusirnya dalam diam. Ia tak ingin keberadaannya hanya menjadi beban untuk kedua kakaknya. Daripada terjebak di suasana kaku seperti ini, akhirnya Gaara memutuskan untuk pergi dan tak memperdulikan Temari yang memanggilnya karena Gaara belum menghabiskan makanannya.

Gaara hanya pergi, meninggalkan kedua kakaknya yang tak mengerti akan sikapnya. Semenjak ujian chuunin berbagai perasaan rumit dan sikap yang membingungkan selalu menghantui Gaara. Bukan salahnya jika ia tidak tahu bagaimana caranya bersikap sebagai 'manusia yang normal'. Ia hanya terus menerus bingung harus bersikap bagaimana dalam suatu keadaan. Semua sikap yang ia tunjukkan sampai saat ini tak pernah mendapat respon baik dari kedua kakaknya.

Bagaimana caranya bersikap normal? Bagaimana caranya berperilaku sebagai manusia biasa? Bagaimana caranya? Bagaimana caranya? Bagaimana caranya?


Gaara mendesah kecil, ia menatap pintu yang akan mengantarnya memasuki ruang tengah. Tempat dimana biasanya kedua kakaknya berada. Ia sudah mencoba menenangkan diri dan akan berusaha untuk bersikap 'normal' sebaik yang ia bisa. Namun, langkahnya berhenti begitu mendengar percakapan yang tertangkap di telinganya.

"Hm.....ku dengar dari Baki, Gaara membunuh seorang wanita paruh baya lusa kemarin."

Gaara pun terpaku di tempat. Tangannya yang hendak meraih gagang pintu terhenti di udara. Ia mengenali suara itu sebagai suara Kankurou. 'Apa yang sedang mereka bicarakan?' tanya Gaara dalam hati dengan perasaan takut dan khawatir.

"Benar, kupikir......sifatnya yang haus darah itu sudah sembuh, tapi ternyata....."

Gaara mendengar Temari menghentikan omongannya. Nampaknya, tak mampu mengatakan kata-kata yang sudah tersangkut di tenggorokannya.

"Bagaimana ini?"

"Entahlah, aku juga bingung bagaimana caranya menghadapi Gaara."

"Para tetua mengatakan Gaara mulai kambuh lagi."

"Ya, aku tahu itu, banyak ninja patroli yang sudah diserangnya akhir-akhir ini."

"Lalu, kita harus bagaimana?"

"Entahlah."

"Apa kau pikir suatu saat ia akan melukai kita seperti dulu?"

"Aku tak yakin akan hal itu. Banyak tetua mengatakan agar Gaara diasingkan saja."

"Kenapa begitu?"

"Karena, dia itu..........dia itu.........monster."

Satu kata terakhir yang terucap keluar dari mulut Temari telah menoreh luka dalam di hati Gaara. Ekspresi Gaara seperti gabungan dari ketidakpercayaan, ketakutan, kekecewaan dan juga kesedihan.

"Dengar lah itu bocah bodoh, bahkan saudaramu sendiri pun mengakui kalau kau adalah monster," kata Shukaku yang meraung dari dalam diri Gaara.

Gaara tak mempu menyangkalnya. Air matanya kembali jatuh dalam diam. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Satu-satunya harapannya telah lenyap. Satu-satunya benang tipis tempat ia bergantung telah putus dan melemparkannya kembali ke dalam jurang kegelapan.

Semua ingatan menyakitkan kembali terulang di benak Gaara bagaikan potongan-potongan gambar yang dirangkai menjadi satu.

"Kau adalah monster."

'Apa itu memang benar?' tanya Gaara dalam hati merasa putus asa.

"Kau itu cuma kutukan untuk desa ini."

'Apakah di sini bukan tempatku? Lalu dimana tempat seharusnya kuberada?' tanya Gaara kembali tanpa meraih jawaban apapun.

"Enyahlah!"

'Andai aku bisa membunuh diriku sendiri,' Gaara tak mempu menghentikan air matanya yang jatuh mengalir diiringi dengan isak tangisnya yang terasa menyedihkan.

"Kau tak akan pernah dicintai."

'Mungkin itu memang benar,' Gaara menunduk, badannya sedikit gemetar karena isak tangis yang tak dapat ia hentikan. Meskipun ia telah lupa bagaimana caranya menangis semenjak Yashamaru meninggal, namun semenjak ia memutuskan untuk berubah, ia selalu menangis setiap malam. Karena bingung tak tahu harus berbuat apa. Karena menyesal dengan semua dosa-dosa yang tela ia lakukan. Karena resah tentang keberadaan dirinya. Karena tak tahu alasan baginya untuk hidup.

Dan khawatir akan dirinya sendiri.

'Apakah aku tak akan pernah bisa berubah menjadi manusia biasa? Apakah aku akan tetap menjadi monster selama aku masih hidup? Apakah aku tak akan bisa berubah?'

"Ya, bocah naïf. Kau adalah MONSTER!"


Yak, segitu dulu chapter pertama. Uh.....cerita ini lebay banget ya? Ya sudahlah, liat dulu responnya dulu. Kalau reviewnya sedikit mungkin cerita ini bakalan hiastus. Oh ya, berikan pendapat kalian ya. Kira-kira mau fanfic ini genre friendship atau romance. Anda yang menentukan dan juga anda yang menentukan cerita ini bakal lanjut atau tidak (kok pake bahasa formal????).

Review please!!!! Review!!!!!