Warning : Alternate Universe, Out of Character, mary-sue, shoujo-ai, character death, bulimia, plus bumbu kegajean dan keabalan tingkat tinggi.. =_=' Yang gak suka, silakan klik 'back'.

.

.

The Legend of The Wishing Stairs

Naruto © Kishimoto Masashi

Yeogo goedam 3: Yeowoo gyedan © Yun Jae-yeon

Bagian 9

.

.

Suasana pagi itu di Konoha Art Institute for Girls sudah kembali seperti biasanya. Suasana duka yang melingkupi sekolah seni khusus puteri itu setelah kepergian salah satu siswi mereka sudah tak terasa lagi. Suara tawa riang dan ocehan yang mengiringi aktivitas para gadis sebelum jam pelajaran pertama terdengar memenuhi koridor. Semuanya sudah kembali berjalan normal—hampir.

Sampai seseorang dengan sengaja membuat keributan.

Suara jeritan menyeruak di antara kerumunan para gadis saat seseorang menumpahkan barang-barang dari dalam kotak yang dibawanya. Satu jeritan diikuti bisik-bisik bernada ngeri ketika benda-benda itu terserak di lantai—berlembar-lembar foto dan gambar wajah, syal, seragam olahraga, benda-benda kecil yang tadinya milik siswi yang telah meninggal itu.

"Bukankah itu milik Yamanaka Ino?" seru salah seorang gadis.

"Kenapa barang-barang milik orang mati bisa ada di sini?" bisik gadis yang lain penuh kengerian, sementara temannya mulai menangis histeris.

"Apa-apaan ini, Karin?"

"Jangan tanya padaku," sahut gadis berambut semerah darah, melempar kotak yang sudah kosong ke lantai. "Ini semua milik psikopat itu," lanjutnya, mengendikkan kepala ke arah seorang gadis lain yang baru saja muncul dari ujung koridor.

Semua orang menoleh menatap gadis yang baru saja datang itu. Tsuchi Kin, yang sama sekali tak menyadari apa yang terjadi terus melangkah dengan kepala tertunduk—seperti yang biasa ia lakukan. Namun langkahnya langsung terhenti begitu kakinya tanpa sengaja menginjak ujung selembar foto seorang gadis cantik berambut pirang. Saat itu ia baru menyadari apa yang terjadi. Mata hitamnya melebar, memandang ngeri pada harta karun miliknya yang terserak di lantai.

Tanpa berpikir Kin melempar dirinya ke lantai, merangkak, dengan panik meraup semua yang bisa dijangkaunya sementara gadis-gadis yang menontonnya berbisik-bisik. Sebagian merasa kasihan, sedangkan sebagian yang lain tak habis pikir, bahkan mencemooh apa yang dilakukan gadis itu, menganggapnya sudah kehilangan akal sehat.

"Benar-benar psikopat."

Kin baru saja meraih selembar seragam olahraga dengan nametag Yamanaka Ino, tetapi sebuah tangan lain menarik barang yang sama. Kin mendongak, menatap wajah Karin yang menyeringai padanya. Seluruh tubuhnya gemetar. Matanya memanas dan wajahnya berubah merah padam sementara ia merasakan kemarahan menggelegak di setiap pembuluh darahnya.

Hanya dengan menatap mata ruby yang berkilat licik di depannya itu, Kin langsung tahu bahwa ini semua ulah Karin. Hanya gadis itu yang tahu di mana ia menyembunyikan harta karunnya. Tapi lebih dari itu, Kin merasa dirinya telah dikhianati. Ia tidak bisa melupakan sikap manis Karin padanya, membuatnya percaya bahwa gadis itu bersimpati padanya. Ternyata itu semua tak lebih dari sebuah permainan lain yang dimainkan Karin untuk menyiksanya.

"Ini semua milikmu bukan, Kin-chan?" tanya Karin dengan nada manis. "Oh, jangan memandangku seperti itu. Aku akan mengembalikannya padamu nanti."

Kin berusaha menarik seragam itu dari cengkeraman Karin, namun gadis berambut merah itu menahannya. Seringainya melebar.

"Kembalikan," Kin berbisik. Suaranya bergetar.

Alih-alih melepaskan pegangannya, Karin mendengus menghina. Saat itu Kin sudah tak bisa menahan dirinya lagi. Kebencian yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun, dan kemarahan telah menguasainya sepenuhnya ketika ia menjerit dan menerjang Karin, membuat gadis itu terjengkang ke belakang. Para gadis menjerit ketika Kin memiting Karin ke lantai, menduduki tubuhnya. Tangannya telah melingkar di sekeliling leher Karin, mencekiknya kuat-kuat.

"HENTIKAN!" seseorang berteriak di antara pekikan panik para gadis yang menonton.

Suaranya itu seakan menghantamnya, membuatnya tersadar dengan apa yang telah dilakukannya. Kin tersentak. Tangannya yang mencekik leher Karin melonggar, tetapi mata hitamnya masih memandang gadis itu penuh kebencian. Napasnya tersengal.

Perlahan Kin menyingkir dari Karin yang terbatuk-batuk—masih shock dengan apa yang baru saja menimpanya—dan mengumpulkan apa yang bisa diraihnya sebelum berlari pergi, meninggalkan kerumunan yang terkejut.

"DASAR ORANG GILA!" jeritan Karin yang mengamuk mengikutinya ketika ia menghilang di ujung koridor.

.

.

Hari-hari berikutnya yang dijalani Kin barangkali adalah saat-saat terburuk semenjak ia menginjakan kaki di sekolah itu. Jika sebelumnya teman-temannya—kalau mereka bisa disebut teman—mengabaikan kehadirannya, sekarang gadis malang itu harus menerima pandangan miring dan cibiran karena obsesinya terhadap gadis yang sudah meninggal. Mereka menganggapnya orang aneh, lebih aneh dari sebelumnya. Orang sinting.

Namun itu belum seberapa jika dibandingkan dengan dukanya yang mendalam karena kematian seseorang yang begitu dipujanya setengah mati. Jika dulu hanya dengan melihat sosok gadis pirang nan cantik itu dari kejauhan sudah cukup memberikan alasan baginya untuk tetap tersenyum menghadapi apa pun siksaan yang diberikan Karin, sekarang tidak lagi. Yamanaka Ino selalu bersikap baik padanya, membuat dirinya merasa sedikit berharga. Dan kepergian gadis itu untuk selama-lamanya seakan meninggalkan lubang menganga yang berdarah-darah dalam hatinya.

Seolah tak ada alasan lagi baginya untuk hidup di dunia.

Siang itu seperti biasa di kafetaria sekolah, Kin menempati satu meja di sudut dekat tempat sampah seorang diri. Dengung obrolan para siswi, juga bisik-bisik bernada tidak menyenangkan yang diarahkan padanya sama sekali tidak ia hiraukan. Konsentrasinya saat itu hanya tertuju pada setumpuk makanan di nampan miliknya.

Kin mengambil sesendok besar nasi, lalu menjejalkannya dengan rakus ke mulut. Disusul sayur dan lauk yang menjadi menu makan siang hari itu. Semua makanan itu masuk ke kerongkongannya tanpa dikunyah dengan semestinya, sebelum didorong oleh suapan berikutnya, dan berikutnya lagi. Rambut hitamnya yang panjang kusut terurai ke depan, masuk ke mangkuk sup—namun Kin mengabaikannya dan terus makan. Ia menyobek sebuah roti dan menjejalkannya bulat-bulat ke mulut dengan penuh nafsu.

Sekelompok gadis yang kebetulan duduk tak jauh darinya menatapnya jijik.

"Kau lihat caranya makan? Seperti hewan saja."

"Menjijikkan."

"Seperti tidak makan satu minggu saja."

"Hei, Kin-chan? Kau itu kelaparan atau bagaimana?"

Mendengar itu, Kin mendongak dari nampan makan siangnya, mendapati gadis-gadis itu tertawa menghina. Karin yang tertawa paling keras. Gadis berambut merah itu lantas berdiri sambil membawa nampannya sendiri, lalu membawanya ke meja Kin.

"Kalau kau benar-benar lapar, aku masih punya banyak makanan untukmu," katanya, kemudian dengan enteng menumpahkan semua sisa makanannya ke nampan Kin.

Teman-temannya tertawa keras. Kemudian gadis kedua mengikuti teladan Karin—menumpahkan sisa makanannya juga ke nampan milik Kin. Nampan Kin sekarang tidak ada nasi dan lauk tambahan, tapi juga kulit jeruk, sisa apel, bungkus permen, dan sampah-sampah lain.

Tubuh Kin gemetar oleh amarah. Ia melompat bangun dari kursinya, membuat kursi tersebut terguling ke belakang dengan bunyi berdebam keras. Seisi kafetaria mendadak sunyi ketika semua kepala menoleh ke mejanya. Dengan mulut penuh makanan, Kin berteriak pada seisi kafetaria, "Apa kalian pikir aku ini babi?"

Saat berikutnya suara-suara mencemooh terlontar ke arahnya.

"Orang aneh."

"Sudah sinting dia rupanya."

Tidak tahan lagi, Kin berlari meninggalkan mejanya, diikuti gelak tawa hampir seisi ruangan. Kin bahkan tidak berhenti untuk minta maaf ketika ia tanpa sengaja menabrak seorang siswi lain sampai nampan yang dibawanya terlempar dan isinya berhamburan mengotori seragam gadis pemilik rambut merah muda yang ditabraknya itu.

.

.

Pekik kaget terdengar dari kamar kecil di ujung koridor ketika seorang siswi berambut hitam panjang menghambur masuk. Penampilannya yang berantakan sempat membuat para siswi tahun pertama yang kebetulan berada di sana ketakutan. Mereka terbelalak ngeri memandang rambut hitam yang terjurai awut-awutan itu tampak kotor oleh makanan. Begitu pula wajah dan seragamnya.

Kin memelototi mereka, membuat para gadis itu berjengit. Tak ingin berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan senior mereka yang seperti kesetanan, mereka lantas mempercepat urusan mereka di sana dan bergegas kabur, tepat ketika bel masuk berdering nyaring.

Dengan napas masih terengah-engah, Kin berjalan sempoyongan ke salah satu bilik toilet. Keringat yang bercucuran deras dari pelipisnya menyamarkan air matanya yang telah membanjir. Gadis itu merosot jatuh di sisi dudukan toilet dan mulai melolong.

Namun itu tidak lama. Karena saat berikutnya ia sudah membungkukkan tubuhnya ke toilet. Sebelah tangannya mencengkeram sisi toilet yang kotor dan bau sementara tangan yang sebelahnya lagi merogoh-rogoh jauh ke dalam mulutnya. Beberapa saat gadis itu terbatuk-batuk, sebelum kemudian memuntahkan kembali makan siang yang dimakannya beberapa waktu lalu.

.

.

Sakura merapatkan mantel ke tubuhnya untuk menahan udara dingin ketika melangkah keluar dari pintu utama sekolahnya seusai sesi tambahan dengan Shizune-sensei sore itu. Entah hanya perasaannya saja, atau udara sore itu lebih dingin dari biasanya. Atau ini hanya karena ia tidak mengenakan blazer seragamnya di bawah mantel? Yah, terimakasih banyak pada Tsuchi Kin yang sudah membuat blazer-nya berlumur makanan saat jam makan siang tadi.

Menghela napas, sembari menaikkan posisi syalnya ke atas dagu, gadis pemilik rambut merah muda itu melangkah menuruni undakan depan. Sesampainya di gerbang, bola mata hijaunya otomatis melirik ujung ke jalan yang mengarah ke Hidden Leaf High. Sudah beberapa hari belakangan ini, Uchiha Sasuke selalu muncul tanpa diduga setiap kali Sakura pulang. Bukannya gadis itu yang memintanya. Hanya saja setelah insiden dengan Ino, Sakura hampir selalu pulang sendirian—Tenten dan yang lain menjauhinya karena menganggapnya telah mengkhianati Ino, bahkan hingga sekarang—Dan kehadiran Sasuke dan pemahaman pemuda itu terhadap perasaannya, membuatnya merasa lebih tentram.

Barangkali karena sejak awal pun Sakura tidak sepenuhnya bisa melupakan perasaannya yang terlanjur mendalam terhadap pemuda itu. Hubungan mereka mungkin belum seperti sepasang kekasih—seperti sebelum Sakura mengetahui fakta bahwa Sasuke adalah tunangan sahabatnya—tetapi dengan terbebasnya Sasuke dari ikatan apa pun yang tak diinginkan, harapan itu kembali muncul. Dibangkitkan kembali oleh ciuman yang diberikan Sasuke untuknya—ciuman pertama mereka—Meskipun kenangan akan Ino terkadang masih menghantui.

Sakura melirik jam tangan usang yang melingkari pergelangan tangan kirinya setelah beberapa saat. Hari sudah semakin sore, ia membatin. Sepertinya Sasuke tidak akan muncul hari ini. Barangkali dia terlalu bosan menungguku selesai, jadi memutuskan untuk pulang duluan.

Sakura baru saja berbalik dan melangkah ke arah asramanya, ketika sebuah mobil sedan mewah berwarna silver menepi.

"Sakura?"

Mendengar namanya dipanggil, gadis itu berhenti dan menoleh. Mata hijaunya melebar terkejut mendapati seorang pria paruh baya berambut pirang tersenyum padanya dari balik jendela belakang mobil yang terbuka. Sakura tidak bisa melupakan wajahnya yang ramah dan kebapakan itu—ayah Ino.

"P—Paman Inoichi?"

.

.

Tak lama berselang, Sakura sudah menduduki kursi penumpang di bagian belakang mobil milik Yamanaka Inoichi. Sakura tidak yakin mengapa ia berada di sana sekarang. Dengan canggung gadis itu memandang ke luar jendela sementara kendaraan itu melaju perlahan, sebelum menolehkan kepala memandang ayah Ino yang duduk di sampingnya ketika pria itu memanggil namanya.

Inoichi tersenyum hangat padanya. "Bagaimana kabarmu, Nak?" tanyanya kebapakan.

Kedua tangan Sakura saling remas di pangkuannya tanpa ia sadari. Memandang senyum di wajah pria yang teramat mirip mendiang sahabatnya itu tak ayal mengembalikan kembali perasaan bersalah yang telah ia coba lupakan. "Saya baik-baik saja, Paman," Sakura menyahut pelan, berusaha menghindari tatapan Inoichi dengan menundukkan wajahnya. Namun ia masih bisa merasakan pria itu tengah mengawasinya.

"Paman sudah dengar tentang keberhasilanmu di kompetisi waktu itu dari guru-gurumu, Sakura," kata Inoichi lagi setelah jeda beberapa saat. "Paman ucapkan selamat padamu. Kau pasti sangat bangga."

Sakura menggigit bagian dalam bibirnya. Inoichi mengucapkannya dalam nada hangat yang terdengar tulus, namun Sakura merasa seolah sekujur tubuhnya diguyur es. "T-Terimakasih banyak, Paman Inoichi," ucapnya terbata.

Dan pembicaraan mengenai calon sekolah Sakura di Oto pun bergulir setelahnya. Inoichi bercerita tentang sekolah itu dengan nada riang, mengungkapkan dukungannya pada Sakura dengan menawarinya bantuan jika gadis itu mendapatkan kesulitan nantinya. Namun Sakura memiliki perasaan bahwa bukan itu sebenarnya maksud ayah Ino dengan menawarinya menumpang mobil sampai asrama.

Dan dugaannya memang benar. Setelah keheningan yang menyusup tak lama kemudian, Inoichi mengeluarkan sebuah map bersampul kulit dari dalam tas kerjanya. Sejenak ia tampak ragu, sebelum akhirnya memantapkan diri mengulurkan map itu pada Sakura.

Gadis itu memandang map yang kini telah berpindah tangan padanya dengan bertanya-tanya. Namun tiba-tiba saja hatinya mencelos ketika menyadari benda apa yang berada di tangannya. Itu bukanlah sebuah map, melainkan buku partitur milik Ino. Dan di lembar pertama buku itu, terpampang judul Sakura dengan tulisan tangan mendiang sahabatnya. Itu adalah komposisi lagu yang diciptakan Ino khusus untuknya. Lagu yang pernah dimainkan Ino dengan sangat indah di depan seluruh kelas dan guru mereka.

"P—Paman, Ini—"

"Sebenarnya Paman ingin memberikannya padamu saat kau ke rumah waktu itu. Tapi ibu Ino…" Kata-katanya menggantung. Sejenak Inoichi tampak bimbang, sebelum melanjutkan dengan senyum menyesal, "Maafkan Paman karena tidak menyerahkannya padamu lebih awal, Nak."

"Sa—Saya tidak bisa menerima ini, Paman." Sakura mendorong kembali buku itu pada Inoichi, namun pria itu menolaknya.

"Ino yang menginginkan kau memilikinya, Sakura," ujarnya. "Ino sendiri yang meminta Paman memberikannya padamu sebelum…" suaranya terdengar tercekat. Pria paruh baya itu menarik napas dengan susah payah, mendadak tampak jauh lebih tua.

Sakura menatapnya iba. Kehilangan calon penerusnya, juga putri satu-satunya, pastilah sangat berat bagi Inoichi. Sekalipun dulu Ino kerap protes bahwa ayahnya selalu sibuk dan tidak ada waktu untuknya, namun dari caranya berbicara tentang pria itu, Sakura tahu bahwa mereka sangat dekat.

Gadis berambut merah muda itu lantas menunduk. Jemarinya menelusuri pola pada sampul kulit buku partitur di pangkuannya. Pemberian yang begitu mendadak itu membuatnya gamang. Melodi Sakura yang dimainkan Ino dengan biolanya beberapa minggu yang lalu kembali terngiang, membuat dadanya berdecit sakit. Namun ia juga merasa pada akhirnya tak bisa menolak pemberian itu.

Semburat kemerahan senja sudah muncul di langit Konoha ketika kendaraan yang membawa mereka berhenti tepat di pintu gerbang asrama putri tempat Sakura tinggal. Supir keluarga Yamanaka dengan cekatan keluar dan membukakan pintu bagi Sakura setelah gadis itu mengucapkan terimakasih pada Inoichi atas tumpangannya.

.

.

Beberapa waktu setelahnya, Sakura duduk memeluk lutut di atas ranjang kamar asramanya. Dengan dagu bertumpu pada lututnya, mata hijau jernihnya menatap muram pada sebuah buku partitur bersampul kulit di dekat kakinya.

Ia tidak yakin apa tujuan Ino memberikan itu padanya. Untuk mengingatkannya bahwa ia telah merebut tempat gadis itu dengan tak adil? Atau—seperti ada sesuatu yang mencengkeram dadanya kuat-kuat memikirkan ini—ini hanyalah salah satu dari kebiasaan lama sahabatnya itu yang memang senang merelakan miliknya yang paling berharga sekalipun untuk Sakura? Yang itu berarti tanpa tujuan apa pun kecuali sebagai sebuah ungkapan perasaannya.

Ungkapan perasaan—Sakura kembali teringat kata-kata Ino sebelum ia terjatuh dari tangga. Gadis itu membenamkan wajahnya di antara lutut, mengerang. Bahkan hingga kematiannya sekalipun, Ino terus saja membuat Sakura merasa berada di bawah bayang-bayangnya.

Tidak. Kau tidak boleh seperti ini terus, Sakura. Mulai sekarang kau harus melanjutkan hidupmu!

Sakura menegakkan diri, bangkit dari ranjangnya. Ia mengeluarkan biola dari dalam kotaknya, setelah sebelumnya menarik sandaran partitur dari sudut dan meletakkan buku milik Ino di atasnya, membuka lembar pertama Sakura.

Ini adalah hal terakhir yang bisa kulakukan untuk Ino. Aku akan membawa lagu ini ke Oto.

Saat berikutnya nada demi nada rumit yang berasal dari gesekan dawai biola mengalun memenuhi kamar mungil itu. Melodi Sakura.

.

.

Sebuah ketukan kasar yang berasal dari pintu kamar membuat Sakura terlonjak. Ia serta-merta menghentikan permainannya, sebelum terdengar suara galak Mitarashi Anko-sensei yang menegurnya dari balik pintu.

"Sudah waktunya mematikan lampu, Haruno! Teruskan latihannya besok saja di kelas!"

"H—Hai, Sensei. Gomenasai," Sakura menyahut.

Setelah mendengar langkah Anko menjauhi kamar, gadis itu bergegas membereskan biola dan partiturnya, memasukkannya dengan aman ke dalam laci buffet. Ia lalu mengerling jam dinding tua di atas ranjangnya, terkejut sendiri ketika menyadari malam sudah sangat larut. Entah sudah berapa lama ia memainkan biolanya, mungkin sudah berjam-jam. Tak heran pundak dan jemarinya sudah terasa sakit. Sakura lantas mengganti pakaiannya dengan gaun tidur, mematikan lampu, lalu menyusup di bawah selimut tipis miliknya.

Sakura hampir terlelap ketika suara-suara ganjil yang terdengar dari arah jendelanya membuatnya seketika terjaga. Ia terlonjak dari posisinya berbaring, sementara jantungnya mendadak memompa dua kali lebih cepat ketika mendengar sesuatu—atau seseorang—mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Menahan napas dengan perasaan was-was, Sakura menoleh ke arah jendela. Darah seakan terkuras habis dari wajahnya ketika melihat bayangan gelap di balik tirai.

Déjà vu.

"I—Ino-chan?"

Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini disusul suara samar seseorang yang sudah amat dikenalnya. Hati Sakura mencelos.

"Sasuke-kun?"

Sakura cepat-cepat melompat turun dari ranjang dan bergegas menyingkap tirai. Ia ternganga mendapati Uchiha Sasuke bergelantungan pada lekukan dinding bata di luar jendelanya. Sejenak Sakura hanya bisa terbelalak menatapnya sebelum tersadar ketika Sasuke mengetuk jendela lagi. Pemuda itu membuat isyarat dengan tangannya agar Sakura membukakan jendela.

"Apa yang kaulakukan di sini?" tuntut Sakura dengan suara tercekat setelah berhasil menarik Sasuke masuk ke kamar dan menutup kembali jendelanya.

Sasuke terguling ke lantai, napasnya tersengal. "Kupikir aku akan mati kedinginan di luar," engahnya.

"Sasuke-kun!" tukas Sakura tak sabar, seraya berlutut di sisi pemuda itu. "Kau tidak seharusnya di sini. Terlalu berbahaya! Bagaimana jika mereka menangkapmu? Kau bisa kena masalah—kita berdua bisa kena masalah besar!"

Dengan bantuan cahaya lampu dari luar jendela, Sakura bisa melihat pemuda itu menyeringai. "Kau mencemaskanku?"

"Tentu saja, Baka!" Sakura memekik. Darah mulai membanjir lagi ke wajahnya, membuatnya merah padam ketika Sasuke menarik tangannya sehingga ia terjatuh ke pelukan pemuda itu. "Sasuke-kun!" ia memprotes.

"Hn," Sasuke terkekeh.

Sakura buru-buru memekap mulut pemuda itu dengan tangannya ketika telinganya menangkap suara langkah kaki dari balik pintu kamar, ditingkahi teriakan Anko-sensei yang memarahi anak-anak yang belum mematikan lampu. Keduanya membeku di tempat. Mereka bahkan tidak berani bernapas, sampai akhirnya langkah Anko terdengar menjauh dan keadaan menjadi sunyi total di luar.

Sakura melepaskan diri dari Sasuke dan terhenyak, menghembuskan napas lega.

Setelah keheningan yang lama, Sasuke berkata pelan, "Maaf…" Mata hitamnya yang tampak berkilauan memantulkan cahaya remang lampu dari luar menatap Sakura.

"Jangan pernah lakukan itu lagi," bisik Sakura seraya beringsut menjauh. Tubuhnya masih gemetaran.

"Ada apa?" Pemuda itu perlahan menarik dirinya bangun dari lantai, mendekati Sakura. Jelas ia sama sekali tidak menyadari dampak perbuatannya dengan menyelinap diam-diam lewat jendela terhadap gadis itu.

Perlu beberapa lama bagi Sakura untuk bisa menenangkan dirinya dan menjawab lemah, "Dulu… Ino-chan juga sering menyelinap ke kamarku malam-malam seperti yang kau lakukan." Sakura buru-buru mengusap air mata yang terjatuh ke wajahnya. "Kau membuatku takut setengah mati, Sasuke-kun…"

Sasuke tertegun. "Maafkan aku," bisiknya. "Aku hanya begitu merindukanmu sehingga tidak bisa berpikir."

"Kau kan bisa meneleponku."

"Itu saja tidak cukup." Sasuke menghela napas, mengulurkan tangan untuk mengusap basah yang lagi-lagi turun di wajah gadis di depannya. "Aku harus menemuimu, kalau tidak aku bisa gila."

Mau tak mau Sakura tersenyum. "Kau terlalu berlebihan, Sasuke-kun. Bukankah kita bertemu setiap hari?"

Sasuke mengangkat bahu. "Tidak hari ini. Tadi sore aku melihatmu bersama Paman Inoichi." Jeda sebentar sementara pemuda itu menatap Sakura dalam-dalam. Dan ketika Sakura berpaling sambil menghela napas berat, Sasuke beringsut ke sampingnya, merengkuhnya sehingga gadis itu bersandar padanya. "Aku khawatir. Apa dia membuatmu sedih?"

Sakura menggeleng pelan. "Paman Inoichi sangat baik padaku," bisiknya seraya membenamkan dirinya lebih dalam ke pelukan Sasuke, mencari ketentraman. "Kami hanya membicarakan satu dua hal yang tidak terlalu penting."

"Aa." Sasuke menekankan dagunya di puncak kepala Sakura, membelai rambutnya perlahan. Entah bagaimana ia tahu ada sesuatu yang mengganggu gadis itu dan itu ada hubungannya dengan pertemuannya dengan Yamanaka Inoichi tadi sore. Meski begitu, saat ini Sasuke tidak ingin mendesaknya bicara karena Sakura sudah cukup tertekan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini. "Bagaimana sekolahmu?" tanyanya kemudian, mengalihkan topik.

"Tidak ada yang istimewa," jawab Sakura pelan. "Kecuali saat Tsuchi Kin menumpahkan makanan ke seragamku dianggap istimewa," lanjutnya dengan tawa tertahan. Ia kemudian menghela napas berat. "Gadis malang. Dia adalah pengagum Ino sejak dulu. Kurasa dia masih agak terguncang. Kudengar tadi siang dia pingsan di toilet."

Sasuke tidak berkomentar. Sejujurnya ia tidak begitu suka Sakura menyebut-nyebut soal Ino.

"Sasuke-kun?" panggil Sakura setelah diam lama. Gadis itu melepaskan diri dengan lembut dari pelukan Sasuke dan menatapnya.

"Hn?"

Sakura menangkupkan sebelah tangannya di wajah pemuda itu, tersenyum. "Arigatou… Karena tidak meninggalkanku setelah apa yang terjadi. Kukira aku sudah kehilangan segalanya dengan kematian Ino. Teman-temanku meninggalkanku. Mereka masih menyalahkanku atas—"

Sebelum gadis itu sempat menyelesaikan kata-katanya, Sasuke membungkamnya dengan bibirnya. "Jangan membicarakan hal-hal yang hanya akan membuatmu sedih, Saku…"

Sakura merasakan sekujur tubuhnya gemetar oleh sentuhan pemuda itu. Ia mengangguk, dan saat berikutnya membiarkan dirinya terbuai oleh ciuman-ciuman dalam dari Sasuke. Sakura bahkan tidak menyadari ketika mereka mulai bergerak ke ranjang. Gadis itu terengah ketika Sasuke mendorongnya dengan lembut ke atas bantal. Sasuke mengecup ujung bibirnya, sementara jemarinya memainkan kancing di bagian depan gaun tidur Sakura.

"Kurasa… kita jangan sampai membuat suara."

.

.

Dentang lonceng tua yang berasal dari menara tua yang berada di belakang asrama puteri terdengar memecah keheningan malam ketika sosok gelap itu terjatuh di pintu gerbang. Rambut hitamnya yang panjang terurai kusut di sisi wajahnya yang tak kalah berantakan. Seragam Konoha Art Institute for Girls yang dikenakannya tampak kotor dan menguarkan bau tajam muntahan.

Sosok itu, Tsuchi Kin, beringsut bangun seraya mengusap rambut yang menempel di wajahnya yang lembab, sama sekali mengabaikan perih pada luka di lututnya setelah terjatuh barusan. Matanya yang merah dan bengkak akibat terlalu banyak menangis memandang nanar anak tangga batu landai di depan gedung asrama tua itu.

Anak tangga tua yang menurut legenda bisa mengabulkan permohonan jika kau menemukan anak tangga ke dua puluh sembilan. Anak tangga yang legendanya ia percayai dengan sepenuh hati. Anak tangga yang kini menjadi satu-satunya harapan dalam keputusasaan yang dirasakannya. Gadis itu sudah sedemikian merana sehingga tak dapat memikirkan cara lain selain ini.

Wishing Stairs. Hanya ini satu-satunya harapan yang dimilikinya.

Kin membersit hidungnya dengan lengan seragamnya. Tekadnya sudah bulat sekarang. Dengan langkah tertatih, ia menapaki anak tangga.

"Satu…" Kin mulai menghitung. "…dua…"

Satu demi satu anak tangga terlewati. Udara malam yang dingin menggigit sama sekali tidak menghentikannya untuk terus menghitung. Angin meniupkan dedaunan kering ke kakinya.

"…sepuluh…"

"…dua puluh…"

Kumohon kabulkanlah permohonanku.

"…dua puluh delapan…"

Kin memejamkan matanya, suaranya tercekat saat menyebutkan anak tangga terakhir yang dicapainya.

"…dua puluh sembilan."

Gadis itu meneguk ludah dengan susah payah, sementara angin malam yang sedari tadi membuatnya gemetar kedinginan seakan berhenti bertiup. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Dengan suara parau, ia menyebutkan permintaannya.

"Kyuubi… Kyuubi… Muncullah, dan kabulkan permohonanku…" –air mata bergulir di pipi Kin yang pucat—"Kumohon… Kembalikan Ino-chan padaku…"

.

.

Bersambung…

.

.

Fuiiiih… akhirnya chapter ini selesai. Maaf ya, apdetnya tersendat-sendat gini. :p

Buat chapter ini sengaja kunaikkan ke rate-M. Harusnya sih dari kemarin-kemarin. Bukan karena ada lemon lho… Tapi karena temanya dan ada beberapa scene yg mungkin agak 'mengganggu' dan kurasa kurang cocok kalo ratenya tetap T.

Terus, yang terakhir itu, alasan Kin kenapa bisa pulang malem banget itu karena dia sempet pingsan setelah muntahin makanannya ke toilet, dan dia dibawa ke ruang kesehatan sekolahnya. Sebenernya tanpa pingsan pun, si Kin emang punya kebiasaan mendekam di sekolah sampe malem karena gak betah di asrama. Di chapter depan mungkin akan dimunculin lagi kebiasaan Kin yang kusebutin itu. Aku bingung mau masukin ke ceritanya gimana, jadi kujelasin di AN aja ga papa, kan? :p