Judul: Little Fire on the Candle

Sub-Judul: Candle Light

Fandom: Naruto

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: Hurt/Comfort; Drama

Rating: T

Pairing: HinaSasuSaku

WARNING: AU, OOC-ness

NOTE: Final act! :D

HARAP BACA SAMPAI AKHIR DULU sebelum komentar ini-itu. :p

Please enjoy~


Little Fire on the Candle

( Final Act. Candle Light )


.

Festival besar yang telah dinantikan oleh seluruh penghuni SMU Konoha dibuka tepat pada pukul sepuluh pagi waktu setempat, dengan sambutan riuh dari para siswa.

Beraneka ragam stand penjual makanan dan minuman berderet rapi dalam lahan yang telah disediakan panitia. Tak ketinggalan berbagai macam stand permainan juga turut memeriahkan suasana.

Di tengah hiruk-pikuk itu, tampak seorang gadis berambut hitam panjang berdiri di bawah pohon sakura sendirian. Sesekali ia menatap arloji keperakan di pergelangan tangan kirinya dan memandang ke tengah keramaian.

Seorang gadis lain yang berambut pirang berkuncir empat menepuk pundaknya pelan, "Hinata? Sedang apa?" ujarnya sedikit mengerutkan keningnya.

"Menunggu Sasuke," jawab Hinata singkat, tak lupa dengan senyum di bibirnya.

"Hm," Temari—si rambut pirang, tampak berpikir sejenak. "Kau tahu, Sasuke sedang sibuk mengurus ini-itu. Daripada menunggunya tanpa kepastian, bagaimana kalau kau melihat-lihat sendiri festival-nya? Biar kutemani?"

Hinata mengangkat sebelah alisnya sedikit, "Kau tidak sibuk?"

Temari mendecak, "Sebagai panitia belakang layar yang kerjanya di balik panggung, saat pentas begini aku tak begitu ada kerjaan," guraunya.

Hinata tertawa kecil.

"Mau berkeliling? Aku mau coba ringo-ame," Temari mengedipkan sebelah matanya.

Hinata berpikir sejenak sebelum kemudian menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Biar kukirim SMS pada Sasuke untuk meneleponku setelah dia senggang."

Temari memperhatikan jemari Hinata yang lincah menari di atas keypad ponselnya, "Sebetulnya dia tidak begitu sibuk. Seharusnya."

Hinata melirik sedikit dari bawah kelopak matanya, "Oh, ya?"

"Ya. Tapi kau tahu sendiri 'kan, pacarmu itu sangat workaholic," timpal Temari dengan nada canda.

"Dalam hal itu, mungkin aku juga sama," sahut Hinata dengan ringan.

Temari terbatuk. Tampaknya ia telah memilih candaan yang buruk.

"Temariii!" sebuah suara lantang membahana menyeruak kebisingan festival. Temari memutar kepalanya, mencari arah suara nyaring itu berasal.

Didapatinya seorang pemuda berambut bob hitam tengah melambaikan tangannya di depan sebuah stand warni-warni.

"Lee?" Hinata mengikuti arah pandangan Temari dan mendapati sosok berbusana serba hijau itu berdiri di sana.

"Temariii! Aku dapat ikan mas koki!" seru pemuda berambut bob berbusana hijau yang dipanggil Lee itu dengan penuh antusias.

"Yaa, menangkan sebanyak mungkin!" seru Temari balas berteriak. Tak acuh. Berbisik pada Hinata di sebelahnya, ia memutar bola matanya, "Dia itu senang sekali main tangkap ikan. Padahal paling banyak juga dapat tiga ekor."

"Aku dapat lima ekor!" seolah menanggapi cemoohan Temari, Lee kembali berseru.

Temari terkejut. Bukan hanya karena ketidakmungkinan Lee dapat mendengar bisikannya dari jarak beberapa meter di tengah hiruk-pikuk begini, namun juga pada kenyataan bahwa Lee telah menembus rekornya selama tiga tahun sendiri.

"Menurutmu dia bohong tidak, Hinata?" Temari mengedutkan alisnya.

"Satu-satunya cara, kita lihat sendiri," timpal Hinata tersenyum sembari menghampiri Lee tanpa menunggu persetujuan Temari.

Temari mengerutkan keningnya. Menatap punggung Hinata yang mulai tenggelam dalam lautan manusia. Segera ia tersadar dan mengekor di belakang Hinata tanpa berkata-kata.

Tiba di stand tangkap ikan tempat Lee berdiri, Temari melongokkan kepalanya ke dalam ember kecil di tangan Lee. Mengerjapkan matanya ia mendesis, "Lima ekor."

"Tentu saja!" Lee berseru bangga. Menepuk dadanya kencang.

"Begitu tahu hadiah yang disiapkan sponsor, dia jadi bersemangat," sebuah suara lain menyeruak.

Temari memutar kepalanya menanggapi suara yang sangat tak asing itu, "Sedang apa kau di sini?"

"Menjaga stand, tentu saja. Apa lagi?" Shikamaru mengangkat bahunya tak acuh. "Sebetulnya aku malas, tapi apa boleh buat," ujarnya sembari menghela napas.

"Yang seharusnya menjaga stand ini'kan anak OSIS. Kenapa jadi kau?" raut ketidakmengertian terpampang di wajah Temari.

Shikamaru menunjuk Lee.

Temari mengangkat sebelah alisnya.

"Aku akan dapatkan grand prize-nya!" Lee berseru dan memamerkan barisan giginya.

"Lupakan grand prize-mu itu, cepat jaga stand!" Temari menjewer telinga Lee dengan gusar. "Kau juga, Shikamaru! Mau-maunya disuruh jaga stand orang. Sebaiknya kau kembali pada posmu. Stand Astrologi, 'kan?" Temari mengerling pada Shikamaru.

"Di sana sudah ada Sakura, Tenten, dan Chouji. Dan ketika dalam perjalanan menuju ke sana, aku berpapasan dengan Ino dan Sai yang berkata bahwa mereka akan pergi ke stand Astrologi juga. Terlalu banyak penumpang, perahu bisa tenggelam," Shikamaru bergumam dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi lipat di balik meja stand.

Kini Temari kembali mengerutkan keningnya, "Ino dan Sai?"

"Stand kami itu laku keras, tahu. Kau juga, cobalah meramal cinta atau semacamnya di sana," Shikamaru terkekeh.

"Aku sudah!" Lee menyeletuk riang. "Katanya aku akan dapat keberuntungan besar hari ini. Makanya, biarkan aku main sampai puas. Aku yakin pasti super grand prize itu akan jatuh ke tanganku!" Lee merajuk pada Temari.

"Kau. Panitia. Tugasmu adalah menjaga stand. Bukan mengincar hadiahnya," desis Temari merapatkan barisan giginya sambil melotot tajam. Lee merengut.

Shikamaru melirik sedikit pada Hinata yang sedari tadi tak membuka sepatah katapun. Menundukkan kepalanya sedikit, Shikamaru tersenyum sopan.

"Ah, kalian belum saling kenal, ya?" Temari menatap Shikamaru dan Hinata bergantian. "Shikamaru, ini Hinata. Dia bersekolah di sini. Hinata, ini Shikamaru, salah satu anggota klub Astrologi yang membantu acara ini," ada sedikit nada canggung ketika Temari menyebutkan nama klub Astrologi,

Hinata mengangguk sedikit, "Halo, senang berkenalan denganmu," tuturnya sopan pada Shikamaru.

Shikamaru balas tersenyum, "Ya, sama-sama."

"Lalu? Apa kita berkeliling lagi?" Temari menyita perhatian Hinata kembali. "Atau mendatangi Sasuke?" ucapnya hati-hati.

Hinata mengangkat bahunya, "Aku sudah bilang padanya akan berkeliling sebentar."

"Baiklah," sahut Temari menimpali. "Shikamaru, kau jaga Lee di sini. Kalau dia mulai bertingkah aneh-aneh lagi, segera lapor padaku."

Lee bergidik mendapat kerlingan tajam dari Temari.

"Telepati?" balas Shikamaru sedikit sarkastis.

Temari mengeluarkan ponsel dari kantung pakaiannya, "Nomormu?"

Shikamaru mengerjapkan matanya. Menatap Temari dengan tatapan setengah tak percaya.

"Nomormu?" ulang Temari, mulai tak sabar.

Segera Shikamaru tersentak dan menyebutkan nomor ponselnya cepat. Temari lekas mencatatnya di daftar telepon dalam ponselnya. Ia menekan tombol Dial dan mengakibatkan ponsel di balik kantung celana Shikamaru bergetar.

"Itu nomorku. Simpan, dan gunakan kalau butuh apa-apa," sahut Temari dengan sedikit senyum tipis.

Shikamaru nyengir lebar, "Oke," timpalnya riang.

.


"Aku sudah dengar kabar," Hinata terkikik geli.

Temari menaikkan sebelah alisnya, namun tak menyahut.

"Kabarnya kau ada main dengan salah satu anggota klub Astrologi," Hinata mengedipkan sebelah matanya.

Temari tersedak air liurnya sendiri, "Siapa yang bilang?"

"Ino," jawab Hinata tanpa ragu mengungkapkan sumber informasinya.

Temari mengumpat dalam benaknya.

Tiba-tiba suatu pikiran melintas di kepala Temari, segera ia cari kalimat yang sekiranya tidak akan membuat lawan bicaranya itu merasa diserang.

"Kau cukup dekat dengan Ino?" tanya Temari pada akhirnya, setelah menimbang-nimbang beberapa kemungkinan pertanyaan.

Hinata mengayunkan tas tangan yang digenggamnya, "Lumayan. Sesekali bertemu di ruang klub Fisika saat aku dan yang lain kumpul."

Temari bergumam sejenak sebelum kembali membuka suaranya, "Kalau tidak salah, salah satu anggota kelompokmu itu ada yang naksir Ino, benar?"

"Sai? Kurasa, ya," timpal Hinata ringan. Lagi-lagi tak ada niat menyembunyikan fakta.

"Menurutmu, kenapa Ino datang terus ke ruang klub Fisika? Apa dia juga ada hati pada Sai?" Temari kembali menuturkan pendekatannya.

Hinata menarik sudut bibirnya sedikit, "Karena dia senang?"

"Senang?" Temari mengulang.

"Senang berbuat seperti itu. Senang merasa bahwa dirinya ada yang membutuhkan, ada yang menginginkan. Bagaimana perasaannya pada Sai, itu tidak penting."

Berbagai pikiran bergumul dalam otak Temari. Namun tak satupun divokalkannya.

"Menurutmu itu adil tidak?" tiba-tiba suara lembut Hinata kembali menuntut perhatian Temari.

Temari tak menimpali.

"Yang satu, tidak mau melepas orang yang jelas-jelas suka padanya, padahal ia sendiri suka pada laki-laki lain. Yang satunya lagi, tahu akan hal itu dan membiarkan hal itu tetap terjadi."

Temari mulai mengerti arah pembicaraan menuju.

"Mana yang menurutmu bodoh?" tanya Hinata lagi sesaat kemudian.

"Tidak ada salahnya menjadi bodoh," sahut Temari setelah berpikir sejenak. "Orang tidak akan jatuh cinta tanpa pernah menjadi bodoh. Cinta dan kebodohan itu berada pada satu garis lurus yang tak terpisahkan."

"Begitu?" senyum tipis terpatri samar di wajah lembut Hinata.

"Begitulah. Kau jangan malu," sahut Temari lagi.

Hinata tersentak. Kedua bola matanya melebar.

"Jangan kau pikir aku tidak tahu maksudmu," ujar Temari datar.

.


Untuk yang kesekian kalinya Tenten menyodok pinggang Sakura yang kini menatapnya sebal.

"Katakan, dia sama sekali tidak membuat penyelesaian apapun?" desis Tenten sambil sesekali mencuri pandang pada Sasuke yang tengah mengamati miniatur alam semsta yang bersinar terang bersama sekretarisnya.

"Untuk yang keseribu kalinya, Tenten, kukatakan bahwa hal itu tidak penting. Lupakan saja. Oke?" Sakura berkacak pinggang.

"Pelankan suaramu!" Tenten menutup mulut Sakura cepat. "Dan… apanya yang tidak penting? Jelas-jelas dia seenaknya saja menghindar dari masalah ini! Laki-laki macam apa dia itu?" dengus Tenten masih setengah berbisik.

"Dia punya pertimbangannya sendiri," timpal Sakura menjauhkan tangan Tenten darinya.

"Kau masih saja membelanya," Tenten menggemeletukkan barisan giginya gemas.

"Karena kurasa dia memang punya pertimbangannya sendiri," ulang Sakura.

Tenten mengibaskan tangannya pada Chouji, "Chouji! Kau jaga sebentar, aku ada perlu dengan Sakura."

Sebelum semburan protes dari Chouji berkumandang di udara, Tenten kembali berseru, "Ino akan membantumu! Sai juga! Ya? Bagus," tuturnya cepat dan merengkuh pergelangan tangan Sakura cepat.

Ino yang sedari tadi sibuk menerima konsultasi ramalan hanya mengerutkan keningnya, namun tak memprotes. Sai tak memberi respon apa-apa.

Di belakang stand, Sakura menepis tangan Tenten, "Apa kau gila? Kita sudah meninggalkan pelanggan!" desisnya.

"Ayolah, cuma dua-tiga orang pelanggan, Ino bisa mengurusnya sendirian. Ada Chouji juga," sungut Tenten.

Sakura memutar bola matanya, "Lalu? Ada apa? Jangan bilang kau mau merajuk tentang masalahku dengan Sasuke, karena aku tidak akan senang."

Tenten menelan ludah, mengerjapkan matanya.

"Betulan?" Sakura melotot.

Tenten memasang wajah memelas, "Kumohon dengarkan aku dulu, Sakura. Kalau bukan aku, siapa lagi yang menyadarkanmu?"

"Maksudmu?" Sakura terdengar tidak senang.

"Kau bersikukuh dengan egomu sendiri. Sasuke juga begitu. Pada akhirnya di antara kalian tidak akan pernah ada penyelesaian. Apa kau tahu artinya? Kalian tidak akan bisa sama seperti sebelumnya. Kau tidak akan bisa melihat dia lagi dengan cara kau melihatnya selama ini," Tenten memulai buah pemikirannya.

"Aku membiarkan Sasuke pergi dan memilih kekasihnya. Aku tidak menuntut apapun dari Sasuke. Sebutkan bagian mana dari hal itu yang kau anggap egois?" Sakura menimpali dengan sengit.

Tenten menggelengkan kepalanya cepat, "Kau pikir aku tidak tahu?"

Sakura masih menatap tajam.

"Dengan caramu selalu membelanya, selalu mencari alasan untuk membuatnya berada di sisi yang tidak salah, kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan?" balas Tenten, sedikit meninggikan suara kini.

Sakura tak menyahut.

"Itu semua bukan karena kau begitu sayang padanya hingga kau tidak tega menyalahkannya. Bukan juga karena kau begitu lapang dada dan baik hati. Manusia tidak begitu, Sakura. Manusia tidak begitu."

Sakura membelalakkan kedua kelopak matanya.

"Kau melakukannya karena kau tidak mau menerima kenyataan bahwa kau sangat terluka."

Tak ada jawaban. Maupun sanggahan.

"Luka yang kau dapatkan dari Sasuke, yang kini malah dengan enteng memilih kebahagiaannya sendiri bersama gadis lain—tanpa memikirkan derita yang ia timbulkan padamu, kau tidak mau menerima semua itu.

"Lalu kau menciptakan sebuah ilusi bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suatu hal yang tak dapat dihindari. Bahwa ia melakukannya dengan suatu pola keterpaksaan. Dengan macam-macam alasan dan pertimbangan," Tenten bertutur dengan suara rendah namun penuh intonasi tajam.

Sakura masih terpaku pada tempatnya.

"Kau hanya tidak mau mengakui hatimu hancur. Sungguh tak masuk akal kau dapat menerima semua ini begitu saja," lanjut Tenten lagi.

Sakura menarik sudut bibirnya, "Lalu? Setelah tahu itu, kau mau apa? Menertawakan aku?"

Tenten mengerutkan keningnya.

"Aku tahu kau awalnya tidak suka atas kedekatanku dengan Sasuke. Dan sekarang, kau mau bilang 'Betul 'kan kataku', begitu? Kau mau menertawakanku bersama Ino? Begitu? Aku tahu Ino sedang tertawa di belakangku kini," Sakura berujar masam.

"Ya, Tuhan, Sakura. Tentu saja tidak! Dan apa yang membuatmu berpikir demikian? Kita sahabat, 'kan? Ino juga. Aku mengerti jika kau merasa ragu setelah apa yang dilakukannya padamu, tapi itu semua karena dia terbakar api cemburu. Setelah itu, kalian sudah baikan, bukan? Ini tidak seperti kau saja, mencurigai temanmu sendiri."

"Kau benar tentang satu hal," Sakura tak menghiraukan ucapan Tenten. "Aku ini hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari berbagai pikiran negatif."

"Semua orang juga begitu," Tenten menimpali cepat. "Tinggal bagaimana kita mengendalikan pikiran-pikiran tersebut. Itu saja. Kau yang biasanya paham benar akan hal itu, bukan?"

"Aku… entahlah. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Mari kita hentikan pembicaraan ini untuk saat ini. Kumohon?" Sakura mengurut keningnya.

"Itulah," Tenten menunjuk batang hidung Sakura. "Kau tidak bisa berpikir, atau kau memang tidak mau berpikir? Yang mana?"

Sakura tak menyahut.

Sebuah suara lain tiba-tiba muncul menyeruak, "Kau tak mau memikirkan hal ini. Sama saja dengan kau melarikan diri. Dengan membiarkan semuanya berakhir tidak jelas seperti ini, lalu pergi dan menghilang dari kehidupan Sasuke dan Hinata, apa kau pikir semua masalahmu sudah beres?"

Sontak sakura dan Tenten memutar leher mereka dan mendapati Temari tengah berkacak pinggang dan menghela napas jengkel.

"Masalah terbesarmu, Sakura, adalah selalu melarikan diri dari masalah."

.


Sasuke mempersilahkan Hinata duduk dan menyodorkan minuman dingin padanya, yang lalu diterima Hinata dengan senyuman.

"Bagaimana kesanmu pada festival ini?" Sasuke memulai percakapan.

"Ramai," jawab Hinata singkat.

"Temari sudah membawamu ke mana saja?" tanya Sasuke lagi.

"Stand tangkap ikan, stand susun puzzle, stand lempar gelang, dan beberapa stand cinderamata dan cemilan."

Sasuke menyeruput teh manis dinginnya, "Kau beli sesuatu?"

"Ringo-ame," sahut Hinata.

"Kau suka?"

"Ya, manis sekali."

.

.

.

"Kadang aku berpikir, atmosfir di antara kedua orang itu sangat sepadan dan satu frekuensi," Sai menatap pasangan kekasih yang tengah duduk santai di bangku panjang yang disediakan panitia festival, tak jauh dari tempatnya berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Hm," Ino tersenyum dan bergumam pelan. Ia menggeliat sebentar, lelah setelah melayani konsultasi tiga orang pelanggan sesaat sebelumnya. Kedua rekannya—Tenten dan Sakura—masih belum kembali sejak pamit entah kemana dengan terburu beberapa saat lalu.

"Tapi," Sai mulai lagi, penuh kehati-hatian dalam pemilihan kata-katanya kini, "kurasa sekarang aku melihat kesan yang lain."

"Apa?" Ino tak mengindahkan kenyataan bahwa reaksinya terlalu cepat.

Sai memiringkan kepalanya sedikit dan bersandar pada tiang penyangga stand di belakangnya, "Sebuah kanvas dengan hanya satu warna yang sama tidaklah akan menghasilkan lukisan yang indah."

Ino membelalakkan kedua bola matanya.

Angin bersemilir perlahan, membuat hiasan-hiasan yang tergantung di langit-langit stand menari perlahan.

"Benar juga, ya," Ino mengatupkan kedua kelopak matanya. Sebuah lengkungan tipis tersamar di wajahnya yang menampakkan ekspresi penuh kelembutan. "Benar juga…"

.


Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa malam datang menjelang, dan kini festival telah sampai pada acara terakhir.

Acara terakhir dari festival besar itu adalah Hanabi. Pertunjukan kembang api.

Para panitia OSIS menyiapkan deretan tabung kembang api di lapangan sekolah, dan mulai menyalakannya.

Para pengunjung berkumpul di sekitar lapangan bersama kerabat maupun sahabat masing-masing. Beberapa bergandengan tangan dengan pasangannya, beberapa lagi tampak bertepuk tangan riuh tak sabar. Hanya satu persamaan di antara semuanya, raut muka girang menyambut kembang api besar yang sesaat lagi akan menghiasi langit malam di atas kepala mereka.

"Tak peduli sebagaimana meriahnya sebuah festival, ada kalanya ia harus berakhir. Kesenangan tak pernah berlangsung selamanya. Festival bukanlah hal kekal yang tak berakhir," Sakura menyunggingkan senyum tipis.

Tenten sudah hendak menyahut, ketika bunyi desingan kembang api pertama terdengar nyaring memekakkan telinga.

Detik berikutnya ribuan cahaya terang berwarna-warni memuncah merekah di angkasa.

Para pengunjung bersorak-sorai, tak terkecuali para panitia yang kini dengan puas menatap hasil jerih payah kerja mereka dalam beberapa bulan persiapan festival ini.

Kembang api kedua dan ketiga melesat dari tabungnya dan kembali mekar di langit. Seruan riang dari para penikmatnya semakin riuh.

"Bagaikan sebuah kembang api musim panas, bersinar terang dan menghangatkan hati semua orang, namun pada akhirnya ia akan lenyap pada ketiadaan," Sakura kembali membuka suaranya.

Tenten menatap sahabatnya itu dengan berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya.

Sakura tengah memandangi kembang api yang bersahut-sahutan mekar di langit. Tawa dan canda pengunjung membahana memenuhi arena, namun perlahan mulai pudar bersamaan dengan semakin sedikitnya kembang api di angkasa.

Tak berapa lama, kembang api terakhir merekah dengan begitu besar dan menyisakan ekor-ekor cahaya sebelum menghilang pada ketiadaan.

"Begitu juga dengan kisahku, Tenten. Sudah berakhir."

Tenten menelan ludah.

.

.

.

Festival hari itu berlangsung dengan riuh. Pada pukul sembilan malam pengunjung mulai tampak satu per satu meninggalkan kompleks sekolah Konoha tersebut. Air muka penuh kegembiraan sebagai tanda mata dari kesenangan yang mereka dapatkan dari festival besar itu, tergambar jelas di wajah mereka yang dihiasi senyuman lebar dan tawa canda.

Para panitia OSIS yang telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik kini tengah membereskan stand masing-masing. Begitu pula para pengisi stand yang lain, tengah sibuk membereskan barang dagangan masing-masing.

"Akhir dari sebuah festival adalah," Temari berkacak pinggang, menatap anak buahnya yang mulai berkumpul, "beres-beres."

Terdengar riuh protes dan keluhan dari mulut para anak buahnya itu.

Temari memutar bola matanya, "Jadi kalian mau bilang bahwa setelah semua kegembiraan berakhir, yang akan kau lakukan adalah berleha-leha dan meratapi kesenangan yang usai itu, begitu saja?"

Sedikit ia melirik pada Sakura yang tengah membereskan stand-nya bersama Tenten, Chouji, dan Shikamaru, dengan sudut matanya.

Berseru lantang, Temari kembali berujar, "Jangan karena festival sudah usai, lalu kau berpikir segalanya telah berakhir! Ini bukanlah akhir, melainkan permulaan untuk sesuatu yang baru! Paham?"

Para anak buah Temari terkesiap. Menatap atasan mereka itu tanpa mengerjapkan mata, semuanya berkoar nyaring, "Baik! Wakil Ketua!"

Seulas senyuman tipis terpoles di sudut bibir Sakura.

.


Sai menatap langit gelap di atas kepalanya yang sesaat sebelumnya dipenuhi riak-riak cahaya berkilauan penuh warna dan kini telah lenyap itu.

"Semuanya lenyap…" suara lirih seorang gadis di sebelahnya menjadi satu-satunya suara baginya. "Kembang apinya, festivalnya, semuanya…"

Sai mengalihkan pandangannya pada panitia OSIS yang tengah berkumpul di lapangan di kejauhan. Tampak Temari tengah berdiri di hadapan para panitia lainnya yang berbaris rapi mengelilingnya dalam bentuk setengah lingkaran besar.

"Kurasa tidak," gumam Sai.

Ino mengangkat wajahnya yang tersembunyi di antara kedua lututnya dan melirik pada Sai di sebelahnya.

Memutuskan untuk berpura-pura tak menyadari mata Ino yang sembab, Sai kembali berujar tenang dan cukup pelan bagai sebuah desiran angin malam, "Kembang api itu tidak lenyap seutuhnya. Ia akan tetap terkenang dalam hati semua orang."

Isak tangis kembali terdengar di udara dinginnya malam.

.


Beres-beres festival sudah hampir selesai, dimana sisa pembongkaran stand akan dilakukan dengan bantuan para tukang pada keesokan harinya—yang tak lain adalah hari minggu alias hari libur. Tentu saja para siswa-siswi SMU Konoha pun harus turut membantu membersihkan sekolah dan membereskan hal-hal lain yang masih perlu dibereskan besok.

Kini para panitia OSIS tengah bersiap untuk rapat evaluasi, sementara Ketua Osis dan sekretarisnya tengah sibuk mengucapkan salam perpisahan pada para pengisi stand dari luar.

Tiba-tiba sebuah suara nyaring berkumandang.

"Hei! Super grand prize dari stand menangkap ikan masih belum ada yang dapat, lho!" ujar suara nyaring itu.

Kontan perhatian semuanya teralih pada sang pemilik suara berbalut pakaian serba hijau-yang tak lain adalah Rock Lee.

"Kau masih meributkan itu?" Temari memutar bola matanya.

"Kalau kau tahu apa hadiahnya, kau tidak akan berkata begitu!" sungut Lee mencibir.

Temari mengangkat sebelah alisnya.

"Cincin perak buatan pengrajin yang cukup terkenal. Khusus disediakan oleh sponsor," Shikamaru menyahut dari jauh dan melambaikan tangannya pada Temari.

Temari menatap para anggota klub Astrologi yang tengah berkemas dan bersiap untuk pulang itu.

"Soal itu," tiba-tiba sebuah suara lembut menyeruak. "Aku ada satu permintaan."

Temari kontan memutar kepalanya dan didapatinya Hinata tersenyum ke arahnya.

.


"Apa?" Sasuke tak menyembunyikan keterkejutannya.

"Seperti yang kau dengar," Temari menjentikkan jarinya, "lomba menangkap ikan bagi panitia, untuk melihat siapa yang pantas mendapat super grand prize—kalau mengikuti julukan Lee."

"Para panitia sudah lelah, jangan menyia-nyiakan tenaga untuk hal yang bisa dilakukan besok," timpal Sasuke datar.

Temari sudah hendak kembali angkat bicara, ketika suara Hinata memotongnya.

"Kumohon… Sasuke?"

Sasuke sedikit terkejut.

Dalam ingatannya tak pernah ia lihat Hinata bersikap tertarik pada suatu kegiatan 'tidak jelas' macam ini.

Namun ia tak mempertanyakan lebih lanjut, alih-alih ia menjawab seraya menghela napas, "Baiklah. Lakukan sesuka kalian."

"Bagus. Itulah yang ingin kudengar," Temari menyeringai lebar. "Lee?"

"Aku siap!" Lee menggulung lengan bajunya penuh semangat membara.

"Dia lawanmu, Sasuke," ujar Temari lagi pada Sasuke.

"Apa?" Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

Temari menunjuk Lee dengan jempolnya, "Lawanmu, Rock Lee," ujarnya lagi.

"Aku tidak bilang akan ikutan?" Sasuke mendecak.

"Sasuke… menangkan cincin itu untukku," Hinata menarik ujung lengan baju Sasuke.

Sasuke tersentak kaget.

Kedua kepingan pupil amethyst keperakan milik Hinata terlihat penuh pengharapan dengan cahaya yang hampir redup.

Tanpa sadar, Sasuke melirik cepat pada Sakura yang masih membereskan sisa-sisa flyer di sekitar stand-nya.

'Apa-apaan ini? Hinata ingin aku memenangkan cincin perak itu untuknya? Di sini? Saat ini? Di hadapan… Sakura?'

Tak pernah sekalipun dalam hidup Sasuke ia rasakan kepalanya sepening seperti saat ini.

Hening melingkupi udara malam, dan hanya suara lemah Sasuke yang mengoyaknya.

"…Baiklah."

.

.

.

Dengan mata berkilat penuh semangat, Lee menyambar ikan mas koki yang berenang dalam kolam plastik di hadapannya. Lagi-lagi gagal.

Sudah sembilan kawat dihabiskannya dan ikan dalam ember kecilnya hanya empat ekor.

"Sial! Aku bisa tangkap lima ekor tadi siang! Kenapa sekarang tidak bisa?" gerutu Lee dengan nada putus asa. Yang lain tertawa.

Dengan sisa kawat terakhirnya, ia menyiduk air kolam kecil itu dan berusaha menangkap ikan mas koki dengan kertas tissue yang menempel pada kawatnya.

Ikan kecil berwarna oranye terang itu menggelepar-gelepar di atas kertas dan Lee sigap melemparnya ke dalam ember biru kecil di bawah kakinya.

"Dapat! Lima ekor! Yay! Rekor terbaikku!" serunya girang sembari berjingkrak.

Temari menepuk kedua tangannya, "Pemenangnya sudah jelas."

Lee nyengir lebar, sampai suara Temari kembali berkumandang lantang, "Sasuke. Dengan delapan ekor ikan mas koki di ember merahnya."

Lee ambruk di tanah dan menangis dramatis. Tak ada satupun yang menghiraukannya.

Semua pandangan tertuju pada Sasuke, yang kini menerima kotak cincin kecil berbalut beludru biru gelap dari tangan Temari.

Temari sedikit tersenyum, dengan berbagai pikiran dalam kepalanya.

Sasuke menerimanya tanpa berkata-kata. Menghindari tatapan Sakura yang tersenyum hambar dan bertepuk tangan bersama dengan anggota OSIS lainnya, ia memutar badannya dan menghampiri Hinata yang tersenyum lembut ke arahnya.

"Sudah kudapatkan, untukmu," sahut Sasuke. Berusaha meredam getar dalam nada suaranya.

"Ini belum selesai," Hinata menyahut singkat. Senyum masih tak lepas di bibirnya.

Sasuke mengerutkan keningnya sedikit. Namun menunggu Hinata untuk kembali melanjutkan kalimatnya.

Meraih kotak beludru biru tua dari genggaman Sasuke, Hinata membuka katupnya dan mengeluarkan benda mungil keperakan yang bersinar lembut dari dalamnya.

"Terima kasih, Sasuke," ucapnya perlahan. Kelopak matanya sedikit bergetar menahan segala gemuruh di dadanya.

Sasuke menelan ludah dan mengangguk kecil. Senyum samar terpatri di wajahnya yang sedikit muram.

Riuh bergema menyerbu malam hening. Tepukan tangan dan siulan nyaring dari para anggota OSIS mendukung kedua sejoli yang kini tengah berdiri berhadapan satu sama lain di tengah-tengah mereka itu.

Beberapa siswa laki-laki berseru, 'Cium! Cium!' sementara yang wanita sebagian menampakkan wajah sedih, sebagian lagi jengkel dan tak terima.

Hinata melangkahkan kakinya dan melingkarkan kedua lengan rampingnya di pinggang Sasuke. Memeluk Sasuke erat.

Sorak-sorai kembali bergemuruh semakin kencang.

Sasuke merasa tubuhnya kaku. Seolah angin malam yang menerpa sekujur tubuhnya telah membuatnya mati beku.

Dari sudut matanya dapat dilihatnya sosok gadis ramping berambut merah muda membalikkan badannya dan mengambil langkah menjauh dari kerumunan yang mengitarinya dan Hinata.

Sasuke menggigit bibir bagian bawahnya, memejamkan matanya erat.

Detik berikutnya yang ia lakukan adalah melingkarkan tangannya di tubuh mungil Hinata.

Tubuh Hinata terasa sedikit menggigil dalam pelukannya. Blouse putih berendanya tak cukup hangat untuk tubuh dinginnya. Sasuke mengeratkan pelukannya. Seolah ia tak ingin melepaskan Hinata.

…Atau seolah ia sendirilah yang tak ingin terlepas.

.

.


Sakura melambaikan tangannya pada Tenten dan Chouji yang mengantarnya sampai trotoar jalan.

"Tunggu!" Tenten menarik pergelangan tangannya. "Kau yakin mau pulang sendiri? Kita bisa pulang sama-sama."

"Untuk yang kesekian kalinya, Tenten, tidak perlu. Rumahmu dan rumahku berlawanan arah dan ini sudah larut malam. Boncengan saja dengan Chouji seperti biasa, aku ambil taksi seperti biasa juga."

Tenten mengamati wajah sahabatnya itu yang tampak memaksakan seulas senyum. Tak diindahkannya nada penekanan pada kata 'seperti biasa' yang diucapkan kawannya itu.

Ingin hati kecilnya menjerit, 'Tapi kali ini sama sekali berbeda dari biasanya, Sakura.'

Namun ia tahu bahwa kata-kata penghiburan macam apapun pada saat seperti ini hanya akan melukai sahabatnya itu semakin dalam.

Tenten melepaskan cekalan tangannya, "Hati-hati," ujarnya dengan nada sedikit bergetar.

Sakura menganggukkan kepalanya cepat, "Ya, kau juga. Dan kalau Chouji tiba-tiba menyatakan suka padamu malam ini, jangan kaget, oke?" candanya riang.

Tenten tertawa kecil, "Nakal, kau," ujarnya.

Reaksi biasa yang ia lontarkan setiap kali Sakura mencomblangkannya dengan Chouji adalah memukul lengan Sakura atau menggembungkan pipinya dan bersungut. Namun untuk kali ini saja, ia biarkan sahabatnya itu bertingkah sesukanya.

Hanya kali ini saja. Karena kali ini adalah tidak seperti biasanya.

.

.

.

Sakura melangkahkan kakinya perlahan, menyusuri trotoar.

Setelah melihat sendiri hasil akhir dari semuanya di lapangan tadi, Tenten telah menutup mulutnya soal masalahnya dan Sasuke.

Tanpa ada kekuatan sedikitpun untuk berkata mengejek, 'Tuh 'kan, Tenten. Kubilang juga sudah selesai'—Sakura hanya memilih pergi dari tempat itu.

Mungkin inilah yang terbaik.

Inilah yang terbaik.

Paling tidak… itulah yang ingin Sakura yakini.

Menengadahkan kepalanya menatap taburan bintang di atas kepalanya, mati-matian ia tahan kelopak matanya yang bergetar.

Kelopak mata lemah itu luruh, tak kuasa membendung perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Cairan hangat mengalir dari sudut matanya hingga menyentuh daun telinganya. Bibir merahnya bergetar, ia gigit bibir bawahnya dan menahan segala isak tangis yang ingin ia muntahkan.

Semilir angin malam yang dingin terasa menggigit kulitnya. Giginya bergemeletuk, dan Sakura merapatkan mantel merahnya. Berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya, ia mengatupkan kedua kelopak matanya.

Siap melangkahkan kakinya kembali, sebuah suara nyaring bergema membelah malam.

"Haruno Sakura!"

Sakura terhenti dari langkahnya. Jantungnya seolah terhenti dari detakannya.

Suara derap langkah kaki yang berlari kecil menghampirinya dari belakang tubuhnya membuat sekujur tubuhnya kaku.

Hembusan napas yang cukup terburu menyambut tengkuknya, "Kau mau lari kemana?" ujar suara itu lagi.

Sakura mengerutkan keningnya, menggelengkan kepalanya, "Ada perlu apa?" sahutnya berusaha terdengar biasa saja. Namun getaran dalam nada suaranya mengkhianatinya.

Hinata berjalan melewati Sakura yang berdiri mematung, bersandar pada tiang listrik di belakang tubuhnya satu meter dari tempat Sakura berdiri.

"Kau pikir, setelah semuanya, aku akan melepaskanmu begitu saja? Semudah itu? Enak sekali kau," cecar Hinata lagi.

"Ini sudah larut malam. Jika yang kau inginkan adalah pertengkaran, carilah di tempat lain. Aku tidak ikut permainanmu," tukas Sakura. Menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya itu.

"Menurutmu, hukuman apa yang pantas untukmu?" Hinata tak menghiraukan ucapan Sakura sama sekali.

"Apa lagi yang kau mau?" Sakura mulai meninggikan suaranya yang setengah tercekat. "Kau sudah dapat yang kau mau. Sasuke sudah memilihmu. Dia tidak akan pergi kemana-mana. Apa lagi yang kau inginkan? Apa lagi yang membuatmu tidak puas?"

Hinata mengacungkan jemari lentiknya, membiarkan kedua bola mata emerald Sakura menangkap cincin perak yang berkilau indah di jari manisnya.

"Kau lihat, ini?" Hinata menarik sudut bibirnya. "Ini adalah cincin tanda pertunanganku dengan Sasuke."

Sakura tak menyahut. Mati-matian menahan diri untuk tidak menampar wanita di hadapannya itu saat ini juga.

"Kami memang sudah bertunangan sejak lama. Satu tahun, kau tahu?" Hinata mulai lagi. "Tapi tidak pernah ada benda simbolik yang mengukuhkan bahwa kami ini milik satu sama lain."

Sakura masih diam membisu.

"Sasuke memberikan cincin ini padaku, dan kuanggap sebagai simbol hubungan kami yang tak tergoyahkan. Simbol perasaan kami yang begitu kuatnya hingga tak akan sanggup diruntuhkan oleh cobaan macam apapun."

Sakura sudah hendak melangkahkan kakinya kembali, enggan mendengarkan gadis itu lebih lanjut. Namun Hinata menghalangi langkahnya.

"Kau sangat percaya takdir, bukan, Haruno Sakura?" Hinata berujar.

Sakura mendecak, "Katakan apapun yang kau mau. Aku tidak peduli lagi. Jangan cemas, Nona. Ketika matahari terbit mulai esok hari, aku sudah menghilang dari kehidupanmu dan Sasuke-mu itu. Selamanya," ucapnya penuh nada satir.

"Aku ingin memenangkan semua ini dengan cara yang paling kau percayai," alih-alih membalas ucapan Sakura, Hinata melanjutkan apa yang ada dalam benaknya.

"Maksudmu?" Sakura mulai hilang kesabaran.

Hinata mengacungkan cincin perak di tangannya ke hadapan Sakura sekali lagi. Kemudian tangan kanannya mengepal erat cincin itu. Melingkarkan kedua tangannya ke belakang tubuhnya.

"Pilihlah," ucap Hinata sesaat kemudian, mengacungkan kedua keplaan tangan rampingnya itu pada Sakura yang berdiri mematung dengan tatapan bingung.

"Sasuke sekarang sedang menunggu di mobilnya di tempat parkir nomor 45. Siapapun yang memenangkan taruhan ini, mendapatkan hak untuk datang kepadanya."

Sakura terkejut bukan main.

"Cukup adil, bukan? Semuanya ditentukan oleh takdir—yang begitu kau percayai, gadis Astrologi."

Sakura mengibaskan tangannya, "Apa maksudmu? Apa kau gila? Mempertaruhkan tunanganmu sendiri seperti itu!"

"Aku juga bukannya menginginkan hal ini!" tiba-tiba Hinata balas berteriak.

Sakura terkejut. Tak pernah satu kali pun ia dengar suara Hinata yang meninggi, sebelumnya.

"Apa menurutmu aku bisa puas dengan hasil seperti ini?" Hinata mulai lagi.

Sakura bergeming dalam keterkejutannya.

"Apa-apaan tatapanmu itu? Kau mengasihaniku?" Hinata menggigit bibir bagian bawahnya. "Jangan kau pikir aku tidak tahu! Kau dan dia… kalian saling menyukai, 'kan? Saling menyayangi, 'kan? Rasa suka dan rasa sayang yang berbeda dari yang dia rasakan padaku!"

Sakura tak mengerti kemana arah pembicaraan menuju, hingga ia hanya bisa mengunci mulutnya dalam hening.

"Biar kuberitahu, ketika dulu Neji-nii mengusulkan perjodohan itu pada ayahku, akulah yang memegang kunci persetujuannya. Bukan Neji-nii ataupun yang lain. Bukan pula Sasuke. Akulah—akulah—yang dengan egois memilih Sasuke untuk terperangkap dalam dunia yang sama dengan tempatku berpijak."

Sakura kembali dirasuki rasa keterkejutan.

"Aku tahu Neji-nii merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya, karena ia berpikir bahwa gara-gara ulahnya itu aku dan Sasuke terus terkungkung dalam dunia isolasi kami. Aku tahu itu, tapi tak kuungkapkan. Kubiarkan Neji-nii merasa bersalah terus seperti itu. Kau puas?"

Sakura tercekat, "Ke…napa?"

"Karena dengan begitu, ia tidak akan mengusik duniaku dan Sasuke yang hanya milik kami berdua saja. Neji-nii orang pandai, cepat atau lambat ia akan merasa ada yang tidak beres dengan hubunganku dan Sasuke. Dan pada saat itu, aku tahu ia pastilah akan meminta ayahku membatalkan perjodohan itu.

"Tidak ada simbol pertunangan, tidak ada peresmian apapun, bagaimanapun hubunganku dengan Sasuke tak lebih dari ilusi yang kuciptakan sendiri. Hanya dengan persetujuan ayahku dan paman Uchiha secara lisan, kuanggap semuanya telah diputuskan. Aku menyeret Sasuke dalam duniaku. Duniaku yang gelap dan dingin. Aku jahat, 'kan, Haruno?"

Sakura menyahut cepat, "Apa-apaan ini? Kenapa kau mengatakan semua ini padaku?"

"Aku ini wanita yang jahat," Hinata mengulang kata-katanya.

Sakura tak menimpali.

"Akankah kau biarkan Sasuke yang sangat kau sayangi itu menghabiskan sisa hidupnya bersama wanita jahat sepertiku?" tantang Hinata.

Sakura mengerutkan keningnya kini.

Kembali mengacungkan kedua kepalan tangannya, Hinata bertutur tenang, "Pilihlah salah satu."

Tak ada jawaban.

"Jika kau memilih tangan dimana kugenggam cincin pertunanganku dengan Sasuke, maka aku akan melepaskan Sasuke untukmu."

Kedua kelopak mata Sakura terbelalak lebar.

"Namun jika kau memilih tangan kosongku, maka berhentilah mengganggu hidup kami. Menghilanglah. Pergilah sejauh mungkin. Jangan dekati kami lagi. Jangan ganggu kebahagiaan kami lagi."

Sakura menatap kedua kepalan tangan ramping yang tersodor di hadapannya itu. Menatap kedua pecahan mata amethyst keperakan milik gadis berambut hitam panjang di hadapannya, Sakura berusaha menarik keluar apapun yang tersembunyi di sana.

Nihil.

"Kau tak berani?" suara Hinata kembali menyambut gendang telinganya. "Ini adalah permainan takdir yang begitu kau sukai, bukan, Nona Astrologi?"

Sakura masih bergeming.

"Tidak berani?" Hinata menyunggingkan seringai tipis.

Sakura memejamkan kedua matanya dan berpikir keras. Haruskah ia mengikuti permainan wanita cerdas dengan beribu akal—di hadapannya itu? Bukan tak mungkin ini adalah jebakan, atau semacamnya.

Sakura menelan ludah.

"Perlihatkan padaku, apa yang Dewi Takdir-mu gariskan untuk hidupku. Perlihatkan padaku jalan apa yang akan kutempuh," ujar Hinata lagi.

Sakura mulai menyadari satu hal.

Ini bukanlah permainan untuk dirinya semata, namun juga menyangkut Hinata. Dan Sasuke.

Apapun hasil dari taruhan ini, akan mempengaruhi kehidupan kedua orang lainnya itu.

Jalan mana yang disediakan sang takdir untuknya? Untuk Sasuke? Dan… untuk Hinata?

Sakura menarik napas panjang, "Kali ini saja, aku akan menuruti keegoisanmu."

"Aku memang senang menjadi wanita egois," timapl Hinata tak acuh, mengangkat bahunya.

Sakura menatapnya lekat, "Apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan? Bukan hanya kita saja yang nasibnya dipertaruhkan di sini. Melainkan juga Sasuke. Kau sadar itu?"

"Aku tahu dan aku sadar, Haruno. Kau pikir semua ini kulakukan atas ide dadakan begitu saja? Aku sudah memikirkan ini semua cukup lama. Kalaupun tidak ada cincin ini, aku akan menggunakan benda lain," sengit Hinata.

"Apa kau pernah berpikir apa yang Sasuke pikirkan jika ia tahu hal ini?" Sakura tak habis pikir.

"Dia akan senang siapapun yang datang kepadanya sekarang," tukas Hinata. "Atau mungkin… dia malah ingin kau yang datang padanya."

"Dia tahu hal ini?" jerit Sakura tak percaya.

"Dia tidak tahu. Siapapun pemenangnya, akan menjelaskan semuanya pada Sasuke. Dia akan menerimanya," jawab Hinata ringan seolah tanpa beban.

Sakura melipat keningnya semakin dalam.

"Aku tidak ingin menjadi tunangan Sasuke hanya karena permintaanku pada Ayah. Aku tidak ingin dia tinggal di sisiku hanya karena kewajibannya. Aku ingin memilikinya seutuhnya. Aku ingin dia mencintaiku sepenuh hatinya. Tidak memikirkan gadis lainnya.

"Dan untuk itu, Haruno Sakura, aku ingin mengalahkanmu. Aku harus mengalahkanmu. Jika tidak begini, selamanya aku akan merasa tidak tenang. Karena aku hanya akan ditatap penuh rasa kasihan oleh Sasuke dan aku akan selalu melihat bayang-bayang semu sosokmu dalam refleksi di matanya."

Sakura kehilangan kata-kata.

"Sasuke tidak dapat memutuskan semuanya sendiri. Ia terbelenggu dengan rasa tanggung jawabnya terhadapku. Entah apa yang dipikirkannya, tapi aku tahu bahwa sampai detik inipun ia belum mampu membuat keputusan.

"Ia hanya akan membiarkan semuanya mengalir apa adanya dan mengikuti aliran itu. Tanpa berpikir mengenai apa yang sesungguhnya diinginkannya."

Sakura masih membisu.

"Aku, kau, dan dia. Kita bertiga sama-sama membutuhkan hal ini, Haruno. Untuk melihat apa yang digariskan takdir untuk kita. Karena hanya dengan cara inilah, kita semua bisa menjadi jujur pada perasaan masing-masing.

"Aku tidak akan kalah, Haruno Sakura. Aku tidak akan kalah."

Sakura menghembuskan napas panjang perlahan, berusaha melenyapakn segala penat di dadanya bersama segala keraguan di hatinya.

"Baiklah," ucap Sakura sejenak kemudian. Cukup pelan, namun cukup tertangkap indera pendengaran Hinata. "Jika ini bisa membuatmu puas, Nona."

Hinata tak mengacuhkan cemoohan Sakura, dan mengacungkan kedua kepalan tangannya ke depan wajah Sakura.

Sakura menatap kedua kepalan tangan ramping itu.

Yang mana?

Kanan?

Kiri?

Atau malah tidak keduanya?

Tidak. Di saat seperti ini, pastilah Hinata tidak akan melakukan trik curang atau semacamnya. Ia sendiri yang mengatakan bahwa ia membutuhkan jawaban atas keraguan hatinya sendiri—pikir Sakura, menatap kepingan amethyst milik Hinata yang sedikit bergetar.

Sakura menelan ludah. Ia sadar bahwa setenang apapun Hinata saat ini, pastilah yang bersangkutan sedang begitu was-was dengan pilihan yang akan diambil Sakura.

Karena ini bukanlah taruhan yang hanya menentukan siapa yang menang dan kalah juga. Namun merupakan penentuan akhir bagi kisah yang telah terjalin antara dirinya, Sasuke, dan Hinata, dalam hari-hari yang telah lalu itu.

"…Kiri."

Hinata menatap Sakura dalam.

Sakura memejamkan matanya. Apapun yang terjadi, terjadilah—pikirnya.

Suara desahan angin malam yang bersambut dengan nyanyian binatang malam menjadi satu-satunya bukti kehidupan di tempat kedua gadis yang tengah mempertaruhkan masa depan mereka itu berpijak mematung.

Sakura membuka matanya dan menarik napas panjang. Memantapkan hatinya untuk menerima apapun keputusan sang takdir. Dengan cara begini, ia rasa tak akan ada penyesalan.

Mungkin.

Setidaknya ia akan berusaha.

Perlahan Hinata menurunkan tangan kanannya. Membiarkan tangan kirinya tetap teracung di hadapan Sakura.

Masih dengan teramat pelan, ia memutar kepalan tangannya hingga genggaman jemarinya tampak dari depan. Satu demi satu jemari lentik itu merekah terbuka.

Sakura tak sadar bahwa ia menahan napas sejak jari pertama terbuka.

.

.

Di sana, di atas telapak tangan kiri Hinata yang terbuka lebar, tampak sebuah cincin perak berkilat teronggok kaku.

Napas Sakura terasa tercekat, setelah sesat sebelumnya ia tak mengambil napas sama sekali. Kedua pupil matanya mengecil. Setengah tak percaya dengan pengelihatannya.

"Kau menang," suara pelan Hinata membuatnya tersadar dari kondisi terkejut yang menguasai dirinya.

Antara sadar dan tidak, Sakura mengangkat telapak tangan kanannya.

Hinata meletakkan cincin mungil itu di telapak tangan Sakura yang menunggunya.

"Selamat, Haruno Sakura."

Segalanya setelah itu seakan menjadi kepingan samar yang tak sanggup ia realisasikan. Yang Sakura ingat hanyalah ia mengayuh kakinya cepat. Berlari, berlari, dan berlari tanpa henti, menuju lahan parkir nomor 45. Menuju Sasuke yang tengah menantinya.

Tak sekalipun ia indahkan likuid hangat yang mengalir membasahi pipi lembutnya tanpa henti.

Semuanya telah diputuskan. Inilah jalan yang tersedia baginya. Inilah jalan yang memang sesungguhnya ia inginkan.

Hanya dengan satu permainan kecil dengan taruhan luar biasa besar itu, hatinya telah mantap dan membuang segala keegoisan dan rasa ragunya jauh-jauh.

Ia ingin berada di Sasuke.

Ia ingin mendampingi Sasuke.

Ia ingin Sasuke.

.

.

.


Seorang gadis berambut pirang panjang yang dikuncir tinggi, bersandar pada pagar kawat yang menyangga tubuh rampingnya. Pemuda berambut hitam pendek berkulit pucat berjongkok tak jauh dari sang gadis.

Sebuah bayangan sosok berambut hitam panjang menarik perhatian sang gadis berambut pirang.

Dengan seulas senyum tipis, ia memiringkan kepalanya sedikit, "Sudah selesai, Hinata?"

Gadis berambut hitam panjang yang ternyata adalah Hinata itu sama sekali tak menyembunyikan wajahnya yang kacau. Kedua pipi lembutnya basah, dengan mata yang sembab. Sedikit mascara luntur di bawah kantung matanya.

Sai—sang pemuda yang tengah berjongkok, memalingkan mukanya. Melihat seorang wanita menangis tidak masuk dalam daftar hobinya.

"Apa… aku bodoh, Ino?" suara Hinata terdengar tercekat dalam isak tangis yang tertahan.

Ino melenggangkan kakinya menghampiri Hinata dan memeluknya, "Kau tidak melakukan kesalahan, Hinata. Ini sudah benar. Dan apa yang terjadi sebelumnya tidaklah penting lagi."

Dalam benak Ino, ingatannya kembali melayang pada percakapannya tempo hari dengan Hinata ketika seminar Astrologi berlangsung dan Hinata ditinggal sendirian oleh Sasuke.

.

.

Di antara gemuruh tepuk tangan peserta seminar yang bergema ke seluruh penjuru ruang aula, suara Hinata yang tegas terdengar seolah bergetar, "Tidakkah kau merasa… dua melodi not balok yang terlalu mirip… hanya dapat melahirkan lantunan nada yang datar tanpa irama kehidupan?"

Tepat sesaat sebelum ia kembali ke kursinya di sudut ruangan ketika melihat sosok berambut emas datang membawa dua gelas minuman dingin di tangannya, Ino sekilas melihat kepingan pupil amethyst yang bergetar menahan berbagai macam perasaan itu memberikan arti yang lain.

Sebuah keputusan yang bulat.

.

.

Isak tangis Hinata memecah kesenyapan malam. Ino memeluknya semakin erat.

"Kalau saat itu aku tidak melihat kesungguhan dalam pancaran sinar matamu, aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menjadi seperti ini," tutur Ino lembut. "Aku tahu, masih banyak hal buruk tentangku. Banyak hal egois yang melekat dalam diriku. Aku masih perlu banyak belajar."

Angin bersemilir perlahan, memainkan helaian rambut Hinata dan Ino yang berpadu dalam harmoni.

"Aku akan berhenti menatap diriku yang buruk rupa di masa lalu. Aku akan melihat masa depanku yang baru. Bersama orang yang menyayangiku sepenuh hatinya. Hanya aku sendiri…" ucap Ino lagi.

Hinata memandang ke arah Sai dengan matanya yang kabur karena air mata.

Menyunggingkan seulas senyum, ia berujar lirih dan cukup pelan, "Kusampaikan selamat padamu dan Sai."

"Satu pasangan lagi," ujar Ino tiba-tiba, terkikik geli.

"Kuharap kau tidak menggosipkan orang tepat di depan batang hidung orangnya sendiri, Yamanaka Ino," sebuah suara lain menyeruak dari punggung Hinata.

Hinata melepaskan pelukannya dari Ino dan memutar badannya.

Yang menyambutnya adalah seorang gadis berambut pirang berkuncir empat—Temari. Bersama pemuda berambut hitam berkuncir tinggi yang melambaikan tangannya di sebelah Temari.

"Hai, Hinata. Kita bertemu lagi," sahut pemuda itu ringan. Dengan seulas senyum yang seolah tanpa gairah di bibirnya.

Hinata mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dengan punggung tangannya, "Selamat untuk kalian juga," ujarnya diakhiri dengan tawa kecil.

Temari menghela napasnya, "Kau gadis yang baik, Hinata," ujarnya dengan senyum samar.

.

.

.

.

Sakura masih berlari tanpa terbersit sedikitpun pikiran untuk berhenti. Tiba di lahan parkir, ia mengedarkan pandangannya, mencari-cari nomor 45.

Namun nomor yang menyambut pengelihatannya adalah 60. Merasa bahwa telah melewati tempat yang seharusnya ia tuju, kontan Sakura menghentakkan kakinya dan memutar tubuhnya cepat.

Namun tanpa disangka-sangka ia jatuh terjerembab ke dalam pelukan seornag pemuda tampan berambut hitam segelap malam.

Sakura membelalakkan matanya menatap Sasuke—sosok yang tiba-tiba muncul itu.

Sebelum Sakura sanggup mencari kata-kata, bibir lembutnya telah ditangkap oleh kehangatan bibir merah muda Sasuke.

Bumi seolah terhenti dari peredarannya, waktu seolah terhenti dari perputarannya. Yang ada di benak Sakura saat ini hanyalah kehangatan dan kelembutan kasih sayang yang memuncah dan tersalurkan lewat satu ciuman penuh kasih dari orang yang tersayang.

Sasuke mengambil jarak sestelah beberapa saat, namun kedua lengan kuatnya merengkuh pundak Sakura erat dalam pelukannya.

"Aku… suka padamu."

Sakura merasakan air matanya menagil di pipi lembutnya.

"Aku suka padamu," ulang Sasuke lagi. "Hanya kamu. Hanya kamu yang kusuka. Yang paling kusuka. Yang paling kusayang. Melebihi segalanya…" ucapnya lembut dan setengah berbisik.

"Kau sudah tahu?" suara tercekat Sakura terdengar lirih.

"Barusan Hinata meneleponku dan mengatakan semuanya. Sungguh sulit dipercaya. Aku…"

Sakura menunggu Sasuke mengakhiri kalimatnya. Apa ia menyesal? Apa ia merasa tidak tega pada Hinata?

"Aku sangat berterima kasih pada Hinata," lanjut Sasuke dengan nada penuh gejolak emosi kebahagiaan.

Sakura menenggelamkan kepalanya di dada bidang Sasuke. Balas memeluk Sasuke erat.

"Kau mungkin tidak akan senang mendengar hal yang satu ini… tapi kurasa kau berhak mengetahuinya," ujar Sasuke lagi.

Sakura menahan napasnya. Tak berani mendengar pernyataan apapun yang akan terlontar dari mulut orang terkasihnya itu. Ia takut mimpi indah ini akan berakhir.

"Hinata memberitahuku… di kedua kepalan tangannya tersembunyi cincin perak."

Terkejut bukan main, Sakura memundurkan tubuhnya. Menatap Sasuke dengan pandangan tak percaya.

"Yang kau ambil itu adalah cincin pertunangan kami. Kemarin malam ketika kuputuskan untuk memilih Hinata, aku memberikan cincin dari ibuku itu untuknya. Cincin peninggalan dari ibu kandungku yang telah tiada. Yang beliau amanatkan untuk kuberikan pada orang terkasihku," Sasuke memulai penjelasannya.

Sakura mendenagrkan setengah tak percaya.

"Yang kini masih ada di tangan Hinata, adalah cincin hadiah permainan tangkap ikan yang kumenangkan tadi melawan Lee."

Sakura mengerutkan keningnya.

"Aku sangat terkejut ketika Hinata tidak memakai cincin dari ibuku itu sama sekali. Bahkan hari ini dia malah meminta kudapatkan cincin lain untuknya.

"Setelah kupikir baik-baik, mungkin semua ini telah direncanakan Hinata sejak sebelumnya. Keinginannya untuk mendapatkan cincin yang kumenangkan hanya untuknya itu, mungkin sebuah simbolis dari betapa ia menginginkan sesuatu dari diriku hanya teruntuk dirinya."

Sakura mulai sadar dari keterkejutannya, "Jadi… maksudmu… dia sengaja mengonfrontasiku dengan taruhan yang sebetulnya sejak awal pasti kumenangkan itu? Karena pada tangan yang manapun, ia menyembunyikan sebuah cincin perak?"

Sasuke tak menyahut. Namun sorotan matanya mengatakan 'Ya'.

Sakura mengerutkan keningnya dalam.

"Ketika Hinata meneleponku, aku sangat terkejut. Tapi ketika ia katakan bahwa semua ini sudah ia pikirkan matang-matang, aku berpikir untuk menghargai keputusannya itu. Aku tahu ini berat baginya, tapi… semenjak dia telah memutuskan, aku sendiri harus mengambil keputusan juga."

"Dia menyadari perasaanmu sementara kau sendiri tidak paham?" Sakura tersenyum tipis.

Sasuke tertawa renyah, "Aku memang payah. Laki-laki yang payah. Hinata terlalu jauh untukku. Aku tidak sesuai untuknya. Bahkan mendapatkan gadis yang kucinta saja, aku harus meminjam kekuatannya. Aku payah."

Sakura menghela napas, "Kalau kupikir lagi sekarang, memang tampak aneh melihatnya dengan dingin berkata buruk tentang dirinya sendiri, berkata bahwa betapa ia wanita yang jahat."

Sasuke menyimak dengan seksama.

"Ia berkata padaku bahwa ia telah memanfaatkan rasa bersalah Neji untuk kepentinganya sendiri. Juga berkata bahwa ia telah menjebakmu, seperti itu," jelas Sakura.

"Kau percaya?" Sasuke menatap lekat bola mata emerald Sakura yang begitu dirindukannya.

Sakura menggelengkan kepalanya, menenggelamkan dirinya dalam dekapan hangat Sasuke kembali, ia berujar pelan, "Baik dan buruk tidak penting lagi sekarang. Kita semua sudah memetik pelajaran dari semua kejadian ini. Aku bukan gadis yang sempurna, aku punya ego dan pikiran negatifku sendiri, sama halnya dengan Hinata. Kita semua sudah tidak akan melihat diri kita yang buruk itu lagi, bukan?"

"Tentu saja," jawab Sasuke tanpa keraguan.

Seulas senyum lebar dan penuh optimisme kehidupan terpoles di wajah kedua insan manusia yang telah disatukan oleh takdir dan melalui berbagai macam pelajaran hingga sampai ke tempat ini.

.

.

.

.

.

.

Kisah yang dimulai dari suatu ketidaksengajaan itupun berakhir dengan berbagai macam ending.

Ini bukan kisah tentang Sakura semata, atau Sasuke semata, ataupun juga Hinata semata. Ini adalah kisah milik kami semua.

Sakura, Sasuke, Hinata, Temari, Shikamaru, Tenten, Chouji, Ino, Naruto, Karin, Neji, Gaara, dan lainnya memiliki kisahnya sendiri-sendiri dalam semua kejadian ini.

Apa yang mereka pikirkan, apa yang terlintas di benak mereka, kisah macam apa yang dialami mereka dan pelajaran apa yang masing-masing petik, mungkin hanya diri mereka masing-masing sajalah yang mengetahuinya. Dan kesemuanya akan selalu menyimpan kenangan mengenai hari-hari ini di lubuk hati mereka hingga akhir usia.

Semua hal yang terjadi telah memberikan arti kehidupan yang baru bagi semuanya.

Dan satu hal, ketika kubombardir Hinata dengan berbagai pertanyaan di acara reuni beberapa minggu lalu, kutanyakan juga padanya arti 'serigala jahat' yang telah merusak hubungannya dengan Sasuke yang ia maksudkan.

Dengan senyum lembut seraya menggendong putera berambut emasnya, ia bertutur tenang, "Serigala jahat itu ada dalam hati setiap orang, tanpa terkecuali. Itu adalah… rasa cemburu membabi-buta yang bahkan tak sanggup membuatmu melihat yang terbaik bagi pasanganmu."

Dalam detik berikutnya aku sadar ketika kulihat Naruto mengelus perut Hinata yang membesar dengan buah hati kedua mereka.

Yang telah membuat Hinata kehilangan Sasuke adalah perasaan kotornya sendiri.

Namun, itu bukan akhir dari segalanya.

Selama perasaan kuat untuk berubah dan memperbaiki diri itu ada dalam sudut hati manusia, siapapun dapat memulai perjalan hidup yang baru, dan mengukir kisah indah yang baru.

Seseorang dapat mencapai akhir kisah yang happy ending ketika ia dapat mengalahkan musuh terbesar dalam hidupnya sendiri.

Serigala jahat dalam hatinya sendiri.

.

.

"Sai, apa yang kau lakukan? Jangan bengong di depan jendela begitu, ayo bantu aku memasang korset. Aku kerepotan, nih," sebuah suara nyaring menghenyakkan pikiranku.

"Itu karena kau tambah gemuk," timpalku datar—yang langsung disambut air muka cemberut isteriku.

Aku tertawa dan menghampirinya, kusibakkan rambut pirang panjangnya dan kukaitkan pengait korset di punggungnya satu per satu.

"Kau tahu," isteriku berujar kembali, "bukankah ini saatnya memberitahu mereka? Bahwa kisah kita semua saat masih duduk di bangku SMA dulu itu, telah kau publikasikan menjadi novel laris?"

Aku menampilkan raut muka berpikir, "Kalau mereka tahu bahwa 'wawancara'-ku pada mereka saat acara reuni bulan lalu itu sebetulnya untuk referensi pembuatan novelku ini, apa mereka akan marah, ya?"

Isteriku tertawa, "Kurasa Sakura dan Sasuke tidak akan memarahimu di resepsi pernikahan mereka ini. Mereka terlalu gelap mata oleh kebahagiaan untuk itu," ujarnya di sela tawanya.

"Ngomong-ngomong tentang gelap mata, kudengar Neji dan pacarnya yang berambut merah ngejreng itu tinggal di Kanada sekarang dan menikah resmi di sana," sahutku.

Isteriku mengedipkan matanya, "Kau harus lihat wajah malu-malu Gaara di foto yang dikirimkan Neji beberapa hari lalu. Hinata mengirimkannya lewat email padaku."

"Lebih merona dibanding Tenten?" balasku.

"Lebih merona dibanding Tenten," jawab isteriku membenarkan. "Kurasa hari ini aku bakal puas mengisengi dia yang pada akhirnya pacaran dengan Chouji juga! Kapan, ya, mereka menikah? Ah, aku butuh gaun baru lagi untuk persiapan!" ujarnya cepat.

Aku tersenyum, menepuk korset di punggung isteriku, "Sudah selesai," ujarku.

Isteriku meraih gaun biru satin dan memakainya cepat, "Temari pasti sedang mengomeli Shikamaru yang bangun kesiangan sekarang," ujarnya terkekeh.

"Banyak hal berubah, seperti halnya banyak hal juga tetap pada tempatnya. Walau perasaan manusia bisa berubah, namun hati yang menjadi sinar bagi kehidupan setiap orang tidak akan pernah padam," sahutku.

Isteriku tersenyum.

"Yang harus kita lakukan sekarang adalah, kembali mengingatkan semuanya, bahwa segalanya belum selesai. Kisah baru kita semua dimulai dari setiap tarikan napas dalam hidup kita."

Benar.

Bagaikan lilin dengan api kecil, setiap hati manusia sangatlah rapuh terhadap cobaan. Namun hanya dengan kekuatan kemauan dalam diri setiap oranglah, siapapun dapat berubah menjadi dirinya yang lebih baik dari dirinya yang kemarin.

Tidak akan kalah oleh waktu, lilin kecil itu akan tetap memancarkan sinarnya yang terang.

Mungkin api kecil yang bertengger dalam hati manusia kadang kala akan goyang dan hampir goyah. Namun dengan menjalani semuanya bersama dengan orang-orang yang kita sayangi, semuanya akan terasa indah. Api kecil itu tak akan pernah padam selama kita masih memiliki kemauan untuk berjuang dalam hidup kita.

Kesedihan, kesenangan, kepiluan, keriangan, yang pahit, dan yang manis, yang asam, dan yang asin, semuanya ada rasa dalam kehidupan.

Semuanya memberi warna dalam kanvas kehidupan setiap orang.

Nah, kawan, warna apa saja yang akan kau lukiskan dalam kanvas hidupmu?

.

.

.

.

x.X.x FINISHED x.X.x


End Note:

Akhirnya, kisah Little Fire on the Candle ini selesai juga. YAY! \o/ *tumpengan*

Jujur, ada banyak—banyaaak—hal yang berubah dari draft awal saya. Dari mulai pendekatan POV, hingga alurnya sekalipun. Juga ada beberapa adegan yang di luar rencana, sekaligus banyak adegan yang saya hilangkan dari draft kasar saya untuk fic ini.

Di bagian ending, POV beralih pada Sai. Ya, benar. Sai. ^^

Mungkin ending ini cukup mengejutkan kalian?

Sejujurnya, pendapat saya pribadi, ending-nya terlalu corny… *headdesk*

Ternyata bagian paling sulit dalam penulisan sebuah fic multichap adalah ENDING. OTL

Maap nih kalau ending-nya ga sesuai perkiraan/ekspektasi kalian, saya udah berusaha. T.T

…Moga cukup memuaskan.. (?) *keringet dingin*

Dan bagi yang bertanya-tanya darimana saya dapat ide untuk fic ini, saya mendapat ilham dari kisah pribadi saya sendiri. Tentunya ada banyaaak hal yang diubah demi kelangsungan dan kesesuaian cerita.

Dan siapakah saya dalam kisah ini? Jawabannya adalah Sakura.

Tapi seperti saya bilang, dasar kisahnya aja yang mirip. Selebihnya, fantasi asli. ;)

Berhubung chapter ini panjang banget, mohon maap review non-login chapter sebelumnya ga bisa dibales di sini.. orz

Saya haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pada para readers, terutama kalian yang selalu setia baca, ngasih feedback, dan menyemangati saya selama ini! :D

Tadinya mau saya list sekarang nama-nama kalian, tapi waktu ga sempet, gomen.. lain kali saya ETA. ^^

LOVE YOU ALL ^^ *kisses & hugs*

.

.

IMPORTANT

Fic ini bakal di-beta ulang oleh Fariacchi (Thanks a lot, bb! ^-^)

Jadi semua keganjilan, kesalahan EYD, kealpaan penulisan, dan semacamnya, akan dibabat habis sama Faria. Nanti kalau kalian baca ulang fic ini kapan-kapan, mungkin sudah jadi versi betaed. :)

Terakhir, seperti yang saya janjikan, silakan rikues side-story apa aja dari fic ini dengan pairing/tokoh manapun. Bahkan tokoh minor seperti Lee atau Karin, misalnya. Bebas, deh.

Kapan saya buat, itu tergantung ilham dan mood menulis. Tapi akan saya usahakan. ^^

THANKS AGAIN!

.

.

.

Sampai bertemu di lain kesempatan~ ^^