Hmm, setelah poll di profile hamba ditutup (yang hasilnya cukup sedikit), ternyata tetap saja para readers menginginkan hamba untuk menulis cerita dengan pairing Naruhina lagi. Yah, hamba memang nggak keberatan sih, apalagi pairing ini memang favorit hamba juga.

Hamba tak akan mengatakan apa-apa yang akan menjadi spoiler, tapi minimal hamba bisa memberi sedikit gambaran. Cerita ini adalah lanjutan tepat setelah adegan terakhir di fic Ini Tentang Kamu, kali ini hamba ingin menggali hubungan mereka sedikit lebih dalam lagi, dengan pendekatan dan tema berbeda tentunya.

Sebelum itu, nih… Disclaimer: Naruto bukan milik hamba, lagipula hamba gak pintar ngegambar…

Selamat membaca!

Continuation of that Morning

Ketika ciuman itu sampai pada salah satu akhirnya, nafas sang gadis sudah terengah-engah seperti diserang asma. Sedangkan pria yang memeluknya, walau mungkin sama-sama membutuhkan oksigen demi tapi tetap menjaga keteraturan tarikan udara dari hidungnya menjadi sebuah irama datar, memperjelas perbedaan stamina antara dia dan gadis berambut biru. Dua bola biru langitnya yang menyala bagai api kini menatap tajam sepasang mata biru abu-abu yang sayu, menghiasi wajah cantiknya yang sekarang terbakar oleh rona merah muda.

"Naruto-kun, tunggu..." gadis itu berhasil mengeluarkan suara dan membentuknya menjadi kata-kata tepat sebelum sang pemuda melahap bibirnya lagi. "Kita ada di balkon, nanti ada yang lihat..."

Naruto berhenti merangsek maju, lalu melemparkan pandangan pada desa Konogakure yang mulai terbangun dari tidur di bawahnya. Perkataan sang gadis terbukti benar, apalagi setelah suara-suara pertanda bermulanya aktivitas saling sahut-menyahut dari rumah ke rumah. Setelah tanpa sadar mengeluarkan geraman kesal, Naruto segera mengembalikan perhatian pada gadis dalam pelukannya.

"Ke dalam, kalau begitu."

"Ta-tapi... uummph..."

Tanpa punya kemauan untuk menolak ciuman itu, sang gadis pasrah saja saat Naruto menyelipkan lengan kiri ke lipatan lututnya, menggunakan tangan kanannya untuk mengangkat berat badan sang gadis, pemuda itu membawanya kembali ke rumah dengan gendongan ala pengantin, sepanjang jalan bibir mereka terus menempel bagai tersatukan oleh lem.

Setelah mereka berada di dalam dan aman dari pandangan, Jinchuuriki no Kyuubi itu menggunakan kakinya untuk menendang pintu sampai tertutup dengan bunyi debam nyaring. Tanpa rela membuang waktu lebih lama lagi, dia langsung menurunkan gadis dari gendongan dan mendesaknya sampai punggungnya tepat bersandar di pintu.

"Hinata..." Naruto menggeram pelan sambil melepas bibirnya demi memberi kesempatan pada si gadis berambut biru untuk mengambil napas, tapi ketidaksabaran membuatnya kembali mencuri bibir sang gadis untuk kesekian kali tanpa menunggu.

"Mmmh... mmph..." erangan itu keluar selagi Hinata mengangkat kedua lengannya untuk melingkari leher Naruto, lalu menekan kepala penuh rambut pirang itu ke arahnya.

Kekurangan oksigen membuat Hinata membuka mulutnya lebih lebar untuk membiarkan udara masuk, yang ternyata mengundang sesuatu yang lain untuk merambah ke dalam rongga mulutnya itu. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang tersedia di depan mata, Naruto segera membuka mulutnya sendiri dan menjulurkan lidahnya ke dalam liang hangat itu, memenuhi indra pengecapnya dengan rasa manis mulut sang gadis.

Walaupun sedang menghadapi aktivitas yang belum pernah ada dalam lemari pengalamannya, Hinata tak mampu menyangkal bahwa apa yang sedang dilakukan Naruto dengan mulutnya terasa begitu... menyenangkan. Secara khusus, Hinata sangat suka kalau organ pengecap tak bertulang milik Naruto itu menggelitik lapisan epitel pada dinding dalam pipinya, atau menyapu lembut sisi lidahnya sendiri.

Semakin lama ciuman itu berlangsung, terasa semakin lemah pula dua kaki Hinata. Seakan-akan dia sedang berdiri dengan jeli sebagai penopang tubuh, gadis itu pasti sudah lama jatuh terduduk andai tak ada dua tangan Naruto yang memegangi pinggangnya dengan erat. Dua tangan itu sendiri kini laksana jilatan api, menghantarkan panas ke dalam seluruh badan Hinata dan mengirim bayangan-bayangan liar ke ruang imajinasi di otaknya.

Aneh memang, tapi seperti itulah efek sentuhan Naruto baginya.

"Hinata..." cowok itu kembali menggeramkan nama gadis yang selama 3 hari terakhir sangat akrab dengan mulutnya, gadis yang sekarang ini terjepit di antara daun pintu dan tubuhnya sendiri. Kali ini, sang pemuda membiarkan Hinata bernapas lebih lama, tapi tentu saja dia belum selesai dengan areal jajahannya itu karena dia kini menggunakan mulutnya untuk menyusuri leher Hinata yang mulus tanpa cacat.

"H-ha... anh..." satu-satunya yang bisa dikeluarkan mulut Hinata saat itu hanyalah erangan lembut, terdengar bagaikan musik di telinga pria yang menciuminya. Tangannya semakin erat mencengkeram kepala Naruto, kadang meremas atau bahkan menarik-narik rambutnya dengan mesra. Saat pemuda itu juga mulai menggunakan lidahnya, kaki Hinata sudah benar-benar terasa tak bertulang sekarang, tapi pegangan dua tangan di pinggangnya meyakinkan Hinata kalau mereka tak akan berhenti menopang tubuhnya. "Naruto... ah... kun..."

Bibir Naruto sudah mencapai pangkal leher mulus itu. Tanpa peduli untuk memakai tangannya, dia menggigit tepian kain kimono biru itu lalu menariknya ke samping dengan kasar. Kulit Hinata yang seputih susu terekspos jelas, berikut dadanya yang mulai membukit naik. Belahan dada yang baru nampak sebagian saja itu malah menaikkan libido si pemuda Kyuubi, yang langsung saja membenamkan wajahnya di sana dengan mulut terbuka lebar, siap menyantap apapun yang terhidang di hadapan mata.

"Ahh...!"

Jeritan pelan lepas dari bibir Hinata yang berkilau basah karena cairan enzim, karena sekarang Naruto sudah cukup berani untuk tidak hanya menggunakan bibir dan lidahnya. Giginya pun telah ikut unjuk kebolehan, dia benamkan pada salah satu lereng bukit yang sejak tadi dia jelajahi. Tidak cukup keras untuk menghasilkan luka, tapi sukses dalam memaksa sebuah jeritan keluar dari tenggorokan Hinata.

Ketika tiba-tiba tangan Naruto berubah posisi, kalau tadi hanya diletakkan di pinggul sang gadis maka sekarang sudah menjalar ke belakang pinggangnya dan mulai bekerja pada obi (ikat pinggang kimono) yang membuat pakaian itu tetap melekat di tubuh Hinata saat itulah Hinata mulai merasa takut, walau tanpa alasan jelas tapi pokoknya dia merasa takut. Semakin dekat usaha Naruto untuk melepas obi itu pada keberhasilan, semakin besar pula rasa takut yang menggumpal dalam hatinya. Tepat sebelum simpul terakhir lepas, tanpa sadar mulutnya mengucapkan sebuah kata.

"Jangan..."

Tangan Naruto berhenti seketika, berikut semua hal yang sejak tadi dia lakukan pada tubuh Hinata. Perlahan, kedua tangan itu mundur dari kegiatannya semula, diikuti oleh terangkatnya wajah Naruto dari dada sang gadis. Hinata yang belum sadar pada apa yang tadi dia ucapkan, berhasil menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai dengan bertumpu pada dinding, walaupun kedua kakinya sudah gemetar hebat. Mata biru abu-abu bertemu dengan sepasang bola biru langit, keterkejutan dan kebingungan menguasai Hinata saat melihat kalau di dalam bola mata itu tersimpan rasa bersalah juga sesal.

"Ma-maafkan aku..." sebelum Hinata sempat membuka mulut, Naruto telah mendahuluinya. "Aku tak sadar kalau aku menyakitimu..."

Saat itulah Hinata menyadari apa yang membuat Naruto menghentikan perbuatannya, dan sekarang dialah yang merasa bersalah karena tak sadar telah mengucapkan sesuatu yang membuat Naruto menjadi tak nyaman. Tapi sebelum gadis itu sempat berkata apa-apa untuk memperbaiki situasi, pria pirang di depannya kembali bicara duluan.

"A-aku akan mandi dulu, untuk menenangkan pikiranku..."

Saat Naruto pergi meninggalkan ruangan itu, Hinata hanya mampu diam tak bersuara.

•••

Tanpa peduli pada pakaiannya yang agak berantakan, Hinata duduk di kursi meja makan. Tangannya ada di kepala, merutuki dirinya sendiri dalam diam. Secara tak sadar, dia telah mengatakan sesuatu yang membuat Naruto terluka, walaupun sebenarnya yang pria itu lakukan malah membuatnya bahagia. Tapi sekarang, bagaimana mungkin dia bisa memperbaiki keadaan ini? Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau Naruto jadi membencinya?

"Tidak..." bisik Hinata pelan, matanya basah. "Aku tak mau dia membenciku..."

Ketakutan yang jauh lebih besar dari semua yang pernah dia rasakan, kini perlahan menyesakkan dadanya. Dia menyayangi pria itu dengan sepenuh hatinya, tapi kenapa dia malah menolaknya?! Tidak... dia tak boleh membiarkan ini berlanjut. Dia harus minta maaf!

"Naruto-kun..." bisiknya pelan sambil berdiri dari kursi.

•••

"Sial...!" maki Naruto pelan, memukul dinding keramik kamar mandinya sampai retak. "Kenapa aku ini...?!"

Dia sekarang sangat kesal pada dirinya sendiri, apalagi kalau bukan karena apa yang baru saja dia perbuat. Dia menatap wajahnya sendiri di cermin, tapi raut yang kini basah kuyup karena siraman shower itu malah membuatnya muak, maka dia berucap lagi.

"Sialan kau, Naruto Uzumaki...!" dia mencaci cerminan dirinya itu. "Bagaimana mungkin kau melakukan itu padanya...?!"

Dia telah berjanji untuk melindunginya, dia telah bersumpah tak akan membiarkan diri gadis itu terluka untuk kedua kalinya. Dia peduli padanya, dia sangat sayang padanya... dia begitu mencintainya! Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah mengambil keuntungan dari gadis lugu itu, memperlakukannya seakan dia adalah barang miliknya seorang yang bisa diapakan semau kehendak hati. Dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, mengambil alih kekuasaan atas tindakannya, dan apa hasil dari semua itu? Dia memenuhi ketakutannya yang terbesar: melukai gadis itu dengan tangannya sendiri.

"Brengsek...!" kali ini tidak hanya tangan, dia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Berkali-kali, sampai sebuah cairan merah mengalir dari dahinya. Tapi itu belum cukup untuk memuaskan kemarahan dalam hati Naruto, kemurkaan yang sepenuhnya ditujukan pada dirinya sendiri. "Kau biarkan itu terjadi! Kau menyakitinya, kau hampir saja menodainya, bangsat!"

Rasa dingin yang terasa penuh di seluruh tubuhnya mengingatkan bahwa kali ini, dia lupa memakai handuk kecil yang biasanya dia lilitkan di pinggang sebagai basahan. Tapi dia tak peduli, sedingin apapun shower itu, tak ada air di dunia ini yang bisa memadamkan api amarah yang kini berkobar dalam hatinya. Dia mengangkat kedua telapak tangannya lalu menatapnya setajam mungkin, ingin dia cincang tangan itu atas apa yang mereka perbuat, tapi itu tak mungkin terabaikan oleh mata Hinata dan pasti hanya akan membuat gadis itu sedih lagi. Sebagai ganti, Naruto memberi kedua tangan itu tatapan tertajam yang bisa dia beri, sangat berharap kalau tatapan itu bisa menciptakan luka.

Suara pintu yang bergeser sama sekali tak disadari oleh sang pemuda, yang begitu tenggelam dalam kemarahannya sendiri sampai giginya mengertak tanpa henti. Api yang hampir saja mengakibatkan kebakaran dalam hatinya itu, tiba-tiba padam ketika seseorang menyelipkan dua tangannya melingkari tubuh Naruto, memeluknya dengan erat.

"H-Hinata..." dia berbisik pelan, suaranya telah kehilangan bara yang tadi sempat menyala. Gadis ini, hanya keberadaan gadis inilah yang bisa membuatnya langsung tenang seperti ini.

"Naruto-kun..." suara itu begitu menenangkan bagai melodi yang dimainkan malaikat, dua tangan yang memeluk tubuh Naruto terasa jauh lebih lembut bahkan dari kain sutra termahal sekalipun. Gadis itu memutar tubuh Naruto pelan agar menghadap dirinya, sebelum mengucapkan satu kata yang menjadi awal semua ini. "Hentikan ini..."

STOP! Hamba tahu apa yang ada di pikiran kalian. Pasti semacam ini, 'Apaan nih, seharusnya ini kan di-rate M?!", atau sekitar situlah, tapi hamba punya alasan khusus melakukan ini. Chapter awal ini hanya merupakan pembuka, awal dari semua chapter lainnya. Nah, kalau chapter awal saja sudah seperti ini, kalian bisa mengira-ngira sendiri kan bagaimana lanjutannya? Ya, semuanya akan rate M, dengan scene-scene lemon khusus bikinan seorang Galerians!

Merasa haus dan mencari lemonade yang segar dan enak? Maka reviewlah, hamba telah menyiapkan chapter kedua dan akan langsung diposting jika hamba rasa reviewnya sudah mencukupi!!