"Now, it's time for me to collect my master..."

.

.

.

"Blurth, flurt, windoobi... Blurth, flurt, windoobi..."

Langkah-langkah yang dihasilkan oleh sepatu bersol khusus yang hanya dimiliki oleh para pasukan bersenjata khusus terdengar mendekari sumber suara yang menyanyikan lagu tanpa jiwa itu. Yakushi Kabuto—sipir yang ditugaskan untuk mengawasi Uchiha Sasuke sang pembunuh buronan yang diincar oleh Interpol—mendekatkan wajahnya dan mengintip lewat jeruji yang dibingkai oleh persegi panjang dari kayu tebal di atas pintu. Matanya menyipit saat menatap sosok Sasuke yang masih berada dalam posisi yang sama dengan hari-hari sebelumnya, menyanyikan lagu yang sama. Tanpa jiwa. Tanpa emosi.

"Blurth, flurt, windoobi... Blurth, flurt, windoobi..."

"Masih menyanyikan lagu itu, heh?" tanya Kabuto dengan nada sinis, seolah-olah lagu yang dinyanyikan oleh Sasuke adalah lagu yang hina.

Sasuke terdiam sesaat, tidak meneruskan nyanyiannya. Alih-alih melanjutkan menyanyi, pria bermodel rambut raven itu malah menatap Kabuto lurus-lurus dengan kedua mata onyx-nya yang kelam.

"Lagu itu..." Sasuke kembali menyandarkan kepalanya pada dinding kelabu kusam di balik ruang tawanannya, "... adalah lagu yang sering dinyanyikan oleh mendiang ibu dan kakak laki-lakiku..."

.

.

.

CHERRY BLOSSOM

-season 2-

"It's a Final Countdown"

Disclaimer : Masashi Kishimoto

mysticasaiga™

© 2010

.

.

.

-Don't Like Don't Read-

-Need No Flame Reviews-

.

.

.

Lyon, Prancis

Hanya ada sepuluh orang di dalam ruangan itu, termasuk Namikaze Minato—sang President of Excecutive Committee, Hatake Kakashi—salah satu Vice President of Excecutive Committee yang juga merupakan tangan kanan Minato, dan Shizune—satu-satunya wanita dalam delegasi Excecutive Committee. Tujuh orang lainnya adalah Deidara, Hoshigaki Kisame, Zetsu, Shiranui Genma, Morino Ibiki, Yamanaka Inoichi, dan Kakuzu. Kisame adalah salah seorang dari tiga vice president, sama seperti Kakashi, sedangkan vice president lainnya—Orochimaru—beserta dua orang anggota komite terkena serangan beberapa hari yang lalu, tepat di ruang 609.

Minato mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan—menatap satu-persatu wajah kaku para koleganya. Sejak kejadian di ruangan 609 yang diketahui oleh Kakashi dan Shizune beberapa hari yang lalu, suasana tidak nyaman terus bercokol di dalam atmosfer ruangan itu. Walaupun mereka telah berhasil membekuk Uchiha Sasuke—sang pengendali boneka porselen pembunuh Cherry Blossom, mereka tidak bisa menahan hawa mencekam yang tengah berputar-putar di sekeliling mereka.

Interpol tengah diincar.

"Dua kali ruang 609 dipasangi penyadap." Minato memulai rapat serius itu, menghapus semua kebisuan yang semula menggema di ruangan itu. "Yang pertama adalah saat kita akan memulai Operasi Docka dengan Stockholm sebagai kedoknya. Dan yang kedua adalah... dua minggu lalu, saat kita akan kembali menggelar pengejaran para boneka pembunuh itu."

Kebisuan masih tampak nyata di antara para anggota komite eksekutif Interpol. Wajah-wajah stoic itu masih berada dalam tingkat emosi yang sama, datar dan tidak bergejolak.

"Dari dua peristiwa itu, aku dapat menyimpulkan." Suara Minato yang dalam kembali menyeruak di antara kebekuan itu. Sorot mata sapphire-nya tak dapat ditebak. "Bahwa pelaku dari kedua penyadapan itu adalah orang yang sama, karena ia sama-sama mengincar informasi mengenai operasi pemberantasan pembunuh yang menggunakan boneka porselen sebagai partnernya. Dan tentu saja orang itu sendiri adalah seorang pembunuh yang mempunyai partner sebuah boneka porselen..."

"Maksudmu," —Kakashi menyela— "Uchiha Sasuke?"

"Standing ovation." Minato bertepuk tangan. "Bravo, my brother. Ternyata kau bisa menebak alur pikiranku."

Raut-raut wajah di ruangan itu mulai berubah sedikit demi sedikit. Ada ekspresi gelisah, gusar, kaget, marah, dan berbagai macam emosi yang teraduk menjadi air muka seseorang. Posisi duduk para delegasi pun berubah tanpa diminta.

"Si penyadap itu... Uchiha Sasuke, un?" Deidara menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang sebagian tertutup oleh poni pirang panjang yang menjuntai menampilkan ekspresi kaget yang amat sangat. Tampaknya ia tidak percaya akan kenyataan yang didengarnya. "Bukankah... keluarga Uchiha sudah musnah sepuluh tahun yang lalu, un?"

Semua data-data mengenai penduduk sipil tercatat dengan rapi dalam database Oracle terbesar di dunia milik Interpol, termasuk data hancurnya keluarga Uchiha sepuluh tahun yang lalu. Hanya beberapa orang yang tahu bahwa tidak semua keluarga Uchiha tewas saat itu—di antaranya Minato dan Kakashi. Namun mereka berdua menyimpan rapat-rapat kenyataan bahwa masih tersisa seorang Uchiha lagi di dunia ini guna menghindarkan bocah berusia dua belas tahun itu dari Danzou. Apa boleh buat, pria paro baya itu telah mengetahui keberadaan Sasuke, dan malah memanfaatkannya.

"Bukan musnah," ujar Minato sambil menatap tajam pada Deidara yang langsung berjengit. "Tapi seluruh keluarga Uchiha—terkecuali Uchiha Sasuke—dibantai oleh Danzou."

Terdengar dengungan gumaman-gumaman dari para delegasi. Masing-masing mulai membicarakan Danzou dalam versinya masing-masing. Kejadiannya sama persis seperti saat membicarakan re-Operasi Docka dua minggu yang lalu—saat membahas mengenai Cherry Blossom. Hanya saja, kali ini sang objek yang menjadi topik pembicaraan sudah almarhum, bukannya sebuah boneka porselen.

"Hey..." Plok. Plok. Minato bertepuk tangan beberapa kali, meminta semua peserta rapat kembali memusatkan perhatian pada topik pembicaraan—intruder di ruang 609—dan bukannya pada Danzou.

Ruangan rapat kembali hening.

"Ehm..." Pria berambut pirang itu berdeham sebelum kembali berbicara. "Uchiha Sasuke berhasil mendapatkan info mengenai Operasi Docka II, namun info yang ia dapatkan tidaklah utuh. Kakashi berhasil menemukan alat penyadap micro miliknya di awal penyadapan, sehingga ia tidak bisa mendengar secara lengkap mengenai re-Operasi Docka, sehingga pada akhirnya ia berhasil tertangkap."

"Dalam nama Dewa Jashin, segala yang jahat akan mendapatkan ganjaran serupa..." gumam Hidan sambil menautkan kedua tangannya dengan khusyuk.

Minato mendelik kepada bawahannya itu.

"Tentu saja Sasuke tahu bahwa ia gagal menyadap rapat re-Operasi Docka, karena itu ia bersiap untuk memasang penyadap ketiga. Sialnya, pada saat itu ia bertemu dengan Orochimaru dan dua delegasi lainnya yang kebetulan datang lebih awal ke ruangan itu..."

"—dan Sasuke langsung menyerang mereka bertiga hingga luka-luka parah?" tanya Shizune ngeri sambil menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya.

"Tepat." Minato mengangguk. "Dan meninggalkan mereka bertiga sekarat di ruangan ini. Tepat saat kau dan Kakashi akan masuk."

"Tanpa pendingin ruangan." Zetsu yang sedari tadi terdiam ikut menyumbang suara.

"Mengirit tagihan listrik bagi Interpol," celetuk Kakuzu.

Lagi-lagi Minato melemparkan deathglare, membuat Kakuzu terdiam.

"Sir..." Suara bass Kakashi menyela deathglare Minato, membuat saudara angkatnya itu berpaling ke arahnya.

"Katakan saja," balas Minato, kembali menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki.

"Sasuke bukan datang hanya sekali setelah kasus penyadapan itu." Kakashi mengacungkan dua buah jarinya. "Ia datang dua kali."

"APA?"

Dalam sekejap, ruangan itu kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan penasaran dari para anggota Excecutive Committee. Bak wartawan yang haus akan berita, mereka semua mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benak mereka. Hanya Minato—sang pemimpin—yang dengan santai mengamati mereka semua melalui mata sapphire-nya yang berkilau. Bibirnya menyunggingkan senyuman aneh. Jenis senyuman yang tidak menggambarkan suasana hati si penyungging senyum itu sendiri.

"Yang pertama adalah saat ia menyamar menjadi cleaning service, ia menyapaku." Kakashi menurunkan salah satu jarinya. "Dan yang kedua, saat ia membuat tiga rekan kita berakhir di ruang ICU khusus."

"Ah..." Minato sedikit memiringkan kepalanya. "Eksekusi akan dilaksanakan dua hari lagi—eksekusi Uchiha Sasuke. Apakah kita perlu memindahkannya ke Lyon?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu, tentu saja. Karena semua orang tahu, bahwa eksekusi sang pencabut nyawa di Inggris harus dilakukan di Inggris sendiri, agar para penduduk Britain tahu bahwa salah satu di antara mereka adalah psikopat keji yang berotak jenius.

.

.

.

I hate being entrust you, master...

.

.

.

Langkah demi langkah terus terdengar berderap. Seirama. Tidak berkesan terburu-buru, namun jelas ada yang dikejar olehnya. Rintik hujan yang menari di sekitarnya tak ia hiraukan. Hanya ada satu yang terpatri di otak buatannya: selamatkan Sasuke.

Entah berapa lama waktu telah berlalu sejak Sakura mulai berlari—berlari untuk mencapai Sasuke. Ia adalah boneka—boneka pembunuh yang dikendalikan oleh sebuah microchip khusus yang membuatnya bertingkah dan berpikir bagai manusia. Dan sebagai boneka, bisa dibilang staminanya tidak terbatas. Berlari menembus lereng-lereng bukit dan hutan rimba sama sekali tidak menguras energinya. Adapun, gaun lolita merahnya terkoyak di beberapa bagian, dan rambut sugarplum-nya menjadi kusut dan kehilangan bentuk aslinya. Namun, ia sama sekali tidak peduli. Untuk apa memiliki penampilan yang rapi dan memukau bila ia sama sekali tidak memiliki tuan?

Yang jelas sama sekali tidak ada gunanya.

Penjara khusus bagi kriminal tingkat Y. Di sanalah Sasuke ditahan—menurut catatan harian Danzou yang dibaca oleh Sakura sesaat sebelum boneka porselen itu meninggalkan rumah Danzou.

Dan ke sanalah tujuan Sakura saat ini.

Tajuk hutan yang terdiri dari pucuk-pucuk pohon cemara tampak menipis, kembali memperlihatkan angkasa yang sewarna dengan batu safir paling gelap. Goresan kuning pudar rembulan tampak berayun di salah satu sisi langit. Bintang-bintang nyaris tak tampak. Hening. Selain derik jangkrik yang bersahut-sahutan, satu-satunya suara yang nyata dalam hutan itu adalah suara langkah kakinya yang terus berlari. Berkali-kali sepasang sepatu lolita merah itu beradu dengan permukaan tanah, menyisakan kikisan pada sol sepatunya yang mulai terkelupas.

Sakura terus berlari.

Tak peduli bahwa ia—sang makhluk abadi—harus berpacu dengan waktu.

Tak peduli bahwa setiap detik yang bergulir tidak akan pernah bisa diputar balik ke waktu sebelumnya.

Tak peduli, karena ia harus menyelamatkan tuannya—Uchiha Sasuke—dari kematian yang akan menjemputnya—menurut catatan Danzou—besok siang.

Tap!

Langkahnya berhenti dalam satu ketukan. Suara-suara yang mengiringi derikan jangkrik pun menghilang.

Sesosok tubuh itu berdiri dengan anggun. Gaun tercabik. Rambut yang mengembang dengan liar. Sepatu yang mulai berlubang.

Pandangan mata emerald-nya terpusat pada suatu titik: puncak atap kelabu sebuah kastil yang adalah tempat ditawannya Uchiha Sasuke.

Penjara khusus kriminal tingkat Y.

.

.

.

Suasana sunyi tak jauh di luar sana tak jauh berbeda dengan kesunyian di restricted area yang merupakan bagian tempat Sasuke dipenjara. Sejak beberapa waktu yang lalu, satu-satunya suara yang bergema di ruangan itu hanyalah bunyi detik jarum jam yang berbunyi pelan.

Baik Kabuto—sang sipir, maupun Sasuke—sang tawanan, sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Sasuke sudah tidak menyanyi-nyanyikan lagu anehnya, terutama sejak mengatakan bahwa lagu itu adalah lagu yang seringkali dinyanyikan oleh mendiang ibu dan kakak laki-lakinya.

Di sisi lain, Kabuto memang diwajibkan untuk berbicara banyak dengan tawanannya. Rasa penasaran yang dipendamnya kian menjadi-jadi, namun sumpahnya saat menjadi polisi membuatnya bungkam. Ditelan bulat-bulat olehnya keinginan untuk bertanya lebih jauh mengenai arti lagu itu bagi Sasuke.

Yah, itu adalah urusan pribadi. Namun, percakapan umum sama sekali tidak tersangkut-paut dengan sumpahnya, bukan?

"Kau tahu bahwa eksekusi akan dilaksanakan besok siang?"

Hening. Tidak ada jawaban.

"Hei..." Kabuto yang merasa curiga berjalan mendekati sel Sasuke. Pria berkacamata bulat itu berhenti di depan pintu, kemudian melongokkan kepalanya ke arah jeruji yang dipasang membujur di lubang persegi yang berada di atas pintu ruang tahanan Sasuke.

Yang tertangkap oleh mata pria itu adalah sosok Sasuke yang masih berada dalam posisi yang sama—terduduk dengan kedua lutut tertekuk dan lengan lunglai, serta pandangan mata yang menerawang. Dalam hati, Kabuto bertanya-tanya apakah Sasuke sama sekali tidak merasa lelah dengan posisinya itu.

"Tuan Uchiha...?" Sekali lagi Kabuto mencoba memanggil nama Sasuke.

"... Hn." Lama kemudian baru Sasuke menjawab—tanpa menoleh ke arah Kabuto yang dibatasi oleh teralis besi pejal.

"Kau tidak takut pada kematian?" tanya Kabuto dengan nada datar.

"Hn."

Kening pria berambut perak itu mengerut samar. "Iya atau tidak?"

"Tidak."

"... mengapa?"

"Karena Cherry Blossom sudah tidak memercayaiku lagi. Selain itu, aku sudah tidak memiliki sanak keluarga di sini. Untuk apa aku hidup?"

Kabuto terdiam.

.

.

.

Untuk kesekiankalinya selama berada dalam ruangan sempit nan pengap yang berjeruji itu, Sasuke menghela nafas dengan sedih. Pandangan matanya nanar dan tidak fokus. Terkadang, bibir tipisnya menyenandungkan melodi aneh dengan nada rendah—nyaris tak terdengar oleh siapapun juga.

Sangat bukan Uchiha Sasuke.

Uchiha Sasuke adalah seorang pria yang sehari-harinya bersikap dingin dan tampak terpelajar. Waktunya ia habiskan untuk membaca buku-buku tebal yang membuat para pembacanya berpikir delapan belas kali sebelum mulai membalik halaman sampulnya. Minuman yang dikonsumsinya adalah kopi—Sasuke adalah seorang pecandu kafein. Ia tidak pernah tidur. Seorang Uchiha Sasuke adalah seorang yang jenius, mengingat ia memiliki garis keturunan Uchiha. Selain itu, di mana seorang Uchiha Sasuke berada, biasanya terdapatlah sebuah boneka porselen dengan mata jade dan rambut ikal pale pink di sekitarnya.

Itulah Uchiha Sasuke.

Tapi kini... siapakah sebenarnya jiwa yang bersemayam dalam tubuh Uchiha muda ini? Lucifer? Ah, yang pasti bukan Hitler, karena Hitler adalah orang yang ambisius dan... berjiwa. Sedangkan Sasuke saat ini? Bila dadanya tidak naik-turun pertanda kedua paru-parunya masih bekerja, semua orang pasti menyangka bahwa ia sudah mati. Atau minimal sedang koma dengan mata terbuka.

Restricted area itu membisu. Sepi. Terlampau sepi. Namun, Sasuke sama sekali tidak memedulikan keadaan di sekitarnya. Bibirnya masih bergerak-gerak, seolah menyanyi tanpa suara. Pandangan matanya semakin kosong dan hampa.

BRAK!

Terdengar suara benda bertabrakan di luar sana, cukup keras hingga terdengar ke tempat tahanan Sasuke yang terpencil. Pastilah benturan itu amat menyakitkan—bila yang bertumbukkan adalah manusia dan benda yang keras dan bersudut.

Dor! Dor! Dor!

"UWAAAAAAGGGHHHHH...!"

Suara letusan dan teriakan kesakitan yang susul-menyusul terdengar hingga ke telinga Sasuke. Hei, sepertinya ada kekacauan di luar sana. Kepala Uchiha Sasuke bergeser sedikit—kini miring beberapa derajat dari posisinya semula.

Dor! BUGH!

Sepertinya memang terjadi sesuatu di sana. Kening Sasuke berkernyit samar, bingung—ekspresi pertama yang ditunjukkan oleh pria itu setelah beberapa hari.

Ada apa ini?

.

.

.

Hey, I've arrived!

Just sit there and wait me to pick you up

.

.

.

Pandangannya menajam. Iris emerald-nya memancarkan kebencian dan kemarahan yang memuncak. Di tangan mungilnya tergenggam sepucuk pistol dengan laras terisi peluru. Sebelah tangan lagi menggenggam pisau yang berkilat tajam.

DOR!

"AAAAAARRRRRGGGGGGHHHH...!"

Untuk kesekian kalinya ia melepaskan peluru dari moncong pistolnya. Tubuh berseragam yang semula menghalangi area pergerakannya kini tergeletak tak bernyawa setelah berteriak kesakitan. Puluhan tubuh telah ia buat tak bernyawa, seperti biasa. Hanya ada satu hal yang berbeda dari kebiasaannya menghilangkan nyawa manusia selama ini—kali ini ia menggunakan pistol.

Dan ternyata, membunuh dengan menggunakan pistol sama sekali tidak semenyenangkan membunuh dengan menggunakan pisau. Ia tidak bisa menyalurkan kreasi berdarahnya pada tubuh-tubuh korban, dan mereka biasanya akan mengerang kesakitan akibat perlakuan Sakura.

Namun, Sakura rela sama sekali tidak bisa merasakan euforia membunuh dengan pisau—dengan setiap mililiter darah yang menyembur keluar dan tubuh yang tercabik-cabik—asalkan kali ini ia bisa bertemu dengan Sasuke. Menyelamatkannya. Meminta maaf. Banyak sekali hal yang ingin Sakura lakukan terhadap Sasuke apabila boneka itu berhasil menyelamatkannya.

Kini, di hadapannya berdiri sesosok pria yang lumayan jangkung. Pria itu tidaklah berotot besar layaknya binaragawan, namun sosoknya cukup kekar. Samar-samar, cahaya jatuh menimpa rambutnya yang berwarna keperakan sepanjang tengkuk yang diikat agar terkesan rapi. Kacamata yang dikenakannya melorot hingga ke tengah hidung.

"Good night, Cherry Blossom..." sapa pria itu sambil tersenyum aneh, ia mendorong kacamatanya naik ke atas hidung dengan pelan. Sakura menyipitkan matanya untuk menangkap siluet tubuh pria itu lebih jelas dalam keremangan malam, dan saat ia bisa melihat pria berambut perak itu dengan lebih jelas, kening porselennya langsung berkerut tanda tak suka.

"Di mana Sasuke?" tanya Sakura dengan nada dingin. Pria itu terkekeh, seolah-olah hal yang ditanyakan Sakura adalah hal yang lucu.

Ia—pria berambut kuncir di tengkuk itu—merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Tidak sopan menanyakan sesuatu dengan nada dingin seperti itu kepada orang yang belum dikenal."

Sakura menatapnya tanpa minat. "Kau sudah tahu namaku."

Pria itu tertawa, tawanya datar dan seolah mengejek. "Tetapi kau tidak tahu namaku."

"Aku tidak perlu tahu," tukas Sakura. "Sekarang jawab aku, DI MANA SASUKE?"

"Tanyakan pada rumput yang bergoyang," tawanya lagi. "Bila kau bisa membuatku sekarat, akan kuizinkan kau masuk ke tempatnya." Pria itu mengerling ke arah lorong panjang yang tak terlihat ujungnya yang berada di belakangnya.

"Berisik."

Detik itu juga Sakura langsung melompat dan menerjang tubuh pria itu hingga ia terjengkang ke belakang. Dengan pisau di tangan kirinya, ia mencabik-cabik bagian dada si rambut perak.

"AAAAAAARRRRRGGGGHHHH...!" teriak pria itu, terengah-engah.

Sakura mengamati luka yang baru saja dibuatnya. Tampak sepasang paru-paru yang kembang-kempis di sana, terhalang oleh kerangka-kerangka tulang rusuk yang sedang digores-goresnya.

"Kau punya paru-paru yang sehat." Sakura menggerakan pisaunya di atas pleura—selaput paru-paru, tidak benar-benar menggores, hanya sekedar menggesekkan permukaan pisaunya. "Siapa namamu?"

Seringai mengejek muncul di wajah pria berkacamata itu. Nafasnya terengah-engah. "Yakushi Kabuto."

"Mmmm..."

Dor!

Pistol itu meletus. Peluru perak yang sebelumnya beralokasi di dalam laras kini bersarang di dalam tempurung lutut Kabuto.

"Aaaaaaaakkkkkkkhhhhh...!" jerit Kabuto lagi. Darah menyembur dari lututnya yang terkena tembakan.

"Berisik."

Dengan sebelah kakinya, Sakura menendang kacamata Kabuto hingga terlepas dan pecah berantakan di atas lantai, entah di sebelah mana. Wajah pria itu memucat. Ia mengepalkan tangannya, berusaha untuk memukul Sakura, namun tinjunya hanya menampar udara kosong.

Dengan gerakan ringan, Sakura melompat mundur dari tubuh Kabuto. Diarahkannya moncong pistol kepada kedua lutut Kabuto.

"Bernyanyilah..."

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Letusan bertubi-tubi terdengar saat peluru itu melayang ke kedua lutut Kabuto dalam hitungan sepersekian detik. Darah bermuncratan ke mana-mana, kedua lutut itu hancur.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!"

Sakura mengernyit lagi. Setitik darah menodai gaunnya yang kusut. Dengan langkah-langkah ringan, ia mendekati Kabuto, kemudian membungkuk. Ia memosisikan tangannya di bawah leher Kabuto, membuat pria itu sedikit mendongak ke arahnya. Ditekankannya ujung pistol itu ke rahang kiri Kabuto—memaksa pria itu membuka mulutnya.

Kabuto menarik nafas dengan wajah tegang.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

"Aaaaaakkkkhhh...! Uh-UHUK!"

Darah segar kembali termuntahkan dari mulut Kabuto. Pria itu nyaris tak sadarkan diri setelah beberapa butir peluru menembus bagian belakang dan langit-langit mulutnya.

Emerald itu dengan dingin menyapu tubuh korbannya.

"Good night and have a nice death..."

JLEB JLEB JLEB JLEB JLEB JLEB

Berkali-kali pisau di tangan kirinya menembus tulang rusuk-tulang rusuk Kabuto, membuat osteon itu remuk. Ujung-ujung remukannya yang lancip menembus jantung Kabuto yang berdenyut lemah, sehingga organ pemompa darah itu pecah. Darah kembali menyembur-nyembur—kali ini tanpa teriakan apapun. Kabuto sudah meninggal.

Ia mundur satu langkah.

Hanya sedikit lagi hingga ia bisa menjumpai Sasuke.

Mata jade-nya menatap lurus lorong tak berujung di hadapannya. Entah mengapa ia yakin bahwa di ujung lorong itu terdapat ruangan tempat Sasuke dipenjara.

Ia mulai melangkah menyusuri lorong itu. Gelap. Satu-satunya sumber cahaya adalah lilin yang terletak dalam sebuah ceruk dinding. Hanya sebatang lilin, untuk menerangi lorong yang gelap.

Setapak demi setapak, mendekati ujung lorong itu.

Dan lorong yang panjang itu diakhiri oleh sebuah pintu yang tersusun dari bilah-bilah kayu—tipikal pintu model kuno. Pada bagian atasnya terdapat lubang berbentuk persegi yang diisi oleh jeruji besi. Restricted Area tertulis pada papan kecil di samping pintu tersebut, dan nama Uchiha Sasuke tertulis di bawahnya.

Sakura menahan nafas.

.

.

.

Hening.

Berulang kali Uchiha Sasuke menajamkan telinganya untuk mendengarkan suara-suara di luar sana. Tetapi yang ditangkap oleh gendang telinganya hanyalah kekosongan. Ke mana bunyi letusan pistol yang tadi?—tentu saja Sasuke tahu bahwa suara-suara tadi adalah suara pistol. Juga suara hantaman, teriakan, benturan...

Terlalu sepi.

Instingnya sebagai pembunuh kembali bangkit. Walaupun secara mental ia belum siap, namun ia harus memperjuangkan kehidupannya. Yeah, ia harus berjuang agar Sakura tidak membencinya.

Sasuke bangun dari posisi duduknya, melemaskan otot-otot kakinya yang kaku karena terlalu lama duduk di lantai dalam posisi yang sama. Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir bergerak...

"Tuan?"

Pria itu tersentak ketika mendengar suara yang dikenalnya. Nada bening dengan intonasi memukau yang sudah lama tak ia dengar. Mungkinkah itu...

"Sakura?" tanya Sasuke dengan nada tidak percaya. Benarkah suara yang barusan menyapanya itu adalah suara Sakura?

"Hn." Terdengar gumaman dari arah luar. "Kau di dalam?"

"Hn," balas Sasuke, masih setengah terkejut.

"Mundurlah hingga punggungmu menyentuh tembok terjauh dari pintu." Perintah itu halus, namun bernada bahwa perkataan tersebut tidak dapat ditawar lagi. Sasuke memutuskan untuk mundur hingga punggungnya merapat ke tembok, beberapa meter dari pintu masuk.

"Sudah."

Hening.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

BRAK!

Sebuah hantaman keras menyebabkan pintu kayu yang telah dihujani oleh peluru itu terjeblak, bagian tengahnya patah dan terdorong hingga membentur permukaan lantai. Debu-debu yang berada di sekitar pintu itu beterbangan, sehingga membentuk kepulan asap yang menyesakkan sistem pernafasan.

Siluet tubuh mungil setinggi dua kaki lebih tampak di baliknya, membuat Sasuke bernafas lega. Setelah kepulan asap itu menghilang, Sasuke bisa melihat Sakura dengan lebih jelas—dalam keremangan.

"Hai," sapa Sakura sambil melangkah masuk, "Tuan... Maaf membuatmu lama menunggu."

Sasuke—secara tanpa sadar—tersenyum. Tipis, namun tidak berkesan sinis seperti biasanya. Senyuman seolah-olah pada akhirnya ia menemukan harta berharganya.

"Kau... tidak gila 'kan, Tuan?" tanya Sakura sambil mengernyitkan alis. Boneka berambut pink itu maju mendekati Sasuke. "Maafkan aku," bisiknya.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya. "Untuk hal apa?"

Kepala Sakura tertunduk. "Untuk tidak mempercayaimu. Untuk meninggalkanmu. Untuk... segala hal..."

"Hn."

Tangan Sakura yang mungil dan dingin terulur untuk menyentuh lengan Sasuke. "Mmm... ayo kita pergi," ajaknya sembari menarik Sasuke ke arah pintu. Mereka berdua keluar dari ruang penahanan Sasuke. "Aku ingin melakukan sesuatu untuk tempat ini."

Sasuke memandang ke sekelilingnya—berbelas-belas mayat berlumuran darah tergeletak tak bernyawa. Salah satu di antaranya adalah Yakushi Kabuto, mantan sipirnya.

"Kau gila," cetus Sasuke sambil mengamati bekas luka pada tubuh Kabuto.

"Kau lebih gila," balas Sakura—setengah menyeringai. "Ayo kita pergi. Kita hanya punya waktu enam puluh detik untuk angkat kaki dari sini."

"Apa yang kau—" Tanpa menunggu selesainya kalimat yang sedang diucapkan Sasuke, Sakura langsung menariknya untuk berjalan lebih cepat. Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong labirin, hingga akhirnya keluar dari pintu utama yang sudah sepi. Tampak sosok empat orang penjaga yang terkapar dengan lubang bundar di beberapa bagian tubuhnya. Mereka semua tak bernafas.

Dua puluh detik kemudian, mereka sudah berada di dalam hutan, nyaris tersembunyi oleh tajuk-tajuk cemara yang kian menebal. Sinar bulan tampak samar di tengah langit, mengiringi langkah-langkah mereka berdua.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Sasuke, akhirnya bisa menyelesaikan kalimatnya. Sakura menoleh ke arahnya. Tangannya menunjuk ke belakang, ke arah langit.

DHAAAAARRR...!

Pertanyaan Sasuke dijawab oleh suara ledakan keras disusul oleh awan bergulung berwarna jingga tua.

.

.

.

Kantor Polisi Inggris Diserang Teroris

Bangunan Meledak Beserta 30 Jenazah

The Sun—Kantor polisi Inggris cabang London utara diserang oleh teroris kemarin malam. Gedung berupa kastil yang semula berisikan kurang-lebih tiga puluh orang polisi berseragam khusus kini hanyalah berupa puing-puing kecil dengan berpuluh mayat hangus dan tercabik-cabik.

Tidak ada saksi mata dalam kasus ini, namun, salah seorang tahanan dengan inisial US, yang didakwa menjadi pembunuh yang akan dieksekusi siang ini, kabur tanpa jejak. Diduga, rekan dari US membantunya kabur dari penjara, kemudian meledakkan kantor polisi dengan bom molotov berdaya hancur tinggi. Dalam hal ini, sang rekan pastilah Cherry Blossom, pembunuh bayaran nomor satu yang sempat menghilang selama beberapa hari.

Menurut autopsi yang dilakukan oleh Interpol, ketiga puluh jenazah itu telah terlebih dahulu meninggal sebelum tempat tersebut meledak. Namikaze Minato—President of Excecutive Committee Interpol menduga bahwa buronnya US berkaitan erat dengan peledakan, dan juga menghilangnya Cherry Blossom untuk kedua kalinya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian mengenai pelaku peledakan, ke mana lepasnya US, dan ke mana menghilangnya Cherry Blossom. (UN)

.

.

.

Warna biru muda samar tampak tergradasi dengan indah, melapisi lautan angkasa yang terbentang luas. Gumpalan-gumpalan kapas putih tampak bergantung dengan nyaman di pusat torsi itu. Semburat-semburat keemasan sang surya menerabas pengembunan air itu, memantulkan partikel-partikel berkilau yang gemerlapan.

Sebuah pesawat berwarna putih keperakan tampak melaju dengan kecepatan tinggi, menembus kapas alami itu—melayang dengan ketinggian ribuan kaki di atas permukaan laut. Pesawat Boeing 747—maskapai penerbangan milik swasta yang cukup sering digunakan sebagai media transportasi bagi sejumlah besar umat yang ingin bepergian. Dalam tubuh rigit pesawat itulah Sasuke dan Sakura berada.

Dalam ruangan yang hanya berisikan kurang-lebih dua puluh orang, tampaklah seorang pria berkulit pucat dan berambut raven biru tua yang sedang duduk di atas kursi yang berada tepat di sisi lorong yang kerap kali dilalui oleh orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Pria itu bersandar dengan nyaman pada punggung kursinya, sementara di sisi kirinya, bersandar pada lengan kekarnya sesosok tubuh mungil dengan kulit seputih pualam yang berkilauan dengan rambut sewarna cotton candy yang panjang mengikal dan dipita dua oleh pita sutera berwarna merah cerah. Kedua matanya tertutup—seolah-olah tertidur. Tubuh mungilnya tertutup oleh selembar selimut berwarna oranye tua—selimut yang dibagikan di dalam pesawat.

Sepasang mata onyx itu menatap sosok kesayangannya. Sudut-sudut bibirnya terangkat, menciptakan lengkung senyuman tipis andalannya.

"Hn." Ia bergumam pelan, memandangi wajah bulat yang polos itu. "Aku benar-benar berterima kasih padamu, ma Cherie."

Kemudian, pandangan kedua iris sekelam obsidian itu beralih pada jendela semi-square yang berada di sisi kiri bonekanya—menatap visualisasi birunya langit yang didekorasi oleh awan-awan.

"Kau membebaskanku dari penjara itu—yeah, seorang diri. Hn—kau hebat."

"Ya, walaupun kau pasti sempat yakin bahwa aku melaporkan kejahatan kita kepada polisi. Tidak mungkin. Aku tidak sebodoh itu sampai meu menjebloskan diriku ke dalam penjara."

Pandangan mata itu beralih lagi, menelusuri lekuk wajah porselen yang sedang terlelap itu.

"Hn. Tetapi aku memang menyadap suara ruang rapat Interpol—kau ingat ketika aku mendengarkan sesuatu dari earphone? Itu adalah sebagian kecil dari rekaman yang berhasil kusadap. Hn. Guna melindungimu dari re-Operasi Docka. Aku tidak mau kau—hei, bicara apa aku ini?" Pria itu menggaruk-garuk rambut emo-nya yang tidak gatal.

Dengan tangan kanannya, pria itu merapatkan selimut oranye ke tubuh boneka di sebelahnya.

"Hn. Bicara banyak. Menggaruk-garuk kepala. Merapatkan selimut. Memberikan hadiah. Yeah, sangat bukan aku." Pria itu sedikit mengubah posisi duduknya. Sejumput rambut bubble gum tersibak dari posisinya semula. Dengan tangan kanannya yang bebas, pria itu merapikan rambut yang menjuntai itu.

"Ya. Kita sedang dalam perjalanan menuju Alpen, Swiss—tempat yang kau inginkan untuk berlibur." Sekali lagi, pria itu melemparkan pandangannya ke luar jendela, menangkap gelombang sinar matahari yang menerobos masuk.

Seorang pramugari berambut dan bermata scarlet mendekatinya dan menyunggingkan senyuman ramah. "Can I help you with something, Sir?"

Pria itu menoleh dan menatap wanita itu—keningnya berkernyit samar, seolah-olah mengingat sesuatu. "Hn, no thanks."

Pramugari itu mengangguk dan berlalu dari tempat itu, sementara pria itu mengingat-ingat wajah-wajah yang dikenalnya. Ia merasa pernah bertemu dengan wanita itu, dan pertemuan mereka adalah di—ah, sudahlah. Bukan sesuatu yang penting. Kembali ia menoleh ke arah jendela.

"Kita akan berlibur di Swiss..."

"... karena aku ingin kita—kau dan aku—beristirahat dulu... untuk sementara waktu..."

Sebelah mata emerald itu sedikit terbuka—mengintip. Kemudian mata itu kembali terpejam. Tidur dalam damai.

Setelah itu, pria bermata onyx itu kembali menyenandungkan nada-nada lagu asing yang menjadi kenangannya, seolah-olah meninabobokan boneka porselen pink di sampingnya yang turut menikmati melodi vokalisasi itu.

Seolah-olah mereka berdua akan terbawa ke dalam sebuah dunia di mana mereka harus menyembunyikan diri untuk sementara waktu dari Interpol.

Sebuah dunia yang bernama 'realita'.

"Blurth, flurt, windoobi... Blurth, flurt, windoobi..."

.

.

.

"Good night and have a nice death..."

.

.

.

-THE END?-

.

.

.

Special thanks to:

ceruleanday / Queliet Kuro Shiroyama / Kira Desuke / Kuroi Kazehaya / 4ntk4-ch4n / popoChi-moChi / Rievectha Herbst / Kuroneko Hime-un / Hakuya Debora / Andromeda no Rei / Kirara Yuukansa / Putri Hinata Uzumaki / Uchiha Cesa / Frozenoqua / Fyo tomatoimnida / Karerurippe / RainyGlassWorld / kafuyamei vanessa-hime / Chousamori Aozora / Kazuma-big-tomat. L / Kuroichibineko / aya-na rifa'i / Deidei Rinnepero gak login / Hiwatari Nana [via sms]

bila ditotal [11 chapter + 2 side story], jumlah review Cherry Blossom adalah 334! Hahaha XD [ga penting]

Juga buat yang masukin Cherry Blossom ke Fave List :

Aiko JoonBe Hachibi-chan / Aira Akachi / Akabara Hikari / akasuna no hataruno teng tong / Andromeda no Rei / Black Card / Bluepink Kyou-kun / Cendy Hoseki / ceruleanday / Chandii Applesnow / Deidei Rinnepero / DeviL's of KunoiChi / dhidi-chan / dhitta / Embun Pagi / Enda-Versailles / Flat-Face'Akai' / Frozenoqua / harunaru chan muach / himurochii / Hiwatari Nana / kafuyamei vanessa-hime / Karerurippe / Kaze or wind / Kazuma-Big-Tomat. L / Kira Desuke / Kirei no Misaki / Kowagame / Kuroi Kazehaya / Kuroichibineko / lady e. marionette / Mayu Azanuma / Momoka Sha / Murasaki Sakura / Nakamura Kumiko-chan / Nanairo Zoacha / Peaphro / Pink Uchiha / popoChi-moChi / Putri Hinata Uzumaki / Queliet Kuro Shiroyama / reiyu chan / Rievectha Herbst / Ryu Takizawa / Sadistic Shinigami Aoi / Scarlet White V. L / Sheryl Cerbreaune / Shiori Yoshimitsu / Soren Lorenzen / Uchiha Cesa / Vytachi W. F / yuuna hihara

Terima kasih banyak saya ucapkan kepada semuanya yang telah mendukung publikasi fic CHERRY BLOSSOM ini. Saya sama sekali tidak menyangka saat lima bulan yang lalu—ketika Cherry Blossom pertama kali di-publish—bahwa akan ada banyak orang yang membaca dan menyukai fic ini, kemudian bersedia memberikan review sepagai apresiasi :)

Ada beberapa orang yang menyebut saya sebagai 'Ratu Gore'—julukan yang sebenarnya bukan untuk saya. Saya bukan ahli gore, saya tahu itu. Kecintaan saya pada adegan-adegan pembunuhan brutal yang berdarah-darah lah yang membuat saya memutuskan untuk membuat serial Cherry Blossom ini. Oleh karena itu, please, jangan menganggap saya sebagai ratu gore, karena pada akhirnya, saya hanyalah manusia biasa yang masih bisa berbuat kesalahan dan jauh dari sesuatu yang bernama 'kesempurnaan'.

Terima kasih karena telah menyukai Cherry Blossom, juga genre M-Gore.

Yap, 2 season dari fic Cherry Blossom telah tamat, [yeah, walaupun saya menulis kata 'THE END' dengan kata 'THE END?'] dan tentu saja kalian semua pasti bertanya-tanya mengapa saya menggunakan tanda tanya di belakang frase tersebut. Hal itu disebabkan karena saya telah membuat sekuel dari Cherry Blossom, yaitu La Noir Violon [prolog di-post hari ini juga], dan juga sebuah side story dari Cherry Blossom, Viekas Poika. Bila berkenan, silakan RnR :)

Saya pernah bilang bahwa pada tanggal 13 saya akan mem-posting 4 chapter sekaligus, La Noir Violon, chapter 12 Cherry Blossom, dan 1 side story Cherry Blossom. Rencananya, satu chapter yang saya batalkan itu adalah side story Cherry Blossom juga. Pasti akan di-post, hanya saja tidak di hari yang sama dengan posting 3 chapter ini.

Dan, well, hari ini adalah tanggal 13, dengan ini saya resmikan SUSPENSE DAY! Oke, saya tidak akan mencantumkan kalimat 'a fic for suspense day' pada La Noir Violon maupun Viekas Poika, namun tamatnya Cherry Blossom ini menandakan SUSPENSE DAY DIMULAI!

Masih banyak hal-hal yang harus direvisi dalam perencanaannya, mungkin tahun depan, namun, semoga tahun ini SD ada pesertanya :)

Maafkan semua kesalahan saya selama membuat CB ini, saya tahu, CB masih memiliki banyaaaaaaakkkk kekurangan yang harus diperbaiki [terutama minimnya adegan sadisme di beberapa chapter—termasuk di chapter ini]. Semoga La Noir Violon dapat diterima dengan baik di kalangan pembaca, dan juga kejelekan fic terminimalisasi.

Dan terima kasih bagi yang menominasikan fic ini di IFA 2010 :)

Akhir kata, terima kasih telah mencintai sosok 'cherry' di sini.

See you in the next death!

Sign,

mysticahime

p.s : karena chapter terakhir, boleh dong minta review yang banyaaaaaaak~ X3

p.p.s : KEEP GORE ALIVE!

p.p.p.s : HAPPY GORE DAY~!

131110