Author's Note: Hello! NekoTama-chan disini! Akhinya aku berkolaborasi dengan Ran menerbitkan fic baru bergenre fantasy, yaitu tentang vampire. Sejujurnya, aku sangat dan sangat awam tentang vampire, jadi fic ini benar-benar menjadi sebuah tantangan tersendiri buatku. Anyway, here is chapter 1 of this fic. Enjoy!
Summary: Empat vampire melanggar peraturan dengan melarikan diri ke dunia manusia demi mendapatkan darah segar yang dimiliki didalam tubuh manusia tersebut. Tapi siapa sangka pelarian tersebut akan membawa mereka kedalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Semua terjadi dikarenakan salah satu vampire pelarian tersebut...telah berani jatuh cinta pada seorang anak manusia.
Disclaimer: NekoTama-chan and Ran Ishibazaki do not own Gakuen Alice nor do own its characters. All of them solely belong to the greatest Higuchi Tachibana. But, the plot is totally ours.
"Jaman dahulu kala—dulu, dulu sekali—terdapat sekelompok manusia bertubuh pendek dari Timur dan sekelompok manusia bertaring dari Barat. Kedua kelompok tersebut saling bertarung satu sama lain.
Tersebutlah sebuah buku, yang dilapisi oleh kulit centaurus, yang terbuat dari serat-serat pohon pinus, yang hanya dapat ditulisi oleh darah unicorn. Dengan bantuan buku itu, kaum manusia bertaring menghabisi musuh-musuhnya.
Sang Raja Bijaksana dari kelompok manusia bertubuh pendek mengutus seorang wanita berdarah suci yang memiliki tiga titik cahaya di punggung tangan kanannya untuk menyegel buku keramat itu.
Dengan tersegelnya buku itu, kaum manusia bertubuh pendek memukul mundur kaum manusia bertaring dan mengasingkan mereka ke sebuah tempat terpencil di ujung utara. Takkan ada satu pun manusia bertaring yang dapat keluar dari tempat itu…"
The Book of Vampire Prophecy
by NekoTama-chan & Ran Ishibazaki
Chapter 1: Vampire of The Forest
Tiga orang lelaki dan seorang wanita berbalut hitam-hitam itu tampak berlari. Berlari dengan kecepatan yang tak kuasa diterima akal sehat masa kini. Nyaris tak meninggalkan jejak di tanah. Burung-burung hantu yang bersahut-sahutan dan jangkrik-jangkrik yang berderik harmonis mengiringi setiap langkah kedua kaki mereka—yang nyaris tak dapat terlihat pergerakannya. Sekeliling mereka benar-benar gelap, hanya sinar yang dipancarkan sang rembulan yang sejak tadi menemani mereka.
Entah sudah sejak kapan mereka berlari. Mungkin saja satu jam yang lalu atau satu hari yang lalu—entahlah. Mereka berlari dengan urutan bagaikan sebuah wajik; seorang paling depan, dua orang di tengah, dan satu orang terakhir di belakang—yang adalah si wanita. Pohon-pohon besar dengan dahan-dahan yang menjulur liar dan dilapisi lumut, tumbuhan raksasa pemakan manusia, hingga sumur penghisap mereka lewati dengan begitu mudahnya. Hal seperti itu bagi mereka semudah membalikkan telapak tangan.
Kenapa mereka berlari? Apa tujuan mereka?
"Kau yakin, Natsume-kun? Kita masih bisa putar balik kalau kau mau." ujar si wanita penuh keraguan.
Lelaki yang berlari paling depan berdecak pelan dan menghentikan langkahnya. Diikuti oleh tiga orang di belakangnya. Kepulan asap-asap yang terdiri dari butiran debu maupun pasir kini memenuhi sekeliling mereka. Dengan kedua matanya yang berwarna merah itu, Natsume Hyuuga, sang lelaki yang dimaksud hanya menatap tajam ke arah wanita yang telah sedikit banyak menyinggung dirinya.
"Kalau kau ingin pulang, pulang saja sana." sergahnya datar. "Dari awal aku tak pernah mengajak kalian semua untuk mengikutiku."
Sumire Shouda, si wanita pun termangut. Ia memalingkan wajahnya, membuat helai-helai rambutnya yang berbentuk seperti rumput laut itu berayun pelan. Ia bersembunyi dengan wajah memerah di balik punggung seorang lelaki bermata sendu di sampingnya. Lelaki bernama Kokoro Yome itu hanya membelai lembut dirinya.
"Kami tak bisa membiarkanmu pergi sendirian, Natsume." sahut lelaki lainnya yang memiliki warna rambut keemasan, berbeda dari rekan-rekannya. Lelaki bernama Ruka Nogi itu pun menepuk pundak Natsume dengan penuh rasa kesetiakawanan.
Koko menyeringai, "Dan kami juga tak bisa membiarkanmu menikmati darah manusia sendirian saja, teman!"
"Tch, terserah." Mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan panjang mereka.
Benar—jika kau tanya siapa mereka, mereka adalah sekawanan mahluk yang biasa disebut sebagai vampire, mahluk penghisap darah yang keberadaannya hanya dianggap legenda oleh nyaris seluruh umat manusia yang hidup di muka bumi ini. Ada juga kumpulan minoritas yang memercayai bahwa keberadaan vampire sesungguhnya memang ada dan tersembunyi di suatu tempat, yang jauh dari jangkauan sinar matahari.
Sungguh, hanya sedikit—atau bisa dikatakan nyaris tidak ada yang tahu bahwa pendapat itu sangatlah betul adanya; mahluk bertaring dan berkulit pucat itumemang benar-benar exist dan mereka tinggal di suatu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh para manusia. Tempat yang tak terjangkau itu persisnya adalah sebuah hutan, hutan yang tak dapat terkira luasnya, seakan-akan ada sebuah dimensi lain di dalamnya. Dan di dalam hutan itu, selain vampire, tinggal pula macam-macam hewan yang disangka manusia hanyalah sebuah legenda.
Vampire sendiri tinggal di bagian paling dalam dari hutan tersebut. Mereka mendirikan sebuah perkampungan—yang berbeda dari apa yang dipunyai oleh manusia—yang semakin lama semakin padat penduduknya—karena vampire hidup dalam waktu yang lama. Perkampungan itu hanya dapat terlihat aktivitasnya di malam hari dan pula dipimpin oleh sebuah kelompok yang menamakan diri mereka tetua.
Tak seperti apa yang legenda katakan, selama ini vampire hanya bertahan dari rasa laparnya dengan menghisap darah dari berbagai macam hewan yang berkeliaran di sekitar perkampungan tersebut. Darah hewan memang cukup untuk melegakan dahaga mereka, tapi tidak untuk waktu yang lama. Karena itu mereka menginginkan lebih, yaitu darah manusia, yang mereka yakini hidup di luar hutan keramat tersebut. Sayangnya tak ada satu pun vampire yang berani keluar dari hutan tersebut karena para tetua memang melarang mereka untuk melakukan itu, dengan mengatakan bahwa mereka akan musnah terlebih dahulu sebelum mereka sempat mencapai kulit luar dari hutan tersebut.
Akan tetapi, hanya mereka berempat—Natsume, Ruka, Koko, dan Sumire, yang menjadi satu-satunya vampire yang tidak setuju akan hal itu. Mereka yang tergolong masih remaja untuk ukuran seorang vampire ini, menganggap alasan para tetua itu tidak masuk akal. Mereka, para remaja, yang memiliki hormon-hormon dalam masa puncaknya, menginginkan darah manusia yang dikatakan mampu memuaskan rasa lapar dan dahaga mereka berkali-kali lipat lebih lama dari darah hewan.
Natsume, sang pemimpin bermata merah dari keempat remaja vampire tersebut, yang pertama kali mengambil langkah untuk merealisasikan keinginannya.
Dan inilah mereka sekarang, berlari-lari sekencang-kencangnya untuk dapat mencapai pintu keluar dari hutan tersebut.
"Sampai kapan sih kita harus terus berlari? Rasanya dari tadi tidak terlihat jalan keluar sama sekali…" keluh Sumire sambil menepis keringat yang mulai menjulur dari pelipisnya.
"Sabar, Sumire, mungkin sebentar lagi." jawab Ruka dengan senyuman, sejujurnya ia juga sudah merasa bosan dan lelah dengan pelarian yang tak kunjung berakhir ini.
"Tapi sekarang aku sudah lapar nih…dan kita—KYAA!"
Ketiga vampire lelaki yang ada di depannya seketika saja menghentikan langkah dan memalingkan wajah mereka, mendapati satu-satunya wanita di kelompok tersebut telah jatuh tersungkur dengan tentakel-tentakel hijau melilit betis kirinya. Sumire menoleh sejenak hendak mengetahui siapa yang telah berani mencengkeram dirinya. Sebuah tumbuhan raksasa pemakan daging telah siap menerkamnya. Ia kerap mendesis dan meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari jeratan tentakel yang menjulur-julur dari tumbuhan menjijikan itu.
Natsume hanya menggelengkan wajahnya dan mendesah pelan. Ia lalu menatap Koko, mate Sumire, dengan datar seraya berkata, "Kau sajalah yang mengurusnya!"
"Okay! Siap bos!" seru Koko semangat.
Segera saja vampire bermata sendu itu berjalan santai mendekati tumbuhan pemakan daging di depannya tersebut. Dengan seringainya yang khas dan jari telunjuk yang mengacung, ia berkata, "Hey, tumbuhan menjijikan! Cepat lepaskan mate-ku dari tentakelmu yang memuakkan itu! Kalau tidak, kau rasakan akibatnya!"
Tiba-tiba saja kuku-kuku di kesepuluh jari Koko mendadak meruncing. Dengan lidahnya ia menjilati bibirnya. Dua taring runcing miliknya terlihat jelas memantulkan cahaya lembut sang rembulan. Cepat-cepat ia melompat dan mengayunkan lengannya pada tumbuhan tersebut, membuat tentakel-tentakel yang menjerat Sumire terputus. Setelah vampire wanita itu bangkit dan menyingkir, ia membelah tumbuhan itu hanya dengan beberapa tebasan.
"Kamu nggak apa-apa 'kan, Perm?" tanyanya cemas setelah menghabisi musuhnya dan 'Perm' atau 'Permy' adalah panggilan sayang darinya untuk Sumire.
"Aku nggak apa-apa! Yang tadi itu benar mengagetkan!" jawab Sumire sambil menepuk dadanya yang masih berdebar kencang. Sedetik kemudian ia lalu jatuh tenggelam dalam pelukan Koko yang juga membelai-belai lembut rambutnya.
"Seharusnya," Natsume memulai perkataannya, "kau bisa menghabisi tumbuhan itu sendiri, Wanita."
"Mou, Natsume-kun, gara-gara aku kelaparan insting dan tenagaku juga lenyap seketika!"
"Kamu lapar, Perm?" Koko menatap Sumire kemudian. Ia lalu mencodongkan lehernya miring ke kanan. "Kalau mau hisap saja darahku. Tapi jangan banyak-banyak, 'kay?"
Dengan senang hati Sumire mengangguk dan mendekatkan bibirnya pada leher mate-nya itu. Taring-taring runcing itu segera saja menusuk kulit pucat milik Koko itu dan lalu menghisap darahnya. Vampire memang hanya diperbolehkan untuk menghisap darah vampire lain yang menjadi mate-nya. Mate sendiri sama artinya dengan kekasih, yang berarti kekasih abadi. Saling menghisap darah dalam hubungan mate juga berarti berhubungan intim sesama vampire, menandakan bahwa keduanya saling mengasihi satu sama lain.
Tak lama kemudian, Sumire menarik kembali bibirnya yang kini telah dipenuhi oleh darah segar berwarna merah mengkilap. Ujung-ujung bibirnya mengguratkan seulas senyum yang begitu lebar.
"Kau itu cuma malas saja, Wanita." komentar Natsume tiba-tiba, mengalihkan kedua pasangan kekasih itu dari dunia mereka.
Koko hanya menyeringai, "Bilang saja kamu iri, Natsume-kun! Makanya punya mate dong! Dari dulu kamu selalu menolak semua gadis-gadis yang ingin jadi mate-mu."
Sebelum terjadi perhelatan yang lebih jauh, Ruka yang baik hati pun menyela kedua sahabatnya itu, karena ia sangat tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak melakukannya. "Sudahlah, Koko…Juga Natsume…Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan kita lagi, sebelum matahari terlanjur terbit."
Mereka berempat pun kembali berlari, kini lebih cepat dari yang sebelumnya. Perjalanan mereka ternyata tak semulus seperti yang mereka bayangkan. Semakin jauh mereka berlari, semakin banyak rintangan yang menghadang. Seperti kini saat mereka sedang dihadang sekelompok centaurus. Mereka kembali menggunakan kuku runcing dan kecepatan mereka untuk menghabisi para centaurus itu dalam sekejap, serta meminum darah mereka sebagai penambah stamina.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Sempat mereka beristirahat sejenak setelah berlari untuk waktu yang cukup lama. Masing-masing dari mereka mengambil posisi pada beberapa buah batu berwarna hitam besar yang ditumbuhi lumut-lumut. Menghirup banyak-banyak oksigen selagi mereka mampu, dalam waktu yang sempit ini. Karena mereka tahu bahwa dalam beberapa jam lagi, matahari akan segera terbit.
"Kali ini aku serius, Natsume-kun! Aku merasa dari tadi kita hanya berputar-putar di tempat ini saja!" keluh Sumire kesal.
Koko mengangguk. "Ya, benar apa kata Permy. Buktinya, aku ingat sekali kalau kita sudah melewati batu-batu ini…err…empat kali!" serunya sambil menghitung jari-jarinya.
Ruka mengusap-usap dagunya pelan. Sesungguhnya ia memang merasa telah melewati batu yang kini mereka duduki ini berkali-kali. Apa memang benar kalau mereka hanya berputar-putar saja? Bukankah mereka telah berlari sesuai dengan petunjuk peta? Teringat akan hal itu, ia melepaskan tas yang sedari tadi menempel erat di punggungnya. Ia memasukkan tangannya untuk meraba-raba dan mencari benda yang ada di pikirannya.
Sebuah peta.
Ia lalu membuka gulungan kertas besar usang yang warnanya sudah menguning dan sudah rombeng-rombeng di bagian ujungnya. Kemudian tampaklah sebuah gambar berwarna hijau kekuningan dengan bentuk yang tak beraturan, nyaris menyerupai lingkaran namun juga terlihat seperti sebuah kotak. Begitulah bentuk dari hutan keramat tempat tinggal para vampire selama ini. Dan beberapa bagian dari gambar tersebut nyaris hilang warnanya, mungkin karena sudah sangat tua.
Ruka menemukan peta tua itu terjepit di antara jejeran buku-buku tebal dan berdebu yang diletakkan di perpustakaan tua dekat ruangan pemujaan milik para tetua. Perpustakaan itu hanya boleh digunakan oleh tetua dan terlarang bagi khalayak umum. Namun dengan bantuan beberapa teman tikusnya, ia dan Natsume berhasil menyelinap masuk ke dalam perpustakaan tersebut kemudian menemukan peta tua yang merupakan incaran mereka dan mengambilnya diam-diam.
"Hmm, menurut peta ini, sekarang kita berada di tempat ini dan yang perlu kita lakukan tinggal pergi menuju ke arah selatan." ucapnya sambil menunjuk ke arah gambar mirip batu-batu yang ada di peta tersebut. "Aku rasa kita sudah bergerak ke arah yang benar. Tapi kenapa ya?"
"Peta itu salah kali!" seru Koko dengan seringainya, "Kita tak seharusnya percaya pada peta yang sudah tua dan usang begitu!"
"Bagaimana menurutmu, Natsume?"
Sang vampire bermata crimson yang sedari tadi hanya diam menyimak dan memperhatikan mulai turut memutar otaknya. Sel-sel kerucut pada bola matanya dengan teliti menjamah garis-garis dan warna yang tergambar dalam peta tersebut. Kedua alisnya bertaut ketika ia pada akhirnya menemukan sesuatu yang sungguh menarik.
"Berikan peta itu padaku, Ruka." perintahnya.
Natsume membentangkan selembar peta itu di tanah, kemudian melipat secara horizontal beberapa bagian yang memiliki warna yang cenderung sama; yaitu hijau. Ketika ia menyatukan lipatan tersebut dengan lipatan lainnya yang berwarna senada, ia menemukan sebuah fakta, bahwa ternyata jalan-jalan yang selama ini mereka lalui dan ikuti, semuanya berakhir pada satu titik yang sama.
Satu titik—adalah sebuah gua stalaktit besar yang dipenuhi oleh semak-semak belukar dan kelelawar.
"Sial, ternyata dari tadi kita memang hanya berputar-putar saja! Siapa yang menyangka pintu keluar hutan ini adalah sebuah gua?" umpatnya dengan kedua alis yang masih bertaut.
"Bukan aku." timpal Koko.
"Aku juga tidak menyangka, Natsume-kun."
"Sekarang aku mengerti dengan apa yang para tetua itu maksud dengan 'musnah sebelum mencapai kulit terluar'. Kita hanya akan terus berputar-putar saja sampai matahari terbit." Sambil mengatakan itu, Ruka kembali menggulung peta tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.
"Kalau begitu sekarang tunggu apa lagi?" seru Sumire menyemangati sambil menjilati kedua bibirnya, "Aku sudah tidak sabar ingin merasakan darah manusia untuk yang pertama kalinya!"
Mereka kembali berlari. Kini jauh, jauh lebih cepat dari sebelumnya. Langkah kaki mereka kini penuh dengan determinasi dan semangat untuk meraih apa yang diinginkan. Sesungguhnya, tak pernah sekalipun salah satu dari mereka menyangka hari ini akan terjadi di hidup mereka, hari dimana mereka akan keluar dari kurungan itu dan mengucapkan selamat datang pada dunia baru yang akan mereka hadapi.
Dunia manusia.
Namun mereka tak tahu, apakah dunia baru itu akan menjadi sebuah keberuntungan bagi mereka ataukah malapetaka?
Akhirnya tibalah keempatnya di depan sebuah gua yang ditutupi oleh semak-semak belukar. Beberapa bagian dari semak-semak tersebut terdapat duri yang dilapisi getah-getah beracun. Racun itu—menurut informasi dari buku yang pernah Ruka baca—adalah racun yang berasal getah pohon ék yang mampu mematikan sel-sel tubuh—bahkan tubuh vampire sekalipun—hanya dalam kurun waktu kurang dari dua hari. Butuh darah segar seekor Unicorn putih bertanduk untuk menetralisir racun tersebut.
"Menurutmu siapa yang mengolesi duri-duri itu dengan racun, Natsume? Dan apa tujuannya?" tanya Ruka saat ia memperhatikan lebih dekat getah racun pada duri-duri semak belukar tersebut.
"Para tetua itu mungkin?" jawab Natsume datar.
Sumire membelalakan kedua matanya, "Maksudmu, tetua-lah yang mengolesi racun-racun ini?"
"Kemungkinannya besar. Lagipula jelas sekali 'kan kalau racun ini digunakan untuk mencegah vampire penuh rasa ingin tahu seperti kita mendekati gua ini."
"Hah? Itu menggelikan!" mulailah Koko mengeluarkan komentarnya. "Aku tak mengerti, kenapa tetua sangat melarang kita untuk menjelajahi dunia manusia sampai melakukan hal-hal seperti ini?"
"Entahlah," jawab Ruka, "Pasti ada sesuatu yang disembunyikan mereka—"
"Sudahlah, jangan dipikirkan." potong Natsume. "Yang penting sekarang kita harus segera menyingkirkan semak-semak ini. Hati-hati jangan sampai ada satu pun dari kalian yang terkena duri."
Keempatnya lalu mengambil sebilah golok dari dalam tas masing dan mulai menebas semak-semak belukar tersebut, juga sambil berhati-hati agar tak setetes pun getah pohon ék tersebut mengenai kulit pucat mereka. Setelah berhasil menyingkirkan semak-semak tersebut, mereka menyimpan kembali golok mereka dan segera melangkah masuk ke dalam gua yang penuh dengan bongkahan stalaktit-stalaktit besar di sekelilingnya. Dapat terdengar pula oleh mereka tetesan-tetesan air yang mengalir turun dari stalaktit itu. Air-air itu pun menggenangi hingga ke bagian bawah gua.
Cipratan-cipratan air yang berasal dari setiap langkah mereka kerap memancing kerumunan kelelewar yang sedang asyik bergelantungan di atas, membuat sesama mahluk penghisap darah itu menyerang Natsume dan kawan-kawan. Untungnya, kelelawar sama sekali bukanlah sebuah ancaman bagi mereka. Dengan sedikit ayunan cakar mereka sudah dapat mengusir semua kelelawar-kelelawar tersebut.
"Gelap sekali disini." ucap Koko ketika mereka telah melangkahkan kedua kaki mereka ke bagian dalam dari gua itu, yang berbentuk tangga-tangga yang mengarah turun ke bawah. "Jauh lebih gelap daripada yang tadi. Untung mataku sudah terbiasa dengan kegelapan."
"Mata vampire memang berfungsi paling baik di kegelapan yang seperti ini, bodoh!" ejek Sumire, mate-nya.
"Aku tahu kok…" keluh Koko cemberut. Ia lalu menatap Natsume dengan riang. "Hey Natsume-kun, kalau kita sudah sampai di dunia manusia nanti, kamu ingin manusia yang seperti apa?"
Natsume hanya mengangkat kedua bahunya. Sejujurnya manusia yang mana saja tidak menjadi masalah untuknya. Entah itu perempuan atau laki-laki. Entah itu gendut atau kurus. Entah itu dewasa atau anak-anak—semuanya sama saja di matanya. Yang penting dia manusia.
"Kalau kamu, Ruka?" tanya Koko setelah mengalihkan kedua mata cokelatnya pada vampire bermata biru dan berambut keemasan itu.
"Aku sih, yang mana saja juga boleh." jawab Ruka sambil tersenyum.
"Ah, kalian berdua ini nggak asyik deh." Koko menghela nafasnya sejenak, "Kalau aku ya, manusia itu harus perempuan! Aku tidak mau laki-laki soalnya merepotkan. Lalu manusia itu juga harus—hey, ada cahaya!"
Serentak ketiga orang rekannya menoleh ke arah yang ditunjuk Koko. Memang, mereka dapat melihat sedikit sinar yang berasal dari balik batu besar di depan mereka. Mereka menyunggingkan sebuah seringai ketika mendapati sebuah fakta bahwa mereka sudah berada sangat dekat dengan pintu keluar gua ini—sudah sangat dekat dengan dunia manusia. Akan tetapi cahaya apa itu? Apakah matahari sudah terbit di luar?
Untuk menjawab segala pertanyaan itu, Natsume menyuruh ketiga temannya untuk mundur sejenak dan mencari tempat berlindung, sementara ia akan menghancurkan batu besar itu. Ia mengambil ancang-ancang sejenak dan mengayunkan kaki kanannya untuk menendang bongkahan batu besar di depannya, hingga hancur menjadi kerikil.
"Ugh—" Natsume menutup kedua matanya dan mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi wajahnya dari serangan cahaya. Ia pikir ia akan merasakan sakit akibat radiasi dari cahaya itu—tapi tidak. Sesungguhnya ia tak merasakan apa-apa.
Ia hanya merasa seperti sedang berdiri saja.
Perlahan-lahan ia membuka kedua kelopak matanya dan menurunkan kembali tangannya. Kedua mata merahnya terbelalak ketika mendapati bahwa cahaya itu bukanlah cahaya matahari, melainkan cahaya yang berasal dari kerlap-kerlip penerangan yang ada di bawah mereka.
Sebuah desa.
"Yay! Desa manusia! Kita berhasil!" teriak Sumire yang segera saja keluar dari tempat persembunyiannya dan meluncur menuruni jurang landai mendekati gemerlapnya lampu di desa tersebut. "Aku datang, manusia!"
"Hey, Permy, tunggu aku!" seru Koko yang turut meluncur mengikuti Sumire, yang juga diikuti oleh kedua rekannya yang lain.
Mereka meluncur dengan sangat cepat, seakan-akan sedang mengendarai papan seluncur dengan santainya. Apalagi Sumire—yang meluncur paling depan—ia benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar yang sedari tadi menghantui perutnya. Tampaknya darah Koko dan darah hewan yang ia santap di hutan tadi tak cukup untuk membuatnya merasa puas. Oh, betapa tidak sabarnya ia ingin segera menemukan seorang manusia dan menghisap darahnya.
Ketika ia berhasil mendarat dengan sempurna, tiba-tiba saja ujung-ujung matanya menangkap sosok-sosok hewan berkaki empat dan berbulu lebat sedang berkerumun di balik sebuah gudang besar berpagar yang terbuat dari kayu. Ia tak pernah melihat hewan seperti seumur hidupnya. Dihantui rasa penasaran, segera saja ia masuk ke dalam gudang tersebut dan mendekati hewan-hewan itu, kemudian melihat dan memperhatikan dengan seksama hewan-hewan berwarna putih yang kini sedang tertidur dengan pulasnya.
"Mungkin makanan pembuka tak ada salahnya!" ucapnya dengan senyuman lebarnya. Tanpa basa-basi, ia langsung saja menggigit salah satu dari kumpulan hewan aneh itu.
Merasakan sakit yang luar biasa pada lehernya, hewan tersebut membuka kedua kelopak matanya dan mengembik nyaring. Alhasil, membangunkan kawan-kawannya yang kemudian turut pula mengembik. Menghasilkan suara gaduh. Namun, Sumire sama sekali tak peduli akan hal itu dan hanya terus melanjutkan aktivitasnya.
Natsume, Ruka, dan Koko yang menyusulnya ke gudang itu kemudian, sontak merasa kaget melihat apa yang sedang dilakukan Sumire saat ini. Namun tak ada satu pun dari mereka yang memberikan respon, kecuali Koko. "Permy, apa yang kau—"
"KYAA! APA YANG KALIAN LAKUKAN TERHADAP DOMBA-DOMBAKU?"
Teriakan histeris yang begitu nyaring itu menghentikan aktivitas Sumire, pun mengalihkan fokus ketiga vampire lelaki yang turut menolehkan pandangan mereka ke arah sumber teriakan tersebut.
Natsume menahan nafasnya sejenak ketika ia mendapati seorang gadis berambut brunette panjang yang diikat dua dengan mengenakan piyama polkadot putihnya. Kedua alisnya berkerut dan kedua mata hazelnya terbelalak. Keringat yang mengalir di pelipisnya begitu deras. Dengan kedua tangan mungilnya yang bergetar, ia menggenggam sebuah tongkat kayu panjang yang digunakannya untuk berjaga-jaga. Manusia yang sangat…cantik.
"Ka-kalian…vampire?"
To be continued.
Tama: Woah, how was it? Was it good or not? Aku mengalami kesulitan membuat chapter 1 ini karena di chapter ini aku harus menulis banyak-banyak deskripsi. Apalagi aku ini paling tidak ahli (dan tidak suka) dalam berdeskripsi. Jadi maaf kalau gaya penulisanku di chapter ini agak-agak berbeda dari biasanya. Chapter 2 akan dibuat oleh Ran Ishibazaki.
Ran: Wah! Harus Ran akui, chapter 01 yang dibuat Tama-san menarik sekali! Banyak banget Ilmu Pengetahuan(?) yang Ran dapet. Mendeskripsikan lingkungan sekitar adalah kelemahan Ran. Dan melalui Tama-san, Ran banyak belajar. Ada satu yang bikin Ran senyum-senyum sendiri, yaitu saat adegan ketika Natsume yang langsung terpesona saat ketemu Mikan. Langsung diakui Mikan itu cantik! OMG! (Tuh 'kan, Ran senyum-senyum sendiri! xD) Well, itu aja dari Ran. Review please, Ran dan juga Tama-san berdua ingin tahu bagaimana pendapat para readers tentang chapter yang dibuat oleh Tama-san ini. See you…