A/N:Halo, Ran di sini mengisi chapter 11 ini! Seharusnya chapter 11 dibuat oleh Tama. Namun karena berbagai macam hal dan masing-masing dari kami memiliki kesibukan…. Jadinya terbengkalailah proses pembuatan chapter 11 ini. Sudah 4 tahun ya… Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca lama maupun pembaca baru TBOVP ini. Kemudian, belasan bulan yang lalu Ran menawarkan diri pada Tama untuk membuat chapter 11 ini dan Tama pun menyetujuinya. Belasan bulan yang lalu, Ran tahu. Soalnya ada bermacam-macam hal… hehehe. Mohon dimaafkan….

Lalu kemarin! Tanggal 29 November 2016 kemarin ketika Ran sedang mengetik chapter 11 dan kemudian stuck di beberapa bagian, Ran buka internet… membaca review-review dari pembaca semua…. Rasanya sangat senang sekali. Ran jadi memiliki motivasi lagi. Apalagi ketika Ran membutuhkan referensi, Ran browsing membaca di w*****dia Gakuen Alice dan ugh! Feels! Rasanya kangen sekali dengan cerita dan karakter-karakter Gakuen Alice! Ran beneran nangis kemarin itu. Hahaha. Jadinya Ran memiliki motivasi lagi berkat pembaca sekalian.

Terima kasih banyak. Terima kasih banyak karena 4 tahun yang lalu kalian semua memberikan kami kebahagian melalui pujian serta kritikan yang kalian berikan untuk kami ini. Juga selamat datang bagi pembaca baru! Mohon untuk selalu bersabar dengan kami ini. Kami akan berusaha menjadi lebih baik lagi semampu kami . Chapter 11 ini Ran dedikasikan terkhusus untuk Tama dan juga kalian semua! Semoga kalian juga menyukai chapter 11 ini!


.

.

.

Cerita sejauh ini: Natsume, Ruka, Koko, dan Sumire adalah empat vampirHeil yang melarikan diri ke dunia manusia dari tempat mereka di hutan utara yang terisolasi. Tujuan mereka adalah untuk mencicipi darah manusia yang konon tak tertandingi rasanya. Namun, pertemuan mereka dengan keluarga Sakura—yang terdiri dari sang anak perempuan yang memiliki kemampuan menulifikasi kekuatan Alice para vampir, Mikan; sang adik yang dingin, Youichi; dan sang ayah yang terobsesi dengan vampir, Izumi—dan seorang werewolf bernama Tsubasa, mengubah segalanya. Selama beberapa hari mereka tinggal bersama keluarga Sakura, keakraban tercipta, khususnya bagi Natsume dan Mikan, yang saling tertarik satu sama lain.

Sayangnya, hari-hari menyenangkan itu tak berlangsung lama, pelarian mereka diketahui oleh Tetua, sang pemimpin dunia vampir, yang akhirnya mengutus para vampir dari Dangerous Ability Section untuk "membawa pulang" keempat vampire yang kabur tersebut. Merasa dibohongi oleh hukum di dunia vampir (bahwa vampir akan musnah di bawah sinar matahari namun kenyataannya sama sekali tidak), mereka menolak. Persona, pemimpin DAS, menjadikan Mikan sebagai sandera. Pertarungan antara DAS dan Natsume dkk pun tak terelakan. Hasilnya, Izumi Sakura tewas di tangan Persona. Sementara Ruka, Koko, dan Sumire berhasil tertangkap, Natsume dan Tsubasa berhasil membawa Mikan dan Youichi lari dari tempat itu.

Merasa dirinya tidak berguna, Youichi meminta Natsume untuk mengubahnya menjadi vampir. Setelah melalui proses yang panjang dan sangat menyakitkan, Youichi kini telah menjadi vampire Newborn… tanpa kehilangan satu pun ingatannya sebagai manusia! Sementara itu di dunia vampir, Ruka, Koko, dan Sumire harus menghadapi siding pengadilan untuk memutuskan hukuman atas "tidak kriminal" mereka. Mereka hamper saja dijatuhi hukuman pemusnahan, jika tidak dibantu oleh Hotaru Imai, seorang vampir Rein berdarah murni dan mate dari Ruka, sebagai pengacara mereka. Sebagai gantinya, mereka harus menjadi bagian dari DAS dan ingatan mereka selama di dunia harus dihapus.

Natsume, Mikan, Youichi, dan Tsubasa kembali diserang oleh sekelompok vampir utusan Tetua yang memburu mereka. Pertarungan pun tak terelakan. Mereka harus rela kehilangan Tsubasa yang terjatuh ke jurang dan Mikan pun terkena serangan tombak yang terkena racun getah pohon ek. Natsume yang kalut menghabisi semua vampir musuh dengan alice apinya.

Setelah aman, Natsume pun pergi meninggalkan Mikan dan Youichi untuk sementara guna mencari darah unicorn putih untuk mengatasi racun getah ek di dalam tubuh Mikan, meskipun dirinya sendiri juga terkena racun yang sama. Hingga akhirnya di tengah perjalanannya ketika Natsume sudah tak mampu lagi untuk bergerak, ia ditolong oleh seorang clairvoyant yang cantik dan anak perempuannya, Kaoru dan Aoi Igarashi. Berkat bantuan mereka, Natsume berhasil kembali ke tempat Mikan dengan membawa darah unicorn putih dan secara sepihak menjadikan Mikan sebagai mate miliknya.

Setelah kondisi Mikan membaik, tiba-tiba saja seorang vampir datang menemui mereka. Vampir bernama Hotaru, mate Ruka, itu datang menawarkan aliansi. Saat itulah ketika Hotaru menemukan 3 bercak misterius di punggung tangan Mikan yang bentuknya serupa dengan simbol yang tertera pada sebuah buku legenda di dunia vampir, "The Book of Vampire Prophecy"…

.

.

.

Important Notes:

Heil: Mayoritas vampire di hutan utara merupakan jenis ini. Vampir jenis ini hanya dapat mengonsumsi darah dan tidak dapat bereproduksi. Mereka adalah vampir yang lahir di tempat bernama "Stonefield Temple" sebagai seorang Newborn, kemudian diadopsi oleh pasangan mate vampir yang ingin membentuk keluarga. Akhirnya diketahui bahwa Heil sesungguhnya merupakan manusia yang telah diubah menjadi vampir oleh vampir jenis Rein. Seorang Heil secara naluriah akan terikat dan tunduk pada Rein yang telah mengubah dirinya, yang disebut Sire. (Notable Heil: Natsume, Ruka, Koko, Sumire, seluruh anggota DAS kecuali Hajime dn Persona)

Rein: Merupakan jenis vampir minoritas, namun memiliki status noble karena merupakan vampire berdarah murni yang hidup saat peristiwa beribu-ribu tahun yang lalu itu terjadi dan keturunan-keturunannya. Mereka mampu mengonsumsi makanan manusia meski tidak dicerna. Hanya vampir Rein yang mampu mengubah manusia menjadi vampir newborn dengan venomnya (namun Natsume, seorang vampir Heil, membuat keajaiban dengan mengubah Yoichi menjadi vampir). Sepertinya para vampire Rein memiliki rahasia yang hanya diketahui oleh jenis mereka sendiri, khususnya tentang keberadaan sebuah buku. (Notable Rein: Tetua, Hotaru, Persona/Rei Serio dan Hajime)

Newborn: Tahap awal kehidupan vampire Heil. Sebagai Newborn, seorang vampire hanya bertingkah berdasarkan insting dan kehilangan seluruh ingatannya sebagai manusia sebelum diubah menjadi vampir. Newborn akan dilatih dan diajarkan ilmu pengetahuan di sekolah bernama Alice Academy. Ada beberapa tingkatan di akademi tersebut yaitu level Newborn, E, D, C, B, A, dengan A adalah tingkat tertinggi sebelum lulus menjadi vampir dewasa.

Alice: Kemampuan special yang dimiliki oleh masing-masing vampir.

Mate: Hubungan kekasih abadi di antara vampir laki-laki (alpha) dan perempan (beta). Untuk menjadi mate, sepasang kekasih harus menjalani upacara pernikahan dan saling bertukar darah untuk menyempurnakan ikatannya, dalam istilah manusia seperti pasangan suami-isteri. Mereka berdua akan terikat sebagai mate untuk selamanya.

Dangerous Ability Section (DAS): Divisi pertahanan dan keamanan dunia vampir yang berada langsung di bawah perintah Tetua. Kelompok ini dipimpin oleh Rei Serio alias Persona.

Hutan Utara: Wilayah hutan paling utara tempat tinggal para vampir yang terisolasi dari dunia manusia.

Hutan Selatan: Merupakan wilayah hutan paling ujung di bagian selatan tempat tinggal para werewolf.

Tetua: Pemimpin tertinggi di dunia vampir. Sepertinya ada permainan konspirasi tertentu yang tengah dijalankannya dengan Persona (atau setidaknya begitu menurut Hotaru)?

Werewolf: Mahluk berwujud manusia namun dapat berubah menjadi serigala berukuran besar jika mereka menginginkannya—tanpa perlu keberadaan bulan purnama, tidak seperti yang rumor katakan. Musuh natural dari para vampir. Mereka hidup berkelompok di hutan di wilayah paling selatan, meskipun ada juga beberapa dari mereka yang menjalani hidup di dunia manusia dan berbaur layaknya manusia biasa. (Notable werewolf: Tsubasa, Tonouchi/Tono, si Kacamata)

Rogue: Werewolf yang biasanya berkelana sendirian, tidak memiliki kelompok (atau lebih dikenal dengan istilah pack), tidak memiliki klan dan juga keluarga.

The Book of Vampire Prophecy: Buku misterius yang disebutkan dalam legenda yang terkenal di dunia manusia (lihat opening chapter 1).

.

.

.


Disclaimer: Yuuto Tamano and Ran Ishibazaki do not own Gakuen Alice nor do they own its characters. All of them solely belong to the greatest Higuchi Tachibana.

Now onto the story…


"Hei, hei. Apa menurut kalian masih jauh?"

Pertanyaan itu, beberapa detik kemudian masih tak disiratkan oleh jawaban. Diam tak menyuarakan bunyi meskipun telah ia coba untuk menggunakan kemampuannya. Yang terdengar hanyalah suara samar jejak kaki-kaki dari bayangan-bayangan hitam yang berlari dan melompat dengan kecepatan konsisten. Dirinya yang tak digubris itu memicingkan mata dan mengerucutkan bibir.

"Buu," rajuknya. Baginya sudah biasa jika lelaki berbalut perban berjarak beberapa langkah di belakang kirinya tak menjawab karena berbicara dengannya sama saja artinya dengan berbicara pada batu, tapi juga tak digubris lelaki satunya lagi yang berambut pirang keemasan itu? Ia menoleh pada si pirang keemasan yang dimaksud.

Ia mengerjap. Niatnya untuk merengek kesal terhenti, mendapati tatapan gelap kedua iris mata yang biasanya memiliki warna biru cerah hangat itu memandang lurus ke depan dengan bibir terkatup rapat yang membentuk garis melengkung ke bawah.

Membaca isi pikirannya, Ia bergeming, khawatir, dan sedikit merasa kasihan. Ia membalikkan badan sambil terus melompat mundur menyamai gerakan maju dua rekannya, matanya tak berpaling tertuju pada si rambut pirang, membuka mulutnya untuk mengutarakan namanya namun didahului.

"Kau yang seharusnya lebih tahu, 'kan." Jangan perdulikan aku, pikiran dan lirikan tajam kedua iris mata biru gelap berkata padanya. Sang rambut pirang keemasan memberikan gestur dengan kedua tangan. "Kau yang memimpin pengejaran ini karena kau sudah tahu kemana arah tujuan mereka, 'kan."

Ia tak membalas, hanya diam memandangi.

"Dia itu… Dia itu…sampai melibatkan dia juga… Kenapa…?!" Gigi-giginya gemertakan bersama, tak melanjutkan kata-kata yang menyulutkan kemarahannya.

Namun dirinya mengerti apa yang ingin disampaikan si rambut pirang. Dengan atau tanpa kekuatannya membaca pikiran, ia mengerti. Getaran yang ditunjukkan rekannya itu bukan hanya getaran kemarahan belaka.

Keputusasaan, dendam, ketidakpuasan. Kecemburuan. Pedih. Murka.

Reaksi itu, pikirnya, rekannya itu sudah terlalu lama dibiarkan.

Menghela napasnya, ia membalikkan badan kembali menghadap depan dan lanjut melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Ia memutar mata ke samping. Untuk sementara, berbicara apa pun akan sangat percuma. Yang perlu dilakukan sekarang adalah untuk tetap maju ke depan sampai mereka menemukan apa yang mereka incar. Setelah itu, setelah memastikan apa yang dicurigainya dengan melakukan pengejaran dan menangkap incaran mereka, memastikan kebenaran yang disembunyikan dari mereka selama ini, barulah ia akan mengambil keputusan dari langkah-langkah yang telah dipilihnya.

Sungguh lucu, ia tertawa dalam hati. Kekuatannya itu, mereka pikir bisa mereka manfaatkan hanya karena mereka memasukinya dan menggemblangnya di dalam divisi Dangerous Ability. Yang tidak mereka ketahui, hanya ia sendirilah yang tahu batas kekuatan yang dimilikinya. Karena kekuatannya membuatnya tak akan mudah untuk diperdaya dan justru membuatnya mudah sekali untuk memanipulasi.

Kemampuannya membaca pikiran entah akan menjadi kekuatan atau kelemahan, itu tergantung pada keputusannya nanti. Tapi yang pasti, ia tak berniat menempatkan dirinya ataupun dia yang dicintainya menghadapi bahaya. Apa pun yang akan terjadi nantinya.

Kekhawatirannya kala itu tertuju pada rekannya di belakang.

Ia tak ingin menyabotase posisinya dengan mengatakan hal-hal yang akan semakin membuat marah rekannya yang kinimemiliki kegelapan di mata yang biasanya nampak ramah dan hangat itu. Begitu menakutkan.

Begitu membuatnya kasihan, lelaki yang sudah begitu mudahnya diperdaya dan dimanfaatkan sampai-sampai membuatnya kehilangan kepercayaan pada mereka yang dicintainya.

Yap, untuk sekarang ia tak ingin berkata tentang hal-hal yang akan menyabotase posisinya dan merusak rencananya.

"Yosh!" Ia menyeringai lebar. "Serahkan padaku. Sebentar lagi kita akan menemukan dan menangkap mereka!"

Untuk sekarang hanya perlu diam dan menemukan incaran mereka, kalau ia tak ingin berhadapan dengan bayangan-bayangan besar monster-monster yang sedari awal ikut serta bersama mereka dari belakang kendali rekan yang ia kasihani itu.


.

.

.

The Book of Vampire Prophecy

by

Yuuto Tamano & Ran Ishibazaki

.

.

.


Chapter 11: Of a Crumbling Trust and Loyalty.


Senja sore hari. Lebih dari tiga hari setelah mereka berpisah jalan dengan Hotaru. Selama itu pula mereka sudah berkali-kali berhenti di satu tempat untuk membiarkan Mikan beristirahat dan melakukan hal-hal yang perlu dilakukannya sebagai seorang wanita. Langit tak lama lagi akan menjadi gelap dan mereka masih terus berlari dengan sangat kencang untuk mencapai satu arah tujuan yang ditunjukkan oleh Hotaru. Di ujung selatan paling jauh dari pemukiman para manusia, di hutan luas yang tak pernah dijamah sekalipun oleh sembarang manusia. Kerajaan para werewolf.

Mikan mengeratkan lingkaran tangannya pada Natsume sesaat sebelum menyembunyikan diri dari rembesan angin kencang yang menerpa wajahnya yang kemerahan. Ia mengernyit dari balik surai raven Natsume yang terus berlari dengan begitu niatnya. Kapan mereka bertiga akan sampai, mereka tak begitu yakin. Hotaru mengatakan intuisi para vampir akan memberitahu jika mereka sudah mendekati tujuan atau memang benar-benar telah sampai.

Terus saja berlari menuju arah selatan – ke sana, kata sang vampirwanita waktu itu sambil menunjuk jarinya ke arah yang diyakininya adalah arah selatan. Logikanya mudah saja; semenjak pergi meninggalkan rumah di mana ia dan Youichi dibesarkan oleh ayahnya yang kini sudah tiada, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya mereka telah pergi menjauhi hutan utara lurus menuju selatan karena matahari tak pernah sekalipun langsung berhadapan dari depan ataupun dari belakang mereka. Matahari selalu muncul di pagi hari dari arah kiri, dan kemudian menghilang sore harinya di sebelah kanan mereka. Mereka tak akan menyadari pola tersebut jika saja tak diberitahukan oleh Hotaru.

Bagaikan Insting, renung Hotaru cukup untuk didengar ketiganya. Dari kedua mata kecubungnya terlihat sesuatu yang berkelebat saat menoleh memandangi mereka bertiga.

Jika mereka telah menemukan hutan itu dan menemui kelompok para siluman serigala, setelah itu apa yang akan mereka lakukan? Hotaru menyuruh mereka untuk membawa salah satu benda yang diciptakannya yang sekarang berada di dalam tas ransel Mikan untuk diserahkan pada pemimpin kelompok siluman serigala tersebut. Katanya, setelah melihat isi di dalam benda tersebut yang ia beri nama Penguin sesuai dengan bentuknya, mereka pasti akan mengerti.

Mikan mengangkat kepalanya menatap dengan hati-hati pada belakang kepala Natsume dan rambutnya yang tersapu angin. Saat ini, ia merasa Natsume bersikap begitu aneh. Seolah-olah Natsume terasa menjauh. Tak banyak yang Natsume bicarakan setelah Hotaru menceritakan tentang kisah buku ramalan vampir waktu itu maupun setelah mereka berpisah jalan. Natsume hanya berbicara sekadarnya sambil sesekali melirik reaksi Mikan.

Ia tahu sekali kalau memang begitulah Natsume, begitu jauh dan tak mudah untuk dijangkau. Namun setelah segala sesuatu yang terjadi dan mereka lalui bersama, Mikan kira ia pantas menerima perlakuan yang lebih dari sekadar bentangan jarak yang dingin itu.

Mikan mengangkat tangannya memegangi bahu Natsume erat, alisnya terangkat menunjukkan dua mata hazel yang penuh tekad dan keyakinan… sebelum sedetik kemudian ia merasakan juntukan hembusan angin yang begitu tiba-tiba, beberapa suara berbeda yang sama-sama menyerukan keterkejutan dan tubuh mereka sempoyonganKARENANATSUMEKEHILANGANKENDALIPADAPIJAKANNYADAN—

"Ah—Hoi!"

"UWAAAH!"

"PEE…!"

"Ugh!"

Mikan sudah mengantisipasi rasa sakit yang akan menimpanya, namun rasa sakit itu tak dirasakannya. Begitu membuka mata, di bawahnya sudah tergeletak tubuh tengkurap Natsume yang menghalau jatuhnya tubuh Mikan di atas tanah. Jantung Mikan berdetak semakin kencang.

"Na-Natsume… tidak apa-apa?"

Natsume menggerutu singkat, tubuhnya mendelik menyuruh Mikan untuk beranjak dari atas tubuhnya.

Mikan memerah. Dengan gerakan cepat ia beranjak menjauh dari punggung Natsume.

"Ma-maaf."

"Kalian tidak apa-apa?" suara prihatin Youichi yang bertengger di atas salah satu pepohonan besar mencairkan suasana yang memalukan bagi Mikan itu.

"Oh!" Mikan mendongak ke arah Youichi, "baik-baik saja," angguknya cepat.

Youichi menghela lega, kebiasaan lama, sesaat setelah kedua matanya terfokus pada suatu bentuk tergeletak di tanah beberapa meter di depan Natsume dan Mikan, tak bergerak.

Ia melesat menghampiri benda tersebut, mengangkatnya dengan kedua tangan kemudian ia guncang-guncang. "Oi, Penguin!"

"Waah! Penguin!"

"Pee…"

Mikan panik saat ia berlari menghampiri robot penguin pemberian Hotaru yang tengah dipegang Youichi, meninggalkan sisi Natsume yang perlahan berdiri dari posisinya di tanah. "Penguin! Penguin! Apa ada yang sakit? Maafkan aku! Sepertinya tasku kurang tertutup rapat, makanya kau jadi ikut terlempar keluar! Maafkan aku, Penguin, maafkaaaaan!"

Youichi menatap kakaknya jengkel. "Tenanglah, Mikan. Dia robot. Jadi tidak mungkin merasakan sakit."

"Tapi…tapi 'kan…"

"Yang perlu dikhawatirkan itu apa dia masih berfungsi atau tidak. Oi, Penguin!" Youichi mengguncang lagi tubuh mungil si robot penguin.

Seolah merasa tak nyaman diguncang oleh Youichi, si penguin pun mengeluarkan suara rintihan protes, "pee...!"

"Ah, bersuara," ujar Youichi. "Masih hidup, 'kan?"

"Pee!"

"Pfft," Youichi mendengus geli melihat si penguin yang meronta seakan ingin menendang Youichi dengan kaki-kaki kecilnya, tersinggung akan pilihan kata Youichi. "Bisa marah juga ternyata," katanya sambil menepuk-nepuk kepala si penguin.

Mikan yang melihat pertukaran interaksi menggemaskan itu tak ayal mengeluarkan gelak tawa renyah yang menggelitik perutnya. Merasa begitu senang rasanya menyaksikan senyuman lembut Youichi yang sepertinya sudah lama sekali tak pernah ia lihat lagi.

Namun tawa dan kebahagiaan kecil itu hanya berlangsung singkat.

"Youichi, berikutnya kau yang akan membawa Mikan."

Mikan dan Youichi serentak menoleh pada Natsume. "Eh?"

Natsume tidak melewatkan sedetik pun. "Tidak mau?"

"Hah?" satu alis Youichi menaik tajam. "Bukannya tidak mau-"

"Kalau begitu tidak bisa?"

Youichi memicingkan matanya menatap Natsume yang masih terus melihat mereka dengan tatapan datar. Baru saat ia akan menyentak Natsume dengan geram, Mikan melangkahkan kaki menghadap Natsume.

"Sebenarnya apamasalahmu, Natsume?"

"Mikan…."

Natsume mengalihkan pandangannya. "Masalah apa maksudmu?"

"Jangan kau beri aku respon itu!" Kedua iris hazel itu mendelik pada sang raven. "Sejak tadi…bukan. Sejak hari itu setelah mendengar apa yang diceritakan Hotaru kau-"

"Makanya," sergah Natsume memotong sebelum Mikan melanjutkan kata-katanya, sebelum ia mengatakan dengan keras maksud hatinya. "Aku tidak tahu apa yang kau katakan."

Mikan tertegun. Sekali lagi, perasaan tak nyaman yang tertanam dalam hatinya menyeruak keluar menyuarakan kekecewaan. Sikap yang ditunjukkan Natsume itu, berbicara dengan suara yang sedingin es itu, menatap dengan pandangan yang datar itu… Mikan begitu membenci sikap Natsume yang seperti itu. Dimana diri Natsume yang memberikan senyum simpul yang menorehkan sarat kelembutan itu? Dimana diri Natsume yang memanggil namanya dengan nada suara lembut yang memikat hati Mikan itu? Memberikan semua itu khusus hanya untuk diri Mikan, membuatnya ingin sekali merengkuh itu semua dengan kedua tangan dan melipatnya erat di dada. Dimana diri Natsume dengan semua perasaannya itu.

Bahkan diri Natsume yang suka sekali menggodanya pun akan Mikan terima!

Semuanya… kecuali bentangan jarak dingin itu.

Semuanya. Kecuali diri Natsume yang bersikap seolah-olah menolak keberadaan dirinya sendiri kembali hadir di sana dan kemudian bertemu Mikan.

Semuanya. Kecuali diri Natsume yang berniat ingin meninggalkannya.

Mikan melihat Natsume melangkah dengan langkah lantang ke arahnya namun tak melihat dirinya. Kemudian melewati dirinya dan berkata entah pada siapa, "ayo pergi," karena Mikan sudah merasa bahwa dirinya tak lagi dianggap. "Kau bawa dia, Youichi."

Keteguhan hati Mikan runtuh. "Kau sedang tidak mencampakkan aku'kan, Natsume?" Mikan menyuarakan kerisauannya, berbalik menghadap punggung Natsume yang berhenti melangkah mendengar kata yang telah lama membuat Mikan merasa tak nyaman itu.

Natsumetak menoleh. "Bicara apa kau?"

"Kalau tidak begitu kenapa sikapmu dingin dan seperti susah untuk didekati?" Dilihatnya Youichi terdiam bergantian memberi mereka lirikan singkat kemudian menunduk memandangi tanah di bawahnya, memberikan jarak. Mikan tahu Youichi mengerti apa yang dikatakannya. Sekali pun tidak diberitahu oleh Natsume, Youichi sudah tahu langkah apa yang perlu dilakukan selanjutnya untuk menjamin keselamatan Mikan.

Untuk Mikan. Dan Mikan sudah muak dengan itu semua. Mikan sudah muak diperlakukan bagai sesosok yang perlu dilindungi tanpa sedikit pun memberikan kepercayaan padanya, atau mereka sendiri, dan beranggapan bahwa sulit sekali bagi mereka bertiga untuk saling melindungi.

Mikan sudah muak.

"Dengar ya," Natsume menghela. "Sikapku ini memang sudah begini. Maaf saja kalau membuatmu jadi terganggu."

"Awalnya! Awalnya kau begitu! Tapi kau sudah tidak lagi begitu…."

"Kalau begitu itu sesederhana kau yang tidak tahu apa-apa tentangku. Itu saja."

Mikan terhentap. Mulut dan matanya terbuka sedikit lebih lebar pada pernyataan yang diutarakan Natsume dengan datar, tak memperdulikan betapa perkataan itu telah membuat kelu hati dirinya yang mendengar. Sedetik kemudian kemarahan membuncah. Ingin ia menampar dan menghajar sang raven yang memiliki manik matamenyala merah itu.

Beraninya dia. Beraninya Natsume.

"Kau berubah setelah mendengar cerita Hotaru mengenai buku itu, dasar bodoh! Kalau niatmu sekarang hanya ingin meninggalkanku ke dunia serigala kemudian pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun padaku aku tidak terima! Tak akan kubiarkan kau pergi bersama Youichi! Aku juga ingin pergi bersama kalian! Apa pun caranya, mau jadikan aku sebagai vampirjuga aku tak peduli-"

"Jangan bicara bodoh!"

"Aku juga! Kenapa tidak percaya saja padaku yang juga ingin melindungi kalian?!"

Mikan terengah-engah seteleh meneriaki semua kegundahan itu. Namun ia belum puas sekali pun Natsume dan Youichi, dan si Penguin yang sudah berdiri di atas tanah, terpana memandanginya.

Sebelum mereka berkata mereka tak akan meninggalkannya, ia masih belum puas.

Makanya ia membalikkan badan berniat berjalan menjauh dari tujuan semula dengan langkah menggebu, menyentakkan kaki sambil berkata sengit, "Sudah kuputuskan untuk tidak pergi ke sana. Ayo, Youichi."

"Mau kemana kau?"

"Kemana saja! Asal bukan tempat yang bisa kaujadikan alasan sebagai tempat penitipan bagimu!"

"Makanya kubilang kau itu bodoh! Ini bukan masalah yang hanya bisa dihadapi semudah membalikkan telapak tangan!"

Mikan membalikkan badan cepat, mata besarnya melotot pada Natsume. "Kalau begitu menyerahkanku pada para serigala dan kau dan Youichi pergi adalah pilihan yang paling tepat!?"

Lagi, Natsume hanya diam.

"Begitu." Pada keterdiaman itu, Mikan memejamkan mata dan menggertakkan gigi-giginya. "Jadi niatmu untuk meninggalkanku pada para werewolf memang benar."

Natsume membuka mulutnya, namun tak menyuarakan apa pun keluar seolah baru menyadari apa yang baru saja dikonfirmasi oleh dirinya sendiri. Ia mengalihkan pandangannya dari Mikan. Mungkin, mungkin saja, dirinya yang mengepalkan erat kedua tangan dan tubuh yang bergetar menahan dan menyembunyikan seluruh asa terlihat begitu menyakitkan bagi Natsume.

"Kau berkata menyerahkan dan meninggalkan seenakmu saja. Memangnya kau kriminal yang perlu kami serahkan pada mereka lantas kami akan mendapatkan hadiah?" Natsume mendengus. Saat Mikan tak merespon, Natsume mengangkat wajahnya pada gadis itu dan menatapnya getir. Selalu, selalu saja, semua rupa yang puluhan tahun lamanya ia bentuk hancur begitu saja jika menyangkut soal Mikan. Wanita itu telah mengacaukan segalanya yang Natsume bangun. "Aku melakukannya supaya kau bisa terbebas dari kesengsaraan ini. Kalau kau khawatir tentang Youichi, kau tenang saja. Akan kujaga baik-baik Youichi. Dan lihat," Natsume memberi gestur pada si penguin di samping kaki Youichi, "dengan ini, para serigala itu pasti akan mengerti dan tentu saja mereka akan menerimamu dengan senang hati. Mungkin. Setidaknya akan kupaksa mereka."

Namun Mikan tetap bergeming. Hanya diam menunduk membuat wajahnya tertutupi bayangan rambutnya. Natsume menghela napas lagi pada perasaan berat yang menyelimuti rongga dadanya, berharap Mikan ingin mengerti akan keputusan yang ia tahu hanya sepihak itu. "Kau tahu akan kulakukan apa pun supaya kau terbebas dari bahaya, Mikan," ucapnya pelan.

Barulah Mikan mengangkat kepalanya memandang lurus-lurus pada Natsume. "Natsume," panggilnya. "Kalau perasaanmu itu cukup membuatmu melakukan apa pun untuk menghalau semua bahaya yang menantiku, kalau begitu perasaanku ini cukup membuatku ingin menghalau semua bahaya itu bersama denganmu. Karena aku cinta padamu."

Kata-kata yang—begitu manis namun bukan hanya sekadar kata-kata kosong belaka. Begitu manis dan nekad sehingga meluluhlantakkan semua pertahanan yang berusaha dibangun Natsume. Membuat lemah seluruh asa diri Natsume. Membuatnya merasa ingin berteriak kuat, berlari pada Mikan dan merengkuhnya dan menyembunyikannya dari bahaya di dunia yang bengis ini.

Dirinyalah yang seharusnya mengatakan itu lebih dulu pada Mikan, karena ia sadar—sungguh sangat begitu sadar akan perasaanya, ingin bersama Mikan selamanya, memastikan pada Mikan bahwa ia pun—

Mikan tersenyum tipis. "Tentu saja bersama Youichi juga. Tapi kau sudah mengerti, 'kan? Karena itu, sudah cukup, Natsume." Ada nada parau ketika ia menguatarakan kata-kata itu, lemah dan seaakan begitu letih.Sudah cukup. "Ayo kita bertarung bersama. Saling mendukung dan melindungi." Mikan membalikkan badan tanpa mengalihkan pandangannya pada Natsume, menaruh seluruh rasa keyakinan pada suaranya. "Bersama-sama."

"Huh."

Mikan melirik pada Youichi yang dengan cepatmenyembunyikan ekspresiwajahnya dibalik bayangan rambut dan buku-buku jari tanganya."Kau. Mikan," dalam kekehnya, Youichi tergeragap. "Apa pun yang akan dikatakan kau tetap tidak mau mendengarkan, 'kan? Bukan Mikan namanya kalau tidak keras kepala sih. Aaah."

Mikan dengan nanar memandang dan mendengar pada bibir dan suara Youichi yang bergetar lemah. Mikan memahami, mengetahui keegoisannya sendiri, mengerti bahwa dirinya yang keras kepala akan menambah beban yang diemban dua lelaki vampiryang ia sayang, menambah perasaan bersalah.

Namun mereka tak akan pernah mengerti akan perasaannya.

"Hanya karena aku manusia," ujarnya.

Ia melangkah lurus ke depan tanpa menoleh lagi, tak mengindahkan suara-suara yang menyuruhnya untuk menunggu dan bukan begitu maksudku, Mikan―Mikan! Sebelum kemudianmerasakan sengatan kecil di bagian lehernya, suara-suara yang meneriakkan namanya dari belakang, dan tubuhnya terkulai jatuh ke tanah. Lemas tak berdaya dan matanya—terasa berat…

Eh?

Tepat di depan jarak pandangnya, melangkah tiga pasang sepatu boots hitam dengan jubah bernada sama.

Tubuhnya diangkat dengan dua tangan berbalutkan perban kemudian diletakkan pada satu bahu seolah dirinya adalah sekarung beras.

"Kh―MIKAN!"

Dalam kebingungan dan kesadaran yang mulai menghilang, sayup-sayup Mikan mendengar Natsume dan Youichi meneriakkan namanya lagi dan lagi.


Tidak bisa…! Sekalipun sudah dicoba untuk merenggangkan jari-jari tangannya dan mengeluarkan kuku-kuku runcingnya, tumpukan tali jaring laba-laba yang telah mengikat tubuhnya menempel pada sebuah pohon itu tidak bisa disobeknya.

Diliriknya Youichi yang turut mengalami hal serupa tak jauh darinya juga nampak tengah kesulitan untuk melepaskan diri.

Merasakan mata Natsume padanya, Youichi menangkap lirikan itu dan mengangguk.

Kalau sudah begitu, jalan satu-satunya untuk melepaskan diri adalah dengan membakar habis jeratan-jeratan yang mengikatnya. Ia hanya membutuhkan waktu yang pas untuk … kalau lengah sedikit saja… dilihatnya Mikan, yang dengan jelas tengah pingsan di pikulan satu bahu lelaki di depannya.

"Apa maksudnya ini…," gemertakkan giginya dapat terdengar oleh telinganya, matanya menatap marah pada pemandangan di depannya.3 lelakivampir berjubah yang berdiri lantang di hadapannya itu, sungguh begitu ia kenal dengan akrabnya. "Ruka…!"

Di sana si Hajime brengsek yang memikul tubuh Mikan di atas bahunya, Kokoyang hanya diam serius memperhatikan pemandangan di depannya, dan Rukayang membawa dan mengendalikan monster laba-laba raksasa yang telah menyemburkan jaring-jaring yang mengikatnya itu. Ruka, sahabat baiknya, yang sekarang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak pernah diberikan padanya; menatapnya dengan pandangan dingin berkelabut.

Tak satu pun yang menjawabnya.

Terlepas dari rasa keterkejutan yang mewarnai dirinya dan Youichi, satu hal yang mereka tahu adalah, yang berhadapan dengan mereka kala itu bukanlah kawan.

Tapi kenapa Ruka dan Koko…?

Natsume mengatup rahangnya keras. Harus…, tubuhnya menegang memberontak pada jeratan tubuhnya,melepaskan diri…!

"Percuma saja," Ruka bersuara, "kau tidak akan bisa melepaskan diri."

Apa yang telahtidak dikatakan Imai padanya?

"Jangan bercanda ya," geram Natsume. "Apa maksudnya ini? Ruka! Apa yang sudah mereka lakukan padamu? Kau masih mengenaliku, 'kan? Jawab aku, Ruka!"

Mata itu, semua tatapan itu, suara kasar parau seolah-olah telah letih berteriak, yang benar-benar berbeda itu, sama sekali tak mencerminkan sesosok sahabat yang ia tahu.

Itukah kegelisahan hati yang memperingatinya bahwa ada yang tidak Imai katakan padanya kala itu?

Apa yang sudah mereka lakukan pada teman-temannya?

"Tentu saja aku masih mengenalmu, Natsume." Jika memungkinkan, suara itu terdengar semakin dingin sedingin tatapannya. "Kau bisa memilih; pulang dengan sukarela, atau pulang dengan cara dipaksa."

"Bagaimana kalau kau serahkan Mikan dan lepaskan kami? Tunggu. Kau… kau ingat siapa Mikan, 'kan? Youichi juga."

Ruka melirik pada Mikan. "Maksudmu...manusia ini?" Ia mendengus meremehkan kemudian berbalik menatap Natsume kembali. "Maaf ya. Ini pertama kalinya bagiku."

Natsume memicingkan matanya. Benar-benar bukan kawan ternyata.

Ingatan mereka sudah dihapuskan, itu jelas sekali. Tapi sudah sejauh mana? Dan lagi… Apa mereka…?

Natsume menggeleng; tak dapat membayangkan Ruka mengalami itu semua.

Mereka juga bersama Hajime si pengendali serangga beracun, yang membuat Natsume ingat bahwa ia tak boleh lengah. Kalau begitu… Pertahanan Dangerous Ability.

Begitu menyadari akan hal tersebut, Natsume mengumpat dalam hati.

"Aaagh, Mou!" Datang suara dari Koko yang memejamkan matanya frustasi. "Ruka, Ruka, Ruka dan Ruka! Natsume-kun! Kautidak adil! Aku 'kan juga di sini!" kemudian ia mengepalkan kedua tangan dan menggoyangkannya menunjukan kegeramannya.

"Benar. Kau di sini juga, ya."

"Hei!"

Koko, dengarkan aku.

Namun, Koko bersikap seolah tak mendengarkan. Sang vampir pembaca pikiran tetap berkutat dengan rengekannya.

Natsume merasakan denyutan sakit kepala yang membuat urat kemarahannya muncul di pelipis. "Oi, Yome!" Panggilnya. Yang dipanggil berhenti merengek dan menoleh dengan seksama seolah dirinya adalah anjing penurut. "Kau mendengarkanku, 'kan?"

"Eh?" Koko memiringkan kepalanya, terlihat bingung. "Iya?"

Ia mendelik pada Koko. "Barusan. Pikiranku."

"Ah!" Koko menepukkan tinju pada telapak tangannya. "Itulah yang membuatku rasanya heran dari tadi. Tak satu pun dari kalian yang suaranya bisa kudengar."

Sial.

Sial, sial, sial.

Meskipun tengah pingsan, kekuatan Mikan masih bereaksi rupanya.

"Ck."

"Eeeh? Apa? Apa? Nee, Ruka-kun! Apa yang terjadi?" Koko memegang tangan Ruka dan mengguncangkannya.

"Tidak tahu. Lepaskan aku."

"Hah!?" Matanya membulat ketakutan dan ia melepaskan genggamannya pada Ruka kemudian menempelkan kedua tangannya pada pipinya. "Jangan-jangan aku kehilangan alice-ku?! Oh, tidak! Bagaimana ini, Ruka-kun? Tolong aku, Natsume-kuuun!"

Dahi Natsume berkerut. Dasar tak berguna. "Agak sulit melakukannya dengan kondisi terikat seperti ini."

"Sudah cukup," sergah Ruka memandangi Koko seolah berpikiran akan melakukan sesuatu yang menyakitkan untuk membuat sang pembaca pikiran diam. Ia menghela dan berbalik pada Natsume. "Kau tidak akan pulang dengan tenang dan sukarela, 'kan?"

Natsume menunduk,menyeringai mengeluarkan gigi taringnya yang runcing memperlihatkan tantangan. "Tidak akan," dengusnya.

Ketika itulah, di saat yang bersamaan Ruka menghentakkan kakinya melesat bersama laba-laba raksasanya, Natsume mengaktifkan alice-nya mengeluarkan api mengelilingi tubuhnya.

Namun ia kalah selangkah.

Satu serangga menyusup masuk, menyengat dirinya tanpa aba-aba dan begitu tiba-tiba, membuatnya kehilangan kendali pada perisai apinya dan kedua matanya perlahan-lahan menutup karena terasa berat.

Ia tak menyerah, tak ingin menyerah. Hanya saja…sulit…rasanya...sialan…

Natsume kehilangan kesadarannya. Membuat dinding api yang dibuatnya ikut menghilang secara bersamaan.

Giliran Ruka yang menyunggingkan seringaian dingin melihat Natsume yang tak lagi mampu melawan. Ia berhenti tepat di hadapan Natsume. "Memangnya dengan tubuh yang terikat ini, apa yang bisa kau lakukan, Natsume?" Tangannya bergerak meraih, memerintah laba-labanya untuk melepaskan jeratan pada tubuh Natsume. "Sekarang, kita pulang―"

Sesuatu yang gelap melesat hendak menerkam sang vampirberambut pirang dan membuatnya terkejut. Dengan cepat ia melompat menghindardanlaba-labanyamenderu maju melindungi dirinya. "Kh!"

Begitu menoleh, Ruka mendapati satulaba-labanya meraung tak besuara sementara sesuatu yang gelap merayap menggerayangi tubuh besar itu dan―kemudian hancur bagai debu. Mati.

Ruka membelalak. Matanya menoleh pada asal bayangan-bayangam hitam yang telah membunuh salah satu laba-labanya.

Lelaki yang juga terikat pada sebuahpohon itu… dari seluruh tubuhnya keluar sesuatu yang nampak…. menyeramkan.

"Jangan sentuh," ia menggeram pada Ruka.

Ruka melompat mundur di mana Koko dan Hajime berdiri.

"Ruka-kun!" Panggil koko pada Ruka dan meraih tangannya. "Ruka-kun, kau tidak apa-apa? Tidak terluka, 'kan?"

Ruka menepis tangan Koko, matanya tak berhenti menatap pada apa yang terlihat di depannya. "Tidak."

Memang tidak apa-apa, dirinya. Namun hampir saja yang tadi itu. Kalau sampai terkena sedikit saja, mungkin ia pun akan bernasib sama seperti laba-labanya.

"Dia itu….apa?" Mata itu,yang tadi tertutup tak kentara oleh bayangan rambutnya, sekarang keduanya menatap merekadengan sulutan merah semerah darah pekat bahkan lebih pekat dari warna biasa mata Natsume. Dari mulutnya nampak dua taring tajam yang siap untuk mengoyak.

Vampir…kah?

Pertanyaan retorik itu dijawab.

"Dia Newborn."

Ruka menoleh pada Koko. Newborn."Newborn, katamu? Di tempat seperti ini?"

Koko mengangguk. "Tapi dia bukan Heil seperti kita. Baunya asing."

"Begitu." Baunya memang asing bagi Ruka. Hal itulah yang membuatnya tak menyadari bahwa ada vampir lain bersama Natsume. "Lalu bagaimana bisa Newborn berada di sini? Seharusnya berada di Stonefield Temple, tempat bagi para Newborn."

"Ruka-kun," kata Koko, terdengar prihatin yang terkesan mengejek pada ketidakmengertian Ruka yang balas menatapnya dengan jengkel. "Natsume-kun adalah Sire-nya."

Ruka tertegun. "Apa. Apa?" ungkapnya kemudian pada Koko tak percaya. "Bicara apa kau? Natsume, katamu? Natsume? Darimana kau tahu itu?"

Koko balik menoleh padanya, mengerjap polos. "Dari memori Hotaru-sama. Memangnya dari mana lagi?"

Ruka membuka mulutnya, masih ingin membantah perkataan Koko itu. Namun begitu nama Hotaru diutarakan, ia jadi teringat. Ia memalingkan wajahnya kembali menghadap Youichi.

Benar. Waktu itu, Hotaru yang baru saja sampai dihadang oleh prajurit penjaga pintu masuk. Disambut oleh Persona, dan tanpa sepengetahuannya telah bersembunyi Ruka, Koko dan Hajime di balik bayangan atas perintah sang ketua. Dari memori Hotaru yang dilihat oleh Koko, sampailah mereka di tempat itu.

Sampai pada misi itu.

"Kau—Koko. Kenapa tidak kau ceritakan dari awal?"

"Eeeh?! Kalian sendiri yang bersikap acuh tak acuh padaku. Jadi bagaimana aku bisa bercerita kalau tak ada yang mau mendengarkan! Buh!"

Ruka merasa seakan kemarahannya membuncah. "Hal seperti itu kau tidak perlu—"

Tidak meghiraukan Ruka, Koko malah mengalihkan pandangannya pada Youichi dan menatapnya dengan ekspresi—semampu ekspresi standarnya terlihat—terbuka ramah dan takjub. "Nee,nee. Benar, 'kan?Natsume-kun yang mengubahmu, bukan? … You…ichi. Iya! Youichi-kun, 'kan?"

"Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi pada kalian, tapi kembalikan Mikan pada kami."

Ruka menatap pada Youichi keras. "Begitukah caramu meminta sesuatu pada yang lebih besar darimu? Tidak sopan sekali."

Youichi memejamkan mata sesaat, menahan diri. Saat kembali membuka kedua matanya, yang terpancar adalah kedataran yang balas menatap satu per satu lawan di depannya. Tak membiarkan mereka menyingkap emosinya. "Tak kusangka ternyata sebegitu mudahnya mempengaruhi kalian. Artinya tekad saat kalian memutuskan untuk menjelajahi dunia ini tidak begitu meyakinkan ya. Bisa-bisanya kalian sampai tertangkap seperti itu."

Dilihatnya Ruka, dalam ketidakpahaman dingin akan perkataan Youichi, menajam membuka mulut seolah hendak menghardik menuntut penjelasan. Namun lelakivampir perban yang masih memikul Mikan—yang sedari awal diam tak berkata apa pun—bergerak memotong dan Youichi menyeringai.

Karena setidaknya satu pertanyaan telah terjawab.

"Kita tidak perlu membuang waktu lagi," katanya dengan suara suram—sesuai dengan penampilan suramnya, pikir Youichi. "Menunggunya sampai dia kelelahan juga bukan pilihan."

Singkat dan tak perlu berkata yang lain lagi. Ruka mengerti jika mereka berlama-lama, akan sangat terlambat saat sampai Natsume tersadar kembali. Namun sebelum itu—

"Kau," tunjuk dagu Ruka pada Youichi, "aku akan melepaskan wanita ini kalau kau dan Natsume mau menurut dan pergi bersama kami."

"Ah?" Protes Koko dan bisa Ruka rasakan Hajime tengah menatapnya. Ruka hanya mengankat tangan memerintahkan kesunyian. Taktik, pikirnya, akan menjadi tak berguna jika kawan tak berpikiran sejalan.

Youichi memiringkan kepalanya malas, tak termakan bujukan Ruka. "Bukankah itu justru akan menggulingkan tujuan kalian membuat Mikan tak sadarkan diri yang sekarang sudah berada di tangan kalian? Aku tidak tahu, tapi yang pasti semua usaha itu jadinya malah sia-sia."

Jawaban Youichi membuat Ruka tersenyum sinis. "Kau pintar," pujinya, "Persona akan sangat senang denganmu."

Mulut Youichi mengikal jijik.

Ruka tertawa, masih dengan sinisnya memandang. "Baiklah kalau begitu maumu. Kami akan membawa wanita ini—Mikan. Hah," cemoohnya. Berkata bahwa dirinya kenal. "Datanglah, kapan pun kau siap."

Seringaian tajam Ruka dan lambaian kecil Koko adalah merupakan salam perpisahan sebelum mereka dan para monster laba-laba yang tersisa menghilang, meninggalkan Youichi dengan pikiran-pikirannya serta tubuh kaku Natsume bersama dengan gumpalan debu yang berterbangan.

Selang bebeapa waktu, Youichi mendengar suara pelan langkah-langkah kecil menghampiri. Saat menoleh, dengan kelegaan hati Youichi melihat robot Penguin keluar dari tempat persembunyiannya. Pada ekspresi takut dan khawatir Penguin, Youichi tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Kemarilah," katanya, "mereka sudah pergi."

"Pee!"

"Punya sesuatu yang bisa melepaskan jeratan ini?"

"Pee!"


Setelah melepaskan jeratan yang mengikat dirinya dengan alat yang dikeluarkan oleh Penguin, Youichi bergegas memotong lilitan yang menjerat Natsume yang masih tak sadarkan diri. Disandarkannya tubuh Natsume di bawah batang pohon, menunggu. Jika membangunkan Natsume saat itu, sudah pasti ia akan berang mengejar tanpa pikir panjang dan tak memperdulikan tentang apa yang akan terjadi setelahnya.

Jika saja mampu, sudah pasti ia akan melakukannya juga.

Namun Youichi sadar diri. Dengan hanya dirinya saat itu, sendirian melawan hanya akan memperpendek waktunya untuk berada di dunia. Jika sudah begitu, tak ada lagi yang bisa ia lakukan dan seluruh pengorbanan pun akan sia-sia.

Tapi Natsume… ia menoleh pada Sire di sampingnya, berharap, setelah terbangun Natsume akan mengerti dan tak membuang waktu dengan percuma. Ia ingin segera mencapai ke tempat tujuan mereka berlari, semula untuk mengharapkan perlindungan bagi Mikan, kala itu berubah menginginkan bala bantuan untuk menyelamatkan dan mendapatkan kembaliMikan.

Youichi mendongak dari tempat ia berjongkok di depan Natsume, melihat dengan nanar hari telah menampakkan gelap malamnya.

Akan menjadi gelap yang terasa panjang, pikirnya.


Natsume terkesiap bangun dengan keadaan sekeliling hutan yang telah diselimuti kegelapan malam. Hal pertama kali yang ia lihat adalah sesosok mungil si Penguin yang sedang memegang botol kecil berbentuk silinder berisikan cairan yang, tampaknya, baru saja telah disemprotkannya pada wajah Natsume. Natsume menepis si Penguin ke samping.

"Peep!"

"Ooi, Natsume," Youichi menghela seraya melangkah ke arah jatuhnya Penguin. "Lebih berhati-hatilah. Bagaimana kalau nanti si Penguin rusak. Ah, Penguin, cairan ini manjur juga ternyata."

"Pee!"

"Mikan."

Kedua kepala Youichi dan Penguin bergerak menoleh pada Natsume, menghentikan Youichi di tengah-tengah kejahilannya yang menyemprotkan cairan di dalam botol pada Penguin yang meronta-ronta ada yang berubah pada ekspresi Natsume sekalipun ia baru saja terbangun. Namun kedua kelopak matanya terbuka sedikit lebih lebar menatap dengan harap cemas pada Youichi. "Mikan…," lirihnya, "mana Mikan, Youichi?"

Ada jeda beberapa sekon sebelum Youichi membuka mulut. "Sudah mereka bawa."

Pada detik berikutnya Natsume mendapati dirinya menghentakkan tubuh Youichi ke tanah, menindih Youichi dengan kuku-kuku runcing tangannya yang menggenggam kaos Youichi hingga kain tersebut sobek di bagian kerah. Ia membundel erat kerah Youichi, menggeleng kepalanya menatap tak percaya pada lelaki berambut coklat keabu-abuan itu. "Jangan beromong kosong," Natsume menggeram dengan gigi-gigi taringnya mencuat keluar.

Youichi terkekeh lemas, memegang tangan Natsume yang gemetaran mencengkeram kerahnya, namun ia tak berusaha untuk melepaskan cengkeraman tersebut. "Aku berkata jujur."

"Kenapa?!" suara Natsume menggelegar, tak memberikan Youichi kesempatan untuk menguraikan kata-katanya. Dihentak-hentakkannya lagi tubuh Youichi dengan cengkeraman di kerahnya. "Kenapa kau biarkan?!"

"Sendirian, aku bukanlah tandingan mereka, Natsume," kata Youichi datar. "Kau juga, karena yang berhadapan denganmu adalah teman-temanmu sendiri, kau sendiri jadi tak bisa melawan, 'kan?"

Natsume terdiam.

"Kau tahu apa yang tadi itu Ruka katakan padaku?" Youichi menatap Natsume dengan pandangan dingin. "Katanya, Persona akan sangat senang sekali padaku." Youichi mendengus, merasakan geram di dadanya. "Pembunuh itu, bangsat sekali dia."

Napas Natsume menderu, matanya terpejam erat dan gigi-giginya gemertakkan—mati-matian menahan emosinya yang semakin membuncah keluar. Bersusah payah melonggarkan cengkeramannya yang erat pada kerah Youichi sebelum akhirnya ia berhasil melepaskannya. Natsume menatap kedua tangannya yang masih gemetaran menahan gejolak-gejolak kemarahan dengan pandangan tak percaya. Perlahan, jemarinya membentuk kepalan tangan dengan kuku-kuku runcing nan tajam yang masih keluar, menekan dan menancap daging telapak tangannya hingga membuat darah merah kental merembes keluar dari luka-lukanya.

Berengsek….

Berengsek, berengsek, berengsek—

Natsume memukul kedua tangannya yang berdarah ke tanah sekuat-kuatnya, "BERENGSEK!"

Di hadapan Youichi yang masih terduduk dengan penampilan acak-acakan dan mata yang memandang dengan tatapan hampa, Natsume tumbang.

Natsume berteriak marah, membuat kegaduhan di hutan gelap yang sebelumnya sepi akan suara, menyumpah serapah dengan berbagai kata yang sarat akan kekotorannya, melampiaskan semuanya dengan memukul berkali-kali tanah yang menjadi saksi bisu kejatuhannya—tak berdaya. Ia merasa tak lagi berdaya. Ketidakberdayaan yang berbeda dari ketika Mikan mengutarakan perasaannya—Mikan yang sekarag tak lagi bisa ia rasakan keberadaannya—ketidakberdayaannya sekarang itu berasal dari realisasi akan kelalaiannya pada Mikan.

Pada Youichi. Orang tua mereka. Teman-temannya.

Natsume menggila; merasa ingin menangis, ingin sekali untuk menangis. Di saat bersamaan merasa ingin sekali menyobek-nyobek kulitnya sendiri, menghancurkan dirinya sendiri, membuat mati lagi dirinya sendiri karena—ia tak sanggup.

Benar-benar sangat tak sanggup untuk kehilangan Mikan.

"Berharap kau akan menanganinya dengan tenang rupanya angan-angan yang terlalu besar ya."

Natsume meluruskan punggung dari posisinya yang meringkuk, mendongak dan bertemu pandang dengan Youichi yang menatapnya lurus-lurus dengan tatapan nanar. Tak lagi hanya memandang dengan tatapan kosong seperti beberapa saat lalu ia menyaksikan keterpurukan Natsume. Tak lagi memandang Natsume dengan pandangan dingin saat ia mengatakan tentang apa yang telah Ruka implikasikan padanya. Ada perasaan getir dari nada Youichi berbicara, tak lagi berkata dengan intonasi datar seperti beberapa saat yang lalu ia memberitahu Natsume bahwa Mikan telah hilang menjadi sandera.

Youichi membuka mulutnya lagi, namun ia urung mengatakan apa pun yang ingin dikatakannya pada Natsume. Gantinya ia hanya melengos letih dan menyunggingkan sebuah senyuman kecut.

Dan Natsume—Natsume merasa dirinya merupakan makhluk paling egois yang ada. Memang sangat egois, dirinya yang berpikiran bahwa ia sendirian yang menderita.

"Wah, wah, waaaah."

Sebuah suara yang tiba-tiba datang bersamaan dengan bunyi gemerisik semak-semak yang dipijak sontak membuat Natsume memutar badan ke arah sumber suara, menggeram dengan rentangan satu tangan yang diposisikan defensif untuk menyembunyikan Youichi di belakangnya.

"Kacamata, lihatlah! Apa yang telah terjadi di sana itu."

"Berhenti memanggilku kacamata, Tono."

"Kalau begitu berhentilah memakai kacamata, Kacamata. Memangnya untuk apa kau memakai kacamata sih? Itu kan tidak perlu. Lalu bagaimana ceritanya kau masih bisa membawanya tanpa retak barang sedikit pun?"

"Berisik. Hal ini dan itu tidak perlu lagi dibicarakan."

Dua sosok lelaki yang hanya mengenakan selembar kain celana pendek penuh sobekan melangkah dari bayangan semak-belukar. Mereka berhenti beberapa meter dari Youichi dan Natsume. Natsume beringsut mendesis begitu hidungnya mencium bau yang sudah tak asing lagi baginya.

"Ha," salah satunya yang berambut panjang hitam legam terbahak. Ia menoleh pada rekannya yang berkacamata seraya menunjukkan satu telunjuk pada Natsume dan Youichi yang masih dengan posisi tegang berlutut. "Vampire!"

"Sudah tahu," lelaki berkacamata menghela napas lelah karena tingkah hyperrekannya itu.

"Apa mau kalian?" Natsume menggeram sengit, "katakan dan cepatlah enyah dari sini!"

"Oh ho," seringai terhibur tersungging di bibir lelaki berambut panjang, Tono ia dipanggi, namun sedetik kemudian peringainya mendingin. "Harusnya kami yang bertanya apa mau kalian. Kalian itu ada di wilayah kami lho. Jadi yang seharusnya enyah itu adalah kalian sendiri."

Youichi mengetuk pelan lengan Natsume, memperingati si vampir berambut raven tentang tujuan mereka ingin datang, mengetahui kedua sosok di depan mereka adalah yang mereka cari selama tiga hari sepekan.

Namun Natsume yang masih merasa getir akan terculiknya Mikan tak menampiknya.

"Kami mendengar kegaduhan di daerah kekuasaan kami ini," lanjutnya sengaja menekan kalimatnya. "Karenanya kami kemari. Tak kusangka kalian rupaya masih berani berdiam di sini." Tono menatap Natsume sinis seolah-olah sang vampir telah menghina seluruh anggota keluarganya, dan memang mungkin saja dalam kamusnya vampir tak dikenal memijakkan kaki tanpa ijin di wilayah mereka merupakan penghinaan terbesar terhadap seluruh anggota keluarganya. "Aku sarankan kalian pergi dari sini kalau tak punya urusan di sini." Ia berhenti sejenak, menggerutu, "sejujurnya menemukan satu Rogue yang terluka itu sudah lebih dari cukup."

Kedua pasang mata Natsume dan Youichi menyipit tajam.

Lelaki berkacamata menyikut Tono. "Memangnya dia masih pantas kau sebut Rogue?" omelnya.

Tono mengedik mengangkat telapak tangannya menghadap atas tak peduli, "faktanya dia memang si Rogue, 'kan?"

Namun si kacamata tak mendengar, sebaliknya sepasang dua matanya menatap pada satu titik di kegelapan tak jauh dari posisi kedua vampir, bersembunyi mengintai di balik pohon—

"Penguin!?"

"Eh? Mana?" Lelaki berkacamata menyiku Tono lagi dan menunjuk pada titik bawah di sebuah pohon. Natsume dan Youichi ikut menoleh. Tono memekik, "Penguin? Penguin!"

"Peeeee!"

Satu buntalan melesat cepat—entah bagaimana, dengan tubuhnya yang mungil—dan melompat dalam rentangan tangan Tono dan lelaki berkacamata. Natsume dan Youichi yang sudah berdiri dari posisi berlutut mereka menganga dengan ekspresi minimal.

Kenal?

Youichi mengangguk. Kenal.

Pertanyaan demi pertanyaan antusias dilontarkar dua lelaki itu pada si Penguin dan Penguin hanya menjawab dan memekik dengan cara bicaranya yang khas:

"Penguin! Kenapa bisa di sisni?"

"Pee!"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Pee!"

"Bagaimana kau bisa di sini?"

"Pee pee!"

"Oh…bagaimana dengan tuanmu?"

"Pee…"

"Oooh. Hmmm."

Memangnya kalian bisa bahasa penguin? Pikir kedua vampir bersamaan, merasa konyol melihat situasi yang mereka saksikan di hadapan mereka. Tapi nampaknya mereka memang mengerti?

"Youichi."

"Ya," Youichi balas berbisik.

"Kau juga mengerti apa yang dikatakannya?"

Youichi mengedik. "Aku hanya bertanya ini-itu dan kalau Penguin bisa, dia akan menunjukkannya padaku."

"Heh."

Sementara itu, dua lelaki asing di depan mereka masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang dijawab rentetan "pee" oleh penguin dan mereka respon dengan "ooh", "aah", "hmm", "wah gawat sekali" dan sebagainya.

Akhirnya, Tono dan si Kacamata saling bertatapan dan mereka mengangguk kolektif. Keduanya kemudian beralih menatap lurus-lurus pada kedua vampir, bibir terkatup rapat dan Tono berkata, "baiklah, kalian berdua; ikut kami."

Giliran Natsume yang mengatupkan bibir dan menatap curiga pada kedua lelaki—kedua werewolf—di depannya. "Kenapa?"

"Penguin berkata," penguin yang dimaksud mendengking, "kalau kalian baru saja diserang dan salah satu dari kalian telah diculik," Tono menaikkan satu alisnya, "'kan?"

Natsume mendelik dingin pada Penguin, membuatnya bergidik takut dan menyesapkan tubuh mungilnya di dada bidang Tono yang menjadikan tangan besarnya sebgai tempatnya bertengger.

"Hei, hei," lelaki berkacamata mengangkat tangan mengalihkan perhatian Natsume dari si penguin, "kalau memang tidak ingin ikut tidak mengapa; kami tak akan memaksa. Kami hanya akan membawa si penguin dari sini." Ditepuk-tepuknya lembut kepala penguin menenangkan, membuatnya mendengkur karena perhatian yang diberikan padanya. "Di tubuhnya ini sudah diisi informasi dan pesan penting dari Imai-san, seperti biasa."

Salah satu alis Natsume menaik cepat. Sesuai kata Imai, robot penguin itu diberikan untuk dijadikan sebagai perantara pesan yang ingin disampaikannya pada pemimpin para serigala mengenai perihal situasi Mikan dan lain sebagainya. Tapi dua lelaki serigala itu bilang seperti biasa? Imai… wanita itu, jangan katakan kalau diam-diam dia sering berhubungan dengan para siluman serigala.

Natsume berpikir, pantas saja dia banyak tahu mengenai dunia serigala. Dan itu semua bukan hanya karena dia adalah merupakan keturunan darah murni Rein.

Youichi melangkah dari belakang Natsume. "Jika memang diperbolehkan, ijinkan kami untuk ikut," katanya, lantang namun juga sopan.

Natsume terpekur, namun ia tak menyela deklarasi Youichi.

Kedua werewolf hanya diam. Namun tepukan halus tangan penguin pada kulit Tono mengalihkan keduanya. "Pee," rengeknya.

Di luar dugaan Natsume, kedua serigala bersikap lebih toleran dari yang telah sudah-sudah dibayangkannya.

"Baiklah," lelaki berkacamata mengangguk dan tersenyum. "Paling tidak salah satu dari mereka mau bersikap lebih jujur."

"Yah," Tono menghela, "sedikit banyak, Penguin sudah menceritakan semuanya pada kami. Kalian bisa ikut kalau memang masih ada yang ingin kalian sampaikan. Kami pecaya pada si penguin. Tapi, kalau kalian mencoba melakukan sesuatu yang aneh," diangkatnya tangan membuat gerakan menyayat lehernya sendiri, "kalian mati. Lagi," ancamnya berbahaya.

"Pee!"

"Haha! Iya, iya. Baiklah Penguin, aku akan bersikap baik. Penguin, berhenti menendangku; itu tidak sakit!"

"Pee!"

"Aaah. Duuuuh, kau ini lucu dan imut sekali, Penguin!" Tono menyeka air mata dari sudut matanya sementara temannya masih tertawa gemas karena tingkah agresif robot mungil yang pintar tersebut. "Nah," katanya tersenyum lebar pada Penguin, "Penguin, ikutlah bersama mereka. Soalnya kami akan berlari dengan wujud asli kami. Akan sulit untukmu kalau kau menempel dengan kami. Tidak apa-apa, 'kan?"

"Pee!"

Penguin lantas turun dari tangan Tono dan bergegas menghampiri kedua vampir dengan kaki-kaki kecilnya. Tak jauh beberapa langkah ia berhenti, ragu saat melihat dua mata merah Natsume tertuju padanya. Menyadari keraguan Penguin, Youichi berlutut dengan satu kaki dan mengulurkan tangannya. Penguin langsung bergerak menghampiri Youichi yang menurutnya lebih ramah dan tak berbahaya begitu Natsume membuang muka acuh tak acuh padanya.

"Okay." Kedua werewolf bergerak merenggangkan badan sebelum kemudian berbalik badan, menyiapkan posisi. "Ayo kita pergi."

"Tunggu," Youichi buru-buru menahan. Tak jauh di hadapannya menggantikan lelaki berkacamata telah berdiri dengan empat kaki jelmaan siluman serigala yang sangat besar dengan bulu-bulu kuning kecoklatan sementara Tono nampaknya baru saja akan bersiap-siap untuk berubah. "Tadi, kalian bilang kalian menemukan…"

"Rogue?"

Youichi mengangguk tak yakin. "Aku tak begitu mengerti dengan istilah itu. Tapi apa mungkin yang kalian temukan itu juga yang seperti kalian, werewolf," raut wajah Youichi berubah mengharap, "…dan namanya adalah Tsubasa?"

Mata kedua werewolf membulat namun tak kentara. Tono yang masih dalam wujud manusianya mengerling pada Youichi dan menyunggingkan seringaian nakal, membuat Youichi gelisah ingin membentak menantikan jawaban. "Kalau memang ingin tahu, ikutlah," pancing sang werewolf sebelum ia pun ikut berubah menjelma seekor serigala berbulu hitam legam yang bentuknya tak kalah besar dari bentuk temannya.

Youichi tercekat, berharap dengan sangat besar, dan bersiap melangkah untuk mengikuti kedua serigala, sebelum Natsume Sire-nya sekaligus lelaki yang dicintai kakaknya menahan ragu, mengutarakan namanya dengan intonasi yang terdengar bersalah. Youichi menoleh.

"Youichi. Aku…," Natsume berhenti sejenak, mempersiapkan diri untuk melanjutkan kata-katanya, dirinya ingin—

"Tak apa."

—meminta maaf. Atas kelalaiannya, kelemahannya, keterpurukannya dan juga kebodohannya karena mengabaikan fakta bahwa Youichi pun merasa sengsara. Sekali pun ia telah memijakkan kaki di dunia lebih lama dari Youichi, ia masih kalah telak. Memang benar, teruntuk wanita yang telah mengambil hati, perhatian dan cintanya itu, Natsume tak pernah berdaya.

"Pada akhirnya kau sendiri sudah mengerti 'kan, Natsume," lanjut Youichi lagi, menatap serius pada Natsume. "Mereka tak akan melakukan apa pun pada Mikan sebelum mereka menangkapmu juga. Jadi kalau memang niatmu ingin menyelamatkan Mikan sebegitu besarnya, Natsume, maka kumohon kali ini saja. Baik kau dan aku sama-sama tahu, berdua saja kita tak berdaya."

Bagi Youichi, baik dirinya mau pun Natsume sama-sama bukan tipe yang gampang berbicara mengenai hati. Namun untuk beberapa hal ia dapat memahami. Dan baginya semua itu sudah cukup dibuktikan melalui tindakan dan bukan dengan kata-kata.

Natsume bernapas lega dan ia mengangguk. "Aku mengerti," ujarnya halus.

Kedua serigala di depan mereka menyalak, menyuruh untuk bergegas. Youichi menepuk punggung Natsume, menandakan bahwa keduanya telah baik-baik saja, sementara tangan satunya mengapit Penguin di selangkanya menyuruh untuk berpegangan erat.

"Mari kita pergi, Sire."

Natsume mengangguk lagi, menatap ke depan pada seluruh kegelapan malam hutan dan keduanya melangkah dengan tekad baru tanpa menyisihkan sedikit pun ruang untuk merasa ragu.

Prioritas utama mereka adalah untuk mennyelamatkan kembali Mikan.


.

.

.

Dari balik selangka Youichi yang terus berlari kencang menyamai pergerakan werewolf tak jauh di depan mereka, si Penguin yang memegang erat kerah Youichi menatap arah belakang mereka, mengatakan sampai jumpa balik pada sang vampir Pembaca Pikiranyang berjam-jam lalu berbisik dalam pikirannya untuk menuntun vampir rekannya dan rekan tuannya itu untuk sampai ke tempat yang sudah sering sekali dikunjunginya.

Berhasil. Entah hal itu akan terdengar atau tidak, pikirannya tetap berusaha mengirim sinyal pada vampir yang tak letih menyunggingkan sebuah senyuman lebar di wajahnya itu.

.

.

.


Hotaru membuka mata perlahan begitu ia mendengar deritan memekakkan telinga dari pintu besi ruangan yang terbuka menuntun koridor sempit pada ruang jeruji yang menjadi tempatnya ditahan.

Rantai-rantai kokoh mengikat pergelangan tangannya pada dinding di belakangnya, menimbulkan bekas di sana karena ia tak mampu lagi berdiri tegak menahan berat tubuhnya yang semakin melemah. Untuk menggerakkan satu jari barang sedikit saja rasanya ia tak sanggup. Sudah berapa lama dirinya ditahan dengan posisi seperti itu dan tak dibiarkan dirinya meminum setetes pun darah untuk menopang hidupnya. Ia sangat kehausan.

"30 menit," terdengar suara datar Reo Mouri yang perlahan melangkah menjauh dan sengaja menutup dengan kasar satu-satunya pintu besi yang menghubungkan ruangannya dengan koridor luar.

Di depannya, dari balik jeruji yang menahannya, berdiri Ruka dan Kokoro Yome.

Ruka, mate-nya. Yang aroma dan kehadirannya sudah sangat dirindukannya. Hotaru menyunggingkan senyuman lembut yang eksklusif diperuntukkan untuk Ruka seorang diri.

Namun, senyuman yang dibalas oleh Ruka tak selembut senyuman yang diberikannya. Nyatanya senyuman itu menorehkan bahaya dan juga ancaman.

"Hotaru! Sayangku!"

Dada Hotaru tercekat. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia mendengar suara Ruka? Terakhir adalah saat ia kedapatan oleh Ruka hendak pergi menjelang malam ke dunia manusia berniat mencari keberadaan Hyuuga. Sudah berapa lamakah itu? Lima hari? Satu minggu? Hotaru tak tahu. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit adalah suara itu, suara Ruka itu tak mencerminkan kasih sayang dan juga kelembutan Ruka. Suara yang memanggilnya sayang itu bernada sarkastik dan mencemooh.

Hotaru memejamkan matanya tak berdaya.

"Ruka-kun." Suara Koko terdengar tajam memperingati.

"Ck. Hah." Ruka memutar bola matanya ke atas. "Baiklah, baiklah," katanya malas. "Aku kemari hanya ingin memberitahukan kabar bagus. Untukku dan para vampir di sini. Tidak tahu bagaimana denganmu. Tergantung perspektif masing-masing."

"Ruka."

Suara tangan Ruka yang ia banting kuat memukul pintu jeruji dapat terdengar menggema di setiap sudut ruangan. Hotaru menyentak mundur dan napasnya tersendat karena bisingnya.

"Kokoro Yome," hardik Ruka balik dengan lebih sengit, matanya melototpada lelaki di dekatnya tak suka, "tak bisakah kau tak menggangguku? Apa yang kau lakukan di sini bersamaku? Tidakkah sebaiknya kau pergi mengunjungi penjara mate-mu sendiri?"

Rahang Koko mengatup keras. "Akan kulakukan setelah menemanimu," jawabnya datar.

Ruka mengedikkan bahunya. Ia menolehkan kembali pandangannya pada Hotaru yang hanya bisa balik menatap Ruka melalui sela poninya yang berantakan tak beraturan.

"Kembali pada kata-kataku tadi sebelum disela dengan tak sopannya," sindir Ruka. Ia tersenyum pada Hotaru senyuman mengerikan itu dan kemudian ia bertepuk tangan sekali. "Kami sudah menangkap wanita itu! Siapa namanya?" ia berlagak memikirkan dengan satu tangan di dagu. "Aha!" Satu tangannya menjentakkan jari, sudut bibirnya kembali menyunggingkan senyuman kotor dan berbahaya. "Mikan Sakura," kekehnya.

Hotaru menggigit bibirnya yang telah kering menahan lapar dan lelah. Memejamkan matanya erat, ia menarik napas dalam-dalam.

"Sayangnya," raut wajah Ruka mengeras benci, "kami tidak berhasil menangkap Natsume Hyuuga kesayanganmu itu, Sayang."

Dahi Hotaru dan Koko mengkerut bersamaan.

"Hentikan itu, Ruka." Suara Hotaru akhirnya keluar serak. "Kau tak tahu apa yang sedang kaulakukan sekarang."

"Aku tak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang?" beo Ruka. Ia terkekeh kemudian. "Hebat sekali kau berbicara, untuk ukuran seorang penghianat sepertimu."

"Ruka, sudah cukup!"

Ruka berbalik cepat, mencengkeram kerah jubah dan menindih tubuh Koko keras pada dinding di belakangnya. "Kenapa, Koko?" geramnya. "Apa hakmu menyela seenaknya saja saat aku sedang bicara pada mate-ku sendiri, hm? Kau cemburu?" Ruka terbelalak garang, cengkeramannya pada jubah hitam Koko mengerat. Ia menghentakkan tubuh Koko sekali. "Kau cemburu, hah?! Menginginkan mate-ku juga?!"

Koko sudah tak tahan.

"Kau sudah gila, Ruka?!" desisnya, menatap Ruka tepat di manik mata. Dicengkeramnya juga jubah hitam yang dikenakan Ruka erat. "Apa kau tidak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutmu sendiri itu?!"

"Kau sendiri, dari tadi hanya menyela pembicaraanku saja. Kenapa tidak kau katakan juga pada Hotaru di sini mengenai apa yang tadi kau laporkan pada pimpinan divisi? Tentang apa yang telah kau temukan dari memori Hotaru yang seharusnya sudah kau beritahu berhari-hari yang lalu, hmm?"

Koko membatu, matanya melirik resah pada Hotaru sekilas. "Ruka—"

"Kenapa kau ragu, Koko?" Ruka menatapnya dingin. "Kau tidak ingin disebut sebagai komplotan mereka, 'kan?"

Koko terdiam. Teman di hadapannya itu sudah tak tertolong.

Ia melepaskan cengkeramannya pada jubah Ruka, membuka mulutnya tanpa balas memandang dua pasang mata yang menatapnya dengan seksama. Pandangan sama persis seperti yang baru saja dirasakannya beberapa jam yang lalu, menunggu hasil laporan pengamatannya. Namun sekarang, yang satu memandangnya dengan tatapan menantang dan yang satunya lagi menatapnya tak berdaya.

"Hotaru Imai memerintah Natsume Hyuuga untuk pergi membawa manusia Mikan Sakura bersama adiknya Youichi Sakura yang baru saja diubahnya menjadi Newborn, ke hutan terjauh bagian Selatan, hutan bangsa para werewolf."

"Lalu?" Ruka menyeringai.

"Lalu kami pergi untuk menemukan Natsume Hyuuga namun hanya mampu kembali dengan membawa manusianya."

"Kesimpulan dari pemimpin divisi?"

"Kesimpulannya," Koko menatap Ruka dengan nyalang, "campur tangan dari Hotaru Imai kemungkinan dapat mendatangkan perang kalau saja kita tidak dengan cepat menghentikan rencananya. Dan Hotaru Imai akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas tindakan penghianatannya."

"Hm." Ruka mengangguk puas. Ia melepaskan cengkeramannya pada jubah Koko dan berbalik menatap Hotaru. "Kau hebat, mate. Mau mendatangkan perang, eh?"

"Imai-san terlihat sangat kesakitan, Ruka," Koko berbisik, menatap Hotaru yang terlihat begitu memprihatinkan. Hentikan, batinnya berteriak memohon pada Ruka. Tak bisakah kau melihat mate-mu sendiri sedang menderita? "Sepertinya Imai-san mereka biarkan kelaparan di sini."

"Oh," Ruka mendekut, bibirnya mengerucut menatap dengan pandangan simpati yang palsu, "apakah mate-ku ini sedang kelaparan? Kasihan sekali."

"Itu saja yang ingin kalian katakan padaku?" Mata Hotaru menatap pada Ruka, menantang. "Padahal…padahal belum terlalu lama kala itu kau berada di posisiku sekarang ini, Ruka."

Ruka mundur selangkah menjauh dari jeruji besi Hotaru. Belum sempat ia ingin menanyakan maksudnya, Hotaru lebih dulu melanjutkan dengan lirih, "memang dasar bodoh kau, Ruka. Dasar bodoh. Aku benci sekali padamu."

Ruka mendengus. Ia berbalik melangkah menjauh menuju pintu keluar. "Penghianat sepertimu sebaiknya membusuk saja di sini," katanya dengan tak berperasaannya.

"Jangan pernah kau tunjukkan mukamu di hadapanku lagi, kau dengar?" balas Hotaru sengit. Ruka berhenti melangkah, tangannya sudah menarik pintu besi itu terbuka. "Aku sudah…sudah tak ingin melihat wajah bodohmu itu lagi."

Selang beberapa detik berikutnya, Ruka kembali melangkah, keluar dari ruang tahanan tersebut, meninggalkan hanya Koko dan Hotaru terdiam kalut di dalamnya.

Hotaru memanas dan napasnya kembali menderu tak karuan, namun dirinya tak memiliki cukup energi untuk bereaksi. Ia kelaparan, lelah dan sakit hati. Sakit sekali hatinya, merasa seolah-olah rongga dadanya telah dikoyak dengan tak berperasaannya. Mungkin juga memang sudah dikoyak, oleh tajamnya runcingan kuku-kuku tak kentara dan juga kata-katanya yang begitu menyayat.

Sekali pun sudah tahu Ruka dan pikirannya telah dimanipulasi oknum-oknum para petinggi yang memanfaatkan emosi psikologinya yang labil, Hotaru tetap sakit hati. Tak berdaya dan juga frustasi.

Ketukan lembut pada jeruji besinya membuyarkan Hotaru. Ia mendongak, mendapati Kokoro Yome tengah menatapnya dengan tatapan yang tak mampu ia artikan. Keresahan dan rasa frustasi membuatnya sulit untuk berpikir jernih saat itu.

Kau tidak mengatakan keseluruhannya. Koko mengangguk.

Kenapa? Koko tak merespon.

Kau tahu tentang si Penguin, 'kan? Koko mengangguk lagi.

Kalau begitu kau tahu mengenai seluk-beluk dunia ini. Kali ini, Koko menggelengkan kepalanya.

Hotaru menghela. Apa Penguin akan baik-baik saja… Koko mengangguk.

Bagaimana aku bisa mempercayai semua itu? Koko menyilangkan kedua jari telunjuknya di depan dada di mana jantungnya berada.

Cross my heart, gestur itu seakan berkata pada Hotaru.

Kau lawan atau kawan, Yome-san?

Koko tak merespon. Hanya menatap Hotaru dengan datar dan tak beremosi.

Hotaru menghela lagi. Terima kasih, ucapnya dalam hati. Apa kau bisa pergi dari sini sekarang? Maaf, tapi aku membutuhkan waktu untuk sendirian.Untuk sesaat, Koko nampak berkonflik dengan dirinya sendiri.

Suara berderit pintu besi terbuka dari luar menginterupsi dan Reo masuk dengan pandangan marah ditujukan pada Koko. "Oi, Yome! Waktumu sudah habis, cepatlah keluar!" sergahnya.

Dalam sekejap, Hotaru menyaksikan dengan takjubkeseluruhan emosi datar telah bersih terhapus dari wajah Koko,diganti dengan senyuman lebar tersungging di bibirnya yang Hotaru hubungkan sebagai topeng kepalsuan. Tak terlihat lagi ekspresi bersimpati yang memandang Hotaru tak tega, juga tak terlihat lagi ekspresinya yang beberapa saat lalu memandang kalut dan juga marah menyalang pada Ruka.

"Iya, iya." Koko berbalik dengan santainya, berjalan ke arah pintu keluar di mana Reo berdiri masih dengan ekspresi memberengutnya. "Aku hanya sedang mengamati. Itu, memangnya Hotaru-sama tidak kalian beri makan ya. Kan kasihan," rajuknya dibuat-buat. Tangannya bergerak merangkul bahu Reo saat ia telah berdiri di dekat kepala pimpinan penjara bawah tanah Alcatraz tersebut.

Reo bergerak menepis rangkulan Koko. "Itu bukan wewenangku," jawabnya.

"Eeeeh?"

Reo mengalihkan pandangannya. "Ada hal-hal yang bisa dan juga tak bisa kulakukan untuk tahanan di penjara ini."

"Eeeeh? Tapi 'kan kau pimpinannya di sini?"

"Dengar, akan kupikirkan sesuatu nanti. Kau ini berisik sekali! Nogi saja yang notabenenya memiliki hak penuh atas Imai tidak secerewet kau ini."

"Wah! Akhirnya kau mau mengakui Ruka-kun?"

"Tutup mulutmu!"

Dan pintu pun tertutup. Meninggalkan Hotaru dalam ruangan senyap yang hanya remang diterangi oleh lilin-lilin yang menempel di setiap sisi dinding koridor.

Sendirian dalam kelaparan, rasa lelah, keputusasaan dan juga hati yang patah.


"'KAN?!"

Saat ini mereka sedang berdiri di depan ruang jeruji besi yang menahan Sumire Shouda-Yome. Sumire meronta-ronta ingin dibebaskan begitu hidungnya mencium aroma familiar Koko. Melihat kondisi mate-nya yang tak lebih buruk dengan kondisi Hotaru di mana kedua tangan Sumire terlilit erat dengan rantai-rantai di belakangnya, mulut yang dibekap dengan sehelai kain yang dikeratkan di belakang kepala,terlihat kelaparan serta lemah tak berdaya dengan wajah lusuh yang berantakan, Koko melempari Reo dengan pandangan menuduh yang dibuatnya sedramatis mungkin. Reo melotot dan menutupi kedua telinganya menghindari bisingnya jeritan Koko.

Beberapa saat yang lalu setelah meninggalkan ruang tahanan Hotaru, Koko mencoba merayu Reo untuk membiarkannya pergi mengunjungi ruang tahanan mate-nya. Tentu saja Reo menolak karena hal itu bertolak belakang dengan kesepakatannya yang hanya memperbolehkan dua anggota Heil Nogi dan Yome untuk menggunakan masing-masing waktu mereka masuk dalam ruang penjara bawah tanah tersebut. Yome sudah menggunakan waktu tiga puluh menitnya mengunjungi ruang tahanan Imai, jadi tak ada lagi waktu tambahan untuknya.

Reo tetap bersikeras tak mengijinkan sekali pun Koko menatapinya dengan pandangan aneh yang membuatnya bergidik seram.

Namun ia ketakutan begitu Koko mendekatkan bibirnya yang masih menyunggingkan gurat senyuman licik dan usil pada telinga Reo dan membisikkan rahasia-rahasia Reo yang tak seorang pun tahu akan keberadaannya kecuali, nampaknya, pemilik alice yang mampu membaca pikiran di hadapannya itu.

Pada anggukan menyerah Reo, Koko bersorak gembira—lagi-lagi dengan begitu dramatisnya, membuat Reo mengomel agar Koko memelankan suara karena mereka masih berada dalam penjara yang sunyi itu.

Di perjalanan menuju koridor yang membawa mereka pada ruang tahanan di mana Sumire berada, Koko berkata setengah bercanda, "jangan-jangan kalian juga tak memberikan mate-ku asupan makanan."

Dan rupanya benar saja.

"Biarkan aku masuk ke dalam!" rengek Koko memerintah.

"Jangan bercanda! Tak akan kubiarkan kau keluar lagi begitu kau masuk ke dalam!"

"Mou! Kalau begitu lepaskan rantai-rantai itu darinya! Kalian kejam sekali!"

"Itu memang sudah perintah!"

"Kalau tidak dilepaskan aku akan meneriaki semua—"

"Ck!" Reo meraba dinding di dekatnya, menemukan sebatang besi yang mencuat di tengah kemudian menariknya ke bawah. Nampaknya besi tersebut berhubungan langsung dengan rantai yang erat melilit Sumire, karena begitu ditarik ke bawah rantai-rantai tersebut melonggar dan dengan sisa energi yang masih dimilikinya Sumire merangkak mendekati jeruji besi. Ia merengek dari balik kain yang membekapnya, memanggil perhatian Koko.

"Kau dan mate-mu itu sama-sama berisiknya. Aku lebih suka pada Nogi yang tak pernah sekali pun membuat kegaduhan begini."

"Jangan samakan aku dengan Ruka," Koko berkata datar—dan entah hanya bayangan Reo saja, tetapi rasanya nada Koko terdengar sedikit dingin—dari posisinya berjongkok tengah membuka ikatan kain yang membekap mulut Sumire.

"Hm. 30 menit."

"Eeeeeeh?! Satu jam!"

"Dua puluh menit! Jangan tawar-menawar lagi!"

"Buuuh! Dasar pelit!"

Reo keluar dengan pintu ditutup kasar, membuat Sumire terhentak.

Begitu ditinggal berdua saja dengan Sumire, Koko menanggalkan topengnya, memperlihatkan raut wajah yang berubah serius dan kilatan berbahaya nyalang di kedua matanya.

"Koko," Sumire berbisik serak dengan pikiran berkelabut yang tak karuan. Ia mendekatkan wajahnya di sela-sela jeruji besi. Seketika, aroma semerbak Koko membalut, membuatnya pusing saat dengan antusias ia menghirup aroma itu seolah-olah ia kecanduan.

Koko mengecup seluruh wajah Sumire yang dapat diraihnya. Kening, pelipis, mata, hidung, pipi, dagu dan kemudian bibir keringnya yang ia pagut dengan hasrat yang telah terlalu lama dipendamnya membuat Sumire bergetar hebat merasakan sentuhan-sentuhan lelakinya yang kasar namun secara bersamaan juga begitu lembut di tubuhnya.

Koko membalikkan dengan lembut tubuh Sumire untuk membelakanginya, menyandarkannya pada jeruji besi sementara Koko merapatkan tubuhnya sendiri menghadap punggung Sumire. Dari jeruji ia memasukkan tangan kirinya, menyesapi rambut mate-nya dan mencengkeram lembut. Ia menggigit tangan kanannya sendiri, mengeluarkan darah yang membuat tubuh wanita yang direngkuhnya menegang.

Koko menjulurkan tangannya yang berdarah tersebut pada bibir Sumire, menyuruhnya untuk meminum dan mengambil apa yang sudah menjadi haknya.

Dengan hasrat yang ganas, Sumire mengeram dan merengek dengan deru napas berat, menancapkan taringnya pada tangan Koko, menghisap sesuap demi sesuap darah manis milik Alpha-nya yang terhidang di depannya dengan penuh rasa nikmat.

"Suush." Dikecupnya lama dan mesra kepala Sumire menenangkan, sesekali mendesis karena ia ikut merasakan sakit dan juga nikmat yang dirasakan oleh mate-nya.

Pandangannya masihlah nyalang, mengingat kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu ketika Sumire kedapatan sedang mengendap-endap mencari-cari di setiap sudut kota karena kekuatan Koko menyebar luas semenjak ia masuk dalam divisi yang dipimpin Persona, membuat tindakannya dicurigai dan dipertanyakan oleh otoritas para petinggi hingga Sumire dicap sebagai penghianat mata-mata.

Koko menggertakkan gigi-giginya bersamaan. Karena dirinya, karena diri Koko yang penasaran dan terlalu ingin tahu, mate-nya kini menderita, memaksakan diri menyatakan bahwa Koko tak ada sangkut pautnya dengan semua tindakan yang dilakukannya.

Padahal sebaliknya! Andai saja Koko diam tak bersuara menceritakan kecurigaannya pada Sumire, Sumire tak akan pernah mendekam di sini, di penjara ini!

Karena dirinya, banyak yang menderita. Sumire, Natsume dan manusianya serta adik dari manusianya. Imai yang kini juga di penjara dan secara tak langsung, Ruka pun menderita.

Namun Koko masih merasa kesal dengan cara Ruka memperlakukan Imai. Imai tak pantas diperlakukan dengan begitu tak berperasaannya oleh mate-nya sendiri. Melihatnya diperlakukan begitu membuat Koko merasa bersalah dengan sangat teramat. Akan tetapi, bagaimana pun Ruka masih berada dalam pengaruh manipulasi otoritas pimpinan mereka.

Koko menggeram. Kemudian ia mengetatkan kungkungannya di kepala Sumire, memeluknya lebih erat dalam rengkuhannya. Matanya mengilas merah, menyipit tajam nyaris tak terlihat.

Jika Natsume berhasil pergi menemui bangsa para siluman serigala—Koko menyeringai—maka selanjutnya akan ada perang di kota terkutuk ini.

Dan sebelum itu terjadi, Sumire sudah harus keluar dari sini untuk terus melanjutkan hidup. Dengan atau tanpa dirinya, Sumire akan terus bertahan hidup.

To be continued.

.

.

.

.


Omake….

"Hei, Hajime-san. Aku boleh bertanya sesuatu?"

Tak dijawab. Koko menatap lelaki keturunan darah murni Rein di depannya yang sekarang sedang berlari sambil membawa Mikan Sakura di bahunya. Meskipun tak mendapatkan jawaban positif, tanpa peduli Koko melanjutkan, "tubuhmu yang penuh perban itu… apa karena bekas luka bakar? Kau menyembunyikannya karena bekasnya terlalu menyeramkan ya?"

Jawaban singkat terdengar, dan kalau saja ia bukan makhluk immortal, ia pasti tak akan bisa mendengarnya. "Hm."

Raut wajah Koko berubah sumringah, langsung bergerak mengambil kesempatan. "Aku sebenarnya penasaran—dengan perempuan itu. Karena aku dari tadi tak bisa menggunakan kemampuanku membaca pikiran; tidak punya Natsume-kun dan Newborn-nya, tidak juga pikiran kalian berdua," bohongnya.

Ruka menoleh padanya. Pandangannya dingin. "Misalnya, penghalang?"

Koko mengedik. "Mungkin?" balasnya pura-pura tak yakin.

"Nullification."

Kedua pasang mata Koko dan Ruka menoleh pada Hajime. Namun Hajime tak menjelaskan lagi dengan lebih rinci.

"Nullification?" beo Koko. "Maksudnya juga seperti alice? Eeeh, tidak mungkin ah. Dia itu 'kan hanya manusia. Eh?" Koko memiringkan kepalanya ke samping. "Kenapa Natsume-kun begitu pedulinya dengan manusia itu? Ah!" Ia menghembuskan napas cepat. "Jangan-jangan ingin dijadikannya sebagai stok darah?! Wow, tak kusangka Natsume-kun rakus begitu."

Dasar bodoh, terdengar dari pikiran Ruka. Koko hanya menyeringai rahasia pada belakang kepala vampir berambut pirang di depannya.

"Kira-kira… kalau memang benar nullification, pembatalan, seperti yang dikatakan Hajime-san, apa berarti juga memiliki sifat penyembuhan? Iya 'kan? Bisa saja misalnya nullification itu menyembuhkan luka bakarmu, Hajime-san!"

Ada keraguan, yang terlihat tidak hanya dari langkah vampir terbalut penuh dengan perban tetapi juga dari pikirannya. Namun keraguan itu perlahan berubah mengharap. Sedikit. "Entahlah," jawabnya seraya menggerakkan matanya pada gadis yang tengah dibawanya. Tugas yang tepat baginya kalau mereka masih menginginkan gadis tersebut tetap hidup karena akan kacau jadinya kalau ia hanya dibawa oleh dua vampi rHeil yang tak pernah sekali pun berpengalaman menyentuh manusia. "Mungkin saja."

Mendengarnya, lagi-lagi koko menyunggingkan senyuman penuh arti yang tak bisa dilihat dua rekannya karena ia berlari di posisi paling belakang, mengawasi.

Dari balik jendela batin dan pikiran Hajime, samar-samar Koko melihat, sebuah negeri tua dengan semua penduduknya.

Samar-samar. Namun cukup untuk ia jadikan sebagai petunjuk.


Ran: \O.o/ Koko punya agendanya sendiri?! Koko dan Ruka berubah 180 derajat disini. Koko bersikap lebih serius kalau nggak ada orang lain di sekitanya, sementara Ruka bersikap begitu kejam! Kurang Ntasume/Mikan?! Maafkan, karena Mikan keburu diculik. Tapi Mikan menyatakan perasaannya pada Natsume di sini! Hore! Pertengkaran antara Ruka dan Hotaru?! Ruka cemburu?! (?) Kurang komunikasi antara Youichi dan Natsume?! Karena mereka berdua itu payah kalau menyangkut masalah komunikasi…. Kasihan sekali dua lelaki itu... Lalu Youichi menggunakan alice-nya! Sudah tahu 'kan alice Youichi itu apa? Muncul Tonouchi dan kak Kacamata juga! Terima kasih pada karakter megane ini, Ran jadi membuka referensi-referensi karakter Gakuen Alice yang kemudian membuat Ran terjerumus ke dalam memory lane….

*Screams* Baaaaagaimanaaaaaaa dengan chapter ini? Ran tahu mungkin sekarang gaya penulisan Ran sudah berbeda sekali karena sudah lama Ran nggak nulis lagi. Apalagi di chapter 11 yang seharusnya dibuat Tama ini, Ran merasa kekurangan sekali… Tapi Ran berusaha semampu Ran. Untuk para pembaca TBOVP yang sudah memberikan kepada kami manisnya arti sebuah support. Iya, entah kenapa di umur Ran yang bukan remaja ini lagi, Ran menganggap kalian semua yang sudah mendukung kami ini begitu lucu dan imut!

Tama:*speechless* okay, hello guys and yes, I'm still alive. So… apakah ada yang masih mengingat saya? Lupa juga tidak apa-apa sih… Akhirnya kembali lagi dengan fic TBOVP ini. Mungkin bisa dibilang, salah saya juga yang menjadikan fic ini 'terbengkalai' selama 4 tahun (wow!) karena (dengan seenaknya) menyerahkan chapter 11 ini kepada Ran padahal seharusnya saya yang buat… so please don't kill me! *hides under a table* Oke, sekian dari saya.

.

.

.

.

Daaan! Ran di sini yang akan menjawab review dari kalian semua dari tertanggal 2 September 2012 lalu!

Kuroichibineko: Terima kasih karena Kuroichibineko sudah meluangkan waktu membaca TBOVP ini dan memberikan review! Iya, kami akan berusaha semaksimal mungkin! :')

Pudding-tan: Aaaahhh, Pudding-tan! Maaf sekali telah menunggu lama! Terima kasih karena sudah mau membaca dan mereview!

Bella: Terima kasih atas reviewnya! Maafkan karena sudah membuat Bella menunggu lama x'(. Kami harap Bella menikmati chapter 11 ini!

ziaoi:AOI! Terima kasih atas reviewnya! Maaf sekali karena update chapter 11 ini lama! Semoga Aoi juga suka dengan chapter 11 ini ya :'). "Apa Mikan ada kaitannya dengan masa lalu Hotaru?" Kami harap Aoi mau bersabar ya x) Dan salam hangat juga buat Fuu Fuchaoife dari kami berdua!

Red'Ocean: Terima kasih atas reviewnya! Kami balik lagi! #pelukciumbalik #aha #setelah4tahunlamanya :'). Natsume sudah banyak berubah dari chapter-chapter sebelumnya ya, hehe. Dia masih harus banyak belajar tentang perasaan #PLAKK. Terima kasih sekali Red'Ocean sudah mau membaca TBOVP ini!

My name Haq/Devil Stone: Halo Haq dan juga Lian! Terima kasih atas reviewnya! Kami kembali lagi! Kami harap Haq, Lian dan yang lainnya baik-baik saja! Semoga kalian menyukai chapter 11 ini ya!

Team's February/Zecka Fujioka: Halo Star, Sunny dan juga teman-teman lainnya! Terima kasih karena sudah mau memberikan kami review di TBOVP ini! Ke depannya kami akan berusaha sebaik mungkin. Kami juga berharap Star, Sunny dan yang lainnya sehat-sehat saja. Oh ya, terima kasih juga Sunny, atas doanya. Ran sudah bekerja sekarang! Kita sama-sama berjuang! Semoga sukses untuk semuanya!

Delphini Diggory: HAAAAIIII JUGAAAA DELPHINIIIIII! Su-sudah empat tahun ya…. Ehehehe…. Um, TERIMA KASIH SEKALI SUDAH MELUANGKAN WAKTU MEMBACA TBOVP INI! Review dari Delphini sangat berarti sekali :')

Chocochino: Terima kasiiiiih sekali karena Chocochino mau meluangkan waktu membaca TBOVP ini :'). Dan—UAPAA?! Nggak pernah baca Gakuen Alice?! Buruan baca! Dijamin nggak akan nyesal #PLAKK hehehe, bercanda. Kami nggak akan pernah memaksa para pembaca untuk melakukan apa yang nggak ingin mereka lakukan. Terima kasih sekali atas reviewnya. Semoga Chocochino juga menyukai chapter 11 ini! And yes, dream out loud, always!

blackcurrent626: Michi! Terima kasih atas review dan pujiannya di chapter 10! Kami akan terus berusaha sebaik mungkin! Dan juga Natsume melunak? Hehehe, bocah satu itu masih perlu belajar banyak hal mengenai perasaan #PLAKK. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca! Kami harap Michi menyukai chapter 11 ini!

mizuraina: Terima kasih atas reviewnya! Semoga mizuraina juga menyukai chapter 11 ini!

Noira Hikari: Terima kasih buat reviewnya di chapter 10 lalu! Kami berusaha sebisa mungkin untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penulisan yang terkadang masih kami lewatkan x'). Menjawab suka atau tidaknya pada Mikan, sudah terjawab di chapter ini. Mikan menyatakan perasaannya! ;) Maaf sekali update chapter 11 lama dan semoga Noira suka chapter 11 ini!

Lovissa: Halo Lovissa! Terima kasih atas reviewnya! Terima kasih karena telah menyukai fic ini! Hehehehehe, nasib "periode" Mikan? *Sweatdrops* katakanlah hal itu sudah diurus oleh Hotaru. Hahahaha…haha… Lalu soal Tsubasa…. Ran tahu :'(. Sayang sekali. Dan untuk pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spoiler, maaf sekali karena kami belum bisa menjawabnya. Mohon Lovissa bisa bersabaaaaar!

yami levihan: Hauuuh /\\\ #sembunyi #PLAKK. Ini dia chapter 11 yang ditunggu! Terima kasih atas reviewnya!

Za666: Terima kasih atas reviewnya! Za mau membaca dan meninggalkan review pun kami sudah sangat senang sekali! Kami akan terus berusaha!

Ethel Star: Terima kasih atas reviewnya! Mengenai para vampir yang bisa bahasa Inggris, katakanlah mereka telah membangun peradaban yang cukup modern di kota mereka sendiri di mana terdapat pendidikan, tempat bekerja dan lain sebagainya, meskipun masih serba kekurangan. Lalu, imajinasi menggila Ethel juga menarik sekali x). Sedikit banyak, pertanyaan Ethel sudah terjawab di chapter ini. *Suara Koko* Mungkin? Hehehehe, harap bersabar untuk chapter-chapter selanjutnyaaaa!

sparklinglady44: Terima kasih atas reviewnya! Terima kasih juga karena sudah membaca dan menyukainya ;)

nyanmaru: Terima kasih atas reviewnya! Maaf update untuk chapter 11 ini lamaaaa sekali x(. Kami harap nyanmaru masih ingat jalan cerita chapter-chapter sebelumnya dan meneruskan membaca sampai akhir. Dan lalu, ada yang aneh dari kelahiran Natsume menjadi vampir? ;) ;) ;) Kudos buat observasinya! Harap nyanmaru juga bersabar untuk chapter-chapter selanjutnyaaa!

Rui: RUI! RUI! RUI! RUI! Terima kasih atas review-reviewnya! Aaaahh! Kayaknya banyak banget pembaca yang berharap Tsubasa masih hidup :'(. Terima kasih sekali, Rui! Rentetan reviews dari Rui benar-benar membuat kami berdua merasa senang :'). Tunjukkan dirimu yang sebenarnya pada kami, Rui! x). Harap Rui mau bersabar menunggu chapter selanjutnya dan semoga Rui juga menyukai chapter 11 ini!

Kagayaku Kongseki-Shinju: Uwaaaah! Terima kasih sekali karena sudah membaca, menyukai dan member review TBOVP kami ini! Kami merasa senang sekali! Semoga Kagayaku juga menyukai chapter 11 ini!

Kumiko23: Terima kasih atas reviewnya! Kami senang sekali karena Kumiko menyukai cerita TBOVP ini! Chapter 11 di sini, semoga Kumiko menyukai chapter ini!

aisanoyuri: Terima kasih sekali atas reviewnya! Maaf telah menunggu lama! Semoga aisanoyuri juga menyukai chapter 11 ini!

KumikoNogi13: Aaah. Sayang sekali akun lamanya bermasalah. Apakah sama juga dengan akun Kumiko23? Maafkan jika Ran salah #PLAKK. Terima kasih atas reviewnya! Chapter 11 sudah hadir! Semoga KumikoNogi13 menyukainya!

ms. Hatake: Terima kasih atas reviewnya! Chapter 11 telah hadir di sini!

R yang bercahaya: Terima kasih atas reviewnya! Chapter 11 telah hadir di sini! Dilanjutkan kok… hanya saja proses pembuatannya yang lama. Mohon dimaafkaaaaaan! X'(

Allysum fumiko: Terima kasih atas reviewnya! Chapter 11 telah hadir di sini! Semoga sukaaaaa! *Puppyeyes*

Amalia: Terima kasih sekali karena sudah menanyakannya! Maaf chapter 11 lama updatenya :'). Semoga Amalia suka chapter 11 ini!

Jiyu: Terima kasih atas reviewnya! Semoga Jiyu juga suka dengan chapter 11 ini!

Koko: Maaf telah membuat Koko menunggu lamaaaa! Chapter 11 telah hadir di sini! Terima kasih karena telah membaca TBOVP ini!

Ade854: Terima kasih karena sudah meluangan waktu untuk membaca dan mereview! Chapter 11 telah hadir! Semoga suka!

mei chan: Terima kasih! Maaf telah menunggu lama! Chapter 11 hadir di sini! Semoga suka!

AAM: Maaf karena telah membuat AAM menunggu lama! Chapter 11 di sini! Semoga suka dan terima kasih!

Salwa Mayrizky Aisyah: Terima kasih sekali karena telah meluangkan waktu untuk membaca dan mereview TBOVP ini! Chapter 11 telah hadir di sini! Semoga Salwa suka chapter 11 ini!

Sekian balasan dari Ran. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena sudah mau bersabar dan menunggu! Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk ke depannya. Sampai jumpa lagi di chapter 12!