A/N : Wao. *krik* Udah berapa bulan ga di apdet ini? Rasanya susah banget mau ngetik yang satu ini orz; Padahal udah setengah, tapi saya stuck dan ga tau lanjutinnya gimana sampe tadi malem dapet ilham *A*)d Jaa—hontouni gomenasai yang udah nungguin m(_ _)m Semoga masih berkenan baca QAQ

Disclaimer : Sayangnya KHR punya Amano Akira ;A; kalo punya saya, saya ga usah bikin ini fanfic.

Pairing : TYL!Mukuro/Hibari, Alaude/Spade [yes, in that order...maybe]

Setting : AU. Namimori, diceritakan Mukuro adalah guru kesehatan sekaligus dokter pemilik RS Namimori. Hibari Prefek Nami-chuu. Spade kakak Mukuro. Alaude kakak Hibari. Tsunayoshi pelayan(?) di kediaman Rokudou.

Warning! Shounen-ai, crack, situasi M-Preg yang ga jelas kebenarannya, danOOC?


Chapter 9


Namanya Sawada Tsunayoshi, ia sudah menjadi yatim piatu sejak lahir dan dititipkan di depan pintu kediaman Rokudou saat masih bayi. Kisahnya yang seperti telenovela atahu sinetron ibu-ibu itu entah kenapa selalu diulang lagi di setiap chapternya. Semua juga tahu malang sekali nasib Tsunayoshi yang masa kecilnya seperti tokoh utama di komik shoujo.

Tapi sebenarnya, ia lebih malang lagi daripada tokoh di komik lama dengan mata berkilau itu. Tsunayoshi tinggal di kediaman Rokudou, yang biasanya penghuninya hanya tiga orang. Ia, Mukuro, dan seseorang berambut hijau tua yang kadang muncul secara mistis. Sebenarnya ada penghuni lain yang pulang perginya tidak diduga. Ialah kakak Mukuro yang tak kalah abobil.

Dan kini, Tsunayoshi mengalami hari yang sangat berbeda. Hibari-san dibawa ke rumah dengan digendong Mukuro, Kakak Mukuro pulang setelah sekian lama tidak kembali dan mengaku-ngaku telah menghamili adiknya, terus beberapa menit yang lalu ia bertemu dengan seseorang yang mirip Hibari-san, hanya saja rambutnya seperti ketumpahan mayonaise.

DAN sekarang, detik ini juga, Tsunayoshi kembali dikagetkan dengan sesuatu yang abnormal. Terlalu mengejutkan dan aneh. Oke, kalau soal fakta bahwa orang yang berambut mayonaise itu adalah kakak Hibari-san, Tsunayoshi tidak terlalu kaget. Tapi yang ini, kalimat pertanyaan yang baru saja dilontarkan kakak Hibari-san itu membuat jantungnya hampir jatuh.

Eh mana bisa jantung jatuh.

Yah—yang penting seperti itulah. Tsunayoshi hampir menganga lebar kalau saja tidak ada nyamuk lewat di depan mulutnya. Tadinya ia mau berteriak kaget dengan efek zoom in, tapi mengingat yang di sana adalah kakak Hibari-san—yang pastinya lebih galak dari Hibari—Tsunayoshi mengurungka niatnya. Takut digigit.

—Apanya?

Apa saja boleh. Ah—sungguhan, Tsunayoshi lebih memilih diam di balik tembok, mengintip sedikit ke ketiga orang yang ada di ruang tamu tersebut.

Dan mari kita lihat apa yang ada di ruang tamu..

"N-Nfuuu ...Apa kau bilang, Aranyan?"

Aranyan; panggilan sayang dari Spade yang Alaude benci. Untuk informasi saja, Spade hanya memanggil tunangannya dengan sebutan itu di waktu-waktu tertentu. Seperti saat meminta uang jajan, minta izin melakukan sesuatu, dan saat piiiiip juga ketika mau piiiiipnya.

..Kenapa disensor?

...

"Hnf..kau mendengarnya, Daemon..."

Cough.

"..Pendengaranku sedikit terganggu. Nufufu.." Sambil menggaruk pipi kanannya yang tak gatal dengan telunjuk. Bola matanya melirik ke arah langit-langit, menolak untuk bertemu pandang dengan sorot mata dingin milik pasangannya.

Alaude menghela nafas, melangkah mendekat ke hadapan lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Ia menatap tajam orang di hadapannya dengan serius. Lagaknya sudah seperti orang tua yang akan menceramahi anaknya yang hamil di luar nikah. Kemudian tanpa peringatan, ia meraih tangan kanan Spade, sementara tangan yang satunya mengambil sapu tangan dari saku, mengelap ujung matanya.

"...Akhirnya aku akan menjadi ayah."

...

Apa?

Alaude bertebarkan efek cling-cling dan mawar.

Hibari menahan raut wajahnya tetap datar.

Dan Tsunayoshi pura-pura tidak dengar.

Sementara Spade—

"OYA? T—Tunggu Aranyan, ini..."

facepalms. Sebulir keringat menetes di dahi, Spade menarik tangannya dari genggaman Alaude. "..Kau lupa aku lelaki? Mana.. Mana bisa aku hamil, Aranyan. Nufufufufufucough."

Yang berambut platina sedikit mengerutkan dahinya mendengar jawaban Spade. Padahal tadi adiknya bilang kalau tunangannya itu sedang mengandung bayinya. Apa Spade saja yang tidak tahu soal itu? Tapi sebenarnya tidak ada bukti bahwa adiknya juga benar. Dari mana coba Kyou-nya itu tahu Spade hamil? Jadi—

"...Kau tidak hamil..?"

Entah kenapa kekecewaan samar tersirat di raut wajahnya. Alisnya mengerut dan bibirnya melengkung sedikit ke bawah. Dan bunga mawar yang tadi bertebaran jatuh ke lantai.

Spade menggeleng—walaupun gerakannya lebih ke gestur mengibaskan rambut dengan level kenarsissan tinggi sih—sambil membuat bentuk silang dengan tangannya. "Tidak."

"Hnf... Kalau begitu—"

Memasang wajah tidak senang, Alaude kembali menarik paksa tangan kanan Spade. Mendekatkan wajah ke pasangannya, ia memandang Spade dalam-dalam dengan tatapan serius.

"—ayo buat."

...

A—AMBIGU.

Tapi memang Alaude mengatakan makna yang sebenarnya. Yang sedetik setelahnya membuat alis Spade semakin mengerut dan seringai miris kian melekuk di bibirnya. Pertanyaan seperti 'Alaude, kau sudah minum obat?' melintas di pikiran lelaki berambut biru itu. Hanya saja, ia tidak berani melontarkan pertanyaan itu. Kau tahu, ia bisa kehilangan lengan kanannya seketika.

"Oya? Ah, tungg—"

Belum menyelesaikan kalimatnya, ia sudah ditarik paksa keluar rumah oleh Alaude—setelah merasakan borgol melilit di tangannya.

Dan Spade tahu, sekali tangannya terlilit oleh borgol hitam itu, ia tidak akan lepas sebelum keinginan Alaude terpenuhi. Oke, ia sudah beberapa kali terjebak dalam situasi seperti ini. Tapi tidak untuk saat ini. Keinginan Alaude yang dimaksud kali ini terlalu—

"Cepat."

"Agh.. Santai sedikit kenap—"

"Jalanmu lambat."

"Nfu. Tidak sabar untuk masuk k—"

"Diamlah."

"..."

Dan ia diam.

.

Barusan suara-suara ribut terdengar dari luar rumah. Hibari bertaruh kakaknya sedang menggeret kepala semangka silang nanas itu di jalan, sementara yang digeret meronta untuk dilepaskan dari borgol besi yang pasti melilit di tangan—dan mungkin kakinya juga.

Ah, malang. Pikir Hibari. Yang bernama Spade itu tidak akan bisa kabur dari kakaknya. Sekali tertangkap habislah sudah. Alaude selalu serius dengan perkataannya. Sekali ia bilang akan melakukan sesuatu, pasti akan dilakukannya. Yang berarti—

"...Wao."

—Hibari akan memiliki keponakan?

- oOo -

Hari ini ia memakai apron hijau tua. Sebenarnya ia bingung antara apron biru tua favorit Mukuro atahu hijau tua yang baru kemarin ia beli. Tapi karena apron hijau tua yang baru itu ada gambar beruang lucu di tengahnya, jadi ia memutuskan untuk memakai apron yang itu hari ini.

—Dan nampaknya ia tidak tahu gambar beruang apa itu.

Jadi sekarang, dengan apron hijau tua bergambar pedobear, Tsunayoshi melenggang ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang sudah telat setengah jam untuk sarapan. Yah, salahkan drama di ruang tamu yang membuatnya asik mengintip dari balik tembok sehingga lupa membuat sarapan. Ia yakin Mukuro akan mengerti.

Mungkin.

Begitu memasuki dapur, Tsunayoshi sedikit kaget ketika melihat prefek sekolahnya—Hibari berada di sana, sedang membuka-buka kulkas. Entah kenapa ia mendadak gugup. Mungkin karena aura prefek Hibari terasa walaupun sedang tidak berada di sekolah. Ia lantas merapihkan rambutnya, apronnya, dan memastikan tidak ada yang aneh di wajahnya, kemudian melangkah masuk.

Senyum siap. Suara seramah mungkin siap. Ok, action.

"Ah, selamat pagi, Hibari-san."

Cling cling cling.

"...Hn."

D—DINGIN.

Sesuatu yang tidak terlihat menusuk Tsunayoshi tepat di hati. Memasang tampang miris, ia memilih menyiapkan sarapan saja dan membatalkan niatnya mengajak ngobrol ketua komite kedisiplinan itu. Sabar, sabar. Ia tahu Hibari-san memang seperti itu orangnya.

Dan itu tidak lama ketika Hibari menepuk pundaknya, membuat pemuda berambut coklat itu hampir memotong jarinya sendiri. Tsunayoshi berbalik dengan kecepatan tinggi.

"H—HIIIIIII? EH maksudku, a—ada apa, Hibari-san?"

Nyantai...

"Kau punya handuk kecil?"

Tsunayoshi memiringkan kepalanya sedikit. "Ah, ada. Sebentar." ujarnya seraya berjalan ke luar dapur. Tidak butuh waktu lama, dan ia kembali dengan handuk kecil di tangannya, menyodorkan benda itu pada Hibari. "Ini saja?"

"Hn.."

Hibari mengambil anduk itu dan berjalan keluar. Suara orang melangkah di tangga terdengar dari dapur. Dan Tsunayoshi bertanya-tanya apa yang mau Hibari-san lakukan dengan handuk kecil dan mangkuk—entah apa isinya—di tangannya. Mengangkat bahunya, Tsunayoshi memilih tidak terlalu memikirkannya dan melanjutkan kegiatan memotong wortel yang sempat terhenti.

- oOo -

Hibari meletakkan mangkuk berisi air dan es di atas lantai. Ia kemudian mencelupkan handuk kecil ke air dingin itu, lalu mengeluarkannya sebelum memerasnya. Dengan tampang datar ia meletakkan—sebenarnya lebih terlihat menjatuhkan—handuknya tepat di atas muka Mukuro. Iya, muka bukan dahi. Dan seluruh wajah Mukuro tertutupi handuk dingin itu.

...

Ini Hibari tidak niat atau tidak tahu cara yang benar?

Mengangkat bahunya, pemuda Jepang itu duduk sila di sebelah tubuh Mukuro yang tidak bergerak. Ia melihat orang itu masih bernafas, jadi Hibari membiarkan saja handuknya seperti itu. Kalau tidak terlihat pergerakan nafas, baru ia akan mengangkat handuknya dan menelpon rumah sakit.

Krik.

Dan tidak butuh waktu lama sampai Mukuro 'hidup' kembali, tangannya terlihat bergerak, dan sedetik setelahnya langsung menarik handuk basah yang—

"H—HAAAAA..."

—menutupi mukanya. Ia membuka matanya lebar, menarik nafas dalam-dalam. Batinnya mengutuk siapapun yang meletakkan handuk basah di wajahnya. Dipikir ia sudah mati apa? Dan begitu sadar, Hibari dengan wajah datar menyambutnya.

"...Kyouya?" Ia bangkit dari posisi tidur, memegangi kepalanya yang entah kenapa pusing. "Oya? Kenapa aku tidur di lantai?"

Hibari mengangkat bahunya tidak peduli. "Seseorang melakukan perbuatan semi-asusila dan kutendang saja dia ke bawah."

Dengan ekspresi kaget yang entah kenapa seperti palsu, Mukuro meraih pundak Hibari. "Apa? Katan siapa itu, Kyouya!"

Hiperbola.

Yang berambut hitam mendengus kesal, menyingkirkan tangan Mukuro dari bahunya. Ia melirik tajam pada lelaki nanas itu. "Kau. Demammu sudah turun? Kalau begitu aku pulang."

Baru akan berdiri, tangan besar menariknya duduk lagi. Dan sebelum ia sadari, Mukuro menyandarkan kepala di bahunya. Lengan guru itu melingkar di tubuhnya. Tentu saja membuat sensor Hibari menyala. Ia mendorong tubuh Mukuro menjauh tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggertak dan mengeluarkan skill 'kamikorosu kamikorosu' nya.

"Kufufu..." Mukuro tertawa kecil sambil mengeluskan kepalanya di pundak pemuda itu. "Aku masih... Kyou—"

Suara seperti seseorang yang mual terdengar dari Mukuro. Dan lelaki itu terlihat menutupi mulutnya dengan telapak tangan, langsung beranjak ke kamar mandi. Hibari mengerutkan alis sambil mengikuti orang itu di belakangnya, menunggu di luar kamar mandi.

Begitu Mukuro keluar, ia menyambutnya dengan death glare seperti biasa walaupun Mukuro tak berbuat salah (mungkin). Sementara yang berambut biru itu tampak memegangi perutnya. Wajah mesumnya tidak terlihat, hanya tampang lelah, tampang orang sakit yang terlihat di wajah Mukuro.

"Ugh.. Sepertinya aku—"

Ia masuk ke kamar mandi lagi.

Dan keluar beberapa menit kemudian. Wajahnya semakin memilukan. Membuat seorang Hibari Kyouya ingin tertawa melihat tampang malang dokter sekolah yang entah kenapa mendadak sakit itu. Tapi karena Hibari adalah Hibari, jadi ia tidak tertawa. Dan memilih memasang tampang bosan seperti biasa.

"Makan malamku terbuang semua.. K—Kufufu.." ujarnya sambil tersenyum miris. Dan baru saja berjalan beberapa langkah dari kamar mandi, ia sudah balik lagi menutup pintu kamar mandi.

Hibari hanya memandang dengan wajah datar, menguap lebar lalu berjalan ke dapur. Ia yakin Tsunayoshi sudah beres menyiapkan sarapan.

- oOo -

Iris karamel miliknya mengikuti gerakan Hibari yang memasuki dapur dan duduk di kursi meja makan. Sebenarnya ingin bertanya di mana Mukuro, tapi Tsunayoshi takut merasa tertusuk lagi akan jawaban Hibari yang dingin. Ia pun memutuskan untuk menyajikan sarapan saja, menghindari kontak mata dengan seniornya itu.

Tidak sampai lima menit, Mukuro memasuki dapur sambil memegangi perutnya. Wajahnya terlihat 'hijau' dan khas orang sakit. Dengan lesu Mukuro mengambil duduk di samping Hibari. Ia mengambil sumpit dengan malas. Dan entah kenapa, ia sedang tidak nafsu makan pagi ini. Sarapan khas Jepang yang Tsunayoshi siapkan rasanya tidak menggugah selera. Walaupun ia tahu semuanya enak, tapi—

"Tsunayoshi-kun.." panggilnya, dengan suara yang tidak seperti biasanya.

Yang dipanggil menoleh. Ia menyadari sesuatu yang berbeda dari Mukuro. Tapi memilih tidak bertanya. "Ah, ada apa, Mukuro-san?"

Meletakkan sumpitnya ke meja, ia menumpu dahu dengan tangan kanannya. "Aku ingin sarapan burger..." pintanya—sedikit merengek—dengan nada malas.

Hibari sedikit mendelik ketika mendengar nama makanan favoritnya disebutkan. Tapi tidak memberikan reaksi berarti. Ia lebih memilih sarapan khas Jepang saja.

"E-Eh? Eto.. Mendadak sekali, Mukuro-san?" Dengan wajah bingung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Mukuro mengangkat bahunya. "Lalu aku ingin tomat dan seladanya diganti nanas."

Alis pemuda berambut coklat itu semakin mengerut atas permintaan majikannya yang tidak biasa. "Eeeh? Tidak seperti biasanya..." ujarnya ragu. "Mukuro-san seperti ibu-ibu hamil sedang mengidam, a—ahahaha..." lanjut Tsunayoshi dengan tawa datar.

—Yang membuat Hibari hampir tersedak nasinya.

Sementara Mukuro mengangkat bahunya lagi.

Sang prefek melirik suram dari ujung matanya. Mukuro terlihat memandang lurus entah ke mana dengan wajah bosan. Dan ia menyadari hal-hal yang sebelumnya luput dari pandangannya; Mukuro yang mendadak mual pagi-pagi. Oke, mungkin itu karena yang bersangkutan sedang demam, atau tidak enak badan. Tapi—permintaannya yang barusan membuat Hibari ragu.

Jangan bilang nanas itu benar-benar hamil.

Meletakkan sumpitnya, dengan gerakan cepat ia menarik rambut panjang Mukuro, membuat pria itu merendahkan kepalanya ke Hibari.

"Kau.. Benar hamil?"

...Krik?

Tsuna hampir menjatuhkan piring yang ia pegang.

Hibari memandang tajam sang nanas.

Sementara Mukuro dengan slow motion menoleh ke pemuda itu, memasang tampang suram seperti dunia akan kiamat. Karena—memang suram. Dirinya disangka hamil oleh seseorang yang seharusnya ia hamili—eh, oleh seseorang yang dicintainya(?).

"...Apa?"

"Kau. Hamil. Oleh. Daemon Spade?"

...

"K...Kuf—" Mukuro terlihat merunduk. Wajahnya gelap ketika tawa khasnya mulai terdengar. Tapi tawanya lebih seram, seperti di film horor malah. Tapi itu hanya membuat Hibari memasang tampang kesal karena mendapat jawaban aneh seperti itu. "—fufu... Kufufu.."

"Oi, na—"

"Kyouya." Satu pegangan keras di bahu, dan Mukuro menatap lekat iris biru pucat Hibari dengan merah biru miliknya. "Katakan pada kakakmu untuk menyiapkan peti mati Daemon Spade.. Kufufu.."

Hibari dapat melihat seringai terseram yang Mukuro tunjukkan padanya, sebelum lelaki itu beranjak dari kursi dan pergi entah ke mana.

- oOo -

Sang prefek membuka pintu kamar, dan mendapati Mukuro berbaring di tengah kasur. Terlentang dengan wajah menghadap ke langit-langit—sampai yang bersangkutan berbalik, mendapati Hibari di depan pintu. Ia tersenyum, dengan wajah yang masih pucat. "Masuklah, Kyouya."

Sementara Hibari tidak menghiraukan Mukuro dan memilih bersandar di bingkai pintu. "Bagaimana demamu? ...Aku tidak mau berhutang apapun. Hnf." ujarnya dengan sangat dipaksakan ketika mengatakan kata 'berhutang'.

"Kufufu.." tawanya pelan seraya bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di ujung kasur. "Makanya, kemari dulu, Kyouya." Ia melambaikan tangannya, dan menepukkan tempat kosong di sebelahnya, isyarat bagi Hibari untuk duduk di sana.

Mendengus kesal, dengan setengah hati Hibari berjalan ke sana. Dan ia bisa melihat seringai Mukuro ketika ia berjalan mendekat. Belum sampai sedetik, ia merasakan tangannya ditarik, dan tubuhnya terangkat, terhempas, berguling di atas kasur. Sebelum ia menyadari, tangan Mukuro melingkar di pinggangnya, sementara yang satu memeluk erat pundaknya.

"Kh—kau, lep—"

"Ssh.. Kyouya." bisik dari yang berambut biru, mempererat dekapannya pada pemuda itu. Ia mengelus lembut rambut hitam pekat Hibari, menghembuskan nafas di atas helaian rembut itu. "Sebentar saja. Dan hutangmu lunas semua. Kufufu.."

Hibari jelas ingin berontak dan lepas dari lelaki nanas ini. Tapi pergerakan kakinya dikunci, dan tubuh lebih besar yang mendekapnya ini tidak memungkinkan dirinya untuk bebas. Ia hanya bisa menggerutu dan mengutuk guru kesehatannya itu.

Ironisnya, harus ia akui ia suka aroma maskulin dan sedikit campuran buah tropikal(?) dari tubuh Mukuro. Juga hangatnya berada dalam—cough pelukannya. Entah karena suhu tubuh orang itu sedang tinggi atau apa. Dan bukan hanya tubuhnya yang terasa hangat. Tapi juga sesuatu di sana, jauh di dalam dirinya terasa kehangatan yang semakin menyebar. Membuat darah mengalir ke pipinya sehingga—voila, semburat merah tipis terlihat di wajah karnivora Namimori itu.

Ia benci dirinya yang terdominasi oleh seorang herbivora nanas semata. Tapi memang tidak ada yang bisa ia lakukan selain meremas yukata biru yang Mukuro kenakan dan mengutuk. Mengutuk dirinya, orang yang memeluknya dan semua herbivora yang hidup di dunia ini.

"Kyouya—" Mukuro memulai, setelah lima menit sebelumnya berlangsung dalam keheningan. "—kau tahu apa artinya ti amo?"

Tidak tahu.

Dan tidak minat, omong-omong. Maka itu, Hibari tidak menjawab, malah berusaha melepaskan dirinya lagi. Tapi sayangnya, tangan Mukuro semakin erat melingkar di tubuhnya.

"Kufufu.. Kalau begitu, kau boleh cari di kamus, dan—" Sebelum melonggarkan pelukannya, Mukuro mengambil tindakan cepat mencium lembut dahi pemuda itu. "—katakan padaku artinya nanti. Kufufufu~"

.

.

.

.

.

.

.

- oOo -

Ini sudah lewat empat hari sejak Hibari menendangnya ke tembok dan pulang ke rumahnya sendiri. Ia tidak menyangka begitu melepaskan pelukkannya, Hibari langsung memberikan tendangan yang bahkan ia sendiri tidak sempat menahannya. Lumayan sakit, terutama di bagian bahu karena ia terbentur meja di samping kasur.

Itu bukan masalah besar sih. Yang menjadi masalah adalah; ia belum bertemu Hibari selama empat hari ini. Tidak tidak, sebenarnya mereka sempat berpapasan. Tapi pemuda itu terlihat menghindarinya. Bukan berarti biasanya pemuda itu ingin bertemu dengannya juga, tapi ini ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang disengaja.

Ketika tidak sengaja bertemu di lorong, baru saja ia akan menyapa, Hibari langsung berbelok ke arah lain. Ketika bertemu di kantin, Hibari pergi dari mejanya sebelum ia sempat mendekat. Ia coba mengunjungi atap sekolah—tempat di mana Hibari biasa tidur siang—tapi ia tidak menemukan siapapun.

Entah perasaannya saja atau bukan, tapi Hibari memang sedang menghindarinya, menolak bertemu dengannya. Hal itu menimbulkan pertanyaan baru di benaknya. Apa yang menyebabkan Hibari seperti itu? Ia sedikit curiga pada kakaknya yang mungkin saja mengancam Hibari. Tapi ia tahu, seorang Hibari Kyouya tidak mungkin menuruti perkataan Daemon. Lalu apa?

Mukuro menghela nafas, memutar kursinya. Ia tidak menyangka diabaikan seperti ini berdampak lumayan besar baginya. Padahal seharusnya ia sudah terbiasa diabaikan oleh pemuda dingin itu, bukan? Ia mengetukkan pulpennya ke meja seraya memikirkan hal yang bergulung di otaknya ini.

Dan ia baru menyadari, ada satu tempat yang belum ia datangi. Tentu saja, satu-satunya tempat di mana Hibari berada dan tidak akan ke mana-mana. Selama ini ia tidak terpikir untuk ke sana karena memang tidak ada alasan bagi seorang guru kesehatan mengunjungi ruang komite kedisiplinan. Tapi kini, ia ada alasan.

Untuk mendatangi Kyouya-nya.


Tsuzuku


Waoya waoya. Udah hampir masuk serius, Milady u_ud Dan saya ngga menjamin full humor terus lho orz Lebih ke romance wokeh? 8Dd Maaaaaaf kalo yang ini kelamaan dan tau-tau ceritanya jadi gini QAQ Err.. Tapi emang dari awal rmc kok genrenya orz;

Etooga tau deh XD; Yang jelas doakan apdet cepat ya ._.

Biar semangat lanjutin.. Mind to...review? oAo)7 #eh #masihmintaripiwpula *digebukin*