Atmosfer di antara keduanya masih pekat mencekik. Jika saja ini dunia shinobi, mungkin telah terjadi baku hantam jutsu. Atau katakanlah ini dunia sihir, maka kutukan-tak-termaafkan pun akan terluncur semudah menyuarakan umpatan.

Onyx dan Jade menimbulkan percikan kembang api.

"Apa yang kau masukan ke dalam susu cokelatku, hah?"

.

Ramuan Cinta?

© Uchiha Vnie-chan

.

Standard Disclaimer Applied

.

.

a SasuSaku two shots fiction

.

Warning: Alternative Universe, OOC, fluffy

.

.

.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Haruno," Sasuke mendesis berbahaya.

Di hadapannya, Haruno Sakura —satu-satunya dewan murid wanita, satu-satunya gadis Konoha Senior High School yang tidak memujanya, satu-satunya cewek yang berani men-ultimatum dirinya sejak hari pertama di sekolah asrama itu, dan yang paling parah, satu-satunya cewek yang berani menamparnya (pertama kali, dan tentu ia berharap adalah terakhir kali, di kelas sebelas)— menatapnya sengit.

Menggeram pelan sebelum Sakura membuka mulut, "Apa kau sudah tuli? Kutanya, apa yang kau masukan ke dalam susu cokelatku tadi pagi, eh? Sampai membuatku jadi tak karuan seperti ini!"

Sebelah alis Sasuke naik satu senti. "Kau tahu, aku sama sekali tidak mengerti dengan omong kosongmu itu. Dan juga tidak peduli," Sasuke menekan pada frasa terakhir, "jadi sebaiknya segera singkirkan bokongmu itu, dan pergi dari depan kamarku, sekarang juga."

Sakura mendengus kesal. Memang bukan ide bagus memulai perdebatan dengan Sasuke—hei, Sasuke yang mulai mengerjainya, jadi ini semua salah si raven!

"Kau pikir aku tidak tahu rencana busukmu, hah? Meracuniku. Sungguh kekanakan."

Kini kedua alis Sasuke sempurna terangkat tinggi, "Semakin lama omonganmu semakin meracau. Menggedor pintu kamar orang malam-malam, lalu marah-marah tidak jelas. Jadi, siapa yang kekanakan?"

"Kau."

"Tentu saja kau."

"Sudah jelas kalau kau yang kekanakan."

"Bersikaplah dewasa sedikit, Haruno."

"Tentu saja, aku, dewasa," katanya angkuh.

"Yeah, benar sekali," Sasuke tersenyum sinis, "bertengkar denganku setiap hari adalah contoh sikap yang benar-benar dewasa," balas sang Uchiha sambil menyunggingkan seringainya yang melegenda.

"Kau yang memulainya."

"Aku yang memulai?" suara Sasuke sudah mulai meninggi.

"Dengar, Sasuke. Aku sedang menganalisis penyakitku. Dan kesimpulanku terletak pada satu titik. Kau," melakukan gerakan menunjuk pada dada bidang Sasuke, "pasti kau telah melakukan sesuatu padaku. Seperti meracuniku, mungkin."

Empat siku-siku muncul di kening Sasuke yang semakin menegang, "mengganggu tidurku hanya untuk hal yang tidak penting seperti ini. Kau benar-benar menyebalkan."

"Tapi—"

"Selamat malam, Haruno." Dia membanting pintu menutup, tepat di depan wajah Sakura yang berteriak-teriak marah di balik pintu.

.

.

Why I Hate Him

Poin 7: Uchiha Sasuke adalah orang teregois, terkeras kepala, terbodoh, teridiot, dan segala yang mengacu pada satu kesimpulan: orang teratas dalam daftar manusia-yang-harus-segera-dilenyapkan-dari-muka-bumi.

Dan aku adalah orang yang diutus Tuhan untuk melaksanakan misi itu.

Benar-benar merepotkan.

.

.

Sinar matahari masuk melalui celah kaca jendela yang tak tertutup tirai di ruang tidur Sakura. Intensitasnya yang semakin banyak di musim panas membuat pagi hari yang menyiksa; orang-orang terpaksa bangun lebih awal karena siang yang lebih panjang, bertarung dengan rasa malas dan keinginan selama-lamanya berada di dalam lemari es.

Tapi tampaknya, kita harus menghapus nama Haruno Sakura dari daftar manusia berkelakuan begitu.

Karena kenyataannya, sang gadis bahkan tak sempat memejamkan mata sedetikpun—oh, tentu saja berkedip tak masuk dalam hitungan. Sejak tadi malam.

Haruno Sakura berbaring terlentang di atas ranjangnya. Kedua iris emeraldnya memandang langit-langit kamar putus asa. Dan dia mulai merasa kesal dengan dirinya sendiri. Dia lelah, dia ingin tidur, tetapi emerald-nya sangat sulit diajak berkompromi. Ia juga lapar. Tapi tak satu butir nasipun bersedia ditelan kerongkongannya.

Akhirnya dia menghela napas panjang dan menyerah. Ia bangkit dari tempat tidurnya, dan melangkah keluar menuju kamar mandi.

Sakura mengacuhkan sapaan selamat pagi Neji (yang terdengar ogah-ogahan, hanya formalitas) dan Shikamaru yang terlelap di sofa ruang rekreasi yang dilewatinya.

Dia menatap cermin di westafel yang memantulkan wajahnya. Ada beberapa perbedaan di sana-sini. Wajah yang biasanya merona seperlunya sehingga memberikan kesan manis di kulitnya yang segar, ia berani bersumpah kini melihat wajahnya itu matang akibat bersemu parah. Nyaris menyaingi Hyuuga Hinata saat dipeluk Naruto. Belum lagi lingkaran hitam di sekitar matanya.

Kedua tangannya diletakkan di dada sebelah kiri, merasakan jantungnya yang juga belum berdetak seperti seharusnya. Debaran kencang terasa di sana, seolah jantungnya bisa meledak kapan saja di dalam rongga dada.

Demi leluhur Haruno! Semua ini gara-gara susu cokelat favoritnya!

Tunggu.

Sejak awal ini semua salah Sasuke. Si brengsek itulah yang selalu membuat gadis itu terserang gejala seperti ini. Ya, benar. Setiap kali di dekat pria itulah, perasaan tidak padu dalam dirinya menyeruak keluar. Seluruh sistem organnya menolak untuk dikoordinasi.

Bahkan sejak pertama kali bertemu, Haruno Sakura sudah menderita alergi terhadap Uchiha Sasuke. Ya, pasti begitu. Dan inilah puncaknya. Belum puas dengan dirinya yang menyebarkan virus dan bakteri alergi, kini Sasuke meracuni gadis cherry itu.

Brengsek.

Lamunan gadis itu sontak buyar saat ketukan pintu yang lebih tepat dikatakan gedoran mewarnai keheningan di dalam ruang mandi tersebut. Dia tahu betul siapa pelakunya.

"Apa maumu, Uchiha?" tanpa repot membuka pintu, Sakura berteriak dari dalam.

"Aku tidak mau apa-apa darimu, Haruno," balas Sasuke tak kalah sengit.

"Kalau begitu, enyahlah dari sana. Kau membuatku tak bisa berpikir jernih," sungguh, apa yang dikatakan Sakura itu bukanlah suatu kebohongan.

"Akan lebih baik kalau kau yang mengenyahkan diri dari dunia ini."

Sakura sudah kehabisan kesabaran. Dilemparnya botol shampoo hingga membentur pintu untuk meredakan teriakan Sasuke.

"Haruskah kuingatkan kau kalau kamar mandi ini bukan cuma milikmu seorang?"

Sakura membasuh seluruh rambut dan badannya dengan air dingin yang mengucur deras dari shower. Menghilangkan busa sabun yang menyelimuti helaian rambut sugar plum dan setiap inci kulit terbukanya. Lalu mengenakan jubah mandi dan mengeringkan rambutnya asal dengan sehelai handuk.

Saat ia membuka pintu kamar mandi itu, tampak Sasuke yang melipat tangan di dada dengan wajah kesal level awas. Tanpa berkata-kata lagi—hanya melemparkan death-glare andalannya, Sasuke masuk ke dalam ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu, tentu setelah Sakura keluar dari dalamnya.

Sakura mendengus. Perasaan itu lagi.

.

.

Satu-satunya dewan murid perempuan itu melangkahkan kakinya menuju asrama dewan murid. Baru saja ia menyelesaikan rapat dengan Kepala Sekolah Tsunade mengenai rencana kegiatan sosial donor darah yang akan dilaksanakan bulan depan di sekolah asrama itu. Rapat yang berlangsung seharian dan baru berakhir pukul sembilan malam.

Hari ini adalah hari minggu dan Sakura masih harus melaksanakan tugasnya sebagai dewan murid. Benar-benar melelahkan.

Ketiga dewan murid lainnya; Gaara, Neji, dan Shikamaru, sedang patroli keamanan untuk memastikan setiap sudut asrama dalam kondisi baik-baik saja.

Maka, hening menyergap saat Sakura menginjakkan kakinya di dalam asrama dewan murid. Ia menutup pintu pelan, lalu melangkah santai menuju sofa di ruang rekreasi dan membanting tubuhnya ke tempat empuk itu.

Kondisi gadis itu belum sepenuhnya membaik. Tapi setidaknya, sarapan pagi sudah bisa dikerjakannya, dan itu cukup memberi asupan tenaga untuk menjalankan aktivitas setengah hari, meski tadi ia melewatkan makan siang dan baru menyentuh makanan lagi saat jam makan malam.

Sakura melonggarkan dasi yang melingkar di kerahnya. Sebagai dewan murid, ia harus berpakaian formal—seragam dewan murid dalam hal ini, saat menemui kepala sekolah, para guru, maupun melakukan tugas lain seperti berpatroli.

Hari sudah beranjak malam, namun udara masih terasa menyiksa.

Ia juga membuka kancing teratas kemejanya untuk sedikit membebaskan udara sejuk mendinginkan tubuhnya yang gerah. Sedangkan jas hitam almamater Konoha Senior High School dengan lambang dewan murid pada bagian dada kiri telah dilemparnya ke lantai.

Disandarkan tubuhnya pada sofa, dan memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan pening di kepala. Belum sepuluh detik mata terpejam, lobus temporalisnya menangkap gelombang longitudinal. Seperti serigala yang terusik tidurnya, Sakura siaga.

Sesosok tubuh berjalan menuju ruang rekreasi. Sakura memicingkan mata untuk dapat mengenalinya.

Sosok itu tampak sibuk membentulkan kemeja yang dikenakannya, mengancingkan bagian atas yang sempat terbuka. Belum lagi rok kelewat pendek yang melorot hingga di bawah pinggulnya.

Dan Sakura mengenali sosok itu sebagai murid kelas sebelas.

"Yumi?"

Sosok itu menatapnya. "Aaa, Sakura-senpai—" sahutnya terkejut.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Wajah gadis itu memerah. Ia tampak sekali gugup, dan memainkan ujung kemejanya gelisah. "Aku permisi." Tanpa menjawab pertanyaan sang dewan murid, Yumi menundukkan badannya dan segera pergi.

"Hey, punyamu ketinggalan—"

Sakura beralih pada sumber suara yang lain. Sasuke baru saja muncul dari arah kamarnya, menggenggam sebuah cardigan berwarna merah. Dan langsung terdiam begitu melihat si gadis Haruno.

Hening tak menyenangkan dengan cepat merayap di antara udara yang mereka hirup.

Sakura tahu apa artinya.

Kamatani Yumi. Skandal kecil sang casanova.

Kerongkongannya terasa tercekat.

.

.

Why I Hate Him

Poin 5: Sasuke adalah pangeran dari kegelapan. Ia memanfaatkan segala kesempurnaannya untuk mendapatkan apapun yang ia mau. Apapun. Termasuk menjerat gadis-gadis untuk melakukan apapun demi dirinya.

Aku benar-benar benci dia.

.

.

"Uchiha Sasuke," sebisa mungkin Sakura menjaga nada bicaranya agar tetap terdengar datar, "kau sudah melanggar peraturan asrama."

Pemuda yang dimaksud hanya diam mendengarkan tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Tidak juga pernyataan keberatan ataupun sekedar pembelaan.

"Aku akan memotong seratus poin dari nilai rapormu."

Sakura memungut jasnya yang tergeletak begitu saja. "Kau tahu, aku bisa saja melaporkan perbuatanmu pada Kepala Sekolah, dan mungkin jabatanmu akan segera dicopot setelah itu. Atau lebih parah, kau bisa mendapat skors. Tapi, tidak Sasuke. Aku tidak melakukannya." Dengan satu tatapan terakhir, Sakura meninggalkan pemuda yang masih mematung itu.

Sasuke mengerjapkan matanya saat menyadari tatapan itu. Jade—emerald itu. Menatapnya seperti— terluka.

Tidak. Tidak mungkin.

.

.

Pintu milik kamar sang dewan murid perempuan tertutup dengan keras. Memang disengaja, Haruno itu sekuat mungkin menutup pintu.

Mencoba menyalurkan emosinya yang terpendam kuat.

Ia kesal. Marah. Dan lebih dari semua itu, kecewa.

Sakura tak bisa berkata apapun lagi. Hatinya terasa tercengkram erat oleh suatu genggaman tak tampak. Seperti hendak hancur kapan saja tanpa aba-aba.

Ia tak mengerti.

Bisa saja ia melakukan hal yang lebih tegas untuk menghukum Uchiha itu. Seperti melaporkan perbuatan brengseknya pada Kepala Sekolah, dan Sasuke akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat.

Ya, seharusnya begitu.
Sebagai seorang dewan murid, Sakura adalah orang yang sangat disiplin dan juga tegas. Ia tak pernah segan-segan memberikan hukuman pada orang yang melanggar peraturan. Tidak peduli siapapun itu. Bahkan sahabatnya sendiri.

Tapi kenapa sekarang ini ia begitu kalah?

Seharusnya momen ini adalah saat yang tepat untuk membalas dendam pada Sasuke, 'kan? Membuat musuh besarnya itu mendapat hukuman seberat-beratnya.

Sakura mendengus. Satu-dua butir kristal bening mencair mengalir lembut dari emeraldnya. Dengan kasar, cepat-cepat ia menghapusnya.

"Brengsek."

Sakura membanting tubuhnya di ranjang, mencoba untuk tidak memikirkan apapun lagi.

.

.

Keluh kesah terdengar di setiap penjuru asrama. Ya, Senin telah menyapa, dan waktu yang tepat untuk menggerutu setelah dua hari lamanya menikmati hari yang santai.

Aula besar sudah penuh oleh murid-murid yang membutuhkan asupan energi untuk proses kerja otak hingga jam makan siang tiba. Mereka telah lengkap dengan seragamnya yang serba rapi. Termasuk anggota dewan murid yang telah bersiap di mejanya masing-masing.

Tapi sang ketua tidak tampak dimanapun.

Dan hingga detik ini, Sakura sudah menerima ribuan pertanyaan dari para gadis gila penggemar sang casanova itu yang hanya ditanggapinya dengan "Cari saja sendiri," atau "mana kutahu, memangnya aku baby sitter-nya!" dan semacamnya lalu mendengus dan meninggalkan mereka dengan muka masam.

Bahkan hingga jam makan siang tiba, Uchiha Sasuke masih belum sedetikpun kelihatan batang hidungnya. Dia tidak ada di setiap kelas—bahkan di kelas fisika yang notabene adalah kelas favoritnya— membuat semua guru mempertanyakan kehadiran si murid-terbaik-kelas-akhir itu.

Lantas, spekulasi mulai bermunculan. Salah satunya, apa Pangeran Konoha itu sedang sakit?

Bel tanda berakhirnya semua jam pelajaran untuk hari ini berdentang dengan nyaring, tingkat intensitas bunyinya mampu membuat semangat para murid yang hampir lenyap di pelajaran terakhir, naik kepermukaan menuju level maksimum.

Sakura segera membereskan barang-barangnya, memasukannya ke dalam loker, dan bergegas kembali ke asrama dewan murid. Diabaikannya ajakan Ino dan Hinata untuk bersama-sama menghabiskan kue yang dibuat Hinata kemarin.

Entah kenapa, Sakura begitu ingin kembali ke asrama, bahkan melupakan fakta bahwa sang musuh besar yang telah membuatnya menderita kemungkinan kuat ada di sana.

Sakura membuka pintu asrama, dan menemukan ruang rekreasi tanpa penghuni. Sasuke tidak di sana. Baguslah.

Tapi ada sebagian dalam diri gadis itu yang merasa keberatan atas kealpaan sosok raven itu. Rindu, eh?

Yang benar saja!

Cepat-cepat ia melangkahkan kaki ke kamarnya, menutup pintu, lalu berganti pakaian.

Sakura sedang mengancingkan kemejanya saat sebuah suara benda terjatuh dan pecah tertangkap indera pendengarnya. Sedikit terkejut, lantas ia cepat-cepat mencari sumber suara itu.

Dan, kamar Sasuke.

Ragu membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Ia jelas masih menghindari Sasuke. Dan memeriksa keadaannya di kamar adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya.

"Arggh!"

Tanpa berpikir ulang—khawatir sebenarnya—, Sakura memutar kenop pintu kamar sang ketua, dan menemukan pemiliknya tergeletak di atas ranjang sambil mencengkram erat rambut hitamnya. Pecahan beling dari gelas yang terjatuh terserak di lantai yang becek akibat tumpahan air itu.

Kacau. Tampak tidak baik-baik saja.

Sakura menutup pintu di belakangnya. Lalu kembali mengamati sosok yang tengah berbaring itu.

Sang ketua hanya menggunakan baju tidur favoritnya: celana panjang berwarna hitam dengan lambang kipas Uchiha di bagian paha kirinya. Hanya itu.

Ia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Lalu mendengus sebelum akhirnya membuka mata dan menemukan sang dewan murid perempuan di sana. Di dalam kamarnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" ujar Sasuke terperanjat.

"Kau berteriak, Sasuke. Dan itu sangat menggangguku," sergah si Haruno. Kedua emeraldnya berputar.

"Begitukah?"

"Ya. Kau berteriak seperti bayi."

"Bayi, katamu?" Sasuke mendelik.

"Merengek-rengek. Dasar cengeng."

"Tutup mulutmu, Haruno," desis sang Uchiha, berbahaya.

"Merasa kalah, eh, Uchiha?" seringai khas milik Sasuke di-copy gadis itu.

"Terserahlah," mendengus.

Ia kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua telapak tangan.

Dan Sakura—yang entah bagaimana—masih tinggal dalam kamar bernuansa dark blue itu.

"Hey, Sakura," Sasuke berkata lirih, "apa yang kau rasakan?"

Kedua alis cherry terangkat. Untuk dua alasan: Sasuke memanggil nama depannya (yang sangat jarang dilakukan pemuda itu) dan pertanyaan itu sendiri.

"Maksudmu?"

Sasuke menghela napas. "Never mind."

Kesunyian semakin menguasai mereka. Tidak, suasana ini sungguh tidak cocok untuk mereka. Bukan untuk Uchiha dan Haruno yang menghisap oksigen di tempat yang sama. Karena nyatanya, pertengkaran dan teriakan lebih serasi menjadi latar mereka.

Hening masih menyelimuti saat Sakura membuka mulutnya.

"Apa yang aku rasakan saat bersamamu, begitu, eh, Sasuke?" nyaris terdengar sebagai bisikan. Tapi Sakura melanjutkan, "Aku tidak tahu. Tapi rasanya, setiap kali bersamamu adalah... sesuatu yang bergejolak tiba-tiba saja muncul dalam diriku. Sesuatu yang tidak nyaman, tapi juga, akan terasa aneh saat semua itu lenyap. Meski aku begitu kesal, marah, dan terkadang muak akan dirimu, tapi itulah cara aku menikmati kehidupanku di sini."

Sasuke masih tak bersuara. Tapi jelas, ia mendengarkan.

Tubuh gadis itu melemas. Ia menyandarkan diri pada dinding bercat biru di kamar sang Pangeran Uchiha itu. Matanya menatap langit-langit.

"Aku bahkan sempat berpikir, bagaimana diriku tanpa dirimu. Tanpa pertengkaran-pertengkaran konyol kita. Tanpa perseteruan yang tidak pernah berakhir ini. Hari kelulusan lantas jadi momok yang menakutkan untukku."

Ketua dewan murid itu bangkit dari berbaringnya, dan duduk di pinggir ranjang. Onyx-nya beralih pada gadis yang tengah bersandar itu.

"Aku tidak tahu, Sasuke. Aku sungguh tidak mengerti..."

Sasuke masih menatapnya.

"Aku benci padamu, itu sudah pasti. Begitu banyak alasan untuk itu."

Tak sedetikpun Sasuke melepaskan pandangannya dari gadis cherry itu. Mencari arti dari setiap kalimat yang meluncur keluar dari bibir mungilnya.

"Bahkan sejak pertama kali melihatmu, aku bisa merasakannya. Alergi. Dengan menatapmu saja, sekujur tubuhku seperti dirayapi ribuan kutu. Benar-benar menggelikan."

Sasuke berjengit. 'Kutu? Yang benar saja!'

"Aku benci dan muak padamu. Tapi apa kau tahu apa yang paling lucu dari semua ini? Kau dengan begitu mudah mengacaukan diriku, pikiranku. Dan aku benci padamu karena semua itu. Rambutmu, kulitmu, matamu—aku benci semuanya. Semua yang ada pada dirimu membuatku tidak bisa berpikir jernih, Sasuke," ujar Sakura yang terdengar seperti putus asa. Ia menggigit bibir bawahnya.

Sudah saatnya. Setelah semua yang terjadi di antara mereka berdua, inilah saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Membuang kabut yang menyamarkan segalanya.

Sasuke menghela napas. Kini ia telah benar-benar bangkit, berdiri dengan kedua kakinya. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana.

Kenapa semuanya jadi seperti ini?

Dimulai dari pertengkaran, sindiran, kericuhan—yang selama ini selalu terjadi—lalu pengakuan. Semuanya benar-benar membingungkan.

"Kau membawaku tercebur pada semua ini," emerald Sakura menatap si pangeran yang mendekat, "kau membuatku benar-benar bingung. Membuatku tampak bodoh."

Sasuke berjalan mendekat.

"Bagaimana rasanya gadis-gadis itu, Sasuke? Bagaimana rasanya dipuja mereka? Didambakan? Bagaimana rasanya tidur dengan gadis-gadis itu, Sasuke!" Pertanyaan terakhir Sakura membuat hatinya mencelos.

Bagaimana, Sasuke? Bagaimana?

"Aku tidak pernah peduli."

Bayangan pemuda itu masih tampak jelas di dalam emerald Sakura. Memantulkan sosok sempurna itu.

"Kau tahu, aku tidak pernah peduli. Dengan gadis-gadis itu. Dengan semuanya."

Kini giliran Sakura yang menutup mulut. Entah karena memberi kesempatan kepada Sasuke untuk berkata lebih banyak, atau memang tidak bisa membalas ucapan pemuda itu. Jantungnya berdebar kencang.

"Kau pikir hanya kau yang terlihat bodoh dengan semua ini?"

Hanya tersisa kurang dari satu meter jarak di antara keduanya.

"Kita sudah tercebur, Sakura. Akui saja. Kenapa tidak sekalian saja kita tenggelam agar benar-benar basah?"

Lima puluh senti...

"Berada di dekat orang menyebalkan sepertimu, membuatku kehilangan akal sehat."

Sasuke sudah benar-benar berada di hadapan Sakura. Hanya sepuluh senti ruang kosong yang tercipta di antara mereka. Bahkan Sakura dapat merasakan hembusan napas pria itu menerpa wajahnya.

Tangan Sasuke keluar dari dalam saku celananya. Tangan kiri digunakan untuk menahan beban tubuhnya ke dinding. Di samping kepala gadis Haruno.

Sakura terperangkap di antara dinding dan Sasuke. Tapi ia tidak mencoba untuk berontak. Kedua emerald-nya masih menatap Sasuke tanpa sedetikpun melepaskan.

"Kau, membuatku— menginginkanmu," Sasuke membisik, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia menunduk.

Tangan kanannya terjulur untuk menyentuh gadis itu, lalu terhenti di udara sejenak—ragu menyerangnya—sebelumnya menemukan kulit halus milik sang Cherry, dan mengusapnya perlahan. Tangannya gemetar. Seperti menahan diri.

Kini onyx dan jade saling menatap. Menembus brikade masing-masing, berusaha untuk mencari, menjelajah, menemukan. Semua kebenaran dan kejujuran.

"Sasuke..."

"Kau... cantik... aku tidak mengerti..."

Sebelum Sakura sempat berkedip, bibir mereka berdua sudah saling bersentuhan.

.

.

Why I Hate Him

Poin 3: Uchiha Sasuke sangat ahli memanipulasi pikiran. Ia menyerang jauh ke dalam pikiranmu, seperti berusaha mencari tahu isi hatimu. Dan kau tahu apa yang paling buruk dari semua itu? Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak juga melawan. Dan aku terlihat kalah dan bodoh.

Aku benci dia yang telah membuat otakku tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

.

.

Insting alami membuat Sakura menutup kedua matanya, mengalungkan kedua tangannya di leher pemuda yang tengah menciumnya. Menekan kepala itu lebih dalam. Membuka mulutnya untuk membiarkan Sasuke mencicipi dirinya lebih banyak. Ia mendesah, membiarkan seluruh tubuhnya menikmati aksi sang pangeran.

Sasuke menciumnya lembut. Lengannya melingkari pinggang Sakura, membantu sang gadis menjaga keseimbangan dan lengannya yang lain mengusap perlahan punggung gadis itu. Sementara lidah mereka menari-nari seirama.

Ya, betapa keduanya telah menunggu begitu lama untuk merasakan semua ini. Untuk berbagi kehangatan, berbagi desahan dan sentuhan. Saling berbagi kesempurnaan.

Betapa mereka membutuhkan semua keindahan ini.

Keduanya terpaksa mengakhiri keindahan itu karena kebutuhan akan udara yang mendesak.

Sasuke menatap Sakura dengan mata setengah tertutup dan napas yang berat, masih dengan kilatan onyx penuh gairah.

Mereka berdua masih saling menatap dengan kening yang bersentuhan.

Semburat merah jelas mewarnai wajah sang gadis bubble gum saat ia menyadari apa yang baru saja ia—mereka lakukan. Dan disaat yang sama—Sakura berani bersumpah bahwa ia melihatnya—semburat merah meski tipis juga tercipta mewarnai wajah tampan sang pangeran.

Keduanya kini mulai menguasai diri kembali.

Sasuke mengecup ujung bibir Sakura sekilas sebelum benar-benar membebaskan diri.

"Aku tidak peduli bahwa aku tidak mengerti dengan semua ini. Karena aku hanya menginginkan satu hal saat ini."

.

.

"Kau benar-benar membuatku terlihat out of character, kau tahu?"

Sakura mendelik mendengar pernyataan—tuduhan sang Pangeran Uchiha di hadapannya. "Kau pikir hanya kau saja yang seperti itu, hah?"

"Kalau saja ini dunia nyata, aku jelas tidak akan melakukan semua ini."

"Apa maksudmu?"

"Ya, berdekatan denganmu tanpa saling melempar cacian selama lebih dari tiga puluh menit, apalagi, menciummu. Itu adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan seumur hidupku."

Kedua iris Sakura membelalak. "Maksudmu, kau tidak suka menciumku, begitu?" nada suaranya naik satu oktaf.

"Aaa, kenapa kau marah?"

"Aku tidak marah!" tanpa satupun nada yang turun.

"Kalau begitu, kenapa? Ingin lagi, eh?" seringai khasnya menghiasi wajah tampan-menyebalkan pangeran Uchiha Sasuke.

"Siapa yang bilang begitu?"

"Akui sajalah. Kau, menikmati ciumanku."

"Memangnya kau pikir siapa yang memulai? Siapa yang tiba-tiba memojokan dan menciumku, hah?" ujar Sakura kesal. 'Enak saja, kenapa aku yang disalahkan?'

"Lalu siapa yang membuka mulut dan mengundangku, eh? Yang mendesah? Lagipula kau yang menciptakan suasana yang memungkinkan untuk itu, tahu."

"Tapi yang mulai pakai lidah 'kan kamu," Sakura mendengus, "terserah kau sajalah. Kau membuatku gila."

Seringai Sasuke semakin melebar. "A-a-a, rupanya Haruno Sakura sang gadis dewan murid yang terhormat telah mengakui dirinya tergila-gila pada Uchiha Sasuke."

"Shut up, Sasuke!"

Tersenyum kecil. Sasuke melanjutkan setelah menarik napas dalam.

"Yeah, kalau saja ini adalah dunia nyata. Tapi kau tahu, aku tidak peduli dengan semua itu. Apakah ini dunia nyata atau bukan, aku tidak lagi peduli. Aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan. Yang membuatku merasa hidup dan manusiawi," kalimat terpanjang Sasuke dalam satu tarikan napas yang pernah didengar Sakura—dan yang terdengar paling jujur.

Onyx itu menatap sang gadis, "hey, Sakura."

Tak ada respon. Sang gadis hanya meliriknya dari sudut mata. "Katakan kalau ini bukan mimpi."

"Memang bukan, bodoh."

"Kalau begitu, pasti ada sesuatu."

"Sesuatu?"

"Ya. Sesuatu. Sesuatu yang membuatku jadi seperti ini."

Mau tak mau, emerald Sakura mengamati sang pemilik obsidian. Menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Apa kau telah memasukan sesuatu ke dalam tehku? Atau ke dalam makan siang dan cemilanku?"

Kedua ujung bibir Sakura tertarik membentuk senyum manis. "Kau tahu, 'kan, itu pertanyaanku, Sasuke."

Sasuke terkekeh. Hal yang tidak pernah dilakukan seumur hidupnya di depan orang lain selain orang tua dan kakaknya.

"Yah, mungkin kita telah keracunan makanan atau terserang virus berbahaya, yang menyebabkan semua kegilaan ini."

Dan kini kedua pasang insan itu saling memberikan senyum. Senyum yang tulus, dari lubuk hati.

Jarak keduanya semakin menipis.

"Atau mungkin, ada yang telah memasukan ramuan cinta ke dalam minuman kita..."

.

.

Why I Hate Him

Poin 1: Uchiha Sasuke adalah penjahat yang paling jahat dalam sejarah kehidupan yang pernah dicatat manusia. Ia begitu sempurna dan juga begitu pekat dalam kegelapan. Ia punya segalanya, tapi catatan hidupnya juga memuat segala keburukan yang tidak dapat dilupakan begitu saja.

Aku membencinya atas semua hal itu. Demi seratus alasan yang bahkan masih tidak sanggup mengaburkan kesempurnaannya.

Aku benci dia karena dia membuatku tidak bisa lagi membedakan.

Aku benci dia karena membuatku harus merasakan penderitaan. Membuatku tersiksa demi merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.

Aku benci dia karena dia telah membuatku kehilangan akal sehat saat bersamanya.

Aku benci dia karena dia membuatku tidak bisa bernapas saat melihatnya.

Aku benci dia karena saat ia pergi, ruang di dalam diriku mendadak kosong dan hampa.

Aku benci dia karena telah membuatku menjadi bodoh dan tidak dapat berpikir jernih.

Aku benci dia karena ia— membuatku begitu menginginkan dirinya, untuk selalu berada di sisiku. Selamanya.

.

.

The End

.

.

Author's Note: Oke. Saya sudah menyelesaikan fic ngaco ini. Dengan akhir yang benar-benar abal. Silahkan minna-san berimajinasi sendiri kisah selanjutnya~

Ah, saya benar-benar merasa bersalah sekarang. Bagian akhirnya saya merasa justru unsur humor tidak ada sama sekali. Apakah saya harus segera mengubah genre? Jika perlu, katakan saja, oke?

Dan satu hal. Saya lupa mencantumkan bahwa scene awal SasuSaku (bagian SasuSaku di ruang rekreasi saat mereka meributkan hal kecil yang berakhir dengan teriakan "Sasuke mesum" dari Sakura) diilhami dari bagian kecil fic "Keajaiban Ketujuh" karya Diamond-Crest.

Ending yang buruk? Maafkan saya yang memang lemah dalam membuat ending. Tapi jika masih banyak yang belum puas dengan ending fic ini, bilang pada saya ya. Karena rencananya, jika respon cukup banyak, maka saya akan membuat fic-fic SasuSaku lain yang mengambil latar yang sama dengan kisah yang berbeda. Semacam sekuel, lah.

Terakhir: saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses produksi fic ini, termasuk kalian, tentu saja. Tanpa pembaca—terlebih reviewer yang memberikan kritik-saran dan juga semangat, mungkin saya tidak akan mampu menyelesaikan kisah ini. Ah, dan juga yang telah memasukan "Ramuan Cinta?" ke dalam list favorite story. Beribu terima kasih dan penghargaan terbesar untuk kalian semua. :D #pelukpeluk

Terakhir sekali-?-: saya meminta kesan kalian terhadap ending fic ini, apakah cukup baik atau masih sangat jauh dari memuaskan, agar saya bisa memperbaiki di karya selanjutnya. Atau sekedar keluh kesah, pertanyaan maupun curhatan, kirimkan ke kotak review saya. So, review again, ok?

.

.

Review, please?