Based on 'Eyeshield 21' by Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata

.

Bonus Chapter From Saikyoudai's Side Story

.

Genre : Romance-Drama-and maybe Angst [tetep ngga ngerti genre X'Da]

Rated : T

Pairing : HiruMamo [Minor Pairing : Taka X OC]

Chapter : 4 of 4

Author alert : bahasa gaul, bad English, gaje, abal, ide pas-pasan, biasa aja, datar, garing, kayak sinetron, lebay, mohon hati-hati dalam membaca, jangan lupa review yak! X'D

Lyrics : It's Not Over by Secondhand Serenade

.

An Eyeshield 21 Fanfic,

Learn to Say 'BROKE UP'

by Uni-hime Karin Scarlet

.

4th [last] Lesson : Way to Say It

.

WARNING!

Contains OC, song lyrics, and maybe more OOC than my previous fic. If you hate OC or OOC, don't read this *weird* fic.

.

—Learn to Say 'BROKE UP' © karin-mikkadhira—

Apartemen Hiruma, 04:10p.m.

.

"Haah… haah…"

Mamori terus berlari menerjang kerumunan orang yang berlalu lalang di sepanjang koridor apartemen. Hari itu akan ada kunjungan salah satu orang penting Jepang—menurut spanduk di depan apartemen, karena itulah semua orang di apartemen itu sibuk. Mamori sudah tak peduli lagi dengan keluhan orang-orang yang merasa tersenggol oleh Mamori. Sekarang Mamori hanya ingin keluar, keluar dan takkan kembali lagi.

—Learn to Say 'BROKE UP' © karin-mikkadhira—

Rise Hiruma melangkah santai menuju kamar apartemennya yang terletak di lantai lima. Barang belanjaan yang hari ini dibawanya cukup banyak dan berat, namun Rise tetap memilih menggunakan tangga ketimbang menggunakan lift. Menurut Rise lift atau eskalator itu tidak sehat. Yah, hitung-hitung latihan, pikirnya.

DRT DRT DRT DRT

Ponsel milik Rise bergetar. Rise berusaha meraih ponsel yang ada di saku celananya. Tangannya sedikit sulit bergerak karena membawa banyak kantung plastik yang berat. Setelah berhasil mengambil ponselnya, Rise buru-buru membuka pesan yang masuk.

From: Taka

Subject: Gomen

Rii, maaf, kemarin aku hanya kaget. Aku tidak marah padamu.

Langkah Rise terhenti sejenak saat ia membaca pesan itu. Pesan dari pria yang menjalin hubungan dekat dengannya selama sebulan ini. Taka Honjo. Ya. Selama ini Rise-lah yang cukup berhasil membuat Taka kesengsem dan berubah kepribadian. Sejatinya, Rise bukanlah tipe gadis yang disukai Taka. Namun kelihaian Rise untuk membuat 'karakter luar' yang menutupi karakter aslinya berhasil menipu Taka. Rise memang menyukai Taka, tapi Rise tidak pernah secara sengaja memakai 'karakter luar' untuk menarik hati Taka. Hanya saja Rise sudah terbiasa begitu jika berhadapan dengan orang lain. Sang 'putri setan' belajar mengontrol karakternya karena ia tidak mau mencolok seperti kakaknya.

Sayangnya kemarin sang putri kelepasan memakai karakter aslinya karena ada preman-preman payah yang menggodanya. Alhasil Taka shock melihat Rise memainkan pisau di tangannya sambil mengancam para preman itu. Saat itu Taka langsung meninggalkan Rise begitu saja. Rise hampir menangis karenanya. Untungnya Rise adalah tipe orang yang lebih suka berpikir positif. Ternyata Taka meminta maaf padanya.

Rise tersenyum tipis. "Kau memang pria baik, Taka."

Rise memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya, ia memutuskan untuk membalas pesan Taka nanti, setelah sampai di rumah. Rise kembali melangkah dengan penuh semangat.

BRUKK

Rise menabrak—ditabrak—seseorang di tikungan koridor lantai dua. Sepertinya orang itu sangat terburu-buru. Betapa tidak beruntungnya orang tersebut karena telah menabrak sang putri setan.

"Eh, mata lo dibuka nggak sih? Kalau jalan lihat-lihat—"

Orang yang menabrak Rise melirik Rise sekilas, namun sedetik kemudian ia kembali melesat menuju tangga. Yang bisa Rise lihat hanya seorang gadis berambut auburn dengan mata biru safir yang mengenakan baju terusan berwarna biru langit.

"Anezaki Mamori?"

Enggak, mustahil, kenapa orang itu ada di sini? Masa' dia…? Sial!

Rise bingung. Rise merasa ia harus mengejar Mamori, namun di sisi lain ia sedang dalam keadaan tak menguntungkan dengan beberapa kantung plastik besar di genggamannya. Hipotesa-hipotesa aneh mulai berbaris dalam otak Rise. Sebenarnya Rise hampir jarang ikut campur dalam masalah kakaknya. Namun Rise juga merasa bertanggung jawab karena telah ikut andil dalam masalah kali ini. Baginya, kakaknya adalah segalanya. Rise tidak punya siapa-siapa lagi selain Youichi Hiruma. Dan kali ini Rise ingin kakaknya bahagia.

"For devil's sake, I must do this!" teriak Rise seraya berlari mengejar aroma tubuh Mamori yang mulai memudar. Punggung Mamori sudah tak terjangkau lagi oleh kedua kristal zamrud milik Rise. Rise melakukan dash tercepatnya sambil membawa kantung-kantung gempal di genggaman.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Rise menemukan gadis berambut auburn itu. Kecepatan gadis auburn itu mulai menurun rupanya. Rise memanfaatkan kesempatan dengan mempercepat dash-nya. Sayangnya kantung-kantung besar itu begitu mengganggu. Sebenarnya Rise bisa saja meninggalkan kantung-kantung itu di sembarang tempat. Toh, Rise bisa belanja lagi ke supermarket. Dengan buku ancaman semuanya pasti beres. Itu kalau tadi Rise belanja dengan menggunakan buku ancaman, untungnya tidak. Kali ini Rise berbelanja dengan uang buah keringatnya sendiri.

Hasil kerja sambilan—menjadi pegawai toko buku—dan hasil malak tentunya.

"Dammit! Kalau aja aku bisa menitipkan kantung-kantung ini pada seseorang! Ah—"

Kedua kristal zamrud Rise nampaknya menangkap seseorang yang tepat. Pria berkemeja hitam dengan topi mirip topi satpam sedang berjalan menuju Rise—tepatnya menuju lift di belakang Rise. Otomatis Rise sedikit memperlambat larinya begitu sosok sang satpam mendekat. Lucunya sang satpam sedang sibuk dengan kertas di genggamannya, sehingga sama sekali tidak menyadari terjangan Rise. Ia bahkan nggak ngeh dengan teriakan orang-orang di sekelilingnya yang panik melihat Rise.

Rise menarik napas seperti orang yang sedang mengikuti lomba atletik. Bersiap untuk mencapai finish-nya dan berteriak kencang. Sang satpam masih juga nggak ngeh bahwa ada seorang gadis yang akan menerjangnya.

"Pamaan! Awaas!" teriak Rise sembari bersiap mengerem. Satpam itu mendongakkan kepalanya, mendapati seorang gadis berambut pirang sepuluh meter di depannya, dan semakin mendekat.

"Hah?" Dengan wajah bingung satpam itu mengambil posisi menyambut terjangan Rise. Seperti seorang Ayah yang hendak menyambut pelukan putrinya.

PUK

Badan Rise membentur badan satpam itu. Pelan. Hanya seperti pesawat kertas meembentur badan. Hampir tak terasa. Untunglah Rise mengerem tepat pada waktunya. Dan saat benturan terjadi, tangan satpam itu refleks merangkul tubuh Rise dan mengelus punggungnya. Yah…sepertinya saat itu sang satpam belum sadar kalau gadis yang berada dalam dekapannya itu adalah sang putri setan, Rise Hiruma.

"A-adik tidak apa-apa?" tanya satpam itu kepada gadis dalam dekapannya. Gadis berambut pirang itu menunduk sehingga wajahnya tak terlihat.

"Ya?" balas Rise seraya mengangkat perlahan kepalanya. Aura setan mulai menguar dari tubuhnya. "LO PIKIR SIAPA GUE HAAH?" Rise mendongakkan kepalanya dengan mata berkilat seraya membentak satpam itu. Saking kagetnya sang satpam sampai terjengkang ke belakang. Dia sangat mengenal gadis bermata zamrud di hadapannya.

"No-nona Rise Hiruma? Ma-maafkan saya!" Satpam itu langsung berlutut dan meminta maaf pada Rise layaknya seorang pelayan memohon ampun pada tuannya.

"Paman ini kenapa? Sudah, aku titip kantung belanjaan ini, segera antarkan ke kamar ya! Terima kasih Paman! Aku sedang buru-buru!" ujar Rise seraya kembali melesat, mencari jejak Mamori yang kembali meninggalkannya. Pak satpam malah melongo melihat sikap Rise yang begitu. Padahal beberapa detik sebelumnya Rise membentaknya dengan gaya putri setan.

"Ba-baik, Nona Hiruma," ujar satpam itu terbata setelah punggung Rise menjauh.

—Learn to Say 'BROKE UP' © karin-mikkadhira—

Apartemen Hiruma, 1st Floor, 04:19p.m.

"Itu dia!" gumam Rise begitu kedua kristal zamrudnya menangkap sosok Mamori berjalan cepat menuju pintu utama gedung apartemen. Kecepatan Rise juga makin menurun. Walaupun kemampuannya sedikit melebihi kakaknya, namun tetap saja fisiknya adalah fisik seorang gadis.

"Begonya gue! Hiyou! Harus telepon Hiyou!" Rise meraih ponselnya dan dengan segera menekan tombol bertuliskan angka satu—shortcut untuk nomor kontak Hiruma. Banyaknya orang di trotoar membuat kecepatannya makin menurun. Kini Rise terpaksa berjalan cepat, sementara Mamori makin menjauh.

"Halo?"

"Ah, Hiyou!"

"Kenapa menelepon? Kenapa kau terengah-engah begitu?"

"Kamu menyuruh Mamori Anezaki masuk ke rumah?" tanya Rise nggak nyante. Rise bahkan belum menjawab dua pertanyaan Hiruma.

"Iya, memangnya kenapa? Sekarang kamu di rumah dengannya?"

"Terus kenapa dia sekarang kabur dari rumah sambil nangis?" Lagi-lagi Rise nggak nyante. Rise ingin segera mendapat penjelasan.

"Kabur? Nangis? Elo ngapain dia?"

"Astaga Hiyou, justru gue yang harusnya tanya! Tadi gue ketemu dia di koridor, lari sambil nangis! Gue nggak tau apa-apa! Elo yang harus jelasin semuanya!" bentak Rise, masih sambil mengejar Mamori yang semakin tak terdeteksi.

"Gue memang ngundang dia ke rumah buat nyelesein semuanya. Gue kasih kuncinya, gue bilang masuk aja ke rumah. Elo nggak ninggalin barang aneh di rumah 'kan?"

"Enggak! Mainan, senjata, kartu pelajar sekalipun nggak gue simpan di luar kok! Semuanya di kamar!" jawab Rise yakin.

.

Keduanya terdiam. Berpikir.

.

"Masa' sih?" Langkah Rise terhenti. Memikirkan kemungkinan yang kini berputar dalam otaknya. Dan sepertinya itu adalah kemungkinan yang sama dengan yang dipikirkan kakaknya.

"Semua barang lo simpan di kamar 'kan? Mungkin aja…"

"Iya, memang gue ninggalin baju di atas tempat tidur. Tapi masa'… Oh I can't believe this!" gumam Rise. Baginya sulit untuk membayangkan Mamori menangis hanya karena itu—melihat 'sesuatu' di kamar Rise.

"Di mana dia sekarang?"

"Huh? Barusan gue coba ngejar dia, tapi sekarang gue kehilangan dia. Mungkin pergi ke arah blok empat."

"Kamu kembali ke rumah saja, biar aku yang susul dia. Aku tau ke mana dia pergi."

"Eh? Tapi…" Rise bingung. Intonasi Hiruma terdengar begitu serius. Bahkan Hiruma menggunakan 'aku-kamu' setelah sebelumnya menggunakan 'gue-lo'.

"Just do it, imouto."

"…" Rise terdiam sesaat. "Hai, onii-san."

TUT TUT TUT

Telepon terputus.

Yah, semoga Kakak bisa menanganinya dengan baik…

—Learn to Say 'BROKE UP' © karin-mikkadhira—

Toko Kue Sus Kariya, 04:41p.m.

"Silakan pesanan Anda,Nona, blueberry, caramel, choconilla, dan choconuts." Seorang pelayan mengantarkan kue sus pesanan Mamori. Mamori hanya tersenyum untuk membalas jasa si pelayan muda.

"Sebaiknya makan yang mana dulu ya?" tanya Mamori pada dirinya sendiri.

.

"Menurutku choconuts."

.

Tiba-tiba suara seseorang yang sangat Mamori kenal terdengar dekat dari tempat duduk Mamori. Mamori yakin ia tidak salah dengar. Pria itu ada di sana bersamanya. Bahkan lebih dekat dari yang Mamori bayangkan. Mamori sudah lebih dari sepuluh menit duduk di sana, namun ia sama sekali tidak merasakan kehadiran pria blonde spike itu. Yah, untuk urusan menghilangkan hawa keberadaan, memang pria itu ahlinya.

Angin musim gugur mengantarkan keheningan pada mereka berdua. Tak seuntai pun kata terucap dari bibir mereka. Mereka tenggelam dalam angan masing-masing. Berpikir dan berharap.

Tak lama kemudian terdengar suara musik klasik yang mengalun perlahan dari speaker toko. Berbagai macam sonata dan simfoni mengalun, menjadi hiburan bagi para penikmatnya, serta menjadi obat tidur ampuh bagi para pembencinya. Mulai dari canon sampai für elise. Dan kedua insan yang duduk saling membelakangi tersebut masih mengunci bibirnya masing-masing. Kadang Mamori melirik ke belakang, hanya sedikit melirik. Mamori bahkan tidak kuasa melihat rambut blonde spike dan telinga elf pria itu. Mamori berkali-kali menghela napasnya yang berat akibat kegalauannya.

Mamori sungguh tak pernah berharap hal seperti ini terjadi padanya. Sudah cukup berat hatinya saat berusaha menjauhi Hiruma. Mamori tak habis pikir, kenapa Hiruma senang mempermainkannya, padahal perasaan Mamori padanya sangat tulus. Mamori tak bisa berpikir jernih. Bibirnya ingin mengutarakan sesuatu, namun hatinya tidak mau. Saat itu yang berkelebat dalam pikiran Mamori hanyalah kamar Hiruma, dan pakaian itu…

Bagaimanapun aku harus bicara…tapi…

"Youichi, aku—"

"Silakan machiato-nya, Tuan. Apa Anda tidak ingin memesan makanan?" Seorang pelayan muda mengantarkan pesanan Hiruma, memotong panggilan Mamori yang terdengar sayup-sayup seperti angin musim gugur kala itu. Mamori pun mengalah.

"Tidak, pergilah," jawab sang kapten Saikyoudai. Pelayan muda itu hanya membungkuk sambil beranjak pergi.

SRUUP

Hiruma menyeruput machiato-nya yang masih panas. Sementara gadis berambut auburn sebahu di belakangnya hanya tertunduk, menunggu jawaban.

"Tadi mau bilang apa?" tanya Hiruma. Datar.

"Aku tidak ingin bertanya mengapa kau ada di sini," ujar Mamori. "Aku ingin kau yang menjelaskan semuanya," pinta Mamori dengan nada yang sangat rendah dan sedikit bergetar. Demi setan, suara Mamori sangat kecil saat itu. Kalau orang yang duduk di belakangnya bukan Hiruma, pasti orang itu sulit untuk mendengar secara jelas apa yang Mamori ucapkan. Bahkan mungkin suara kentut Otawara lebih besar dari suara Mamori saat itu.

"Apa? Aku yang menjelaskan katamu? Apa yang harus kujelaskan, kuso-mane?" tanya Hiruma dengan ekspresi datar—walaupun Mamori tidak bisa melihatnya.

Mamori menghela napas. "Kamu tahu kenapa sekarang aku ada di sini dan bukan di rumahmu?" Kali ini suara Mamori lebih keras.

Hiruma terdiam sesaat. "Kau mau aku jawab jujur atau bohong?"

SET

Mamori menoleh ke belakang, menatap rambut blonde spike dan telinga elf Hiruma. Tatapan Mamori menyiratkan kekesalan yang sudah menumpuk sejak tadi—bahkan mungkin sejak setahun yang lalu. Namun tatapan itu tidak membuat Hiruma merasa terintimidasi dan balik menatap Mamori. Hiruma masih dalam posisinya semula, duduk membelakangi Mamori dengan tegap, tanpa bergetar sedikit pun.

"Aku tak pernah bermaksud membuatmu marah." Hiruma angkat bicara. "Bukankah kau sudah tahu siapa aku dan bagaimana diriku? Seharusnya kau tahu…apa yang kau lihat tidak seperti yang kau pikirkan."

"Memangnya kau tahu apa yang kupikirkan?" Kepala Mamori kembali saling membelakangi dengan Hiruma.

"Kau tahu aku tidak akan berbuat macam-macam." Hiruma membalas dengan nada tegas—walaupun bukan dengan jawaban yang Mamori inginkan.

"Kau benar. Melakukan hal seperti itu bukanlah karaktermu. Tapi aku butuh penjelasan, Youichi… jelas-jelas aku masuk ke kamarmu dan—"

.

"Kau yakin itu kamarku?"

.

Hiruma menyela Mamori dan melontarkan pertanyaan yang cukup tajam. Hiruma memiringkan kepalanya sedikit, kedua kristal emerald-nya mendelik, melirik rambut auburn sebahu milik gadis yang disukainya itu. Berkhayal bisa membelai rambutnya saat itu juga.

Keheningan menyapa Mamori. Pengendali ruang dan waktu seakan meghampiri Mamori dan memberinya kesempatan untuk melakukan flashback menuju satu jam yang lalu. Saat hati nurani sialannya memaksanya untuk membuka pintu hitam legam dengan gantungan Devil Bat di hadapannya.

Ya, di kamar itu tidak ada satupun benda yang menunjukkan bahwa kamar itu milik Youichi… Tapi… Kamar itu milik siapa?

Mamori kembali menoleh ke belakang, sementara Hiruma secara refleks memutar kepalanya hingga kembali membelakangi Mamori.

"Itu kamar adikku. Kapten Deimon Devil Bats angkatan sekarang. Kau juga pernah bertemu dengannya saat kelulusan. Ingat?" ujar Hiruma mantap, mengakhiri argumennya. (N/A: boleh baca The Second Devil of Deimon ^ ^)

Mata Mamori membulat, membenarkan semua yang baru saja dikatakan Hiruma.

"Hidup kita bukan dorama, kuso-mane. Aku nggak mengerti kenapa kau bisa berpikiran dangkal seperti ini," ujar Hiruma dingin.

Seketika suasana berubah mendingin. Angin musim gugur kembali berhembus dengan kuat, masuk ke dalam toko melalui celah-celah jendela yang memang dibiarkan sedikit terbuka agar atmosfer toko terasa lebih natural. Operator toko mengubah playlist dari instrumen klasik menjadi lagu-lagu dari musisi western yang terdengar galau. Sangat cocok untuk menemani kedua insan yang tengah berada pada titik galau tersebut.

"Aku—"

TES

Mamori tak kuasa menahan air matanya yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata. Akhirnya butir bening itu jatuh juga. Beberapa kali Mamori menyeka air matanya dengan punggung tangan, namun tangisnya tak kunjung berhenti. Angin musim gugur yang sedari tadi berjalan-jalan nampaknya tak mau mampir untuk sekedar menepuk bahu Mamori dan berkata: "Tidak apa-apa." Sementara musik yang mengalun di dalam toko juga bukan musik yang dapat menenangkan hati. Yang mengalun malah lagu-lagu dari band Secondhand Serenade yang terkenal sebagai band spesialis lagu galau.

"Hiks… Aku…" Mamori masih sedikit terisak. "Aku juga nggak tahu kenapa aku jadi kacau seperti ini…" Mamori terus berusaha menyeka air matanya.

"Dasar…" Hiruma menggeser badannya di tempat duduk sedikit ke kiri, lalu ia menyilangkan tangannya ke belakang, melingkari leher Mamori sampai menyentuh bahunya. "Sudahlah, tidak apa-apa."

Sontak pipi Mamori memerah saat diberi perlakuan seperti itu oleh Hiruma. Hiruma-lah angin yang sejak tadi ditunggunya. Angin yang akan menepuk bahunya sambil berkata: "Tidak apa-apa." Mamori harusnya senang, karena momen itu dapat digunakan untuk mengajak Hiruma melupakan segala kebodohan yang telah mereka berdua lakukan. Namun hati Mamori berkata lain. Gejolak hati Mamori mengatakan bahwa semua itu hanya akan bertahan sebentar. Hiruma bersikap begitu karena Mamori menangis. Jika hubungan mereka telah kembali seperti biasa, pasti Hiruma akan bersikap seolah mereka tidak punya hubungan apa-apa. Dan Mamori lelah akan semua itu. Mamori sungguh menyukai—mencintai—Hiruma, namun Mamori juga wanita biasa yang memiliki kebutuhan batin.

Mamori sudah merasa cukup dengan semua ini.

"Sudah cukup."

Mamori berusaha melepaskan tangan Hiruma yang melingkar di lehernya. Hiruma sendiri tak menanggapinya.

"Sejak awal kita memang seharusnya berjalan masing-masing, Youichi."

Kedua emerald milik Hiruma membulat—walaupun tak bulat sempurna—begitu mendengar ucapan Mamori dengan jelas lewat telinga elf-nya. Dan Hiruma berharap ia salah dengar. Hiruma menoleh.

"Apa?"

Mamori ikut menoleh, menatap wajah terkejut pria blonde spike di hadapannya dengan kedua kristal safirnya.

"Ya, kita selesai, Youichi."

I lose myself in all these fights; I lose my sense of wrong and right. I cry, I cry. I'm
Shaking from the pain that's in my head. I just want to crawl into my bed and throw away
The life I'd led. But I won't let it die. But I won't let it die.

But it's over, it's over. Why is it over? We had the chance to make it. Now it's over,
It's over. It can't be over. I wish that I could take it back.

Angin musim gugur kembali berhembus sangat kuat. Lagu It's Not Over milik Secondhand Serenade mengalun tenang, menemani senja yang perih kala itu. Entah kenapa lagu yang pas untuk menggambarkan ruang yang didiami Anezaki Mamori dan Hiruma Youichi saat itu. Mamori baru saja mengatakannya. Hal yang seharusnya bisa ia katakan saat kejadian di Melodia L'arcobaleno malam itu. Namun akhirnya Mamori memutuskan bahwa inilah saat yang tepat—

.

—untuk mengucapkan salam perpisahan.

.

Hiruma menatap wajah gadis auburn itu untuk beberapa detik, kemudian ia melayangkan seringai setan andalannya sembari membalikkan badan. Hiruma mengambil sebungkus permen karet dari sakunya dan mulai mengunyahnya, berusaha menghilangkan rasa gundah yang menjalar dalam aliran darahnya. Hiruma menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan ditopangnya kepala bagian samping dengan jari-jari tangannya yang ramping. Sialan, sialan, sialan! Hiruma terus mencerca.

I'm falling apart, I'm falling apart.
Don't say this wont last forever.
You're breaking my heart, you're breaking my heart.
Don't tell me that we will never be together.
We could be over
And over, we could be forever.

Aah… Jadi permainan sialan ini selesai sampai di sini ya?

"Tapi—" Mamori kembali membuka bibirnya. "Jika suatu hari nanti kita ditakdirkan untuk bersama, aku takkan menolak takdir itu."

Hiruma menoleh dengan wajah datar. Wajah Mamori yang tersenyum dengan indahnya menyita indera pengelihatan Hiruma selama beberapa detik. Hiruma balas menyeringai.

.

Yeah, it's not over, fuckin' angel. Kekeke.

.

It's not over. It's not over, it's never over, unless you let it take you, it's not over,
It's not over, it's not over, unless you let it break you. It's not over.

—Learn to Say 'BROKE UP' © karin-mikkadhira : OWARI—

Author's Cuap-cuap ! :D

Alhamdulillahirabbil alamin. Thanks for God, for my parents, my friends, my computer, and of course ALL OF YOU!

Hontou ni arigatou wa gomennasai! Makasih banyak buat semuanya yang udah ngikutin fic nyinet ini dari awal—dari SSS. Maaf banget nggak bisa disebut satu-satu namanya, tapi yg jelas saya sangat berterima kasih :) Dan bener-bener minta maaf untuk segala keabalan, kebodoran, serta ke-OOC-an dalam cerita ini. Maaf banget, cuma ini yg bisa saya kasih. Maaf jelek :( Maaf telat update—itu yg paling penting. Maaf, dan terima kasih banyak. :')

Glossary

Imouto : panggilan untuk adik perempuan

Onii-san : panggilan untuk kakak laki-laki

Segway : kendaraan roda dua mirip otopet bertenaga listrik. Hiruma pernah memakainya saat tangannya patah, di trailer NSN-nya JB juga ada.

DM : Direct Message

.

Maaf nggak semua dapet review reply. Ini jawaban Kuis Ceria edisi lalu :)

[1] OC. (jawaban ini nggabisa diganggu gugat, yg jawab Rise maaf ya, kurang tepat, soalnya saya udah bilang saya udah nulis dengan jelas, dan di atas memang tulisannya Taka X OC. Jadi jawaban yg benar adalah OC ^^)

[2] Rise.

Makasih buat yang udah coba jawab! Selamat buat yg jawabannya benar! Untuk yg jawabannya benar semua, hadiahnya sudah saya tawarkan lewat PM ya :)

Buat yg follow twitter saya, harap mention kalau mau folback dan ngobrol :3


Learn to Say 'BROKE UP'

End of Lesson – The Examination

.

Kyoto, 3 years passed—

.

TOK TOK

"Permisi, wakil direktur, saya datang untuk meminta tanda tangan Anda."

Seorang wanita yang mengenakan blouse kantor abu-abu mengetuk pintu kaca tebal di hadapannya, meminta izin untuk masuk.

"Masuklah," jawab pria di dalam ruangan.

CKLEK

Seorang pria berambut dark brown terlihat duduk di kursi kebesarannya sambil mengutak-atik laptop. Pria beranting itu terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. Matanya menyiratkan bahwa ia sedang tidak bisa diganggu kecuali jika ada hal yang benar-benar penting. Pria itu melirik sekretaris dengan sorot mata cepat-selesaikan-urusanmu-dan-cepat-pergi. Nona sekretaris pun menyerahkan beberapa dokumen untuk ditandatanganinya. Pria itu merapikan dasi yang bertengger di kerah kemeja Armani-nya, lalu mengambil pulpen.

"Memang direktur ada di mana? Seharusnya dia yang menandatangani ini, menurutku." Pria itu meraih dokumen-dokumen yang diulurkan sekretaris. Papan nama yang terletak di mejanya pun kini terlihat jelas. Vice President, Reiji Marco.

"Direktur sedang berolahraga di koridor lantai bawah," ujar Nona sekretaris itu sambil menunduk.

Marco menaikkan salah satu alisnya. "Berolahraga?"

~('-')~

"YAA-HAA!"

Seorang pria berambut blonde spike dan bertelinga elf berkoar-koar sembari mengendarai segway dengan kecepatan tinggi di dalam koridor sebuah gedung perkantoran. Sementara para pekerja yang berada di sekitarnya hanya menghindar sambil membungkukkan badan padanya. Pria itu bagai raja barbar. Dialah orang yang paling dihormati—ditakuti—sekaligus paling liar di gedung itu.

"Minggir, karyawan-karyawan sialan!" teriaknya. Sontak orang-orang yang merasa terpanggil segera minggir dari jalurnya.

"Tunggu! Direktur Hiruma! Ada telepon internasional dari Tuan Yamato! Harap diangkat!" Seorang pria paruh baya berusaha mengejar pria bertelinga elf yang melesat dengan segway itu. Sayangnya si pria yang dipanggil direktur ini tak menggubris panggilannya.

Sharrim, Inc. sebuah perusahaan mandiri yang bergerak di dua bidang, amefuto, dan mainan anak-anak. Sesuai dengan bidangnya, perusahaan ini dibagi menjadi dua divisi, "Amai" yang mengurus mainan anak-anak, dan "Kenkou" yang mengurus perlengkapan amefuto. Perusahaan yang baru berdiri satu tahun ini cukup laris di masyarakat. Direktur Youichi Hiruma mengembangkan perusahaan ini dengan rapi, dan dia juga menggandeng teman lamanya, Reiji Marco sebagai wakil direktur. Walaupun mereka berdua adalah petinggi perusahaan, namun mereka masih aktif bermain amefuto.

"Direktur, Anda mau ke mana?" Tanya pria paruh baya tadi—sekretaris pribadi Hiruma—begitu melihat Hiruma mengeluarkan mobil.

"Mengantar hadiah." Seringai Hiruma menyertai jawabannya.

~('-')~

Cattleya Kindergarten, Kyoto—

.

"Sayurannya dimakan sampai habis, ya! Dengan makan sayuran, kita akan menjadi kuat sehingga dapat membalikkan meja!" ujar seorang gadis bermata safir kepada anak-anak asuhnya. Gadis itu melipat lengannya dan menirukan gaya binaragawan dengan lucu sehingga membuat anak-anak tertawa.

Ya, sejak dulu hal yang paling disukai Mamori Anezaki memang anak-anak. Dan setelah menempuh pendidikan di akademi, akhirnya kini cita-citanya tercapai—menjadi guru Taman Kanak-kanak. Wanita berambut auburn itu sudah cukup lama mengundurkan diri dari dunia American football. Ia memilih untuk berkonsentrasi pada pendidikan dan karirnya.

TOK TOK

Seseorang mengetuk pintu kelas ketika Mamori masih sibuk mengawasi anak-anak didiknya. Mamori menoleh. Sosok seorang pria tertangkap oleh retina Mamori. Mamori tersenyum menyambut kedatangan pria itu.

"Ternyata kau benar-benar datang, Youichi." Mamori berjalan menuju pintu tempat Hiruma bersandar.

"Kekeke. Masa' aku tidak menepati janji." Hiruma menyeringai. Mamori melirik kantung-kantung yang bertengger di tangan Hiruma.

"Kamu bawa apa?" tanya Mamori penasaran.

"Ng? Oh, produk baruku, hanya ingin promo saja pada anak-anak sialanmu. Kekekekeke."

"Yang benar? Kalau benar, letakkan saja dulu di sini, nanti kubagikan. Isinya bukan bom atau petasan 'kan?" tanya Mamori sambil menaikkan salah satu alisnya. Ia tahu benar seperti apa Hiruma, dan dia takut Hiruma masih ekstrem seperti dulu.

Hiruma memandangi Mamori. "Bodoh!" Ditepuknya kepala Mamori. "Ayo." Hiruma menunjuk arah teras kelas dengan ibu jarinya. Mamori mengangguk. Kemudian mengikuti pria blonde spike yang berpakaian resmi hari itu.

Suara kumbang musim semi menemani pertemuan Mamori dan Hiruma siang itu. Tak terasa sudah empat tahun sejak mereka memutuskan hubungan spesial mereka, dan sudah setahun lebih mereka tidak bertemu muka karena sibuk dengan karir masing-masing. Selama kurun waktu itu mereka berdua hanya saling mengirimi e-mail di hari libur, juga saling mention di twitter. Setelah lama mengobrol di twitter, akhirnya Hiruma mengajak Mamori untuk bertemu. Karena jadwal Mamori yang cukup padat, akhirnya Hiruma memaksa untuk mengunjungi Mamori di sekolah. Kelihaian Hiruma mengontrol perusahaan dengan satu tangan membuatnya bebas bergerak dan tidak begitu penat dengan tugasnya sebagai direktur. Sesungguhnya hari itu adalah hari yang paling ditunggu oleh Hiruma.

"Kemarin kamu tanya apa di DM? Aku nggak sempat baca, maaf." Mamori memecah keheningan.

"Oh, aku tanya kau mau kubawakan creampuff rasa apa. Karena kau nggak jawab ya kubelikan random," jawab Hiruma seraya menggelembungkan permen karet mint-nya dengan tampang malas. Sementara Mamori hanya mengangguk kecil, kemudian menatap Hiruma dari samping.

"Selama ini," ujar Mamori, "sudah banyak yang terjadi, ya." Mamori memandangi langit musim semi yang cerah. "Sekarang kau dan aku sudah menjadi orang yang sedikit berbeda."

Hiruma meledakkan balon permen karetnya. "Benarkah? Kurasa aku masih sama saja." Hiruma menyodorkan dus kue dengan lambang toko kue Kariya pada Mamori. Mamori pun menyambarnya dengan mata berbinar-binar.

"Waah! Kebetulan aku belum sarapan!" ujar Mamori. Padahal siang itu sudah jam makan siang. "Makan rasa apa dulu ya?" Mamori menunjuk-nujuk kue sus berbagai rasa dalam dus kue itu.

"Choconuts?" ujar Hiruma datar sembari menggelembungkan lagi permen karetnya. Mamori melirik Hiruma, lalu mengambil kue sus dengan rasa yang disebutkan Hiruma.

HAUP

Mamori menggigit kue sus itu dengan bahagia.

"Ng?" Mamori terhenti. Sesuatu yang berkilauan terlihat dari dalam kue sus yang dipegang Mamori. Benda itu tenggelam di bagian tengah kue yang penuh krim. Untungnya Mamori belum menggigit bagian itu. Dengan penuh rasa penasaran ia mengambil benda itu dan meletakkannya di atas tisu.

Sebuah benda berbentuk lingkaran seperti donat berwarna perak.

Mamori menoleh ke arah Hiruma yang masih asyik bengong dengan permen karetnya. Menatapnya dengan tatapan ada-apa-dengan-semua-ini-? Hiruma melayangkan seringai andalannya tanpa melirik Mamori sedikitpun. Sementara Mamori kembali menatap benda—cincin—itu dengan tatapan heran.

"Aku tidak berubah, kuso-mane. Aku hanya menjadi lebih profesional." Hiruma menatap Mamori dan melayangkan seringai ter-cool yang pernah ia punya. Mamori masih menatap Hiruma tidak percaya sambil menggenggam cincin perak itu erat.

.

"So, do you want to be my fuckin' wife?"

.

.

karin-mikkadhira :: [05292011-07:03AM] :: Review/Concrit Needed