Naara : Geregetan diriku, kepingin sekali bikin cerita horror. Dan ini maksa banget karena saya sebenernya nggak punya skill nulis dalam genre ini =.=

Jadilah kumpulan oneshot horror gaje ini!

.

Theme song : Vampire Knight 18 – Maria Kurenai's Theme

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Silent Scream © Naara Akira

WARNING : OOC , AU, EYD amburadul, Mistype bertebaran, Ending Gaje, Main Chara's POV, Humor garing di bagian awal cerita. Horror nggak terasa.

Kalo nggak suka, harap jangan dibaca! Kalo masih dibaca juga.. yodah lah! Minta ripiunya aja! *kicked!*

.

1st Night : Kimono's Doll

Main Chara : Uzumaki Naruto

.

Hai, semua! Aku Uzumaki Naruto. Panggil Naruto aja kali, yah? Salam kenal! Aku anak semata wayangnya papa dan mama. Paling doyan sama ramen, lalu punya hobi nge-game. Game yang lagi bikin aku geregetan− ehm, maaf... lupain aja semua kata-kata nggak penting tadi.

Aku seorang mahasiswa jurusan Teknik di sebuah Fakultas ternama di Konoha. Omong-omong, saat ini aku menempuh jenjang pendidikan di luar kota kelahiranku, jauh dari papa dan mama yang ada di Uzu.

Gara-gara hobi nge-game yang ternyata susah sekali hilangnya, tiap minggu aku selalu terkapar sekarat dengan uang pas-pasan. Bukan karena papa yang pelit kasih santunan, sih. Beliau malah rutin sekali menambah saldo tabunganku tiap bulannya. Hanya saja kaset-kaset game terbaru yang selalu mejeng di etalase toko dekat kampusku itu, lho... Ukh! Aku nggak punya cukup iman untuk tidak mengeluarkan dompet katak milikku ini.

Nah, di sinilah aku sekarang. Green Café. Aku pekerja part-time di tempat ini. Akhirnya setelah hilir-mudik sana-sini mencari penyokong untuk kelangsungan hidupku, bulan lalu aku memulai kehidupan magang-ku. Setelah jam kuliah berakhir, aku selalu memacu sepeda kerenku ini ke arah Café yang ternyata cukup populer di kalangan pelajar kota ini. Sebenarnya tidak ada yang istimewa di tempat ini, baik dari menu maupun pelayanannya. Hanya saja, kami di sini menjual view alam yang indah. Yah, kalau kulihat, sih, tempat ini dibangun di sisi bukit tertinggi Konoha. Saat malam tiba, indah gemerlap malam Konoha akan memanja mata. Terutama dengan posisi bangunan Café kami yang ketinggiannya cukup untuk menangkup kelap-kelip malam seluruh kota Konoha dari sisi balkon. Belum lagi aroma angin sejuk dan suara tenang hewan malam yang kental menyentuh indera. Pengunjung juga dapat bercengkerama langsung dengan bintang yang mengedip manja di tirai raksasa sang pencipta. Tak heran kalau tiap malam semua meja di bagian balkon selalu penuh dengan pasangan muda-mudi yang secara sembarangan menebar bunga-bunga cinta.

"Aduuh!" Aku langsung memegangi kepalaku yang baru saja kena sambit nampan. Mata biruku menoleh ke belakang, mencari sosok biadab yang seenak perutnya mukul-mukul kepala indahku ini. "Sialan! Apa, sih!"

"Eh! Kamu melamun, ya? Dari tadi aku mengoceh kayak bebek juga! Nih, antar ke meja 14 sana!" Orang ini malah mengomeli aku sambil menyerahkan nampan menunya.

Aku menggerutu malas, masih dengan sebelah tangan yang mengusap kepala berlapis rambut pirangku. "Uuh, iya, iya! Maaf, deh!" Kemudian aku menerima nampan perak yang berisikan menu darinya.

"Dasar.. Kalo ketahuan bos Kakuz kamu bisa kena lembur, lho!" Pemuda berambut cokelat itu berkacak pinggang sebelum melangkah pergi. Kesal, aku pun meleletkan lidahku sepanjang-panjangnya ke arah pemuda itu. Setelahnya, aku hanya bisa nyengir salting begitu mendengar suara kikikkan geli dari beberapa pengunjung yang ada di sekitarku.

Ah, lupa kukenalkan, nih. Si bawel barusan itu namanya Inuzuka Kiba. Dia teman sekampusku, walau beda jurusan. Dilihat dari lagaknya, dia memang lebih senior dariku di Café ini.

"Hoi! Masih melamun juga!" si Kiba itu teriak dari meja kasir. Tangan kanannya sudah megang-megang botol kecap pula. Hii, nanti aku kena sambit lagi…

"Ini juga baru mau kuantar, njing!" jawabku sambil lalu, takut jidatku bakal jadi landasan mendarat botol kecapnya.

Kuhentak-hentakkan kakiku pada lantai kayu yang kupijak. Perasaanku saja atau memang dari tadi rasanya aku kena sial terus. Saat mandi pagi ini air mendadak mati, padahal aku lagi buang air besar. Kemudian istirahat siang di kampus kuhabiskan dengan acara mengosek WC dosen. Ini gara-gara semalaman aku serius dengan PSP-ku dan akhirnya aku ketahuan sedang membuat graffiti liur di atas meja saat mata kuliah bahasa inggris tengah berlangsung. Belum lagi ban sepedaku yang yahud itu gembos, disebabkan oleh paku imut yang tiduran di atas trotoar. Memang salahku juga naik sepeda di tempat khusus pejalan kaki. Dan kini, si maniak anjing itu menciptakan gundukan yang cukup besar di antara helai rambut halusku.

Ah, semoga ini memang bukan hari sialku. Kuharap. Tapi entahlah. Perasaanku sedikit tak enak hari ini. Apa mungkin masuk angin, ya?

Gah! Aku menggeleng-geleng cepat. Aku segera menghapus jejak lamunanku. Kerja, ah, kerja!

Nampan yang kubawa perlahan mendarat di atas sebuah meja berpanel 14. "Maaf membuat Anda menunggu!" ucapku ceria sambil menyuguhkan pesanan pada sang pelanggan. "Selamat menikmati!" Senyum pedagang termanis kuluncurkan. Kata orang, aku ini keren sekali kalau sedang tersenyum. Hehe.

"Kenapa mukamu jadi lucu begitu, dobe?"

Kedua mataku melotot tajam begitu mendengar suara tak asing itu. Bibirku yang masih juga menyunggingkan senyuman bergetar kaku saat menatap sosok pemuda yang duduk tenang dengan wajah dingin miliknya. Astaga, kenapa kesialan selalu datang padaku, sih?

Uuh, orang ini tetangga sebelah di apartemenku. Orang aneh yang sarapan pagi pakai roti lapis tomat, makan siang pakai nasi goreng tomat, dan makan malam pakai tomat rica-rica. Kalau tidak salah, namanya Uchiha Tomato. =.=

Si pemuda bermata kelam itu sedikit memiringkan kepalanya sambil menatapku, "kamu di sini mau melawak, ya?" Matanya meneliti sekujur tubuhku, lebih tepatnya memperhatikan apron renda berwarna merah muda yang merupakan seragam pegawai Café kami. "Tapi cocok juga apron-nya." Senyuman kecil nampak di wajahnya yang kata orang, sih, cakep.

Alis kuningku berkedut. Kupukul dengan kekuatan maksimal meja cokelat tak berdosa yang ada di hadapanku. "Ngapain kamu di sini, TEMEE!" Aku menjerit kesal. Aku sudah kelewat sabar, tiap hari selalu diganggu oleh maniak tomat seperti dia. Sedikit geraman terdengar dari mulutku. Aku jadi menyesal setelah melakukan tindakan ini. Kedua tanganku mulai terasa berdenyut nyeri. Belum lagi…

Mata biruku perlahan bergulir ke samping. Kenapa air liur mendadak sulit sekali untuk sekedar kuteguk? Ya ampuun… Kebab Deluxe Extra Tomat yang kubawakan untuk Sasuke-Teme berhamburan di lantai!

"Pecahkan saja semua, biar ramai…" cecar Kiba yang baru datang, "…biar bos Kakuz dengar." Pemuda berambut cokelat itu mengerling pada sosok besar yang ada di sebelahnya.

Sosok berkerudung itu terlihat bergetar. Aku pun ikut bergetar. Mata hijaunya menyala terang. Aku pun mulai mewek.

"LEMBUUUR!"

Ya, ollooh. Lengkap amat penderitaan hamba.

.

Angin tiba-tiba berlalu dengan kencang, membawa potongan dedaunan lapuk untuk menari bersama. Kehidupan malam Konoha sudah mulai padam. Terbukti dari jalan yang telah lengang, hanya diisi oleh tarian angin sebagai syarat kekosongan. Jarum jam kembali bergerak selangkah. Pukul 00.56 pagi menjelang.

Ruangan terbuka Café yang bernuansa hijau dilahap sepi. Tentu saja karena jam tutup Café sudah lewat sekitar dua jam lalu. Dan selama satu jam lalu pula aku habis kena damprat bos. Bagusnya, dia tidak minta ganti rugi atau pun memotong gajiku. Yah, cuma begini nasib. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan gelas, mengelap meja, lalu menaikkan kursi-kursi jadi tugasku hari ini. Sepi.. sendiri.. ngantuk..

Aku menguap, sekedar membunuh rasa kantuk yang sedari tadi kutahan. Tangan kananku terus bergerak di atas sebuah meja tamu. Noda membandel yang kelihatanya bekas kecap ini sedikit banyaknya membuatku jengkel juga. Setelah yakin meja telah bersih, aku menaikan kursi ke atas meja dengan posisi terbalik, kemudian mendorongnya masuk ke dalam Café. Belakangan hujan angin membuat perkakas Café di bagian balkon jadi kotor. Beberapa kali pula angin berhembus kencang, membawa dedaunan tua masuk ke arena balkon yang sebelumnya sudah kubersihkan. Mau tidak mau, aku kerja dua hingga tiga kali lipat hari ini.

Cring.

Aku membelalak seketika, kaget. Suara gemerincing lonceng kecil menebas sunyi, terdengar halus dari sudut ruangan yang gelap. Arah gudang penyimpanan. Aku mengernyit. Kucing, ya? Kupikir begitu karena ada suara gaduh kecil dari dalam sana. Ah, sudahlah. Di sana tidak ada stok untuk bahan masakan. Hanya berisikan kardus-kardus peralatan lama dan juga plastik-plastik bekas.

Aku mengangkat kedua bahuku, mengacuhkan, lalu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda.

Cring cring cring.

Gerakan tanganku terhenti. Suara loncengnya seakan berjalan…

Cring cring cring.

Kini aku mulai merasa terganggu. Aku menoleh ke kanan, ke arah gudang penyimpanan. Pintunya bergerak perlahan, menggoyang halus seperti tertiup angin. Sesaat aku terdiam di tempat sebelum kuletakkan kain lap yang ada di tanganku sambil kemudian menghampiri pintu besi yang sedikit terbuka itu.

"Aneh," ucapku bingung seraya menggaruk sisi pelipisku. "Seharusnya ini sudah terkunci, kan?" Kembali, aku menatap bingung serenceng kunci yang ada di tanganku. Seratus persen aku yakin telah mengunci pintu besi ini sesaat sebelum memulai tugasku mengelap meja. Mata bulatku merambat naik menatap slot, batangan besi, yang menyembul keluar di dekat handle pintu. Slot yang berfungsi untuk menyegel pintu saat kunci telah aktif. "Dan harusnya memang terkunci… kan?" bisikku, mulai ragu dengan apa yang kulihat.

Aneh, degup jantungku otomatis meningkat secara berkala. Hawa dingin terasa mencakar punggungku yang berlapis jaket oranye kebanggaanku. Dalam sekejap duniaku terasa berhenti berputar.

Kugelengkan berkali-kali kepalaku sambil memejam kuat. "Aah, idiot! Cuma halusinasi saja. Jangan dipikirkan!" Aku berusaha meyakinkan diri. Entah mengapa, untuk saat ini aku ingin sekali percaya kata-kata mereka yang mengatakan bahwa aku ini memang anak yang ceroboh dan serampangan. Aku jadi tersenyum miris.

Helaan nafas berat meluncur dari mulutku setelah aku kembali mengunci pintu gudang yang ada di hadapanku. Aku menatap gelisah ke tujuh meja yang masih berada di balkon Café. Oke, kalau mau ini semua segera selesai, aku harus bergerak cepat, kan? Besok bisa terlambat masuk kelas Matematika pada jam pertama, nih!

Aku menyemangati diriku sendiri dalam hati. Senandung pengusir sepi terlantun memaksa di antara bibir tipisku. Kembali kuraih lap yang tadi kucampakkan di atas meja. Tanganku yang sudah terasa membeku kupaksakan untuk terus bekerja.

Sepi mengisi. Bibirku sudah kehilangan gairah untuk kembali bersenandung. Pikiranku yang sebelumnya sedikit paranoid perlahan menguap, hilang ditelan angin beku malam.

Tanpa sadar aku tersenyum senang begitu menyadari meja yang tersisa kini tinggal dua buah. Yang satu di bagian tengah balkon sedang sebuah lagi letaknya di sudut balkon. Aku melangkah cepat ke bagian tengah balkon Café, dengan sebuah kain lap dan alat semprot.

Namun mata biruku mengerling pada meja yang ada di bagian sudut balkon. Perhatianku secara misterius tersedot ke arah sana, seperti terpancing oleh reaksi medan magnet. Aku menghentikan langkahku yang tengah terpacu ringan menuju meja di bagian tengah balkon. Diam sesaat, sambil menatap bagian atas meja di ujung sana. Perhatianku terfokus pada meja itu. Ada sesuatu di atasnya.

Aku mengabaikan meja di bagian tengah. Langkahku terayun pelan ke bagian sudut balkon untuk menghampiri sebuah meja tunggal persegi berwarna putih. Perasaanku sedikit aneh. Aku cukup penasaran dengan sesuatu yang ada di atas meja itu.

Langkah kakiku terhenti saat tubuhku hanya berjarak sekitar dua puluh centi dari sisi meja. Aku menatap 'sesuatu' yang terbaring di atas sana.

"Boneka?" suaraku hanya terdengar bagai hempasan angin. Apa mungkin milik pelanggan, ya?

Aku tersenyum memperhatikan sosok boneka cantik setinggi tiga puluh lima centi itu. Benda mungil itu terbalut oleh kain kimono selutut berwarna merah terang, dengan sedikit corak bunga berwarna kuning memanjang di bagian dada hingga lututnya. Rambut hitamnya yang panjang di biarkan tergerai bebas, terlihat sehalus sutera dan mirip sekali dengan tokoh puteri kerajaan pada dongeng-dongeng kuno Jepang. Warna kulit wajahnya yang pucat terlihat sehalus porselen. Matanya yang sipit karena tersenyum bersembunyi di balik poni rambut gelapnya yang lebat.

Aku memajukan bibirku, menatapnya iba. Pasti boneka ini sedih karena tertinggal oleh pemiliknya.

"Sayang sekali. Kenapa benda sebagus ini bisa sampai tertinggal, sih?" gumamku sambil mulai berangan-angan mengenai si pemilik boneka. Ah, mungkin si pemilik juga sedang pusing mencari-cari bendanya yang tertinggal ini. "Yah, biar kusimpankan dulu di lockerku, deh," pikirku. Mungkin si pemilik akan datang menanyakan keberadaannya esok pagi.

Tangan kanannku menjulur untuk meraih boneka itu. Ujung telunjukku yang beku membelai sisi wajahnya yang berwarna pucat.

Mama!

Aku membelalak penuh kejut, hampir memekik ngeri. Barusan.. boneka itu.. aku yakin mulut kecilnya yang dipoles tinta merah darah itu bergerak memanggil−

Mama!

Boneka itu menjerit! Suaranya begitu nyaring, memekak keras memantul dalam ruang. Mulutku menganga, ingin sekali menjerit sekencang-kencangnya. Apa-apaan ini?

Bibirku bergetar hebat, begitu pula dengan sekujur tubuhku. "A−ha.. a.." Aku tidak sanggup berucap. Lidahku kelu, terasa telah ditumbuhi tulang hingga membuatnya begitu sulit untuk digerakkan. Begitu juga dengan dadaku. Sesak. Seakan-akan ada sebongkah permen karet besar yang menyumbat kerongkonganku, membuatku sulit untuk berbicara, bahkan bernafas.

Tiba-tiba mata sipit itu melotot seketika, menatap keji pada langit berbintang. Begitu lebar hingga rasanya terlihat ingin lepas dari rongganya. Pupil matanya terlihat sangat kecil, bahkan hampir tak terlihat. Otot-otot lehernya bergetar, bergerak kaku, dan dalam sekejap menoleh kepadaku. Kini aku dapat melihat urat-urat wajahnya yang mengeras. Dengan mata lebarnya yang mengerikan, ia memelototiku.

Mama!

Keringat dingin tak henti-hentinya membanjiri seluruh tubuhku. Sistem syaraf tubuh kini telah mengkhianati perintahku. Aku sepenuhnya sadar dengan apa yang kulihat. Dan aku digerogoti rasa takut yang luar biasa. Aku ingin sekali lari dari sana. Namun aku tidak dapat menghindari tatapannya. Seperti ada hipnotis aneh yang memaksaku untuk terus menatap wajah mengerikan itu. Tubuhku terasa kaku, seperti terjerat oleh tambang yang kasat mata.

Gigi-gigi putih yang berjejer rapi di balik bibir merahnya kini nampak dengan begitu jelas. Menyeringai dengan sangat lebar, begitu mengerikan. Rasanya mulut kecil itu dapat melahap tubuhku yang besar ini sekaligus.

Benda mengerikan itu merangkak renta ke sisi meja. Ia terus menggumam kata 'mama'. Namun wajah mengerikan itu terus memaku pandangannya padaku.

Tulang-tulang penyokong beban tubuhku rasanya telah menghilang. Aku jatuh terduduk, dengan mata membelalak menatap sosok mengerikan di atas meja yang kini melompat turun.

Cring.

Suara lonceng. Aku merasakan gigi-gigiku saling beradu di balik bibir pucatku yang bergetar begitu mengingat kejadian sebelumnya.

Cring.. Cring..

Lonceng emas yang menjadi aksesoris rambutnya itu terus bergoyang lincah, mengumbar bunyi mengerikan seiring boneka itu berlari menjauh. Aku terus menatap makhluk itu berlari menuju sudut ruangan. Tak ada suara langkah, hanya suara lonceng yang mengiringi. Aku makin membelalak ngeri begitu melihat tangan kecil makhluk itu mendorong ringan permukaan pintu besi gudang penyimpanan yang jelas-jelas telah kukunci tadi. Setelahnya boneka mungil itu masuk sambil menjerit kata yang sama, terus secara berulang seakan-akan tengah mencari sesuatu yang hilang. Pintu kembali berdebam, dengan suara yang halus, dengan slot yang menyembul keluar di dekat handle pintu.

Aku terpaku, masih dengan posisi duduk saking lemasnya. Kucengkeram lutut kananku untuk menghentikan getarannya. Sungguh, aku ingin sekali mengingkari nalarku tentang apa yang kulihat barusan. Aku ingin segera bangkit dan pergi dari sini, meraih sepedaku yang ada di luar sana, lalu mengayuhnya sekencang yang kubisa.

Brak!

Pintu besi itu mendadak terdobrak dari dalam, menganga lebar hingga menampilkan sosok boneka terkutuk dengan penampilan yang jauh lebih mengerikan dari yang sebelumnya.

Tangan-tangan kecilnya yang entah mengapa kini terlihat usang dan robek di bagian sana-sini, terlihat menjulur ke arahku. Kedua kaki pucat itu sudah tidak memijak pada permukaan lantai kayu yang dingin. Kedua kakinya hilang! Kedua kaki boneka yang buntung itu menyisakan jejak darah di belakangnya. Aku membekap mulutku yang tergagap menganga dengan kedua tangan gemetar.

Benda kecil itu merayap rapuh ke arahku. Mulutnya yang lebar terus berteriak kata 'mama'. Gigi-gigi putihnya yang besar bergemerutuk, yang dua bagian terdepannya hilang secara misterius.

Mama!

Ia terus memanggil, menatapku dengan mata putihnya yang besar. Aku beringsut mundur, terus begitu seiring boneka itu merayap maju, berusaha menjamahku.

Mama?

Gila! Apa jangan-jangan dia pikir aku pemiliknya?

Mama!

Benda itu kembali berteriak, lebih keras dan suaranya terdengar seperti mengaum. Ia kembali merangkak, makin cepat dari yang sebelumnya. Perlahan bola mata besar itu mengeluarkan cairan kental. Darah.

"U−UWAAAAA!" Aku berteriak sekuat tenaga. Berharap hanya dengan berteriak, tenagaku yang lenyap bisa kudapatkan kembali. Setelah berteriak sedemikian rupa, rasanya beban yang menekan seluruh persendian tubuhku meleleh. Entah mendapatkan kekuatan aneh apa, aku kembali pada diriku semula. Aku mendapatkan tenagaku kembali.

Tanpa membuang waktu, aku segera bangkit dari sana. Berlari sekencang yang kubisa ke arah pintu keluar. Aku sempat menyambar tas hitamku yang tergeletak di atas meja kasir dekat pintu keluar. Saat ini aku begitu membutuhkan kunci apartemenku yang ada di dalamnya. Kini, aku melupakan sepeda kuning kebanggaanku yang kuparkir di dekat pintu masuk. Akal sehatku telah lenyap. Angan yang terbayang olehku sekarang hanyalah rumahku, apartemenku.

Jalan raya yang begitu lengang memudahkanku untuk terus memacu bebas langkah liarku. Aku terus berlari sambil memejam kuat kelopak mataku. Perjalanan yang biasa kutempuh sekitar lima menit dengan sepeda menuju apartemenku, kini terasa bagai berjam-jam. Tenggorokanku sakit karena teriakan kencang barusan. Udara beku memburu rongga pernafasanku, terasa menyesakkan dan perih. Aku pun dapat mendengar suara keras jantungku yang memukul paksa tulang-tulang rusukku. Namun aku mengacuhkan udara dingin yang memeluk tengkukku, membuat bulu-bulu halus di sana mulai terbangun. Aku mengacuhkan tetesan keringat dingin yang mulai menggenangi pandanganku. Dan aku mengacuhkan suara derai lonceng halus yang terus menyertaiku, yang bagiku hanyalah imajinasi semata.

Harapanku kembali berpendar saat menatap gedung cokelat berlantai tujuh, berdiri begitu kokoh di depan mata. Aku benar-benar telah mengabaikan paru-paruku yang sudah mati rasa. Kaki-kaki yang rasanya sudah hampir copot terus saja kupacu, melewati lift, dan memilih tangga untuk menjamah handle pintu kamarku yang ada di lantai tiga.

Langkah demi langkah kugigihkan untuk terus terayun. Rasa nyeri dan pegal menggayang kedua kakiku yang sudah lelah ini. Sensasi dingin terasa nyata menggerogoti tiap inci tubuhku, dikarenakan pakaianku yang telah basah oleh keringat.

Aku mendongak panik. Lantai dua. Kata-kata penyemangat serta doa tak luput dari hati dan bisikku. Terus, dan terus kupaksakan langkah berat kakiku. Satu belokan ke kanan, maka aku akan menyapa pintu gading kamarku yang berada di ujung lorong.

Dahiku membentur sesuatu saat hendak berbelok. Aku pasti sudah diseret oleh grafitasi kemudian jatuh terguling di tangga yang ada di balik punggungku, seandainya sebuah tangan tidak berusaha menarik tubuh limbungku. Aku kembali menjerit sekuat tenaga. Bayangan mengerikan itu kembali muncul, menggerayang di setiap sudut kepalaku.

"Baka! Kenapa kamu berteriak begitu, sih? Memangnya aku ini hantu apa!"

Jeritanku terputus. Masih tetap menunduk, aku segera membuka kelopak mataku dan membelalak ngeri, menatap sepasang sandal berwarna gelap di seberang sepatu ketsku. Namun aku hafal betul dengan suara menyebalkan ini.

"Sa−Sasuke.." desisku serak. Sosok dingin di depanku hanya menatapku sebal.

"Kenapa mukamu kacau begitu?" Sasuke mengernyit bingung, kemudian ia menggaruk kepalanya sambil menggeram. "Berlari-lari di tangga, kemudian berteriak aneh. Kamu mau kena marah pemilik apartemen, ya!" Pemuda itu mulai mengomel. Aku sudah tidak peduli lagi dengan ocehannya kali ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa sesenang dan sebahagia ini saat bertemu dengan seseorang, apalagi sejenis makhluk menyebalkan seperti pemuda di hadapanku.

Aku mulai terisak, menahan haru yang entah mengapa mulai membuncah menyesakkan dada. Pandangan mataku mulai mengabur, perlahan terasa makin memanas. "Huweeee! Temee!" Aku kembali menjerit, menerjang tubuh jangkungnya hingga pemuda itu terjungkal ke belakang.

Aku benar-benar telah mengabaikan segalanya. Mengacukhan teriakan marahnya, makiannya, serta mengabaikan dirinya yang memberontak minta dilepas. Yang terlintas dalam benak ini hanyalah perasaan lega yang teramat mendalam.

"Dasar… ada apa sebenarnya?" Sasuke bertanya setelah merasa aku cukup tenang untuk menjawab.

Aku hanya tertawa membalas pertanyaannya, sambil sesekali terisak dan menyeka air mata yang rasanya tak mau berhenti keluar.

Namun aneh, pemuda di depanku tersenyum lucu sambil mengacak rambut pirangku dengan asal.

Sasuke menarik tas hitam yang ada di punggungku, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Pemuda itu menatapku geli. "Oh, apa suara tangismu bisa langsung diam kalau aku mainkan boneka untukmu, Naruto-chan?" ia mulai mengejek, sambil melambai-lambaikan tangan putih sebuah boneka yang barusan ia tarik keluar dari dalam tasku.

Boneka berbalut kimono merah cerah.

.

OWARI

.

Berdasarkan kisah nyatanya, konon, sebelum Café itu berdiri, sebuah mobil yang ditumpangi oleh sebuah keluarga jatuh terguling di bukit tersebut. Diduga, boneka itu milik bocah perempuan yang tewas pada kecelakaan tersebut. Hingga sekarang, boneka malang itu masih terus mencari majikan kecilnya.

.

Huehue.. berakhir dengan gaje, kan?

Cerita ini berdasarkan dari kisah nyata teman kostan saya. Cuma di bagian saat dia ketemu boneka itu dan sampai akhirnya dia lari terbirit-birit pulang ke kostan dengan jalan kaki. Sisanya itu karangan saya –apalagi endingnya yang gaje- boneka yang temen saya liat sebenernya boneka bayi yang bisa teriak 'mama'. Maaf kalo deskripsinya hancur.

Next Story!

2nd Night : White Horse Prince

Main Chara : Uchiha Sasuke

Cerita berikutnya tidak berhubungan dengan chapter kali ini.

Kritik dan saran kalian selalu saya tunggu^^

Review?