"Lihatlah bintang, Hime. Mereka tak pernah berkhianat pada sumpahnya—bahwa mereka akan setia pada langit malam yang menjadi landasannya."

"Kau bilang kau mencintaiku, Hime! Kau pembohong!"

"Kau menghancurkan hatiku dengan begitu mudahnya. Kau tidak tahu betapa sakitnya semua itu. Akan kubuat kau merasakannya dengan cara lain. Melalui waktu yang panjang, sama seperti penantianku yang sia-sia."

"Dunia luar itu kejam, Jagoanku. Ada penyihir."

"Benarkah?"

"Di dunia ini ada banyak orang jahat."

"Apa penyihir itu jahat, Ayah? Seperti apa rupa mereka?"

"Mereka adalah wanita. Wanita itu monster. Mereka sangat cantik, tapi mereka sangat jahat. Mereka tinggal di istana, di rumah-rumah penduduk, di mana saja. Karena itu kau tak boleh pergi dari sini."

"Baik, Ayah!"

"Kau memang pintar, Naruto…"

Warning : TOTALLY AU, Fantasy, Adventure, Humor, a lil bit—haha, I mean… a lot of Romance. This story is dedicated to FFC—even I do not know how far this story would be deserve to compete with other amazing story. I warn you: there's dark Jiraiya, there's annoying Naruto, there's tomboyish Sakura, there's a kingdom, and other ridiculous plot.

DON'T LIKE DON'T READ ! Rate T for language. Also dedicated to NS Day, 11th April.

Yosh! Hope you like it!

DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO-sensei

.

THE LOST PRINCE

.

Tangkap Dia!

Once upon a time, di jalanan Konoha, seseorang dengan jubah tengah berlarian menerobos kerumunan penduduk yang masih sibuk berbelanja di pasar. Tentu akan lebih mudah jika Inoichi-san—sang panglima utama Kerajaan Konoha berteriak agar para penduduk sipil menyingkir. Namun mungkin saking bingungnya, satu-satunya komando yang keluar dari mulutnya adalah perintah untuk para pengawal-pengawal payah yang mengekor di belakang kudanya. Padahal kalau ia mau berteriak dengan sedikit lebih cerdas, ia bisa berkata, 'Menyingkir semuanya!' Dan dengan itu terbelahlah lautan manusia yang memenuhi pasar. Tapi itulah Yamanaka Inoichi, sang panglima kerajaan yang selalu gegabah.

Andai ia punya sedikit saja—mungkin dua puluh persen kecerdasan otak Nara Shikaku, sang ahli strategi perang Kerajaan Konoha, ia pasti dengan mudah menangkapku.

Hell, yeah! Menangkapku. Seseorang dengan jubah itu adalah aku.

"Berpencar!"

Teriakan nyaringku dengan baik diikuti oleh dua kawan baikku. Kami bertiga terpisah pada tiga arah yang berbeda. Siasatku selalu bagus. Dan dengan sedikit berpikir saja, aku bisa dengan mudah menyusup serta menyesuaikan waktu pelolosan diri—dalam hal ini jam belanja warga yang akan mengadakan festival.

Dalam beberapa puluh detik saja, langkah kakiku sudah membawaku menyusup dalam hutan belantara di luar kerajaan.

Brukk!

"Hei, hati-hati, Tuan!" pekik seorang wanita paruh baya yang kutabrak.

Mataku terbelalak. Isi tas wanita itu jatuh begitu juga dengan isi tasku. Oh, mungkin aku tak seberuntung biasanya. Aku membungkuk untuk memunguti barang-barangku yang berserakan, tak mempedulikan wanita berambut gelap bermata teduh dengan seekor babi mungil di dekat kakinya. Tanpa banyak bicara, aku melesat begitu merasa barang-barangku telah kembali masuk ke dalam tasku. Tanpa menoleh, aku berlari. Menuju hutan yang gelap.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Hei, Robin Hood! Apa kau baik-baik saja?"

Aku menoleh, terengah setengah mati. Mati-matian kuatur napasku setelah berlari beberapa mil jauhnya. Dadaku naik turun sementara mataku memandangi wajah sahabat baikku. My partners in crime.

"Kau sendiri? Selamat dari para pengawal sialan itu?" tanyaku santai. Aku menarik napas panjang, menarik tudung jubahku dan membiarkan rambutku disapu angin semilir dalam hutan.

"Kau tahu kemampuan kami, Bos!" teriak Suigetsu dengan keras—mencoba bersaing dengan suara air terjun. Kutatap cengirannya, lalu aku mendengus perlahan.

Kubuka ikat boots lusuhku lalu kumasukkan kakiku perlahan dalam dinginnya aliran air sungai. Begitu kulit permukaan kakiku diterjang derasnya air yang mengalir, napasku terhembus keras. "Nikmatnya…."

"Apa ini di tasmu?"

Aku menoleh pada Juugo, partner-ku satunya. Ia menatap isi tas yang kubawa. Di dalamnya, keluarlah beberapa gulungan yang kucuri dari kerajaan pagi ini bersama Suigetsu dan Juugo. "Ada apa? Surat berharganya tak lengkap?" tanyaku setengah khawatir.

"Bukan," Juugo menggeleng, "ada selembar kertas."

"Mungkin milik wanita yang kutabrak tadi. Tak sengaja terbawa olehku. Apa isinya?"

Suigetsu menyeringai saat mengintip isi selebaran yang ada di tangan Juugo. "Wah, hadiahnya semakin besar," gumamnya.

Aku mendesah. "Jangan bilang itu selebaran 'Wanted' wajah kita lagi."

"Bukan." Jugo menyerahkan kertas yang agak lusuh itu padaku. Tanganku terulur, merentangkannya, lalu membacanya perlahan. Alisku naik ke atas. Oh, selebaran ini.

Ini adalah kisah yang datang dari sebuah kerajaan besar bernama Konoha. Oh, tentu aku bukan isi kisahnya. Hahaha, mana mungkin seorang pencuri hebat—buronan kelas kakap sepertiku menjadi incaran semua orang? Oh, aku memang incaran, tapi incaran penjara kerajaan, bukan incaran Raja Minato dan Ratu Kushina. Aku hapal selebaran ini. Hampir tiap tahun di seluruh perjalanan hidupku, selebaran ini terbaca oleh mataku.

Pencarian sang pangeran.

Ya, ini adalah kisah sang pangeran yang tak pernah kutahu wajahnya. Aku sih tak peduli. Aku lebih sibuk mencuri di sana-sini untuk mengumpulkan uang. Aku ingin kaya, agar aku bisa segera membawa kakakku berobat ke Kerajaan Suna.

Tempat itu jauh sekali. Butuh banyak uang untuk membawa kakakku ke tempat itu. Lagipula kakakku menyukai tempat itu. Tak buruk memang. Meski aku lahir di Konoha dan sebagian masa pertumbuhanku ada di wilayah kerajaan ini, tapi aku pernah ke Suna dengan keluargaku dulu.

Dulu—Pernah.

"Hei, kalau kau diam seperti itu, kau terlihat berbeda," celetuk Suigetsu. Aku menoleh, menatap matanya dengan pandangan penuh tanya. Agaknya ia sadar. Ia terkikik pelan sembari menyenggol bahu Juugo. "Kau terlihat cantik kalau seperti itu, Haruno Sakura."

Cih, aku benci tiap ia memanggilku seperti itu.

Nama itu terlalu perempuan.

Aku mendengus—lalu kutarik lagi tudung jubahku ke atas, namun terhenti oleh suara Juugo yang menenangkan. "Bos, jangan ditutup. Suigetsu hanya bercanda."

"Hei! Aku tidak bercanda."

Aku menyipitkan mataku. "Baiklah, Suigetsu memang benar, Bos. Sebenarnya kau terlihat pantas dengan gaun dan berdiri di kerajaan. Lagipula tak ada orang yang tahu kalau kau seorang perempuan selain kami berdua."

Aku tertawa sarkastis. "Kalau kau mau, kami akan mencuri gaun untukmu. Mungkin kau bisa mendekati pangeran dan menjadi permaisuri. Dengan begitu kau tak perlu lagi mencuri, Bos!" seru Suigetsu bersemangat.

"Hei, Hiu! Kau lupa kalau pangeran itu tak ada di istana, eh?" tanyaku sambil melempar selebaran itu tepat di mukanya. Ia meringis sebelum akhirnya menggaruk tengkuknya, mengangguk.

"Siapa pun yang menemukan pangeran itu akan mendapat imbalan yang pantas dan permohonannya akan dikabulkan, Bos. Kau tak tertarik?" tanya Juugo.

"Buat apa?"

"Pertama, kita akan mendapat imbalan satu peti keping emas! Bisa kau bayangkan itu, Bos?" sahut Suigetsu dengan mata bersinar. "Kita bisa mengajukan permohonan agar catatan kejahatan kita dihapuskan! Bagus kan?"

"Aku tak tertarik."

"Tapi dengan itu, kau dan Sasori akan lebih mudah pergi ke Kerajaan Suna," ungkap Juugo.

Aku terdiam, memikirkannya baik-baik. Sedetik kemudian aku mendesah, membalas tatapan mata mereka dengan lebih lembut. "Ada banyak hal yang tak mendukung ide kalian. Satu, kita tak punya petunjuk apapun tentang pangeran. Dua, di selebaran ini hanya terdapat fotonya saat masih bayi! Bisa kau bayangkan itu! B-A-Y-I! Apa kau kira seorang pangeran berusia dua puluh tahun tak akan berubah wajahnya dan tetap berwajah bayi, hah!" teriakku pada Suigetsu sambil menunjuk selebaran di atas pangkuannya. "Tiga, ada banyak orang yang mencarinya. Apa kalian berdua pikir kita bisa dengan mudah menemukannya sementara anggota kerajaan dan semua penduduk Konoha tak pernah berhasil menemukannya? Dan yang terakhir, sekali lagi, kita tak punya petunjuk!"

"Tapi—"

"Berhentilah berdebat denganku!" teriakku kesal. "Dia hanya pangeran yang terpisahkan dari keluarganya yang pasangan pemimpin kerajaan! Tak ada hidup yang sempurna! Kita saja hidup menderita, kenapa pangeran harus hidup bahagia!" teriakku kesal.

Juugo dan Suigetsu saling berpandangan. "Baiklah, kami tak akan membahasnya," bisik Juugo pelan. "Toh kami bukan penduduk asli Kerajaan Konoha, kami tak tahu apa-apa tentang pangeran ini."

Aku menatap Juugo yang menunduk dan Suigetsu yang mengalihkan pandangannya pada air terjun.

"Tapi kami tak menderita seperti yang kau katakan barusan. Kami senang, kami bahagia bisa melewati hari-hari yang menegangkan bersamamu, Bos. Meski mungkin itu tak cukup untuk mengurangi penderitaanmu." Suigetsu lagi-lagi menggaruk tengkuknya. Kulihat ia meraih air sungai dengan kedua telapak tangannya lalu menenggaknya.

Oh, tidak. Sekarang aku merasa sangat jahat pada mereka.

"Aku senang kok melewati empat tahun ini dengan kalian berdua," ujarku tulus. Juugo mengangkat wajahnya sementara kulihat Suigetsu tersenyum tipis. "Kalian mau dengar soal pangeran ini?"

Keduanya menoleh dan menatapku dengan tatapan bersemangat.

"Oke-oke… Aku akan bercerita. Cerita ini seperti dongeng, kalian tahu? Sebelum ayah dan ibuku meninggal, tepatnya dulu saat kecil, mereka pernah menceritakan kisah ini padaku. Yah, tak semua orang tahu kisah ini, hanya orang-orang kerajaan saja. Kalian kan tahu kalau kedua orang tuaku pernah mengabdi di istana."

Keduanya mengangguk.

Aku menarik napas dalam-dalam. Siap bercerita.

"Kalian tahu kakak dari raja, Ratu Tsunade? Dulu ia memiliki seorang pengawal yang hebat. Jiraiya namanya. Lelaki itu sangat mengabdi pada Ratu Tsunade—atau boleh dibilang Tuan Puteri Tsunade kala itu. Ia selalu ada di sampingnya, melindunginya, mencintainya dengan sangat. Kudengar dari ayahku, katanya Puteri Tsunade awalnya kesal pada pengawalnya itu. Tapi kalian pasti tahu kan pepatah 'Bahkan tetes air bisa menghancurkan batu'? Hati wanita bisa berubah. Hati wanita itu bisa luluh dengan pengorbanan seorang pria yang mencintainya dengan segenap hatinya. Terlebih lagi, lelaki bernama Jiraiya itu selalu ada di sampingnya. Mau tak mau, pasti hati seorang wanita terbuka."

"…"

"Harusnya begitu. Tapi entah, tanpa sebab yang pasti, sebuah kejadian mengubah kesetiaan lelaki bernama Jiraiya itu dan membuat lelaki itu membuang cintanya pada Tuan Puteri."

"Apa yang terjadi?" tanya Suigetsu yang masih memangku dagunya dengan lututnya.

"Ayah bilang, Puteri mengkhianatinya. Puteri menerima lamaran pangeran dari tempat yang sangat jauh—namanya Dan. Mungkin lelaki itu sangat kesal. Ketika Puteri diundang di negeri lain, negeri pangeran bernama Dan itu, ia hilang kendali. Kebetulan saat itu baru seminggu adik laki-laki Puteri Tsunade mendapatkan seorang putera, yang harusnya jadi penerus kerajaan ini. Tapi Jiraiya menculiknya!"

"Apa?"

"Lelaki itu membawa sang pangeran pergi… entah ke mana."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Oh, tempat ini sepi sekali!"

Pemuda pirang itu mendengus. Ia membalikkan tubuhnya dari ranjang, membenamkan wajahnya di bantal. "Rrrr…"

"Ayah lama sekali tak ke sini, aku bisa mati bosan di sini!"

"Rrrr…"

Pemuda itu lalu meloncat dari ranjang empuknya. Kakinya lalu melangkah menyusuri lantai kayu rumahnya. Ia membuka jendela kamarnya dan dalam sedetik, angin mengalir sejuk menerpa wajahnya. Helai-helai rambut pirangnya menari tersapu angin. Diam-diam ia tersenyum. Mata birunya ikut terpancar dengan indahnya. Dua bongkah safir itu menunduk, menatap bunga-bunga matahari yang menghiasi taman kecil di jendelanya.

"Oh, aku lupa menyiramnya!" pekik pemuda itu.

"Rrrr…"

"Kyuubi, di mana aku meletakkan teko penyiramnya?"

Sang rubah merah di dekat pintu hanya menggerakkan ekornya.

"Ayolah, Kyuubi. Itu bukan jawaban yang kuinginkan," rengek sang pemuda. "Kau pasti tahu kan di mana aku menaruhnya?"

"Rrrr…"

"Baiklah. Kau sama sekali tak membantu." Pemuda itu mendesah. Ia berbalik lagi menatap tanaman-tanaman bunganya yang malang. "Terpaksa aku memakai ini, Kyuubi."

"Rrrr…"

"Ayah akan marah kalau tahu aku menggunakannya…," ungkapnya bingung. "Tapi ayah tak akan tahu. Kau janji tak akan bilang pada Ayah?"

Sang rubah menggerakkan sembilan ekornya dengan senang.

"Baiklah!" seru sang pemuda. Ia melangkah mendekat ke jendela. Dihirupnya udara baik-baik, lalu ia pandangi langit. Bongkah safir di matanya terpejam, seiring dengan gerakan bibirnya yang mulai melantunkan nada sementara kedua tangannya merengkuh udara.

"Eregranes vimbus hirakuma avanezra…."

Suaranya perlahan menguar seiring angin yang berhembus cukup intens. Perlahan tapi pasti, angin semakin berhembus, awan pun berkumpul di atas bangunan tempat ia tinggal.

"Awan yang membawa air… sisihkan rinaimu… bawa takdir yang terkumpul dalam perintahku…"

Dan dengan itu hujan benar-benar turun.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Keluarga kerajaan memiliki kemampuan untuk mengendalikan beberapa elemen sihir. Raja berambut pirang itu bisa mengendalikan angin. Istrinya bisa mengalirkan aura yang bisa membuat seseorang menjadi kuat—seperti kekuatan penyembuh. Yang jelas, orang-orang kerajaan mempunyai kekuatan yang istimewa."

Dua kawanku itu terlihat takjub.

"Untunglah mereka tak memakai sihir mereka untuk menangkap kita," celetuk Suigetsu.

Aku tertawa, setuju dengan apa yang ia katakan. "Sejak pangeran hilang, penggunaan kekuatan dilarang dilakukan di luar istana. Kalau terlihat ada satu orang saja yang menggunakan kekuatan itu, entah penguasaan elemen apapun, ia akan ditangkap."

"Eh?" Juugo terlihat bingung.

"Ya, karena itu artinya orang di luar kerajaan yang melakukannya adalah orang yang ada hubungan dengan Jiraiya yang membawa pangeran. Sihir kerajaan bisa dipelajari, yah… beberapa di antaranya."

"Bagaimana kau bisa tahu?" Suigetsu makin terlihat penasaran.

"Karena aku juga mempelajarinya."

"APA!"

Aku tertawa melihat reaksi keduanya. "Aku bukan keturunan penyihir murni. Aku hanya mempelajarinya dari buku milik ayah yang diberikan oleh Raja yang lama."

"Apa kau punya elemen khusus?" tanya Suigetsu lagi—masih dengan wajah penasaran.

Aku menggeleng, "Aku kan sudah bilang, aku bukan keturunan murni. Aku belajar sendiri."

Juugo memiringkan kepalanya sesaat. "Lalu sihir apa yang bisa kau gunakan?"

"Sihir penyembuhan. Hahahaha." Aku tertawa lepas, tak peduli mereka percaya atau tidak dengan apa yang kulontarkan. "Kenapa? Tak percaya?" tantangku.

Suigetsu menggumam tak jelas sementara Juugo terlihat berpikir.

"Kalian kira bagaimana aku bisa dengan cepat menyembuhkan luka kalian yang biasanya kena panah pengawal kerajaan kalau tidak dengan sihir?"

Suigetsu mengangkat kepalanya. "Hei, kau bilang berbahaya menggunakan sihir di luar istana!"

"Tentu saja. Tapi sihir yang kukuasai bukan sihir yang dikenal atau juga bukan sihir yang sangat hebat."

Kulihat kedua kawanku itu masih menatapku setengah tak percaya. Keduanya seperti memasang ekspresi orang yang takjub, seperti melihat sesuatu yang hebat. Kuakui tak mudah mempelajari sihir. Aku mempelajarinya sejak kecil.

Aku tak terlalu menginginkannya.

Sihir itu tak bisa menyembuhkan kedua orang tuaku—aku tetap yatim piatu.

"Wajah kalian seperti wajah orang desa yang melihat seorang puteri kerajaan di istana yang sangat megah," kelakarku. "Seperti seseorang yang mengetahui sesuatu yang tak biasa."

"Kau memang seperti seorang puteri."

"Oh, terima kasih. Aku memang seorang puteri tanpa gaun kerajaan dan tanpa mahkota. Aku seorang puteri hutan."

Dua orang itu saling berpandangan sebelum akhirnya saling melempar tawa. Keduanya terlihat senang dan puas dengan kisah yang kuceritakan. Sebuah dongeng usang yang menaungi kerajaan ini. Kerajaan Konoha.

Lalu tak lama kemudian, dari arah barat tempat kami duduk terdengar sesuatu. Aku merasakan sesuatu yang tak enak. Angin mengalir lebih pekat. Aku menoleh ke belakang, menatap hutan belantara yang di ujungnya terhubung dengan pintu masuk kerajaan. Firasat ini… Bahaya!

"Juugo!"

Juugo bangkit dan ikut menoleh sementara Suigetsu telah lebih dulu memanjat pohon tertinggi di dekat tempat kami beristirahat. Ia dengan mudah meloncat ke ujung tebing untuk melihat kejauhan.

Aku tak tinggal diam. Kurebahkan tubuhku, berlutut di tanah sembari menempelkan daun pendengaranku ke bumi.

Suara derap kuda!

"Sial! Sepertinya pengawal kerajaan bertindak lebih jauh kali ini!" teriak Suigetsu.

"Mungkin kita mencuri sesuatu yang sangat berharga. Dokumen yang diminta desa Oto ini sepertinya bukan dokumen kerajaan biasa. Bagaimana ini?" pekik Juugo mulai kebingungan.

Aku bangkit. Kakiku mulai memanjat ke tempat yang sama dengan Suigetsu. Begitu mencapai atas, aku melihat di ujung sana, gerbang di menara utama masuk wilayah resmi kerajaan terbuka. Dan derap langkah kaki kuda itu terdengar lebih keras.

"Kalian bawa dokumennya. Bersembunyilah di dalam gua di balik air terjun selama semalam sampai keadaan aman dan antarkan gulungan-gulungan itu. Lusa, kalian harus membayar biaya rumah sakit kakakku! Ingat itu!"

Mata Suigetsu terbelalak. Ia ikut melompat turun begitu kakiku menanjak tanah. "Jangan gila, lalu kau mau ke mana?"

"Kalian berdua tak pandai berenang. Aku akan menarik semua pasukan itu mengikutiku di sepanjang hilir. Begitu aku sampai di sungai besar, aku akan melompat menghindari mereka di jurang sana."

"Tapi—"

"Tak ada tapi. Aku bosnya. Kalian ingat peraturannya."

"Sial! Ini bukan soal peraturan, Sakura!" Suigetsu terlihat kesal pada keputusanku. Aku tak peduli. Mereka memang berandal. Tapi langkah mereka bisa sejauh ini karena aku. "Mana mungkin kami membiarkanmu dalam bahaya!"

"Cih, jangan cengeng begitu! Ingat, aku punya kemampuan menyembuhkan diriku sendiri. Aku tak akan mati semudah itu! Sana sembunyi!"

Tanpa banyak penjelasan lagi—karena aku juga tak mau mendengar sangkalan mereka atas perintahku—aku mendorong keduanya melewati air terjun.

Begitu merasa kedua sosok kawanku tak terlihat, aku menyingkir, menjauh dari air terjun. Kutatap ujung hutan yang gelap dan segera kukenakan jubahku dengan rapat. Begitu suara derap kuda mendekat, aku segera berlari menyusuri hilir sungai. Berlari sekencang mungkin.

"Hei! Berhenti kau, Bajingan!"

Cih, suara Inoichi.

Tanpa menoleh, aku berlari. Dan si saat aku merasa membuat para pasukan itu merasa menang, aku melompat ke dalam air.

Arus air sungai yang deras dengan mudah menghempaskan tubuhku, menggiringnya menuju jurang. Sungguh, aku tak berbohong saat mengatakan bahwa aku bisa menyembuhkan diriku sendiri. Oleh karenanya aku tak takut kematian. Toh aku tahu dua kawanku itu akan menjaga Sasori—jika aku benar-benar mati.

Tapi tak bisa kupungkiri kalau aku tak terlalu pandai berenang. Kubiarkan air menguasai takdir hidupku kali ini. Dan aku tahu, perlahan suara derap langkah dan teriakan itu tak lagi menggema di telingaku.

Dadaku sesak. Pandanganku buram. Aku lolos, dalam banyak arti yang berbeda.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Rrrr!"

"Kyuubi! Berhenti menggigit ujung celanaku! Aku akan melaporkanmu pada ayah nanti!"

Rubah merah itu tak menurut.

"Apa sih? Aku sudah mengepel. Jam makanmu juga masih lama! Ini bukan waktunya main frisby! Apa lagi yang harus kulakukan? Aku sedang tidak mood membacakanmu buku cerita…. Kau tahu aku bosan membaca buku-buku yang sama. Aku akan meminta ayah membawa buku yang baru kalau berkunjung, oke?"

"Rrrr…"

"KYUUBI, KAU IN—"

Sniff sniff.

Pemuda pirang itu terpaku sesaat. Ujung hidungnya bergerak membaui sesuatu yang ia kenal. Mata birunya melebar sempurna. "ARGHHH! PAI STROBERINYAAAA!"

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Hei, bangun!"

Mataku terbuka. Sial, tak bisakah—siapapun orang yang bersuara barusan—tak menggoncang tubuhku dan menampari pipiku. Iya, iya! Aku akan bangun! Aku tak tuli. Aku hanya sedikit pusing.

"Hei, Nona. Bangun!"

UHUKK!

Aku tersentak cepat dan segera memuntahkan air yang memenuhi lambungku. Tubuhku merebah ke samping, tetap dengan terbatuk-batuk. Kurasakan pijatan lembut di tengkukku. Rasanya nyaman juga.

Aku menoleh dan mendapati seseorang berambut panjang bertubuh kekar memandangku heran. Ia berjongkok, kakinya menapak di tanah berumput yang juga menjadi alas tubuhku tergeletak saat ini. "Kau tak apa-apa? Bisa mendengar suaraku?" tanyanya.

Apa aku terlihat baik-baik saja? Aku menggeleng—lalu mengangguk. Siapa dia?

"Kau kutemukan terseret arus. Beruntunglah kau masih hidup."

Aku hanya mengangguk dan mencoba bangkit. Aku masih hidup. Aku memang benar-benar tak mudah mati. Semoga Juugo dan Suigetsu baik-baik saja.

"Dari mana asalmu?"

Aku terdiam, tak menjawabnya. Aneh, sepertinya aku tahu orang ini. Di mana ya? Tapi rasanya baru kali ini aku melihat wajahnya. Siapa dia? Kuperhatikan penampilannya. Rambutnya berwarna putih dan panjang terikat. Tubuhnya tinggi. Bentuk mukanya lebar. Kalau ayahku masih hidup, mungkin orang ini lebih cocok jadi kakaknya. Warna rambut mereka sama sih.

Pakaiannya terlihat biasa. Ia memakai sandal kayu seperti penduduk kebanyakan. Pakaiannya berbentuk seperti yukata dengan obi berwarna gelap melingkar di pinggangnya. Di sisi kiri, aku bisa melihat sebilah pedang yang terbungkus rapi di sana. Kulihat juga, tangan kanannya memegang sebuah bungkusan yang entah apa isinya.

"Sebaiknya kau cepat pulang kalau kau memang orang sini," ungkapnya. Kalimatnya terdengar kocak. Tapi nada bicaranya terkesan dingin.

"Baiklah. Terima kasih."

Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari kerongkonganku. Dengan itu pula ia berbalik, melangkah meninggalkanku yang masih duduk di tepi sungai yang tenang. Lelaki aneh. Ia menengok pada kudanya yang berwarna cokelat sedikit hint kemerahan. "Ayo Gama-chan. Aku harus belanja. Malam ini kita datang ke tempat Naru-chan."

Aku masih bisa mendengar sayup-sayup suaranya. Tapi siapa peduli? Aku tak mempedulikannya. Ia tahu kalau aku perempuan tapi meninggalkanku—meski aku tak berharap ia mempedulikanku.

Sial, perutku lapar dan aku tak tahu di mana aku sekarang. Beruntung aku selalu menyelipkan beberapa keping emas dalam sepatu dan celah-celah pakaianku. Sebaiknya aku mencari makanan.

Namun suara derap langkah mengagetkan pikiranku. Suara kuda? Sial! Aku paranoid! Aku tak kenal desa ini. Bisa saja ini masih masuk wilayah Kerajaan Konoha. Mungkin juga itu hanya suara kuda penduduk sini. Tapi bagaimana kalau itu para pengawal yang mengejarku?

Aku tak boleh tertangkap! Aku bisa membahayakan Sasori kalau aku tertangkap pengawal kerajaan.

Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain lari.

Tanpa peduli suara nyaring perutku yang lapar, aku berlari menembus semak-semak. Berlari melewati jalan bebatuan. Untunglah sepatu ini masih terpasang di kakiku. Tapi bukan itu yang harus kupikirkan sekarang.

Aku butuh melarikan diri!

Aku terus berlari. Sampai suara-suara langkah kuda itu menjauh dan tak terdengar di telingaku lagi. Aku terbiasa berlari. Aku harus terus berlari. Melewati akar-akar pohon hutan kecil yang menggantung, tak sempat memperhatikan ada ular atau tidak. Aku berlari lagi, melewati jalanan hutan yang licin. Aku tak sempat pula mempedulikannya. Mataku hanya menatap lurus ke depan. Lurus. Lurus tanpa menoleh sedetik pun.

Hingga emerald-ku menatap sebuah rumah yang tinggi—seperti menara tapi bukan.

Brakk!

Tak peduli ini rumah siapa, aku langsung masuk. Tubuhku terengah tanpa bisa terkontrol.

Krieet.

Mataku melebar saat mendengar suara dencitan di belakangku. Aku menoleh pelan tanpa menurunkan tudung jubah yang kukenakan. Aku tak memiliki banyak tenaga kali ini.

Bugh!

Benda keras itu menghantam sisi kiri kepalaku—membuatku ambruk setelah dalam sedetik aku sempat melihat sesuatu berwarna kuning menyambangi penglihatanku. Setelah itu, sisanya gelap. Aku benar-benar ambruk.

TBC

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

The idea of this story based from one of Disney Movie. Sedikit kisahnya terinspirasi dari sana. Sebuah film animasi yang baru dan kocak. Entah kenapa saya kepikiran membuat cerita ini karena menonton film itu.

Oh, saya nggak mau memberitahu judul filmnya sekarang. Nanti saja di chapter terakhirnya. Sementara boleh kok ditebak kalau kalian mampu, soalnya ceritanya benar-benar sudah jauh beda. Hahahahaha. Sebenarnya beberapa hari lalu saya nemu fic yang nyalin total dari film ini di FNE^^ pairnya sama pula.

Saya bingung ini masuk genre apa, yang jelas bukan horor. *sorry, Juju-chan* thanks to her yang ngasih tahu tentang event ini. Saya masukin sihir-sihir gaje di dalamnya. Oh, jangan nanya itu kalimat sihir artinya apa ya… ^^

Oke, sebenarnya saya mau bikin oneshot fluffy aja. Yang benar-benar fantasi kayak The Lord of The Ring. Tapi saya gak mampu. Dengan ide seadanya yang fairy tale banget—yang jelas kalau dibikin oneshot bisa jadi di atas 10.000 kata—saya buat ini jadi multichapter. Mungkin nggak akan sampai lima chapter kok. Mengingat batas waktunya juga nggak lama lagi habis. *kalau seandainya nggak nutut waktunya, ya jadi fic biasa*

Ah, saya lupa kapan saya makai 1st PoV di fic saya yang lain. Kayaknya kok nggak pernah ya? Cuma satu scene di fic DeiTema saya. Saya suka sudut pandang ini tapi gak pede. Gak tahu deh chapter depan mau gimana.

Haha… thanks for reading^^

.

R E V I E W

I

I

V