Prolog


Akan selalu ada hari di mana Hinata terbangun dengan sekujur tubuh penuh keringat, nafas tercekat dan patah-patah, air mata yang entah sejak kapan sudah melekat di pipinya, menyisakan kerakan-kerakan yang lengket, dan tubuh menggigil, akan selalu ada ─itu bukan hal yang aneh untuknya , sungguh, itu adalah hal yang terlalu biasa, seandainya saja yang ia mimpikan bukanlah seorang wanita berambut merah muda, dengan bola mata emerald menyala, dan senyum yang mampu membuat Hinata menundukkan muka, maka semuanya (barangkali) masih baik-baik saja. Seandainya.


Aya Kohaku, (not so) proudly present:

"From Y, to Y"

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto,

and i'm not sure enough if it would be mine :)


Chapter one: Sakura Haruno

"Hyuuga-san."

Hinata mengangkat muka, menggerakkan bola mata perak-lavender-nya dengan takut-takut, sampai akhirnya bertemu sepasang kelereng hitam yang balik menatapnya lekat-lekat. Hinata menelan ludahnya, ini tidak akan memakan waktu lama, aku harus melakukannya, ia mengulang-ulang terus kalimat itu di kepalanya.

"Ki-," Hinata menundukkan kepalanya lagi, "Kiba-kun─"

"Inuzuka," potong lelaki di hadapannya cepat.

Hinata merasakan pukulan di dadanya.

"Inuzuka untukmu, Hyuuga-san," sambung laki-laki itu lagi, tak peduli, "dan, maaf, kau menghalangi jalanku. Bisakah kau minggir sedikit?"

"Ti-tidak!"

"Huh?"

"Ti-tidak, maksudku," si gadis Hyuuga menggigit bibir bawahnya, "aku ingin bicara denganmu, Kiba-kun."

Ada suara tawa kecil.

"Bicara, huh?"

Tawa sarkasme, lebih tepatnya.

Laki-laki muda yang dipanggil Kiba-kun oleh Hinata itu melayangkan sebelah tangan ke mukanya sendiri, menutupi tawanya yang entah kenapa terdengar seperti orang frustasi di telinga Hinata. Namun memang mungkin seperti itu adanya. Mungkin dia memang sedang frustasi, kehabisan akal, stress, apalah itu, mungkin kesabarannya habis menghadapi Hinata. Mungkin saja, mungkin. Hinata tidak ingin mengira-ngira lebih jauh. Ia harus bicara dengan laki-laki ini, secepat mungkin.

Harus.

"Lihat, sekarang sudah jam berapa," Kiba menunjukkan arlojinya pada Hinata, "sepuluh menit lagi, dan aku akan terlambat masuk kelas ─kita, lebih tepatnya," terang-terangan dilemparkannya pandangan 'apa-kau-gila-Hyuuga-' kepada Hinata, "dan lagi, tak ada yang perlu kita bicarakan, Hyuuga-san, tak ada" kata-katanya terhenti sejenak, lalu dengan suara yang lirih ia melanjutkan, "kurasa."

Tapi toh nyatanya tidak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif untuk bergerak selama dua ratus empat puluh detik kemudian, baik Kiba maupun Hinata hanya terdiam meski enggan melihat satu sama lain, sibuk mengalihkan konsetrasi mereka ke mana saja selain lawan bicaranya, sampai akhirnya Hinata menyerah lantas memberanikan diri mengangkat wajahnya kembali, menarik ujung seragam Kiba, dan menatap lurus ke dalam bola matanya.

"Aku minta maaf."

Hinata tahu itu tulus.

"Aku," Hinata menggigit sekali lagi bibir bawahnya, menahan butir-butir air mata yang sudah mengumpul di kelopak matanya agar tidak jatuh, tapi ia gagal, "benar-benar," dan segala pertahanannya rubuh, "minta, ah─" air matanya sudah sempurna jatuh, tapi Hinata mengerti, ia belum selesai, "A-aku, ak-aku, aku─" ia harus menyelesaikkannya sekarang juga, "Ki-kiba, kun?"

Maka ketika Hinata merasakan sesuatu berjalan melaluinya, dan ketika membuka mata yang ia dapati di hadapannya kini hanyalah hembusan angin yang membawa wangi tubuh Kiba, atau ketika ia membalikkan badannya yang tanpak adalah punggung lelaki brunette bernama Kiba yang ternyata mulai berjalan menjauh itu, meninggalkan Hinata sendirian di tengah koridor, tanpa ada permisi, tanpa ada kata apa-apa, Hinata paham betul, cukup satu hal yang dapat ia lakukan saat itu.

Melanjutkan tangisannya.


Sederetan kepala sontak menoleh ketika pintu kelas itu terbuka, menampilkan Kiba Inuzuka yang sedang dalam keadaan 'aku-sedang-sangat-kesal-jadi-kalau-kau-macam-macam-akan-kuhabisi'-nya yang terkenal itu. Bergidik ngeri, cepat-cepat mereka menarik pandangan lalu melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda tadi. Kiba berdecak kesal, dengan langkahnya yang berat, dia berjalan ke meja bagian depan, meletakkan tasnya kasar, kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi. Belum cukup, ia membubuhkan lenguhan kesal sebelum akhirnya menatap laki-laki berambut nanas di sebelahnya dengan pandangan tak terbaca.

"Katakan saja apa yang terjadi, tak perlu memandangiku macam anak anjing begitu," ujar laki-laki berambut nanas, santai, "merepotkan."

Kiba tersenyum. Sahabatnya ini memang tidak pernah gagal membaca dirinya. Lagipula, mungkin memang sebaiknya Kiba menceritakan soal Hinata, atau perasaan bersalah di hatinya tidak akan reda.

"Tadi dia minta maaf," Kiba meletakkan dagunya di atas meja, pandangannya terfokus pada papan tulis yang bersih tanpa noda, "kau tahu 'kan siapa yang kumaksud."

"Aa."

Terdengar desahan kecil.

"Shikamaru, aku," ia memejamkan matanya, "aku ingin memaafkannya, aku ingin sekali, sungguh, hati kecilku memaksaku memaafkannya, hanya saja," pejaman matanya semakin kuat, "rasanya sulit sekali."

Shikamaru tidak menjawab, yang berarti ia ingin Kiba melanjutkan ceritanya.

Merasa mengerti, Kiba pun kembali membuka suara, "Kau tahu, Shika?"

"Hn?"

Kiba terkekeh sejenak. Bola mata hitamnya menerawang.

"Kadang, aku ingin kita bisa seperti dulu. Aku, kau, Hinata, Shino, Tenten, Chouji, kita berenam, bersama-sama, mengganggu adikku, Hana, belajar matematika dengan Neji, menyontek pekerjaan rumahmu, makan gratis di restaurant keluarga Chouji, menjahili Hanabi, latihan karate di dojo milik Tenten, berburu kupu-kupu dengan Shino, yah, segala macam kegiatan yang biasa kita lakukan dulu. Pasti menyenangkan sekali, seandainya bisa kita lakukan bersama lagi."

Sudut bibirnya terlengkung membentuk senyuman. Senyuman, yang, bagaimanapun juga, bukanlah senyuman yang bahagia.

Shikamaru membuang perhatiannya ke luar jendela, menyembunyikan raut muka yang sangat ingin Kiba lihat.

"Kemarin Hinata juga minta maaf padaku."

Kiba langsung menegakkan punggungnya.

"Heh?"

Masih belum menoleh, Shikamaru meneruskan, kali ini lebih panjang, "Juga pada Tenten. Pada Chouji. Pada Shino. Setahuku hanya Shino yang mau mendengarkan permintaan maafnya sampai selesai. Tenten dan Chouji meninggalkannya di tengah rentetan permintaan maafnya yang gelagapan itu. Aku bahkan tidak memberinya waktu untuk berbicara lebih dari lima kata. Aku meninggalkannya. Merepotkan."

Angin dari jendela masuk, membawa sedikit kelopak bunga sakura yang berwarna putih pucat. Shikamaru meraih beberapa kelopak sakura yang sampai di mejanya, dan memainkkannya dengan ujung jarinya. Someiyoshino, jenis sakura favorit mereka berenam. Sewaktu Hinata masih bersahabat dengan mereka, sering mereka membawa kantung kecil saat o-hanami, lantas berbarengan mengumpulkan kelopak sakura yang jatuh ke dalam kantong itu, dan ketika kantung itu penuh, mereka akan membalikkanya di atas kepala mereka, dengan tawa lebar, menebarkannya di seluruh tubuh mereka, seperti mandi salju.

Shikamaru tersenyum hambar.

"Lalu, kau?"

"Eh? A-aku?"

Duh, sejak kapan Kiba tertular penyakit gagap Hinata?

"Kau mendengarkan permintaan maafnya sampai akhir?"

Kiba tertegun.

"Etto… A-a-aku─"

Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Sontak, sekali lagi, beberapa kepala menoleh, memastikan apakah Kakashi-sensei yang akhirnya menampakkan batang hidungnya setelah terlambat sepuluh menit dari jadwal mengajar. Namun, bukannya Kakashi-sensei yang melangkah masuk, melainkan seorang gadis berambut indigo sepunggung, kepalanya menunduk, namun masih menyisakan beberapa celah kepada semua orang untuk mengetahui kalau ia baru saja menangis, menangis hebat.

"Kurasa kau sudah tahu jawabannya?"

Shikamaru menganggukkan kepalanya, mengamati Hinata melangkah dengan ragu-ragu ─masih dengan kepala tertunduk─ ke deretan meja di tengah kelas, tempat orang-orang popular berkumpul. Tempat Ino, gadis yang selama ini Shikamaru cintai, duduk manis sambil membenahi ikatan rambutnya. Tempat Naruto, si pewaris utama perusahaan Namikaze, tertawa keras-keras tanpa memerdulikan raut muka teman sebangkunya, si tampan Sabaku Gaara. Dan tentu saja, tempat kekasih Hinata, si pangeran nomer satu di Konoha High School ini ─seingatnya, yang kedua adalah Gaara─ bertahta, sambil memancarkan aura kharismatiknya ke penjuru sudut kelas. Faktor utama yang menyebabkan persahabatannya, Kiba, Shino, Tenten, dan Chouji, dengan Hinata menjadi rusak. Orang yang telah mendominasi Hyuuga Hinata untuk dirinya sendiri.

Di sana, di posisi paling tengah di kelas ini, di sana lah iblis rupawan itu berada, dengan segala kearogansiannya. Dan harus kah Shikamaru terangkan siapa nama iblis laki-laki itu? Oh, sungguh Shikamaru paling benci menyebut nama itu: Sasuke.

Uchiha, Sasuke.


"Hinata?"

Suara itu, betapa Hinata mencintainya. Betapa Hinata tidak ingin melepasnya, kehilangannya, betapa Hinata ingin suara itu tetap menjadi miliknya, sampai kapan pun. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi, Sasuke yang lepas dari genggaman tangannya, meninggalkan segalanya yang telah mereka bangun -tidak, Hinata tidak dapat membayangkannya, tidak ingin membayangkannya.

Tapi, mau bagaimana juga, dia tahu, hal itu pasti akan terjadi juga.

Cepat atau lambat.

Sasuke akan meninggalkannya.

"Sasuke-kun," Hinata menyunggingkan senyumannya. Senyuman pertama yang berhasil ia ukir hari ini.

"Mereka masih belum memaafkanmu?"

Hinata tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menutup kedua matanya, merasakan jemari Sasuke yang mengelus lembut pipinya, beralih menghapus air matanya, mengelus pipi halus itu lagi, dan dalam kedamaian sentuhan yang jarang ia dapatkan dari Sasuke itu, Hinata menangguk kecil.

Sasuke melepaskan tangannya dari pipi Hinata, sebelum memberikan satu belaian terakhir di rambutnya.

"Mereka akan memaafkanmu pada akhirnya. Percaya padaku."

Senyuman tipis terpatri lagi di wajah manis Hinata. Mata perak-lavender-nya belum jengah memandang kekasihnya. Setiap hari, Hinata selalu bersyukur, Kami-sama telah menjadikannya wanita yang beruntung, sehingga bisa bersanding dengan laki-laki sesempurna Sasuke. Bagi Hinata, yang sedari kecil selalu berlindung di balik punggung Neji, Shino, bahkan Hanabi, adiknya sendiri, hal ini boleh dikatakan mimpi yang hampir tidak mungkin dapat terjadi. Memangnya siapa sih Hinata, selain gadis klasik yang dikenal hanya karena statusnya sebagai pewaris keluarga Hyuuga? Bahkan temannya di sekolah ini pun dapat dihitung dengan jari. Lain sekali dengan Sasuke. Coba tanyakan tentang Sasuke kepada gadis mana saja yang kaupapasi di sekolah ini, sudah pasti yang kau dapatkan pertama kali adalah jeritan histeris yang kemudian berlanjut menjadi pujian-pujian tak ada henti yang pada akhirnya, segalanya adalah kutukan yang dialamatkan untuk Hyuuga Hinata.

"Seandainya saja dia bukan Hyuuga, Sasuke mana mau meliriknya! Ayo lah, Sasuke pasti hanya mengikuti permintaan ayahnya untuk menyatukan nama Uchiha dan Hyuuga!"

Atau,

"Mana pantas gadis seperti itu menjadi pendamping Sasuke. Kau lihat sendiri, kan? Dia itu terlalu kuno, dan sama sekali tidak cantik. Heck, bahkan matanya yang perak keunguan seakan tembus pandang itu sering membuatku mimpi buruk!"

Dan yang lebih parah lagi,

"Dia itu hidup di Era Meiji atau apa? Sebegitu terobsesinya kah dia menjadi Yamato Nadeshiko? Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Sasuke bertahan dengan gadis membosankan seperti itu!"

Hinata sendiri tidak ada niat membalasnya, tidak berani. Toh, yang mereka katakan itu benar. Hinata memang harus banyak-banyak berterima kasih pada marga Hyuuga yang ia sandang. Seandainya dia bukan seorang Hyuuga, bukan pewaris utama, bukan adik sepupu dari mantan pangeran nomor satu di Konoha High School, Hyuuga Neji, dapat dijamin, tidak ada yang mau berteman dengannya.

Kecuali Shino, dan Shikamaru, dan Kiba, dan Chouji, dan, oh, betapa Hinata merindukan berbicara dengan gadis berambut cokelat itu, Tenten, Tenten sahabat baiknya, sahabat kecilnya, Tenten...

Hinata melirik gadis berambut cokelat yang ditata chinese style, duduk tak jauh darinya, tengah membisikkan sesuatu di telinga gadis berambut cokelat lainnya, hanya saja tidak secokelat warna rambutnya. Gadis itu tampak tertawa riang, sampai-sampai mengeluarkan air mata. Hinata merasakan irisan di ulu hatinya.

"Tenten-chan," gumamnya, pelan sekali, "kau dan Ayame-san sekarang bersahabat, ya?"

Kenyataan bahwa mantan sahabat baiknya sudah menemukan pengganti dirinya, dan tertawa keras seakan Hinata tidak pernah ada di sana, seakan mereka tidak pernah saling mengenali, rasanya begitu… begitu…

Begitu menyakitkan.

"Ah!" Hinata mengembalikan perhatiannya ke Sasuke, "kira-kira Hatake-sensei ke mana ya, Sasuke-kun? Ini… sudah, um… dua puluh menit, kan?"

Sasuke tidak mengalihkan pandangannya dari buku fisika yang sedang ia pelajari.

"Kudengar ada siswa baru yang akan dimasukkan ke kelas kita," jawabnya acuh.

Hinata hanya menganggukkan kepalanya. Sasuke selalu seperti itu setiap tidak ingin diganggu. Menjawab pendek-pendek dengan nada 'jangan ganggu aku sekarang'. Meski sudah nyaris dua tahun bersama, rupanya Hinata masih belum terlalu terbiasa akan salah satu sisi Sasuke yang seperti ini.

Tidak. Tidak. Salah.

Bukan Hinata yang belum terbiasa.

Sasuke lah yang masih belum terbiasa dengan Hinata.

Sasuke lah, yang masih belum sanggup menjadikan Hinata penggantinya.

Atau memang Hinata memang tidak akan pernah menjadi pengganti sosok itu?

"Minggu depan, pergilah bersamaku," ucap Sasuke tiba-tiba, setengah berbisik, masih belum mengalihkan pandangannya dari buku fisika, "aku ingin mengajakmu ke Taman Ueno. Hanya kau, dan aku."

Pipi Hinata seketika memanas.

"Someiyoshino," Sasuke, akhirnya, memusatkan tatapannya jauh ke dalam bola mata Hinata, mencondongkan tubuhnya sebegitu rupa sehingga Hinata dapat mendengar dengan jelas hembusan nafas Sasuke yang teratur di atas dahinya, degupan jantung Sasuke yang tenang, berirama, dan degupan jantungnya sendiri yang berpacu, serasa hendak meloncat keluar, leboh-lebih ketika Sasuke menghadiahi senyuman khas Uchiha yang terkenal indah itu pada Hinata, dan melanjutkan bisikannya, lebih dekat di telinga kekasihnya, "kau mengingatkanku pada someiyoshino."

Sekarang wajah Hinata tidak ada bedanya dengan tomat.

Dan Sasuke sangat suka.

Sasuke sangat suka tomat.

"Ehem!" suara batuk yang dipaksakan mengagetkan Hinata dan Sasuke, "Hyuuga-san, Uchiha-san, tolong, jangan bermesraan di kelas begitu. Lihat, wajah teman-temanmu itu."

Tapi tidak usah melihatnya pun Hinata sudah tahu. Pasti delapan puluh persen dari populasi perempuan di kelasnya sedang mengirim tatapan maut kepada Hinata. Sedangkan Sasuke kelihatannya tidak terlalu peduli, ia malah melanjutkan konsentrasinya pada buku fisika yang tebal yang sempat ia terlantarkan.

Kakashi Hatake, laki-laki yang telah lancang menginterupsi mereka, tertawa.

"Oi, oyaji!" suara Naruto yang duduk di belakang Sasuke menggema, mendatangkan cekikikan dari penjuru kelas.

"Hn?"

Dan guru fisika merangkap homeroom teacher bagi kelas 3-A itu, Kakashi Hatake, guru tampan yang baru saja dipanggil "oyaji" oleh Naruto, tampaknya tidak keberatan dikatai seperti itu oleh si Namikaze muda ─ia justru seperti menyeringai dari balik maskernya.

"Kau sudah membiarkan kami menunggumu selama empat puluh menit, itu berarti kau sudah absen selama satu jam pelajaran penuh, iya 'kan, Gaara?" Naruto melirik laki-laki tampan di sampingnya. Yang ditanya hanya memutar bola matanya.

"Ah, sebenarnya ketika berangkat ke sekolah tadi, aku bertemu nenek-nenek yang mau menyeberang di jalan, jadi─"

"BOHOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONG!"

Nilai minus satu untuk Kakashi Hatake. Memang tidak seharusnya ia berbohong kepada penghuni kelas ini.

Menghela napas, Kakashi menggaruk rambut peraknya yang tidak gatal, "Sebenarnya, aku tadi mengurusi gadis yang akan menjadi murid baru di kelas ini."

Hening sejenak.

Satu…

Dua…

Ti─

"!" adalah reaksi pertama yang diberikan oleh salah satu siswa di kelas itu, Naruto, dengan suaranya yang lantang, dan gerakan tangannya yang terlampau enerjik, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa gerakan mendadaknya itu berhasil membuat teman sebangkunya jatuh terpungkur ke lantai. Dan,

"GAARAAAAAAAAAAAAA!" adalah reaksi lain yang tidak kalah kerasnya, dikeluarkan dari hampir semua siswi (dan siswa) di kelas 3-A itu. Sedang Gaara yang sekarang menjadi pusat perhatian, perlahan-lahan bangkit dari tempatnya tersungkur, menghapus debu si sudut-sudut bajunya dengan sangat elegan ─astaga, tentu saja, dia seorang Sabaku!─, dan kembali duduk di kursinya tanpa memberi komentar apa-apa.

Tanpa memberi lirikan ke Naruto, sedikit pun.

Yang berarti satu hal:

Sabaku Gaara sedang murka.

"Ahahahahahaha," suara tawa canggung Kakashi memecah atmosfer yang memberat di ruangan itu, sedikit berhasil, karena perhatian anak-anak kembali lagi tertuju padanya. Sedikit berdeham, Kakashi mulai berjalan mendekati pintu, sambil sesekali berbicara, "Dia bukan gadis yang asing, Naruto. Atau, dapat kukatakan, enam puluh persen murid di kelas ini mengenalnya dengan baik. Kalian tidak akan mungkin lupa padanya. Ino, Naruto," Kakashi menoleh kea rah Hinata dan Sasuke sekejap, "juga kau, Uchiha."

Bola mata onyx Sasuke tersentak lebar.

Dan Hinata hanya mampu tertegun.

Ia merasakan firasat itu bergemuruh di dadanya.

Firasat bahwa Sasuke akan segera lepas dari rengkuhannya.

Sewaktu sampai di ambang pintu kelas, Kakashi berhenti melangkah. Tangan kanannya terjulur demi meraih tangan putih langsing milik seorang gadis berseragam Konoha High, dan ketika seluruh bagian tubuh gadis itu sudah sempurna ia seret memasuki ruangan kelas ini, Hinata dapat melihat jelas betapa tidak asingnya gadis itu, gadis berambut merah muda, bermata emerald yang menyala, dan senyumnya yang seperti radiasi, menyihir semua mata untuk menatapnya lekat-lekat, gadis yang begitu cantik sampai-sampai, dan segelintir murid perempuan lain di kelas ini, refleks menundukkan kepalanya sebab merasa tak sepadan.

Mana mungkin bisa disepadankan dengan wanita nyaris sempurna itu.

Karenanya, kekhawatiran yang tumbuh di dada Hinata semakin besar.

"Saku…" dan meski lamat-lamat, ia masih sanggup mendengar suara Sasuke yang tercekat menyebut nama gadis itu, dengan penuh rindu, penuh sayang.

Penuh cinta.

Hinata ingin menekankan kepalanya lebih dalam.

Sangat dalam.

Jadi tidak ada yang perlu melihat air matanya yang siap meleleh sekarang.

"Kurasa kalian tidak mungkin lupa…," suara Kakashi-sensei terdengar bahagia. Oh, bahkan gadis ini mampu membuat seorang Kakashi Hatake tidak pernah tertawa tulus teruntuk anak didiknya yang lain, menjadi pribadi yang ceria. Bahkan Naruto yang selalu ceria pun langsung bungkam, pun tersenyum sangat lembut. Ino, well, Ino bukan hanya tersenyum lembut, tapi juga menangis haru. Tak ada yang luput dari pesona gadis berambut merah muda itu,

Tak terkecuali Sasuke Uchiha,

Kekasihnya.

Dan Hinata sudah jauh hari menduga, pada akhirnya, hari ini akan tiba.

Hanya saja Hinata tidak mengira akan secepat ini.

Lantas di sana lah, di samping Kakashi-sensei, orang paling terakhir yang ingin Hinata temui, berdiri dengan nyalang, dengan menjulang, dengan senyuman cerahnya yang tak pernah berubah, yang membuat manusia mana pun tidak mampu membencinya.

"… pada Sakura Haruno, kan?"

Dan dari sini lah mimpi buruk Hinata satu-persatu mulai menjadi kenyataan.

Gadis yang Sasuke cintai sudah kembali.

Pulang.

To be continued


segitu dulu yah :D

jadi, gimana-gimana? Kebetulan, ini fics pertama saya, jadi masih banyak yang kaku, masih banyak yang musti diperbaiki. Mohon dukungan para readers sekalian ya m(-_-)m *nyembah* dan mohon ilmunya juga, salam kenal semuanya :)

R&R pleaseee :D