Hello, world! This fict is my dream. Like it or not, sejak awal saya mulai menulis, saya sudah memikirkan untuk membuat fict ini. Jadi tolong masukannya, karena saya ingin yang terbaik dari yang terbaik untuk fict ini.

Sorry for this long long author note. Let's move to the story, shouldn't we?

.

Disclaimer: Naruto is Masashi Kishimoto's, I don't take any material profit from it. Warning: Team 7 centric, Canon Setting, AT, SasuSaku.

.

Aku pikir air mataku telah habis, luka hatiku telah mengering, cintaku telah pupus.

Namun, ia kembali.

Menyediakan kembali air mata, menyegarkan setiap luka, menggali kembali cinta.


3 + 1 = 7

Oleh LuthCi


Chapter 1: dia kembali.

"Aku pikir aku sudah tidak terlalu naif untuk percaya cinta."

Sepasang wanita muda tengah saling duduk saat seorang di antaranya angkat bicara. Sore hari yang cukup dingin ini mereka habiskan dengan saling membagi cerita satu sama lain di kedai kopi andalan desa.

"Hm?" Wanita berambut pirang panjang menjauhkan sepasang bibir ranumnya dari mulut cangkir putih. "Apa maksudmu?"

"Hh... entahlah, yang jelas, aku merasa jantungku berdegup cepat lagi saat melihatnya," ujar sang gadis yang ditanya dengan tatapan kosong. "Padahal kupikir aku sudah tidak memiliki lagi perasaan naif seperti ini," tambahnya dengan senyuman pahit.

"—hey, tunggu dulu. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Siapa?" tanya wanita berambut pirang dengan sebelah alis terangkat—pertanda ia benar-benar tertarik akan topik ini.

Sang wanita muda yang ditanyai menghela napas cukup panjang seraya menyenderkan punggungnya yang terasa begitu lelah pada bantalan kursi.

"Kau akan mengerti, Ino. Kau akan mengerti."


Haruno Sakura, wanita dengan rambut merah jambu yang dikuncir rapih, tengah berjalan dengan pasti menuju suatu ruangan bernomor 412. Kakinya menapak pada lantai koridor rumah sakit dengan tegas, tampak terbiasa dan hafal di luar kepala dengan lorong berliku yang ia lewati.

Langkahnya terhenti.

Ia berhenti tepat di depan kamar bernomor 412 tersebut.

Gugup adalah emosi yang tergambar dengan jelas di wajahnya.

Tidak. Ia telah menangis semalaman hingga pagi untuk melepas segala emosi yang berkecamuk dengan liar di hatinya, kini waktu untuknya bersikap profesional, tanpa emosi terlibat.

Perlahan tapi pasti, ia membuka pintu yang membuatnya gugup setengah mati tersebut. Masih dengan perlahan, ia menapaki lantai ruangan, menuju ranjang pasien yang terletak di sudut.

"Siapa?"

Sekujur tubuhnya meremang seketika. Suara yang terdengar begitu awas dan berbahaya tersebut berhasil membuat emosi yang ia kubur dalam-dalam meluap secara instan.

"Dokter," jawabnya singkat. Ada sedikit rasa takut tergambar di wajahnya. Takut sosok yang kini berbaring dengan tangan dan kaki terikat pada sisi-sisi ranjang serta mata tertutup oleh kain hitam itu mengenali suaranya.

Namun, pemuda itu diam. Secara tidak langsung menyatakan bahwa ia tidak mengenali suaranya, lebih tepatnya, tidak peduli.

Ia merasa lega saat pemuda itu tidak mengenali suaranya. Namun, secercak rasa sakit tiba-tiba menjalar di hatinya secara hebat—lebih sakit dari yang ia perhitungkan, jauh, jauh, lebih sakit. Namun, ia berusaha mengabaikannya saat kakinya kembali melangkah mendekat pada pemuda yang terikat.

Perlahan tapi pasti, ia sembuhkan setiap luka yang belum sembuh sepenuhnya itu, membuat sang pemuda merasakan kehangatan chakra penyembuh yang menembus pori-pori kulitnya, kecuali bagian mata yang terlarang untuk disentuh. Setelah lima menit melakukan penyembuhan pada luka-luka luar, Haruno Sakura memasang sebuah gelang pada pergelangan tangan kiri pemuda di hadapannya.

"Apa itu?" tanya sang pemuda dengan nada geram, bermaksud menarik tangannya namun gagal karena terikat kencang.

"Gelang penghisap chakra. Untuk memastikan kau tidak mencoba lari, Uchiha-san." Sang dokter mencoba terdengar dingin.

"Cih, desa sialan! Sampai kapan aku diperlakukan seperti ini?" Sang Uchiha menggerakkan kaki dan tangannya, mencoba melepaskan ikatan yang ada.

"Sampai hukuman untukmu diputuskan oleh para tetua dan Hokage-sama," Sakura menarik napas, "permisi," ucapnya sembari berlalu keluar ruangan dengan berusaha tenang walau emosi di hatinya mendesak untuk diteriakkan.


Haruno Sakura berjalan dengan cepat menyusuri koridor dengan dinding berwarna merah bata. Suatu emosi dengan jelas menguar kental dari tubuhnya. Sang gadis terlihat beberapa kali menyelipkan anak rambut yang melawan arus ke balik telinganya. Pintu yang ia tuju sudah terlihat, maka tanpa ragu ia pacu langkahnya lebih cepat.

Ceklek

"Sensei—"

"—seharusnya kau mengetuk pintu dulu, Sakura," ujar sosok pria berambut perak, Hatake Kakashi, tanpa mengalihkan pandangan dari buku oranye di tangan. Pria tersebut duduk di bangku yang memiliki setumpuk (well, bertumpuk-tumpuk) dokumen di hadapannya dengan santai. Masih dengan gerakan yang terlihat malas-malasan, ia membalik halaman pada buku bacaannya.

"Astaga, Sensei! Apa yang sedang kau lakukan!" pekik Sakura dengan lantang.

"Err... membaca?" jawab Kakashi singkat seraya menatapnya sejenak sebelum kembali pada novel oranye pada detik berikutnya.

"Itu dia!" seru Sakura sekali lagi. "Bagaimana kau bisa membaca novel saat ada setumpuk laporan yang harus kau baca dan tumpukan dokumen lainnya yang harus kau kerjakan!" ujar Sakura dengan nada tidak percaya. Kedua tangannya bertolak di pinggang rampingnya, sedangkan pandangannya menatap sang pria yang ada di balik meja.

"Ng... karena aku mau?" jawab Kakashi seraya menatap Sakura sejenak, lalu kembali pada sang novel oranye.

"Tidak bisa begitu, Sensei!" Sakura menghentakkan kakinya di lantai. "Bagaimana kalau ada shinobi yang meninggal karena kelalaian—"

"—tidak akan ada yang meninggal, Sakura. Kan ada kau yang akan menyembuhkannya," potong Kakashi santai.

"Bagaimana kalau sudah meninggal sebelum sampai padaku?" Sang gadis berusaha memojokkan pria yang kelewat santai tersebut.

"Ah," Kakashi mendongak menatap Sakura, "kalau begitu namanya takdir," ucap Kakashi dengan senyuman, lalu kembali membaca novelnya.

"SENSEI!"

tok tok.

"Masuk," ujar Kakashi sembari menutup novel oranyenya dan merapikan baju birunya singkat.

Ceklek.

"Siang, Hokage-sama, Haruno-san," sapa seorang gadis berambut hitam sepundak yang diketahui bernama Ichiba Ayui sopan. Sejenak ia menoleh ke belakang, ke balik pintu, untuk mengisyaratkan sesuatu sebelum berjalan mendekati meja sang hokage diikuti tiga orang shinobi di belakangnya.

"Terima kasih untuk kerja kerasnya hari ini, Hokage-sama." Ichiba Ayui membungkuk untuk memberi hormat kala ketiga shinobi berbondong-bondong mengangkat tumpukan-tumpukan dokumen yang ada di meja, lalu segera keluar dari ruangan beserta tiga shinobi yang mengekor.

Blam.

Suara pintu ruangan tertutup.

Hening mengisi setiap sudut ruangan saat sang hokage menatap gadis di hadapannya dengan senyuman di wajah, di balik masker tepatnya.

"—tunggu." Sang gadis terlihat terpaku sejenak.

"Ditunggu," jawab Kakashi dengan menahan senyuman geli.

"Jadi semua dokumen itu telah kau selesaikan?" tanya Sakura tidak percaya.

"Begitulah."

"Lalu tadi mengapa kau bilang dokumen tadi belum sele—tidak. Kau tidak pernah bilang dokumen-dokumen itu belum selesai."

"Tepat sekali," sahutnya membenarkan seraya menganggukkan kepala.

"Lalu mengapa tadi kau tidak mengatakannya padaku!"

"Ah, mungkin karena kau tidak bertanya?" Sakura berjalan ke meja sang hokage dan menggebrak mejanya keras.

"Berhenti mempermainkanku, Sensei!"

"Aku tidak sedang mempermainkanmu, Sakura. Aku sedang mempermainkanmu," kilah Kakashi sembari tersenyum pada mantan murid yang ia sayangi tersebut.

"Seharusnya kau mencari kata lain jika ingin berkilah, Sensei!" Sakura mulai kehabisan kesabaran. "Dan jangan pikir aku tidak menyadari kau menatap dada dan bokong Ayui-san tadi!"

"Itu hal wajar untuk seorang pria lajang sepertiku, Sakura." Kakashi tersenyum pada Sakura, lalu menurunkan pandangannya ke arah dada Sakura. Sakura pun refleks menutupi bagian tersebut dengan menyilangkan kedua tangannya. "Sayang sekali milikmu tak kunjung tumbuh, Sakura," ucapnya dengan nada menyesal.

"Sensei!" pekik Sakura depresi.

Kakashi pun tak dapat lagi menahan tawanya. Matanya mulai menyipit saat ia tertawa karena senang mempermainkan mantan muridnya.

"Baiklah, baiklah," ucap Kakashi untuk menetralisir tawanya sejenak. Kakashi membenarkan posisi duduknya di bangkunya yang cukup nyaman.

"Duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan mengenai si pemuda Uchiha."

Ah, betapa sang guru dapat melihat mantan muridnya dengan sangat transparan.

.

.

.

.

bersambung.

Mohon dengan sangat saran masukannya agar aku bisa mengembangkan cerita ini lebih baik lagi.

Review?