Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto. Far Away From Life punya saya :D

Warning: OOC, mature theme, and a lil bit erotica in the later chapter. lol

Chapter ini didedikasikan untuk semua pembaca FAFL yang sudah setia menunggu, mereview dan bahkan memfavourite cerita ini :D

Please read and enjoy :D


Chapter 3

Framed

Dahulu kala, dahulu sekali, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun- tahun yang lalu, mereka percaya bahwa ada orang-orang terpilih yang dapat melihat melampaui alam normal. Orang-orang tersebut dapat memasuki dunia lain. Legenda yakin bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang telah tiada. Mereka pun kerap diminta oleh orang-orang―yang kebanyakan baru saja kehilangan orang yang dicintai―untuk menghubungi, memanggil, memastikan apakah orang-orang tersebut telah beristirahat dengan tenang. Dalam kurun waktu yang lama mereka dipuja, disembah, dan diperlakukan bagaikan titisan para dewa. Sampai suatu ketika, semuanya berubah. Orang-orang mulai ragu, meragukan kekuatan mereka, menduga mereka adalah penipu, menipu uang mereka. Mereka pun berubah dari Titisan Para Dewa menjadi Pengikut Iblis. Mereka lalu diasingkan, diabaikan, sebelum akhirnya menghilang dari sejarah, kecuali satu orang. Seseorang yang menuliskan sebuah kalimat, satu kalimat sebelum ia pun akhirnya menghilang, tiga kata.

"Kami adalah..."

Kedua mata perempuan itu mendadak terbuka, memutus mimpi apapun yang barusan dilihatnya. Ia memejamkan matanya kembali, berharap dirinya akan kembali terlelap dan mimpi tersebut berlanjut. Namun usahanya sia-sia. Nampaknya ia harus menunggu kelanjutannya di malam-malam yang akan datang.

Hinata mengerjapkan matanya berkali-kali, sebelum bangkit duduk di tempat tidur. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan rasanya sangat tak nyaman. Ia melirik AC di seberang ruangan, dan menyadari benda itu telah mati. Gaara selalu menyetel agar benda tersebut mati secara otomotis tengah malam supaya Hinata tak kedinginan (Hinata masih belum mengerti cara menyetel AC).

Sudah beberapa malam ini Hinata mendapatkan mimpi yang sama, dan sama seperti sebelumnya mimpi tersebut selalu terputus di tengah jalan. Ada banyak orang berambut panjang yang selalu mengelilinginya dan tersenyum ke arahnya. Mereka semua berpakaian aneh dan berbicara dalam bahasa yang tak ia mengerti. Mimpi yang barusan ini sangat mengejutkan, karena dalam mimpi ini... orang-orang tersebut menghilang. Dan entah mengapa dada Hinata terasa sesak melihatnya.

Ia turun dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju pintu. Di luar langit masih gelap gulita. Suasana apartemen yang sangat sunyi menandakan bahwa saat itu masih tengah malam, dan pagi masih jauh. Karena sadar dirinya tak bisa tertidur kembali, Hinata pun mencari orang itu.

Di ruang tamu yang gelap, sosok tersebut terlelap, suara dengkurannya halus. Hinata berjalan mendekatinya. Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hinata menyelinap ke balik selimut tersebut kemudian beringsut mendekati sosok yang bertelanjang dada di dalamnya. Tangannya yang kurus merayap di dada sosok tersebut, dada bidang seorang pria, kemudian memeluknya layaknya sebuah bantal yang besar, sebelum membenamkan wajahnya ke bahu pria itu.

Si pria tanpa sepengetahuan Hinata sudah terbangun sejak perempuan itu pertama kali melangkahkan kakinya keluar kamar. Bahunya sempat menegang sesaat, namun kemudian rileks kembali begitu menyadari langkah-langkah ringan tersebut milik Hinata.

Sejak wanita itu mulai tinggal bersamanya, hampir setiap malam ia menyelinap keluar dari kamar dan tidur bersamanya di sofa ini. Dan setiap malam ketika perempuan itu telah terlelap, ia pun akan bangun dan menggendongnya kembali ke kamar. Nampaknya setiap malam perempuan itu mendapat mimpi buruk. Hal yang wajar, menurutnya, bagi orang yang berada di bawah siksaan dalam kurun waktu yang lama.

Pria berambut merah itu berbalik menghadap wanita di sampingnya. Posisinya membuat kedua tangan perempuan itu lebih mudah memeluknya. Bila ada orang yang melihat mereka, orang tersebut pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih biasa yang saling berpelukan di tempat tidur. Pria itu menatap wajah rileks Hinata saat memeluknya.

Mendadak sepasang kelopak yang tertutup itu terbuka, menampakkan sepasang iris pucat. "Mengapa kamu memandangiku seperti itu, Gaara-kun?" tanyanya polos. Gaara tak menjawab, ia terus memandangi Hinata.

Hari kedua setelah menemukan perempuan itu, Gaara menemukan dirinya mondar-mandir di kantornya mengunjungi lantai empat―Divisi Kejahatan Penculikan dan Pencarian Orang Hilang―untuk bertemu Shikamaru dan bertanya pada pria itu mengenai status Hinata. Shikamaru sudah berusaha melacak asal-usul wanita itu. Tanpa tanda pengenal, nomor jaminan sosial, serta nama belakang, butuh waktu lama bagi si polisi jenius untuk menemukan data perempuan itu dalam database kepolisian; karena ada jutaan wanita bernama Hinata di seluruh Jepang. Namun karena Shikamaru adalah Shikamaru―polisi kebanggan Divisi Kejahatan Penculikan dan Pencarian Orang Hilang Kepolisian Tokyo―maka dari jutaan wanita bernama Hinata tersebut, ia bisa mempersempitnya menjadi beberapa puluh. Barulah pada hari ketiga sejak Gaara menemukan Hinata, Shikamaru akhirnya berhasil mengidentifikasi siapa wanita itu sebenarnya.

Namanya adalah Hinata Kobayashi. Wanita berumur dua puluh tiga tahun dan merupakan putri angkat keluarga Kobayashi, keluarga pemilik usaha ember plastik yang cukup terkenal di Jepang. Catatannya cukup bersih. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo dengan gelar cum laude pada umur dua puluh tahun dan hendak melanjutkan studinya keluar negeri. Dia bahkan tercatat sebagai sukarelawan pada sebuah panti jompo di Ueno.

Namun di antara itu semua, pada bagian paling bawah data tersebut, wanita itu memiliki satu catatan kejahatan.

Pada umur dua puluh tahun ia membunuh semua keluarganya saat mereka tertidur. Pembantu mereka yang datang pagi hari histeris saat menemukan gadis itu terduduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan tubuh bersimbah darah yang bukan darahnya. Ia ditangkap tanpa perlawanan apapun, dan menurut psikolog penjara, dia mengidap gangguan jiwa sehingga dikirim ke Rumah Sakit Jiwa Shizuoka di bawah penanganan seorang ahli jiwa bernama Dokter Kurenai.

Gaara nyaris tak percaya mendengar fakta-fakta tersebut saat Shikamaru membeberkannya.

Namun yang menjadi masalah sekarang adalah mengapa Rumah Sakit Jiwa Shizuoka tak melakukan tindakan apapun saat pasien mereka kabur? Bila ada salah satu pasien RSJ yang merupakan seorang pembunuh berdarah dingin kabur, polisi dan media pasti akan ribut mencari. Pamflet akan disebar dimana-mana, berita-berita tentang gadis itu akan akan bolak-balik ditayangkan di TV agar anak-anak kecil tak bermain sendirian di luar setelah hari gelap, dan sebagainya. Tapi tidak ada apapun yang terjadi. Seakan-akan pasien mereka yang bernama Hinata Kobayashi masih aman berada di dalam selnya.

Shikamaru sudah mengecek RSJ Shizuoka dan satu-satunya laporan kehilangan dari mereka adalah kaburnya seorang pasien bernama Hanabi Ryou. Kaburnya gadis itu tak menimbulkan keresahan di masyarakat karena ia hanyalah pasien biasa pengidap personality disorder dan dikurung di rumah sakit tersebut atas keinginan keluarganya. Beberapa tim dari kepolisian Shizuoka sudah ditugaskan untuk mencari gadis tersebut, namun hasilnya nihil.

Hal tersebut tentunya membuat kedua polisi tersebut bingung. Namun, yang membuat mereka makin bingung ialah...

Fakta bahwa tanggal kaburnya Hanabi Ryou dari RSJ sama dengan tanggal ketika Gaara menemukan Hinata di trotoar.

Shikamaru seharusnya menyarankan pada Gaara agar tak memikirkan kasus tersebut lebih lanjut dan langsung saja menyerahkan Hinata padanya agar ia bisa mengurus surat-suratnya dan mengembalikan gadis tersebut ke tempat asalnya.

Tapi tidak, ia tak menyarankannya.

Karena baik menurut Shikamaru maupun Gaara, hal itu terlalu aneh.

Sel untuk napi seperti Hinata Kobayashi pastilah sel dengan tingkat penjagaan tinggi. Tidak mungkin ia bisa kabur begitu saja dan tidak ada orang yang mencarinya. Pasti ada suatu benang yang menghubungkan kasus hilangnya Hanabi Ryou dengan kaburnya Hinata Kobayashi. Belum lagi amnesia serta bekas kekerasan fisik dan seksual di sekujur tubuh wanita itu yang terbukti masih baru itu. Jarum-jarum aneh yang menurut Tsunade adalah ulah ilmu hitam juga tak bisa dikesampingkan begitu saja.

Semuanya terlalu aneh.

Walaupun Hinata adalah seorang kriminal, tapi semua tanda-tandanya menunjukkan bahwa gadis ini merupakan korban kejahatan HAM sehingga Gaara tetap tak bisa mengembalikannya begitu saja pada RSJ Shizuoka. Pasti ada sesuatu yang salah pada rumah sakit tersebut. Setelah identitas Hinata selesai, kini Shikamaru dan Gaara mendapat PR untuk menyelidiki Rumah Sakit Jiwa Shizuoka. Tentunya dengan diam-diam.

Hinata mengerucutkan bibirnya saat Gaara tak kunjung menjawab. Gerakan itu terlihat sangat lucu dan polos hingga Gaara rasanya tak percaya bahwa gadis ini pernah membantai keluarganya. Bahkan rasanya mustahil gadis itu bisa memikirkan sesuatu seperti membunuh lalat sekalipun dengan wajahnya yang tanpa dosa.

Hal itulah yang membuat Gaara takut.

Gaara takut karena amnesia gadis itu, Gaara tak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Gaara takut ia membuat pilihan yang salah dengan melindungi gadis itu dalam rumahnya alih-alih mengembalikannya ke RSJ. Gaara takut setelah rasa ibanya pada gadis itu selama ini, gadis itu malah akan mengkhianatinya kelak.

Ia tak tahu siapa yang sebenarnya mengidap gangguan jiwa. Gadis yang membantai keluarganya dengan pisau dapur, atau polisi yang melindungi gadis itu.

Terkadang Gaara berandai-andai, bila amnesia gadis itu sembuh, bagaimana kepribadiannya yang sebenarnya?

"Kau mimpi buruk?" Gaara bergumam padanya.

Hinata menggeleng. "Aku tak pernah mimpi buruk." Ia mengencangkan pelukannya pada Gaara, menghirup dalam-dalam aroma maskulin tubuh pria itu yang sangat disukainya. "Mimpi buruk adalah sesuatu yang akan membuat seseorang ketakutan. Tapi, dalam mimpiku aku merasa tenang. Sangat bahagia. Rasanya seperti aku sudah sangat mengenal orang-orang yang kulihat di mimpiku." jelasnya panjang lebar.

Gaara tidak mencoba melepaskan pelukan Hinata darinya. Bila Hinata adalah perempuan biasa, ia mungkin akan menjauh darinya. Tapi wanita ini bukan wanita biasa. Tubuhnya memang seperti orang dewasa, tapi jiwanya sepolos anak kecil. Jika Gaara menunjukkan sedikit saja penolakan, dia pasti akan sangat terluka.

"Mungkin... itu sesuatu dari masa lalumu?" gumam Gaara asal-asalan, tak begitu memikirkan apa yang dikatakannya.

Wanita itu mendongak menatap Gaara, pandangannya bingung. "Lalu bagaimana dengan lukaku?"

"Aku tidak tahu, Hinata." Napas Gaara menggelitik wajah perempuan itu saat ia menghembuskan napas. Ya, sejujurnya Gaara tak tahu. Luka-luka tersebut bisa saja berasal dari semasa ia masih tinggal bersama keluarga Kobayashi. Tapi karena di antaranya banyak yang masih terlihat baru, kemungkinan lebih besar adalah luka tersebut didapatnya di RSJ. Namun ia tak mengatakannya pada Hinata.

"Aku berharap mimpiku memang menunjukkan masa laluku." Gaara menyadari kaki gadis itu yang sekarang merayap di pahanya.

"Mengapa begitu?" Ia menelan ludah saat merasakan organ intimnya bersentuhan dengan pangkal paha gadis itu.

Ia tersenyum manis, "karena dengan begitu, aku bisa menganggap semua luka-luka ini hanyalah mimpi." Wajahnya kembali mencari kehangatan yang ditawarkan dada Gaara.

Mimpi jadi kenyataan, dan kenyataan jadi mimpi, ya? Pikir Gaara. Seandainya semua semudah itu...

"Gaara-kun..." Hinata berbisik lagi.

"Hm?"

"Kenapa kita tidak tidur di ranjang saja?"

Gaara hanya menggertakkan gigi. Kalau saja Hinata mengerti benda keras apa yang menyentuh pahanya saat itu, ia mungkin tak akan mencoba berpikir untuk melontarkan pertanyaan tersebut.

"Tidurlah. Besok aku harus kerja." Gaara berkata dengan nada yang mengatakan bahwa itu akhir pembicaraan mereka. Hinata tampak menangkap pesannya, lalu mengangguk sebelum membuat dirinya makin rapat ke Gaara.

"Mm."


Keesokan paginya, Gaara pergi ke kantor seperti biasa. Sebelum berangkat ia mewanti-wanti Hinata agar jangan pernah membukakan pintu pada siapapun, kecuali dirinya atau Temari. Meski sejauh ini tak ada kemungkinan akan ada orang yang akan mencari atau menangkapnya, tapi tak ada ruginya bila berhati-hati.

Makan siang gadis itu sudah diatur Gaara agar diantar oleh restoran seberang jalan ke depan pintu mereka. Gaara mengajarkan pada Hinata agar mengambil box makan siangnya lima menit setelah si pengantar makanan membunyikan bel pintu. Selain itu, supaya si gadis bermata pucat itu tidak bosan dengan absennya Gaara, si polisi muda mengajarkannya bagaimana cara menghidupkan televisi, mengganti channel, memutar DVD, serta menunjukkan koleksi DVD miliknya yang ia simpan di rak meja televisi.

Sudah beberapa hari ini Gaara meninggalkan Hinata dalam keadaan seperti itu. Begitu pulang, gadis itu biasanya tertidur di sofa, di ranjang, bahkan pernah sekali Gaara menemukannya tertidur di balkon. Ia beruntung gadis itu berpakaian lengkap. Kalau tidak, belum lagi luka-lukanya sembuh, gadis itu sudah akan kena flu.

Akhir-akhir ini juga Gaara memperhatikan gadis itu cukup sering berbicara dengan dirinya sendiri. Awalnya Gaara pikir itu hanyalah gejala lain dari amnesianya. Namun semakin lama hal itu semakin sering terjadi dan terkadang saat berbicara dengan Gaara, gadis itu bisa tiba-tiba menoleh ke samping dan mengajak seseorang berbicara dengannya. Malam hari, saat gadis itu pulas di kamarnya, ia bisa terbangun tiba-tiba, keluar ke ruang tamu, dan berbicara sendiri seakan-akan ada yang mengajaknya bicara. Gaara biasanya harus mengantarnya kembali ke kamar dan menungguinya sampai terlelap, kalau tidak gadis itu akan berdiri di sana dan berbicara sendiri selama berjam-jam.

Gaara tak pernah percaya dengan keberadaan makhluk apapun kecuali yang dapat ia lihat dengan matanya. Jadi satu-satunya kesimpulan yang dapat ditariknya adalah...

Gadis itu berhalusinasi.

Namun hal itu bukan apa-apa bila dibandingkan dengan bila waktu mandi gadis itu tiba.

Gaara sudah meminta Temari untuk mengajari Hinata cara mandi yang benar dan layak. Namun tetap saja gadis itu terkadang lupa mengenakan baju handuknya ketika keluar dari kamar mandi dan berkeliaran di apartemen hanya dengan sehelai handuk melilit tubuhnya sebelum dipaksa Gaara kembali ke kamar untuk memakai baju. Itu pun tidak jarang gadis itu masih tetap lupa mengenakan pakaian dalamnya.

Mengoleskan salep di tubuh gadis itu pun merupakan problema yang lain.

Karena tangannya tidak sampai ke belakang punggungnya, Gaara-lah yang setiap malam harus mengoleskan salepnya ke tubuh perempuan itu sebelum mereka tidur. Walaupun sekarang ia sudah bisa mengoleskan salep untuk bagian depan tubuhnya sendiri, tapi awalnya ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya. Gaara hanya bisa bersabar ketika menemukan Hinata menghabiskan semua salepnya sekali pakai, dan esoknya ia harus membeli salep baru dan dengan wajah memerah mencontohkan pada wanita itu bagaimana cara menggunakannya.

Setelah itu Gaara harus mandi air paling dingin selama sejam untuk menghilangkan bayangan wajah Hinata yang terlihat terlalu menikmati saat ia menyentuh tubuhnya.

Kepolosan perempuan itu kadang terlalu mengerikan hingga membuat Gaara takut.

Hari itu, Gaara dan koleganya, Naruto Namikaze, bertugas untuk menyamar sebagai pengunjung di sebuah klub bugil. Pemilik klub tersebut diduga merupakan salah satu gembong dari sindikat perdagangan obat bius yang kasusnya sudah lama dikerjakan oleh timnya Gaara. Jangankan menangkap seseorang, satu pak obat bius pun tak ada yang berhasil disitanya. Setelah tugas mereka selesai, mood Gaara tak begitu baik. Naruto berusaha menyemangatinya dengan berkata mungkin lain kali mereka akan lebih beruntung. Tapi Gaara pesimis. Belakangan ini sudah banyak aksi penyamaran mereka yang gagal. Seakan-akan penjahat-penjahat itu sudah dapat mencium keberadaan mereka duluan. Gaara mendapat firasat bahwa ada seorang pengkhianat di dalam divisi-nya.

Malamnya Gaara pulang uring-uringan. Hal terakhir yang ia inginkan di apartemennya saat itu adalah Hinata dengan tingkah gilanya. Satu-satunya yang ia mau adalah ganti baju dan langsung tidur di sofanya. Untung besok dia libur sehingga dia bisa tidur sampai siang. Well, setidaknya sampai Hinata bangun, karena ia harus membuatkan sarapan untuk perempuan itu.

Gaara sedang menimbang-nimbang apa yang akan dibuatnya untuk sarapan besok saat ia masuk ke apartemennya.

Dan mendapati sebuah kejutan.

Sebuah kejutan yang mungkin hanya akan jadi kenyataan di dalam mimpi terliar atau fantasi terjoroknya karena dalam seketika berhasil membuat mulutnya mengering.

Pemandangan itu mungkin pemandangan paling erotis yang pernah dilihatnya.

Di sana, di dapurnya, Hinata berdiri membelakanginya. Gadis itu bahkan tak sadar Gaara sudah masuk dan masih asyik melakukan Tuhan-Tahu-Apa-Yang-Dilakukannya sambil bersenandung lagu yang baru-baru ini ia pelajari dari televisi.

Kegiatan gadis itu akan terlihat normal dan mungkin membawa senyum di bibir Gaara seandainya saja ia tidak melakukan itu semua tanpa mengenakan pakaian apapun kecuali sehelai apron.

Gaara harus mengakui ia tak bisa melepaskan matanya dari bokong gadis itu. Tidak seperti punggungnya, bokong gadis itu putih dan mulus. Bentuknya bundar dan terlihat sangat berisi. Gaara sadar celananya tiba-tiba mengetat saat berbagai macam imajinasi mengenai hal apa yang bisa dilakukannya pada bokong itu bermunculan di benaknya seperti adegan film porno.

Sementara Gaara masih terus terpana melihat bokong Hinata, gadis itu pun akhirnya menyadari keberadaan Gaara di belakangnya, lalu menoleh dan tersenyum lebar. "Selamat datang, Gaara-kun!" sapanya riang.

Sapaan riang tersebut tampaknya membuat Gaara menemukan logikanya kembali. Ia tak balas menyapa dan malah melotot, "Apa yang kau lakukan?"

Gadis itu menatapnya bingung. "Memasak?" Ia menyadari wajah Gaara yang tegang, "A-Aku tadi menonton acara memasak di t-televisi."

"Apa orang di televisi memasak tanpa memakai baju?" Gaara bertanya seraya menggertakkan gigi.

Hinata terlihat takut sekarang. Spatula di tangannya ia genggam kuat-kuat di dekat dadanya. "I-Iya... T-Tapi..."

"Tapi apa?" Gaara membentaknya, membuat Hinata mundur ke belakang.

"D-Di DVD..." Suara Hinata bergetar penuh ketakutan sekarang. Gaara tak pernah membentaknya sebelumnya. Air mata terancam jatuh ke pipinya saat Gaara mendekat.

"DVD apa?"

Hinata terisak sekarang. "DVD di k-k-kotak sepatu..."

Bagaikan sebuah mantra, kalimat tersebut berhasil membuat amarah Gaara menguap dalam sekejap, kemudian digantikan dengan wajah semerah tomat. Ia lupa memisahkan kotak sepatu itu dari tumpukan DVD-nya yang lain.

"Kamu nonton semua isi kotak sepatu itu?" suara Gaara sudah lebih tenang sekarang. Wanita itu hanya mengangguk, membuat Gaara menghela napas.

Ia mendekati Hinata, menangkupkan wajah perempuan itu di tangannya, lalu mengusap air matanya dengan ibu jarinya. "Maaf aku membentakmu. Aku lupa menyimpan kotak itu."

"G-Gaara-kun tidak marah?"

"Seharusnya marah, sih. Tapi ini semua salahku. Jadi aku marah pada diriku sendiri."

"K-Kenapa Gaara-kun marah? Isi kotak sepatu itu tak boleh ditonton?"

Gaara bingung bagaimana menjelaskan hal itu tanpa membeberkan semua faktanya. "Tidak. Yah, sebenarnya boleh. Tapi DVD di kotak sepatu itu adalah tontonan dewasa," Gaara teringat kalau umur Hinata jelas tidak melarangnya untuk menonton film-film tersebut, maka ia pun cepat-cepat menambahkan, "well,kau boleh menontonnya, tapi tak boleh mempraktikkannya." Bohong kalau Gaara tidak mau ada wanita telanjang sambil memasak di dapurnya. Tapi ini Hinata! Badannya boleh milik perempuan dewasa, tapi meniduri Hinata akan sama rasanya seperti meniduri anak-anak. Pikiran tersebut membuat Gaara merinding.

Hinata terlihat bingung menerima penjelasan Gaara. "T-Tapi... orang-orang di televisi tampak senang. A-Apalagi orang yang menemukan pacarnya memasak dengan berpakaian seperti ini." Hinata menunjuk apronnya. "K-Kupikir aku akan memasak makanan dari acara tadi pagi dengan berpakaian seperti ini dan memberi Gaara-kun kejutan. Tapi ternyata Gaara-kun tidak suka..." Bibir Hinata melengkung ke bawah dengan sedih.

"Hei," Gaara membuat wanita itu mendongak ke arahnya, "Aku suka, oke?"

Tuhan, ampuni aku karena sudah berkata seperti ini. Ya sebenarnya Gaara suka, sangat suka malah. Hanya saja... melihat Hinata yang melakukannya terasa sangat salah.

"Tapi..." Perempuan itu memprotes, tapi Gaara menyela.

"Mustahil ada pria normal yang tidak senang melihat wanita seperti ini. Hanya saja, hal seperti ini semestinya hanya dilakukan oleh wanita pada kekasih mereka, pada orang yang spesial untuk mereka. Bukan pada sembarang orang."

"Gaara orang yang spesial untukku," sahut Hinata lugas seakan-akan itu adalah fakta paling jelas di muka bumi ini.

Gaara harus berkali-kali mengingatkan pada dirinya bahwa 'spesial' yang dimaksud perempuan ini tak sama seperti 'spesial' yang ia maksud.

Sebelum Hinata bisa berkata apa-apa lagi, Gaara menegaskan, "Kamu tidak boleh melakukan ini lagi. Mengerti? Kamu bisa masuk angin kalau berkeliaran dengan telanjang begini."

Gaara mematikan kompor di belakang perempuan itu. Lalu memandunya ke kamar. "Sekarang, ganti baju. Aku akan menyelesaikan masakanmu, setelah itu kita..."

"Tidak!" Hinata berseru mencegah Gaara keluar kamar. "Biar aku saja yang menyelesaikan makanannya. Gaara duduk saja."

Sepanjang pengetahuan Gaara, wanita ini tak punya pengalaman masak sama sekali, tentunya tanpa menghitung pengalamannya sebelum ia amnesia. Bagaimana ia bisa membiarkan perempuan yang baru belajar memasak selama beberapa hari dari sebuah acara televisi memasak makan malam mereka?

"Kumohon?" Dengan polos ia melebarkan mata dan memanyunkan bibirnya.

Orang macam apa yang bisa menolak pandangan itu? Hanya orang berhati sekeras intan tetunya, dan Gaara bukan termasuk orang dari kategori tersebut.

Maka ia pun menghela napas dan menyerah. "Baiklah, tapi kamu harus pakai baju dulu."

Jawaban Gaara membuat Hinata bersorak, lalu berjinjit untuk memberi kecupan ringan pada pipi lelaki itu sebelum dengan santainya melepas apronnya dan dengan telanjang bulat mencari-cari baju di dalam laci pakaiannya.

Tingkahnya malam ini seharusnya menambah pusing kepala Gaara. Namun entah mengapa ciuman polosnya barusan berhasil membuat Gaara melupakan semua bad-mood -nya hari itu.

Entah kapan Gaara akan terbiasa dengan segala kejutan yang diciptakan perempuan ini.


Mereka berdua duduk di sofa setelah menikmati makan malam yang di masak Hinata. Di depan mereka TV menyala menayangkan acara komedi tengah malam. Secara misterius, masakan perempuan itu terasa sangat enak. Sangat enak. Sehingga Gaara berpikir mungkin dia dulu bekerja sebagai koki sebelum melakukan tindakan itu.

Itu atau perempuan itu memang seorang jenius.

Baru sekali melihat orang memeragakannya di TV, ia sudah bisa memasaknya dengan sempurna. Mungkin ia akan membiarkan Hinata memasak untuk mereka lain kali. Gaara senang karena di samping tingkah anehnya setidaknya perempuan ini bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk mereka.

Tapi kalau dipikir lagi, dia adalah wanita yang sama dengan wanita yang lulus cum laude dari Fakultas Kedokteran Todai di umur dua puluh tahun. Tidak heran kalau dia memang jenius.

Ia melirik Hinata. Wanita itu ia biarkan bersandar di bahunya saat mereka menonton. Namun dia sudah tertidur sekarang. Mungkin bila Gaara memutuskan akan menikah suatu hari, ia akan menjadi ayah yang baik. Memelihara gadis seperti Hinata di rumah rasanya seperti membesarkan seorang anak.

Gaara menukar-nukar channel dengan menggunakan remote di tangannya, sebelum berhenti pada channel yang menayangkan berita malam.

Breaking News.

"Seorang pasien Rumah Sakit Jiwa Shizuoka, bernama Hinata Kobayashi, yang juga merupakan tahanan Kepolisian Tokyo yang ditahan atas tuduhan pembantaian terhadap Keluarga Kobayashi dilaporkan menghilang. Menurut pantauan CCTV, wanita ini kabur dari selnya di rumah sakit Shizuoka sekitar pukul sebelas tadi dengan bantuan seseorang, yang masih belum jelas apa motifnya, serta diduga telah berada cukup jauh Shizuoka."

Gaara bersumpah jantungnya berhenti sesaat ketika wajah Hinata muncul di layar televisi. Mata pucat gadis itu tampak kosong dan ia tak tersenyum sama sekali. Gaara bolak balik melihat gadis di bahunya dengan gadis di televisi untuk mencari perbedaan di antara mereka, dan gelisah ketika tak menemukan perbedaan apapun.

"Menurut polisi wanita ini sangat berbahaya karena kondisi jiwanya yang labil serta keahliannya dalam menggunakan benda apapun sebagai senjata. Dia memiliki ciri-ciri unik yang membuatnya gampang dikenali, yaitu matanya yang berwarna pucat. Polisi meminta masyarakat untuk berhati-hati pada wanita ini dan segera melapor kepada yang berwajib bila melihatnya."

Gaara langsung mematikan televisi, menggendong Hinata di lengannya, dan membawanya ke kamar. Begitu memastikan perempuan itu aman di dalam selimutnya serta seluruh jendela dan pintu terkunci, Gaara langsung menyerang teleponnya dan memencet nomor yang sudah sangat diingatnya.

Di seberang telepon, Temari menjawab dengan mengantuk. "Jam berapa sekarang?"

"Mana Shikamaru?"

"Gaara?"

"Ya, ini Gaara. Mana Shikamaru?"

"Shikamaru belum pulang." jawab Temari, bingung apa yang diinginkan adiknya dari pacarnya tengah malam begini.

"Berapa nomor ponselnya?"

"Ada apa sih, Gaara?"

"Ini tentang Hinata. Berapa nomor ponsel Shikamaru?"

"Kenapa dengan Hinata?" tanya Temari panik, namun segera memberikan nomor kekasihnya. Setelah mencatatnya, tanpa mengucapkan selamat malam Gaara langsung memutus sambungannya dan dengan cepat menghubungi Shikamaru. Ia mendengar pria itu menjawab malas-malasan setelah dering ketiga.

"Apa-apaan itu, Shikamaru?"

"Siapa ini?"

"Gaara," jawabnya tak sabar. "Apa maksud berita tadi? Kenapa kau tak memberitahuku?"

"Tenang dulu, Gaara. Aku juga baru tahu tentang itu. Mendadak kami mendapat laporan kalau cewek itu hilang dan dia sangat berbahaya dan semua hal yang kau dengar dari TV, lalu atasan memberi perintah kalau dia harus segera ditangkap tapi jangan dilukai. Aku bersumpah aku tak tahu menahu. Tapi yang jelas sekarang beberapa tim sudah ditugaskan mencari perempuan itu."

Gaara memaki, "Jadi setelah seminggu, RSJ itu baru menyadari sekarang kalau ada salah satu pasien mereka yang kabur?" tanya Gaara sarkastik.

"Aneh, memang." Shikamaru menyahut kalem, tapi Gaara tahu wajah pria itu tak sekalem suaranya.

"Berapa orang yang tahu tentang dia?"

"Hanya aku, kakak-kakakmu, dan Sakura kurasa. Kecuali kau memberitahukan pada orang lain?"

"Dan seorang dokter. Hanya mereka yang tahu, dan aku ingin tetap begitu. Ingat, jangan sampai ada yang tahu tentang Hinata. Semua ini terlalu aneh, mengerti?"

"Aku tahu. Menurutku ini juga terlalu aneh." Gaara mendengarnya menghela napas. "Kenapa baru sekarang?" gumamnya.

"Rumah sakitnya."

"Kenapa rumah sakitnya?"

"Siapa yang menelepon dari rumah sakit jiwanya?"

"Dokter kepalanya. Aku mengerti maksudmu. Dia sudah ditanya-tanyai oleh beberapa orang. Dia bercerita bagaimana tingkah laku Hinata yang baik beberapa minggu belakangan ini dan membuat para perawat tak curiga padanya, padahal sebenarnya ia mempersiapkan diri kabur dari selnya."

"Bagaimana?"

"Itulah yang menarik. Sangat cerdas dan menarik kurasa. Ia kabur dengan menjebol langit-langit kamarnya menggunakan sekrup yang ia curi dari gudang perkakas. Polisi bahkan sudah memeriksa kamar tersebut. Dan memang benar ada bekas penjebolan dan kamarnya sendiri memang terlihat baru ditinggalkan."

"Siapa nama dokter kepalanya?"

"Konan. Aku barusan menyelidikinya. Catatannya sangat bersih, warga teladan, dia juga salah satu kerabat jauhnya kaisar."

"Aku tak bisa percaya." Gaara mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

"Gaara, sekarang aku harus kembali kerja, ini bukan saat yang aman untuk diskusi panjang lebar. Yang bisa kupastikan adalah untuk sementara ini rumahmu ada dalam daftar terakhir kemungkinan persembunyian perempuan itu, jadi kau tak perlu khawatir. Tapi untuk jaga-jaga, jangan pernah meninggalkan dia sendirian, mengerti?"

"Aku mengerti. Terus kabari aku tentang perkembangannya, oke?"

"Oke. Sampai jumpa."

Mereka berdua menutup teleponnya.

Gaara kembali ke kamar dan mendapati Hinata tak berada di tempat tidurnya. Gadis itu tengah duduk di lantai dekat pintu kaca menuju balkon. Tangannya menempel pada kaca, seakan-akan berusaha menyentuh apa yang berada di seberang kaca. Gaara mendekatinya, takut kalau gadis itu mencuri dengar pembicaraannya dengan Shikamaru tadi dan mengerti apa yang mereka bicarakan. Namun saat hendak menggendong gadis itu, Gaara melihatnya sedang menangis.

"Kenapa?"

"Aku tak bisa menolong mereka..." bisik gadis itu.

"Menolong siapa?"

"Mereka..." Ia menunjuk udara kosong di luar.

"Tidak apa-apa." Gaara membaringkannya di tempat tidur, sebelum duduk di sampingnya. "Semuanya hanya mimpi," bisiknya berusaha menenangkan gadis itu.

Hinata menatap Gaara dengan sedih. Kedua tangannya menangkup pipi Gaara. "Mereka semua sama nyatanya seperti aku dan kamu."

Selama beberapa saat Gaara menahan pandangannya. Di luar kilat mendadak menyambar, dan selama sekejap menerangi ruangan yang gelap tersebut. Gaara bisa melihat bagaimana lemah dan rapuhnya gadis itu. Seandainya memang benar dia seorang pembunuh berdarah dingin, pasti ada alasan kuat mengapa ia melakukan semua itu selain gangguan jiwanya. Bisa saja ia dijebak seseorang atau apalah, siapa yang tahu? Apa saja bisa terjadi.

Di luar, perlahan titik-titik air hujan pertama jatuh ke bumi dengan irama yang menenangkan.

Gaara tak tahu mengapa pikirannya sibuk mencari dugaan yang memungkinkan wanita itu tidak bersalah. Walaupun putusan dari pengadilan sudah jelas, namun baginya hal itu tak menutup kemungkinan bahwa ada kecacatan dalam penyelidikan kasus wanita itu. Dalam dunia narkotika, tidak sedikit gadis-gadis tak berdosa yang dimanipulasi pacar atau keluarganya untuk berdagang obat-obat terlarang.

"Tidurlah bersamaku malam ini," pinta Hinata polos.

Gaara memejamkan mata, lalu perlahan-lahan tangannya meraih tangan Hinata yang berada di pipinya. Dengan lembut ia mencium bagian dalam pergelangan tangan wanita itu. Mungkin dia sudah gila karena melindungi seorang kriminal, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini adalah hal benar yang harus dilakukannya. "Entah siapa dirimu yang sebenarnya." Gaara bergumam pada kulitnya.

Hinata sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan pria itu. Tapi apapun itu pasti merupakan hal baik karena berikutnya Gaara menyelipkan dirinya di balik selimut dan merengkuh Hinata di lengannya sebelum terlelap.


Gaara terbangun akibat aroma sedap kopi dan roti panggang yang memasuki hidungnya. Dalam sekejap ia langsung terduduk begitu menyadari gadis yang semalaman dipeluknya menghilang. Ia pun langsung berlari keluar kamar dan bernapas lega ketika menemukan Hinata sedang berkutat dengan wajan, kali ini berpakaian lengkap. Mendengar Gaara keluar kamar, ia berbalik dan menyapa pria itu seraya tersenyum lebar.

"Selamat pagi, Gaara-kun."

Gaara tersenyum kecil, "Pagi."

"Aku memutuskan membuat sarapan pagi ini supaya Gaara-kun bisa tidur lebih lama," katanya dengan bangga. "Tapi Gaara-kun bangun cepat." Ia terkekeh.

Gaara mengambil tempat di meja makan, lalu menuangkan kopi untuk dirinya sendiri. Tidak hanya sarapan, Hinata ternyata juga sudah meletakkan koran pagi di atas meja. Gaara tak ingat kapan terakhir kali hidupnya senyaman ini.

Gaara membuka lipatan korannya sambil menyeruput kopinya. Dia menyemburkan kopinya saat melihat foto Hinata terpajang di halaman depan dengan judul,

Gadis Muda Pelaku Pembantaian Keluarga Kobayashi Melarikan Diri!

Gaara menelusuri isi artikelnya yang kebanyakan hanya merupakan tulisan ulang dari apa yang sudah diberitakan semalam. Sejauh ini belum ada yang berhasil menemukan sosok gadis itu. Tentu saja tak ada yang melihatnya. Saat orang-orang mencari-carinya, dia sedang tidur di ranjangku, pikir Gaara. Makin ke bawah ia melihat ulasan kembali kasus pembantaian Keluarga Kobayashi yang membuat Hinata begitu berbahaya.

Gaara menghela napas saat selesai membacanya. Rasanya perempuan yang diceritakan di dalam artikel tersebut berbeda dengan perempuan yang dengan riang mengoleskan selai ke atas roti panggang di dapurnya ini.

Ia cepat-cepat menutup korannya saat Hinata mendekat. Ia masih belum tahu apa yang harus dijelaskannya pada wanita ini kalau dia tahu dirinya sekarang buronan dan fotonya telah diketahui oleh orang-orang di seluruh penjuru negeri.

"Gaara-kun mau minum jus?"

Gaara menggeleng. "Kau saja. Kau lebih membutuhkannya daripada aku."

"Susu?"

"Tidak usah repot-repot."

Gaara mulai melahap roti panggang pertamanya. Hinata telah melepas apronnya dan duduk di seberang Gaara. Bukannya makan, perempuan itu malah menonton Gaara.

"Kenapa kau tidak makan?"

Dia hanya senyum-senyum, "Aku suka lihat Gaara-kun makan. Rasanya entah mengapa sangat menyenangkan."

Gaara hanya memandangnya bingung. "Makanlah."

"Pasti." Dia mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba kepalanya tersentak seperti baru teringat sesuatu. "Oh, pagi ini ada siaran ulang South Park di channel 4." Dia langsung bergegas menuju sofa untuk mencari remote. Sejak berteman akrab dengan televisi, tontonan favorit Hinata adalah Cooking King di channel 2 dan serial komedi South Park di channel 4. Gaara melirik jam dinding, saat itu masih jam tujuh pagi. Siaran ulang acara semalam biasanya baru ditampilkan jam delapan. Jam tujuh biasanya baru mulai acara...

Berita pagi.

Gaara langsung menyusul Hinata dan merebut remote dari tangan perempuan itu tepat sebelum ia menyalakan TV-nya. Hinata bingung melihat Gaara yang terlihat panik dan mendadak merebut remote-nya.

"Ada apa, Gaara?"

"Eh, aku... aku mau nonton DVD," jawab Gaara asal. Tidak mungkin ia membiarkan Hinata melihat berita pagi ini. Berita hari ini pasti membahas tentang dia lagi. Dari koran tadi Gaara mengetahui bahwa kasus Keluarga Kobayashi nampaknya cukup santer, sehingga berita bahwa pelaku pembunuh mereka sedang bebas berkeliaran di jalanan membuat masyarakat gelisah.

"Benarkah?" Wajah Hinata mendadak beberapa kali lebih bercahaya saat mendengarnya. "Kamu mau nonton yang mana? Kita nonton sama-sama?" tanyanya penuh semangat.

"Iya." Gaara bergegas menuju rak untuk mencari DVD yang bisa mereka tonton bersama. "Kamu bawa sarapannya kesini, aku yang putar filmnya."

Hinata tak perlu disuruh dua kali.

Gaara memutuskan pagi itu mereka akan nonton salah satu seri Transformers. Ia mengeluarkan kepingan DVD dari tempatnya sebelum meletakkannya di pemutar. Ia kembali ke sofa dan duduk di samping Hinata yang mengunyah rotinya dengan sungguh-sungguh.

"Kita akan nonton apa?" Ia bertanya dengan mulut penuh roti.

"Hei, jangan ngomong sambil ngunyah." Gaara mengingatkan sebelum mengambil salah satu roti dari piring. "Dan untuk menjawab pertanyaanmu, kita akan nonton Transformers."

"Oh, aku belum nonton itu!" ujarnya. "Apa itu tentang percintaan?"

"Bukan."

"Tentang perselingkuhan?"

"Tonton saja."

"Tentang pembunuhan?"

"Kubilang tonton saja, Hinata."

Ketika film dimulai, Hinata pun terdiam. Mereka berdua menonton dengan serius sampai sarapan mereka habis. Begitu sampai pada adegan dimana Sam Witwicky akhirnya bertemu dengan para Autobots, bel pintu berbunyi.

Gaara awalnya berniat membiarkannya dengan harapan siapapun yang membunyikan bel berpikir mereka masih tidur dan pergi. Namun kelihatannya urusan mereka begitu penting karena bel berbunyi terus tanpa henti.

Hinata menoleh padanya dengan pandangan khawatir.

Gaara berdiri seraya mem-pause DVD-nya. "Tunggu sebentar, ya. Jangan dinyalakan sampai aku kembali."

"Baik."

Gaara pun bergegas menuju pintu. Ia memutar kunci dan membuka gerendelnya sebelum membuka pintu.

Sepasang mata azure mengerjap beberapa kali saat melihat tiga pria berseragam lengkap berdiri di pintu depannya. Mereka adalah polisi.

What the hell?

Gaara menyipitkan mata penuh curiga. Sesuatu yang sangat salah sedang terjadi di sini. Cara ketiga pria itu melihat padanya-lah yang membuatnya berpikir demikian.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Lelaki yang berdiri paling dekat dengannya mengeluarkan sebuah kertas dan menyodorkannya padanya. Gaara membaca kertas tersebut dan matanya melebar. Bila ia kaget, ia berhasil menyembunyikan kekagetannya dengan sempurna. "Kami memiliki surat perintah untuk menahan anda, Gaara Sabaku."

Gaara menelan ludah, namun wajahnya tetap tenang. Tidak mungkin orang-orang ini tahu apa yang ia sembunyikan di dalam apartemennya. Kecuali ada seseorang yang membocorkannya.

"Surat perintah penahanan saya?" tanya Gaara datar. "Saya tak melakukan kesalahan apapun."

Pria yang lain berdeham. "Anda dicurigai sebagai orang yang membantu pelarian Hinata Kobayashi, buronan wanita yang saat ini sedang dicari-cari, dari selnya di rumah sakit jiwa."

"Apa?" Gaara berseru tak percaya. Kedua matanya menggelap karena amarah. Siapa orang gila yang berteori seperti itu? "Mana buktinya?"

"Kita tak dapat mendiskusikannya di sini," kata pria pertama, suaranya kaku. "Saat ini anda akan ditahan. Anda memiliki hak untuk tetap bungkam. Apapun yang anda katakan dapat dan akan digunakan melawan anda..."

Gaara mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan pria itu. "Ya aku tahu prosedurnya. Aku juga polisi, tolol. Aku menuntut bukti yang mendasari penahanan ini. Kau tak bisa begitu saja menangkapku hanya karena kau punya surat perintah! Aku tak melakukan apapun! Aku juga seorang polisi! Untuk apa aku membantu seorang kriminal melarikan diri sementara aku sibuk kesana kemari menangkapi pengedar obat bius?"

Well, itu tak sepenuhnya benar! Tapi, hei! Tidak mungkin Gaara menceritakan pada mereka tentang semua kebenarannya disini. Mereka tak akan mengerti, dan kata-katanya mungkin malah akan memberatkannya.

"Kami disini bukan untuk menjawab pertanyaan anda, Sabaku-san, kami di sini hanya untuk membawa anda ke kantor... Anda bisa menelepon pengacara anda nanti dan membawa kasus ini ke pengadilan."

"Enak saja!" Gaara menggeram, kali ini dia benar-benar marah.

"Kami juga meyakini bahwa Hinata sedang bersembunyi disini bersama anda."

Kalimat tersebut membuat Gaara membeku. Kedua matanya melotot penuh amarah― meskipun jauh di dalam hati ia terkejut. Antara mereka bertindak sesuai insting yang dipengaruhi oleh seorang bajingan pengkhianat yang mengetahui keberadaan Hinata di apartemennya, atau mereka hanya asal tebak mengingat kesalahan yang dilimpahkan padanya. "Pertama kalian datang dan menuduh saya membantu pelarian seorang kriminal, lalu kalian juga menuduh saya melindungi kriminal itu di rumah saya?" Gaara melemparkan pelototan mematikan pada ketiga petugas itu. "Ini konyol. Sangat konyol."

"Kalau begitu anda tak keberatan bila kami menggeledah apartemen anda?"

"Jangan coba-coba masuk ke sini tanpa surat perintah."

Jantung Gaara mencelos ketika petugas tersebut mengeluarkan sebuah surat perintah lain yang menyatakan bahwa mereka dapat menggeledah apartemennya untuk melihat apakah Hinata ada di dalam. Gaara tak siap untuk membiarkan mereka masuk. Bila Hinata cerdas, gadis itu mungkin mengerti ada sesuatu yang salah dengan tamu mereka dan segera bersembunyi. Tapi Gaara sama sekali tak pernah melatih Hinata bila benar-benar ada orang yang berhasil masuk ke apartemen dan mencarinya.

Gaara terpaksa menyingkir dari pintunya ketika salah satu polisi berdeham dan melambai-lambaikan suratnya. Ketiga petugas itu pun melangkah ke dalam dan mulai mencari-cari. Nampaknya Hinata telah menyadari situasi di pintu depan dan sudah menyingkir dari ruang tengah dan bersembunyi di suatu tempat. Namun Gaara tetap bisa merasakan keringat dinginnya menetes saat melihat salah satu pria berseragam itu masuk ke kamarnya.

Ia nyaris jatuh berlutut karena lega ketika ketiga pria itu keluar tanpa menyeret siapapun dan masing-masing berkata, "Tempat ini bersih."

Gaara tersenyum puas. Entah di mana Hinata bersembunyi tapi yang jelas Gaara sangat lega ternyata gadis itu cukup pandai.

Ketiga polisi itu saling mengangguk kemudian kembali ke Gaara. Salah satu dari mereka mengeluarkan borgol. "Anda harus ikut dengan kami, Sabaku."

"Apa borgol perlu?" tanya Gaara kaku.

Petugas itu mengangguk. Gaara menghela napas dan menyodorkan tangannya. Pria itu mengamankan borgolnya di pergelangan tangan Gaara. Biasanya Gaara-lah yang memborgol orang. Tapi kali ini, dia-lah yang ditangkap dan diborgol. Dia. Seorang petugas dari Divisi Kejahatan Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang. Bukankah ini begitu ironis?

Gaara melemparkan pandangan khawatir pada ruangan apartemennya sebelum dua orang polisi menahan lengannya dan memandunya keluar, sementara seorang yang lain berjalan di belakang mereka.

DWAK!

Gaara dan dua orang polisi yang mengapitnya menengok ke belakang untuk menemukan polisi di belakang mereka jatuh pingsan akibat dihantam sekuat tenaga menggunakan penggorengan oleh...

Hinata.

Dua orang polisi yang lain nampaknya mengenali wanita itu dan melepas pegangan mereka pada Gaara untuk meringkus Hinata. Gaara memanfaatkan momen tersebut untuk menubruk mereka ke dinding lalu menghantamkan tangannya yang terborgol pada belakang kepala salah satu petugas. Petugas yang lain yang kaget karena tubrukan Gaara yang mendadak mengeluarkan pistolnya, namun Gaara menendang pistol tersebut hingga terlempar sebelum menendang selangkangannya dan membuatnya jatuh berlutut memegangi kemaluannya.

Gaara kemudian berputar untuk memeriksa Hinata. Senyum bahagia si wanita bermata pucat saat melihatnya cukup menjelaskan bahwa ia baik-baik saja. Tapi senyum tersebut memudar saat ia melihat sesuatu di belakang Gaara.

Dalam sekejap, Gaara berputar dan menendang polisi yang tadi ia hantam belakang kepalanya dan memastikan kali ini pria itu benar-benar jatuh terkapar. Sebelum pria itu bisa bangun lagi, dengan cepat Gaara menahan kepalanya menggunakan lututnya lalu menggeledah pinggang si polisi untuk mencari kunci borgol.

Setelah mendapatkan kuncinya, Gaara berdiri dan menendang kepala si petugas, membuatnya pingsan seketika.

Dari belakang Hinata tiba-tiba menubruknya, kedua lengannya yang kurus memeluk tubuhnya erat-erat.

"A-Ada apa ini, Gaara-kun? Mengapa orang-orang ini mencoba membawamu pergi?" suaranya dipenuhi kebingungan dan ketakutan.

Gaara menghela napas, melepaskan pelukan Hinata darinya sebelum berbalik menghadap perempuan itu. Ia tidak menjawab pertanyaannya. "Bantu aku lepaskan borgol ini," katanya. Ia menyerahkan kuncinya pada Hinata dan wanita itu dengan patuh melepaskan borgolnya. "Aku bisa dihukum bertahun-tahun karena ini." Gaara berkata pada dirinya sendiri saat menjatuhkan borgolnya ke lantai.

Setelah memukul polisi seperti ini, Gaara secara otomatis menjadi ikut menjadi buronan. Heck, bahkan sebelum ini saat ia dicurigai menyembunyikan Hinata ia sudah menjadi buronan. Apapun pembelaannya saat ini tidak akan ada yang percaya padanya.

Mereka tak lagi bisa di sini.

Siapapun yang mengeluarkan surat perintah penahanan Gaara tahu bahwa Hinata ada bersamanya. Sejauh ini yang mengetahui kebenaran itu hanyalah kedua kakaknya, Sakura, Shikamaru, dan Tsunade. Gaara benci mengatakannya namun saat ini ia tak bisa mempercayai orang-orang itu.

Di depannya Hinata masih menatapnya bingung, dan pandangannya makin bertambah bingung saat Gaara tiba-tiba berkata.

"Kita harus pergi dari sini. Karena tak membawaku pasti akan ada lebih banyak polisi yang datang ke sini nanti." Gaara menarik Hinata kembali ke apartemennya. Ia memerintahkan perempuan itu agar menunggu di pintu depan sebelum ia bergegas mengambil dompet, senjata, dan jaketnya. Ia meninggalkan kunci mobilnya karena tahu sia-sia bila ia menggunakan mobil. Mereka pasti akan lebih mudah menggunakannya. Tanpa mengunci apartemennya, Gaara langsung membawa Hinata ke bawah.

"Tapi Gaara-kun polisi! Mengapa polisi mau menangkap sesama polisi? Gaara-kun salah apa?" protes Hinata saat mereka berdua berlari menyusuri gang sempit di samping apartemen.

"Aku belum bisa menjelaskan semuanya padamu, Hinata." Gaara berhenti di ujung gang, matanya mengawasi kanan dan kiri jalan untuk melihat apakah ada polisi. Setelah merasa aman, ia kembali menarik Hinata dan berbaur dengan pejalan kaki lainnya seakan-akan beberapa menit yang lalu mereka tidak membuat babak belur tiga petugas polisi. "Yang bisa kubilang adalah... saat ini kita berdua adalah buronan, dan sebisa mungkin kita harus menghindari polisi. Mengerti?"

Wanita itu tidak mengangguk ataupun menggeleng. Ekspresinya masih tetap takut dan bingung. Walaupun tak mengerti tapi pasti ia tahu kalau saat ini mereka dalam masalah.

"Pokoknya kau ikuti aku saja sekarang. Aku pasti akan mencari jalan keluarnya."

Ya, Gaara pasti akan mencari jalan keluarnya dan membersihkan namanya.

Satu-satunya jalan adalah dengan memecahkan teka-teki dibalik wanita yang bernama Hinata Kobayashi ini.

Siapa perempuan ini sebenarnya? Siapa pelaku yang menyiksanya? Apa tujuannya? Apa yang sebenarnya terjadi di RSJ Shizuoka hingga mereka bisa kehilangan dua pasien dalam seminggu?

Namun yang paling penting, apa yang sebenarnya dilakukan Hinata tiga tahun yang lalu? Apapun itu, hal itulah yang awalnya membuat perempuan ini dikurung di RSJ.

Semua pertanyaan tersebut berseliweran di benak Gaara dan membuat kepalanya sakit. Namun ia tahu satu orang yang saat ini mungkin bisa membantunya.

Ia memang tak percaya ilmu hitam, tapi tak ada salahnya bila mencoba 'kan?


Wah,yang ga log in maaf kalau belum saya balas, karena... yah kalian ga log in ^_^

Saya perhatikan beberapa di antara kalian telah membuat tebakan kalian masing2 tentang pelaku penyiksaan ... harus saya katakan saya terkejut karena ada satu di antara kalian yang sukses menebak dengan benar! *gasp* siapakah itu...? masih saya rahasiakan. harharhar.

Jadi di chapter ini kita telah mengetahui kalau Hinata ternyata seorang kriminal. Lalu... kenapa Gaara masih mau nolongin dia?

Temukan jawabannya dengan membaca terus cerita ini, oke guys?

Akhir saya sangat tersanjung dengan jumlah review yang saya dapat di chapter sebelumnya, ada total 48 reviews! :D Sebagian reviewnya sudah saya balas, namun bagi kata, bila tidak keberatan saya ingin mendengar opini, komentar, atau mungkin usul untuk membuat cerita ini lebih baik. Membaca reviews kalian membuat saya sangaaat bersemangat untuk terus melanjutkan cerita ini. harharhar.

Sekian dulu dari saya. See ya in the next chap! *lambay-lambay*