Disclaimer :: NARUTO belongs to Masashi Kishimoto, i just borrow his character, no more

Pairs :: SasuHina as main pair, and NaruSaku as slight pair

There are so much warn such as typo(s), EYD, OoC (i need it for the way of plot), and etc

A / N ::

I remind you all not to mock my fav pair. You can badmouthing my worse story but not for my pair.

The Lost Heart

Orchestra of Prologue


Udara di Jepang menjelang penghujung tahun memang mencitrakan bahwa negara ini seolah berada dalam kungkungan jurus perisai es milik Haku. Coba saja alirkan karbondioksida melalui mulut, maka nafas kalian akan berkepul sangkin minusnya temperature.

Tertuanglah sebuah kontrasme di antara hawa dingin dengan hangatnya sanubari seorang pemuda. Usai melaksanakan tugas menuntut ilmu di negeri Inggris sebagai siswa pertukaran pelajar selama setahun, ia kembali membawa debar jantung yang selalu ia tahan untuk diresapi.

Pemuda dengan kelamnya surai mengeratkan syal krem buatan tangan yang terkasih. Seorang gadis yang sosoknya selalu mengisi wallpaper di ponsel-nya.

Perkara yang rumit untuk melalaikan hati dari rasa rindu yang membuncah selama dua belas purnama-sabit yang berganti menghias malam.

Menahan diri untuk mengabaikan jaringan komunikasi antar negeri demi menjaga konsistensi terhadap pendidikan yang harus ditempuh sungguh-sungguh menuai hasrat ingin bertemu di dalam sukma sang raven.

Paras ayu bermanik lavender dengan lengkung senyum yang tak bedanya dengan pelangi, seindah salju yang mengguyur permadani lavender di musim dingin siluetnya.

Hinata, i totally miss you. Pemuda tegap yang sedari tadi menjadi titik tumpu visual kaum Hawa mendekatkan layar ponsel-nya. Mencium sosok 2D di sana.

Adalah Sasuke Uchiha yang tengah kita perbincangkan sebagai tokoh sentral fict ini. Seorang pemuda yang perawakannya laksana patung David di benua Eropa yang tak bercelah barang separtikel pun.

Ia seolah menjadi titisan sang sempurna untuk mewakili keindahan dari makhluk-Nya.

Oniks milik sang Uchiha kedua terpejam, tak sabar ia ingin bertemu pandang dengan lavender tanpa guratan kebencian, tanpa guratan amarah, atau segala emosi yang menjurus pada hal negatif. Ialah sang gadis baik hati yang alkisah sebuah dongeng penghantar mimpi.

Hinata Hyuuga.

Kaki menghentak meninggalkan lokasi semula ia berpijak, membelah keramaian dan memutari sudut kota yang ramai.

Hingga dirasanya ia telah berada di jalan yang sunyi dari kerumunan khayalak. Hanya ada pepohonan sebagai benda mati pengisi kesunyian yang berjejer rapi di tepi jalan.

Sasuke menatap fokus pada papan nama yang dipampang di gerbang kediaman mewah itu.

Hyuuga.

Matanya tertumbu pada sebuah nama yang melengkapi hidup sang kekasih. Menyatakan keakuratan bahwa kediaman mewah di depannya memanglah benar milik Sang Hyuuga.

Tak gentar maupun ragu langkah menyertainya. Andai kata sebuah suara dan sebuah benda tidak mengenai domain sosoknya.

PRANG!

Ranah berselimutkan salju itu didarati oleh sebuah benda yang kini hanya tinggal kepingan belaka. Merembeskan warna coklat dari darjeeling tea ke atas hamparan salju yang polos.

Oniks membelalak tatkala suara riuh yang gamang mendarat di jaringan telinganya.

"Hinata-sama!"

Sebuah nama untuk sebuah keputusan. Sasuke memutuskan untuk menjadi seorang yang lancang untuk menebas kegelisahannya.

Kepulangannya yang sengaja dirahasiakan bukanlah kebetulan, ada hal yang ingin ia pastikan sendiri oleh mata kepalanya.

Perkara yang koheren dengan gadisnya.


Sasuke berlari membuka gerbang yang memang luput dari penguncian. Ia melewati beberapa barisan penjaga yang tertidur lelap. Demikian dengan gerbang, demikian dengan pintu utama kediaman Hyuuga. Tidak ada penguncian sehingga ia dengan mudah melangkahkan kakinya di area dalam kediaman Hyuuga.

Sasuke beruntung, ia memiliki otak yang fresh untuk mengingat seluk-beluk rumah familiar ini meski skala rumah ini semegah taman kota. Meski setahun telah berselang.

Sebuah ruangan lavender membuat langkahnya terhenti.

Meski tetesan peluh membasahi, meski deru nafas masih kentara, Sasuke tak lelah untuk memastikannya.

Memastikan keadaan sang gadis di antara para maid yang mengelilinginya.

Helaian indigo terjatuh tanpa aturan, menutupi wajah putih Hinata yang pucat. Mata lavender-nya menampik semua pemandangan dan memilih bersembunyi di balik kelopak. Gaun putih selutut dengan aksen debu dan lubang tak menjadikannya serupa "nona".

Ia sang nona? Adakah sang nona yang hidup dengan sepasang kaki-tangan yang dibelit rantai? Yang diberi makan layaknya hewan ternak dengan sup dalam mangkuk yang ia suapkan tanpa perantara sendok?

Seorang maid yang menghadap pintu tersadar akan kedatangan Uchiha yang mendadak menggemingkan suasana.

"Tu-tuan," maid itu terlihat kalut ketika langkah pasti Sasuke menghampirinya—ralat, menghampiri nonanya yang berada di belakang sang maid bersurai merah dengan bingkai kacamata di antara kelereng semerah darah.

Barisan maid yang lain seolah memberi akses kemudahan sang Uchiha untuk mendekat pada Hinata.

Tangan pucat terulur dan mendorong kasar sang maid yang lalu memekik.

"Keluar," desis meluncur dari bibir yang semula terkatup, "KELUAR KALIAN!"

Maid yang ketakutan akan rauman sang Uchiha sekembalinya dari Inggris memilih tak menambah perkara.

Pikiran Sasuke sendiri telah kembali teralih pada sosok ringkih dengan bobot tubuh yang menyusut begitu drastis dalam jangka waktu satu tahun itu.

Sosok yang kini menatap oniks Sasuke dengan lavender membulat yang tak menampakkan emosi sesiratpun.


"Sasuke," perwakilan siswa selain Sasuke dari sekolahnya memanggil.

Sasuke yang memang tak sedang dalam tugas yang berarti memutuskan berhenti sejenak dari acara membacanya di kantin sekolah seraya menjawab panggilan si jenius dari keluarga Nara dengan "Hn"-nya yang khas.

Pemuda dengan bentuk rambut samurai tempo dulu itu menggaruk tengkuknya, "Only news for you."

"What are you talking about?" Sasuke menautkan alisnya, langka adanya melihat air muka malas pemuda Nara berubah menjadi seserius itu.

"It's about your Hyuuga. I heard something about her. Kurasa nanti setibanya kau di Jepang, terlebih dahulu kunjungilah dia."

"What were the heck you said, eh?" Gigi sang Uchiha bergemeletuk.

"Aku bilang Hyuuga-mu kehilangan kewarasannya. Ia, sulit mengatakannya dengan gamblang, ia gila."

Seperti mendengar bahwa gagak terbang dengan kakinya, seperti mendengar katak berjalan—bukan meloncat, semua itu dirasa Sasuke begitu mustahil.

Sasuke mencerna kata demi kata sang Nara, mencari setitik saja kebohongan atau kepura-puraan. Namun, nihil.

Yang ia rasakan hanyalah kebenaran, aktualitas, tanpa ada tendeng aling-aling lelucon.

Sasuke bukan penganut aliran humoris atau semacamnya. Tetapi, di kali pertama hidupnya, ia berharap apa yang barusan ia dengar adalah lelucon.


Seeing is believing. Only one time seeing is more worthful than hundred times hearing

Shikamaru berulangkali meyakinkan padanya atas kebenaran berita itu dan ia sama-sekali tidak memercayainya. Kini, sekali saja ia melihat secara langsung, ia percaya.

Isu yang ia anggap isapan jempol terbukti sudah—dengan mata kepalanya sendiri.

"Hinata," pelan, nada menguntai menyebutkan nama dari sang gadis di pojok ruangan yang—entahlah—membuat iba, tapi di sisi lain mengerikan.

Lavender tetap membulat tanpa emosi, yang sungguh, membuat Sasuke merasa diteror oleh pandangan mengerikan itu.

Ia tak tahu apa yang terjadi setahun ke belakang. Ia tak tahu peristiwa apa yang membuat kekasih yang amat ia cintai seolah menjadi pribadi lain yang asing untuknya.

Tetapi, Hinata tetap Hinata. Lepas dari kondisi psikologis-nya yang berada di luar ambang normal.

Gadis itu tetaplah Hinata yang senantiasa terpatri dalam angan Sasuke selama ini. Membuat sang raven harus menolak tawaran dari gadis lain selama berada di Inggris.

Sekali lagi Sasuke menelisik sosok Hinata. Dengan berbelitkan rantai di sepasang kaki dan tangannya. Seolah ada suatu bentuk penolakan terhadap keberadaan gadis yang seakan jelmaan iblis dan siap membumihanguskan sekitarnya kapanpun yang ia inginkan tersebut. Sasuke terenyuh.


"Hinata, menengoklah kemari!"

JPRET!

"A-apa yang b-barusan kau lakukan, S-sasuke-kun?"

"Memotretmu! Untuk kenang-kenangan saat aku di Inggris nanti."

"S-sasuke-kun."

"Aku pasti akan merindukanmu, Hinata."

"E-eh? Uhm, aku j-juga pasti a-akan merindukanmu, S-sasuke-kun."


Sasuke beranjak dari tempatnya. Wajahnya spontan menjadi kusut. Tak sadar, linangan air mata membasahi pipi porselennya.

Direngkuhnya sosok ringkih itu. Sosok ringkih yang kini membelalak atas perlakuan hangat yang didapatnya.

Tangan kekar Sasuke melingkar di antara pinggang Hinata yang mengurus.

Senja yang terbingkai oleh kusen jendela dengan dua insan yang berpelukan menjadi pemandangan yang indah, sekaligus memiriskan hati.

Detik demi detik mengalun. Dalam kesunyian.

Andai Sasuke dapat mengelabui waktu, ingin sekali ia dapat memotret kepingan kenangan saat Hinata masih terbungkus senyuman.

Namun nasi telah menjadi bubur. Sasuke memang tak dapat mengembalikannya. Tak akan pernah bisa, karena sang waktu menolak untuk dimiliki.

Namun, Sasuke masih memiliki peluang untuk dapat mengubah tirai takdirnya.

Setidaknya, Sasuke masih memiliki pena cinta untuk ia goreskan di hati Hinata yang nanar bagaikan kanvas kosong itu.

づく

(To Be Continued)


A / N :: AMPUUUN, READEEERS! Bukan maksud Grey nge-bash! Ini tuntutan ceritaaa!

Masih sukar dipahami karena masih prolog, emang.

Pengen aja gitu bikin penpik yang kelam pake pair kesayangan Grey.

Hosyah! (masang pose ala Naruto) review, ya, senpai-tachi!