DREAM CASTLE

Pairing : Gilbert Beilschmidt/Ludwig Weillschmidt

Rating : T

Genre : Drama/Angst

Summary : "...istana impian ini adalah milikmu, Ludwig. Maka jagalah baik-baik..."

Disclaimer : All characters belong to Himaruya Hidekazu-sensei

Warning : Apa pun yang terjadi di sini adalah rekayasa walau sedikit mengena ke sejarah masing-masing negara. Timeline yang ada di sini saya sesuaikan dengan yang ada di Hetalia, di mana mereka sepertinya berumur panjang (terutama Jerman). Kalau ada yang kurang berkenan, saya sarankan untuk tidak membaca dengan segala hormat. First Ger/Pru, trial and error... :/

~Chapter 1~

The child without a name grew up to be the hand

To watch you, to shield you, or kill on demand

Hohenzollern, 16th Century

Gilbert's POV

Sudah berapa kali Prussia terlibat dalam peperangan? Terhitung sejak masih bernama Old Prussian, para leluhurku sudah mencetuskan perang kepada Polandia dan Lithuania berkenaan dengan daerah kekuasaan. Awalnya, Kingdom of Prussia ini berada di bawah kekuasaan Duchy of Warsaw, kemudian kami berhasil memisahkan diri dari mereka dan merdeka menjadi negara sendiri.

Seluas apa pun negara ini, kami tetap memusatkan pemerintahan Prussia di lahan kecil bernama Hohenzollern. Di sinilah keluarga kerajaan tinggal, membentuk pemerintahan, undang-undang, dan strategi perang. Aku mendengar para petinggi kerajaan sedang ingin mengusahakan satu kekuasaan baru, yang nantinya bisa berdiri sendiri dan meneruskan cita-cita leluhur Prussia.

"Jelajahi medan perang…"

Seperti biasa, sehari setelah perang usai, aku diperintahkan menjelajahi bekas medan pertempuran bersama beberapa pasukanku. Sekedar memeriksa apakah masih ada orang yang bisa diselamatkan, atau mencari harta rampasan perang dari pihak musuh. Langit senja hari itu terlihat merah, sedikit menggelap karena tertutup awan tebal.

Derap langkah kaki kuda kami seperti menghilang ditelan angin. Medan perang yang berjarak beberapa mil dari Hohenzollern kini tampak porak poranda dan tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sedikit pun.

"Menyebarlah, dan kita bertemu di bawah tiang batu itu."

Aku menyusuri bagian paling depan medan perang ini. Masih terlihat banyak mayat bergelimpangan di mana-mana. Aku turun dari kudaku, mengambil beberapa bilah pedang dan lencana patriot mereka. Aku menarik kudaku dan menuntun berjalan bersamaku, dan berhenti di sebuah bangkai kereta perang yang sangat besar. Kira-kira 7 orang petinggi musuh berperang dengan kereta besar ini. Ditarik 4 ekor kuda, hanya dengan sekali lemparan tombak ke kusirnya, kereta ini kemudian tumbang dan menjatuhkan orang-orang di atasnya. Kuda-kuda penariknya berlarian meninggalkan kereta karena ketakutan, sedangkan orang-orang di atasnya terpaksa bertarung di daratan.

"Sampai kapan pun, Prussia tidak akan dikuasai Polandia atau pun Lithuania…"

Kalimat itu sudah seperti pasak yang ditancap di kepala dan hati setiap prajurit Prussia. Aku hanya sebagian kecil dari mereka, yang didikte untuk selalu menuruti peraturan macam aristocrat leluhur kami, The Old Prussian. Ditambah lagi dengan motto kebesaran kami, Suum Cuique ("to each, his own"), begitu besar tekad para leluhur kami untuk menjadikan Prussia negara merdeka dan mandiri.

"Herr Beilschmidt, ada seseorang di dekat runtuhan rumah…!"

Aku dan beberapa orang pasukanku berlari ke reruntuhan rumah yang hampir rata dengan tanah. Di balik tiang batu pondasi, ada seorang anak kecil menangis sesenggukan dan menenggelamkan wajahnya di kedua lutut kecilnya.

"Kalian lanjutkan penyisiran, aku urus yang satu ini."

Aku mencoba mendekati anak ini. Reaksinya cukup cepat, dia langsung menarik tubuh ringkihnya menjauh dariku. Kedua mata birunya menatapku berkaca-kaca. Cekung pipinya terlihat kusam karena debu mesiu dan tanah.

"Di mana orangtuamu?"

Dia hanya menggeleng, tak ada suara yang keluar dari mulut keringnya. Aku tidak menyangka peperangan ini begitu dahsyat sampai menerjang rumah warga sekitar. Di mana pun orangtuanya, pasti kondisinya sudah tidak bernyawa lagi. Anak ini satu-satunya peninggalan mereka yang berharga. Berapa lama dia bertahan di sini? Tak ada atap atau dinding yang melindunginya dari hujan dan udara dingin. Bahkan terik matahari sampai mengacaukan warna rambutnya.

"Keluarlah, kita jalan-jalan."

Aku mengulurkan tanganku, tetapi dia semakin menjauh. Aku harus memancingnya supaya dia mau menurut padaku. Aku membuka topi perangku dan kuulurkan padanya.

"Aku tidak akan menyakitimu. Topi ini akan menjadi milikmu jika kau mau ikut denganku."

Dia tampak ragu, tetapi kemudian dia mencoba memberanikan diri mendekat padaku. Tangan kurusnya terulur menyentuh topi perangku. Aku tersenyum, kemudian membantunya memakai topi itu ke kepalanya.

"Siapa namamu, Nak?"

Aku hampir kehilangan kesabaran karena anak ini tidak mau menjawab pertanyaanku. Ah, mungkin karena dia masih ketakutan. Daripada membiarkan dia dikuasai ketakutannya, aku langsung mengangkat tubuhnya dalam gendonganku. Kemudian aku ajak dia naik kuda dan berjalan keluar dari medan perang. Aku memanggil semua orangku dan menyuruh mereka untuk menyudahi saja tugas hari ini.

The Mansion, Hohenzollern - Night

Melalui perdebatan panjang dengan para petinggi kerajaan, akhirnya aku mendapat mandat dari mereka untuk merawat anak kecil ini di kediamanku. Mereka menduga anak ini adalah mata-mata musuh, tetapi aku berhasil meyakinkan mereka bahwa dia hanyalah penduduk sekitar medan perang yang terkena imbas dari pertempuran besar itu. Lagipula anak ini tidak bisa diajak bicara, bahkan tidak mau menyebutkan namanya. Usianya mungkin masih berkisar antara 5 – 7 tahun. Dia terlalu polos untuk melihat pertumpahan darah dan tebasan pedang di sekelilingnya.

"Kau akan kuberi nama baru, maka kau akan menjawab panggilanku dengan nama itu. Mengerti?"

Dia mengangguk.

"OK, namamu adalah Ludwig. Err…Ludwig siapa ya? Ah, pakai nama belakangku saja kalau begitu! Kebetulan aku tidak punya adik. Maka kau akan menjadi adikku. Namamu Ludwig Weillschmidt. Dan aku kakakmu, Gilbert."

"Ka-kakak?"

"Ya, benar sekali. Aku kakakmu. Dan kau akan menuruti apa yang aku katakan padamu, mengerti?"

"Ya, kakak."

"Hahahaha, aku tersanjung kau panggil begitu. Nah, waktunya makan malam. Kau mau makan apa? Nanti aku yang buatkan untukmu, OK?"

Rumah ini terlalu besar untuk kuhuni sendiri. Dan sekarang ketambahan anak satu ini jadi terasa lain suasananya. Lalu, mengapa pula aku mau merawatnya di rumah besar ini? Jika aku tidak punya hati, maka aku akan membiarkan dia hidup di dekat tiang pondasi itu dan menunggu waktunya mati. Atau mungkin langsung memembenamkan ujung pedangku di jantungnya supaya bisa langsung menyusul kedua orangtuanya.

"Makanlah yang banyak, kau tampak lapar sekali."

The Mansion, Hohenzollern – 3 years later

Aku memperhatikan setiap perkembangan yang dialami oleh Ludwig. Aku terkadang sering meninggalkannya untuk latihan perang. Sampai aku minta bantuan seorang pengasuh dari Main Castle untuk menjaganya, dan setiap harinya aku mendapat laporan yang menggembirakan darinya.

"Pangeran kecil itu sekarang sudah bisa mengikat tali sepatunya sendiri…"

Kabar tidak penting macam itu sebenarnya adalah kabar gembira untukku. Setiap aku pulang ke rumah, anak itu selalu berlari menuruni tangga dan memelukku erat. Senyumnya mulai terukir cerah di wajahnya. Dia tidak lagi punya pipi yang cekung. Dia sudah terlihat lebih sehat, dan aku senang melihat dia bisa berbicara banyak denganku.

"Lama sekali pulangnya! Kenapa harus sampai seharian penuh sih perginya?"

"Hahaha…maaf, banyak yang harus aku kerjakan jadi sampai sore baru bisa pulang."

"Aku kesepian, kau tahu?"

"Oh ya? Apa Madam Bertha memperlakukanmu dengan baik, Ludwig?"

"Ya, kami berdua bikin kue hari ini. Dan kau tahu? Kuenya enak sekali! Kau pasti suka!"

Perkembangannya begitu pesat, bahkan dia terlihat agak tinggi dari awal aku merawatnya. Mungkin aku sudah tidak bisa menggendongnya lagi karena dia sudah bertambah berat.

"Kau dari mana, Kak?"

"Oh, aku habis latihan perang."

"Perang?"

"Ya, latihan perang."

"Kau akan mengadakan peperangan lagi, Kak?"

"Bukan aku yang mengadakan. Melainkan orang-orang kerajaan."

"Untuk apa peperangan itu diadakan, Kak?"

Ah ya, aku belum mengenalkan anak ini mengenai segala sesuatu tentang tanah tempat tinggalnya sekarang. Setelah makan kue sama-sama, aku mengajak Ludwig pergi ke taman belakang. Sekedar mencoba memberikan pelajaran berharga untuknya.

"Ludwig, aku mau tanya. Kau punya barang berharga?"

"Hm?"

"Sesuatu yang penting, misalnya…"

"Err…topi perang yang pernah kau berikan untukku?"

"OK, jika seseorang mengambil topi itu, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan marah dan melarangnya mengambil."

"Jika dia memaksa?"

"Aku juga akan memaksa!"

"Kenapa?"

"Karena…ini pemberian darimu, Kak."

"Begitu pentingkah pemberian itu, Ludwig?"

"Tentu saja! Kau memberikan ini saat pertama kita bertemu. Aku tidak pernah mendapatkan pemberian macam ini dari siapa pun. Maka itu aku…aku…"

"Hm?"

"Aku harus menjaganya baik-baik. Tidak boleh sampai rusak, walau warnanya sudah usang sekali pun. Pokoknya tidak boleh ada orang yang mengambilnya!"

Aku membelai kepala anak ini dengan sayang, sekedar menenangkannya setelah dia berbicara begitu berapi-api. Semoga dia menangkap apa yang kumaksud dari pertanyaan tidak penting macam itu.

"Kau mengerti maksudku, Ludwig? Kira-kira, untuk apa peperangan itu diadakan?"

"Err…menjaga sesuatu yang berharga…"

"Nah, Prussia punya banyak hal yang sangat berharga. Kau hidup di sebuah negara yang kaya raya, serta cinta perdamaian. Maka itu, peperangan diadakan untuk menjaga negara ini dari serangan orang lain."

"Seperti apa yang berharga itu, Kak?"

"Kau, misalnya…"

"Aku?"

"Di luar sana, banyak orang yang mungkin ingin mengambilmu dari medan perang. Seharusnya kau berterima kasih padaku telah menyelamatkanmu dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Belum tentu mereka bisa merawatmu sebaik aku, atau membiarkanmu ikut bikin kue dengan Madam Bertha."

"Be-benarkah?"

"Aku akan berperang demi melindungimu, Ludwig. Aku bisa melihat masa depanmu begitu cerah."

"Apa aku…punya masa depan?"

"Hey, jangan pesimis begitu donk! Dengar, suatu hari kau akan tahu apa arti perang yang sebenarnya. Tidak hanya memahami, tetapi kau akan terlibat dalam peperangan itu sendiri."

"Begitu…"

"Makanya, cepatlah besar. Nanti akan kuajari bagaimana mengayun pedang dan menggunakan tameng."

"Asyik! Janji ya, Kak!"

"Hahaha, tentu saja. Aku ini ksatria handal dan kau bisa percaya padaku."

"Kalau aku sudah besar, nanti giliranku berperang dan akan menjagamu!"

Mendengar dia begitu bersemangat, aku tidak bisa menghilangkan senyum lebar ini dari wajahku. Aku mengangkat tubuh anak ini dan kulayangkan ke udara. Tawanya begitu nyaring dan menenangkan hatiku. Seharian latihan perang, rasa tegang itu mendadak hilang setelah berbagi cerita dengan Ludwig.

"Kalau aku sudah besar, nanti giliranku berperang dan akan menjagamu!"

~to be continue~

Chapter 2 coming up next!