NARUTO © Masashi Kishimoto | Sasuke U. & Hinata H. & Naruto U. | Angsty Drama


Previous Chapter

Kalau saja mereka menemukan Hinata di apartemennya, apa itu artinya dia bisa ditangkap? Sasuke memandang langit-langit kedai. Tangannya mengusap poninya ke belakang. Sumpah, Sasuke baru mengerti seberapa besar perbuatannya. Dan jelas itu mengkhawatirkan. Menculik sama saja dengan tindakan kriminal, kan? Berapa tahun yang harus ia lalui dipenjara kalau aparat hukum menemukan Hinata berada di apartemennya? Ditambah perlakuan-perlakuan aneh yang secara reguler dia lakukan ke anak itu.

"Sasuke?" Naruto yang melihat Sasuke keheranan. "Ada apa?"

Sasuke menggeleng. Tepat di pelipisnya serasa ada yang berkedut. Benar-benar memusingkan.

"Tak apa." Sasuke menatap tak nafsu ramen karinya.

Cuma ada satu kesimpulan yang kini mengisi kepalanya: Hinata tidak boleh diketahui oleh siapa-siapa. Oleh Naruto, atau orang asing seperti cleaning service sekalipun. Hinata harus dia jaga. Tak ada yang boleh mengambil Hinata darinya.

Tidak boleh.

.

.

Jarum jam menunjukkan pukul 00.00, Sasuke baru saja kembali ke apartemen. Agak terburu dia lepaskan sepatu dan segala barang-barangnya di meja makan, dan tanpa memedulikan apapun lagi, ia langsung bergegas menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang tengah. Menyalakan lampu adalah hal pertama yang ia lakukan dan segeralah ia memandang sekeliling kamar perseginya yang bisa terbilang luas. Jantungnya mulai berdentum saat ia sadari tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Tak ada Hinata. Cuma ada kasur dengan buntalan selimut acak-acakan serta pintu kamar mandi yang setengah terbuka.

Sasuke sempat berharap Hinata ada di sana, ketiduran saat mandi bersama Himawari seperti biasanya, tapi harapannya langsung pupus ketika ia tak melihat siapa-siapa di dalam kamar mandi. Bak mandinya terisi air sabun yang sudah lama tak disentuh. Lantai di sekitar bathtub kering. Sedetik setelahnya Sasuke langsung bertindak seperti orang gila. Dia gerasak-gerusuk di ruang demi ruang apartemennya sendiri. Mencari ke sudut-sudut ruang makan, dapur, dan bahkan di kolong meja atau lemari pakaiannya sendiri.

Tapi tetap, Hinata benar-benar menghilang.

Tidak tau di mana wanita itu berada, Sasuke mulai terengah dengan sendirinya. Jantung yang semakin cepat mempercepat pompaan darahnya. Keringat dingin keluar dan Sasuke cuma bisa menjambak frustasi rambut biru gelapnya. Dia stres. Dia panik. Saat menarik ponsel dari sakunya, ia terdiam. Tak ada yang bisa dihubungi. Hinata tidak punya ponsel dan tak ada yang tau Hinata sedang bersamanya. Skakmat. Syaraf otak berpikirnya seolah mati. Dia bahkan tak tau apa yang harus dia lakukan—antara melangkah ke mana pun dia ragu.

"Hi-Hinata?" Untuk pertama kalinya ia rasakan sensasi menakutkan yang mampu membuat mulut kelu. Ponselnya ia jatuhkan ke lantai dan mata obsidiannya menilik ke kanan-kiri. Mencoba tetap mencari walau lebih pelan. Tubuhnya membungkuk. "Hinata?"

Nihil jawaban.

Hinata mungkin pergi.

Mungkin kabur.

Mungkin tak mau lagi bersamanya.

Sakit. Hati esnya serasa remuk seketika.

"Hinata!"

Mungkin Naruto sudah menemukannya. Naruto sempat bilang akan mencari Hinata, kan?

Pria itu juga sempat masuk ke sini.

Dia pasti menemukan Hinata dan diam-diam membawanya pergi, tak lupa dengan polisi yang sudah ia telefon agar segera ke sini.

Dia akan tertangkap.

Dia akan dipenjara dengan berbagai macam tuntutan keluarga Hyuuga yang menibannya.

"HINATA!"

Namun tiba-tiba dapat ia dengar ada suara gumaman pelan dari arah kamar. Sasuke berlari ke sana dan menemukan gundukan selimut di kasur yang bergerak. Mata Sasuke terbelalak.

Jadi... apa mungkin?

Srek.

"Hinata?"

Ia buka selimut dan menemukan Hinata yang belum mengenakan apa-apa. Wanita itu dengan mata mengerjap memandang Sasuke. Bibir merah mudanya sedikit melenguh pelan karena ada cahaya kamar yang langsung mengejutkannya. Tapi tau-tau Sasuke langsung menarik pundaknya sampai ia terpaksa bangun. "DARI TADI AKU MEMANGGILMU, BODOH! KAU TIDAK MENDENGARKU, HAH!?"

Mata lavender Hinata menatapnya gentar. Ada rasa takut yang terpancar di iris lavendernya yang bulat. Dan karena sudah hafal dengan perilaku pria tersebut saat marah, Hinata memejamkan mata, mengira lehernya akan digigit atau Sasuke akan menyetubuhinya lagi dengan kasar. Tapi taunya cuma ada dua tangan kokoh Sasuke yang memeluknya erat—sangat erat malah—dan wajahnya yang bersandar di pundak Hinata.

"Tolong..." Ucapnya, tegas namun rapuh. "Tolong jangan ke mana-mana..."

Dan wanita tersebut cuma bisa membisu; tak mengerti juga bingung. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain terdiam dan mengusap punggung Sasuke dengan lembut.

.

.

.

HANDYCAM II

© Sanpacchi Fanfiction 2014

AU—Alternate Universe

Mature Themes, Grapefruit, etc.

.

.

CHAPTER VII

(Menyerah)

.

.

Di lain malam, hari itu semuanya terasa gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang—entah seberapa tebal awan malam yang menutupinya. Tapi yang jelas Naruto Uzumaki tak peduli. Dia terlalu disibukkan dengan apa yang saat ini ia lakukan; menggerakkan tubuhnya di atas sosok wanita terkasih yang terbaring di ranjang. Mereka memadu kasih dengan penuh semangat; panas dan bernafsu. Bahkan guling yang awalnya di sebelah mereka pun sampai harus terjatuh ke lantai karena guncangan yang mereka buat.

Sakura melenguh saat tempo yang dilakukan oleh Naruto semakin keras padanya. Pusat rangsangan seksualnya sedang diuji abis-abisan di momen seperti ini. Dan karenanya ia memperkeras desahannya saat ikut memaju-mundurkan tubuhnya tanpa henti.

"N-Naruto..." Sakura menjambak rambut Naruto yang sedang memanjakan salah satu dadanya dengan mulut liarnya. "Ukh, Naruto... pelankan sedikit..."

Seperti orang tuli Naruto terus melanjutkan apa yang ia lakukan. Tak peduli ada buliran air mata yang keluar dari sudut mata Sakura. Tapi ini jelas tak apa. Toh, mereka tak melakukannya secara terpaksa—itu air mata kenikmatan. Lihat saja wajah cantiknya yang memerah serta tubuhnya yang merespons balik perlakuannya. Paha Sakura ia angkat, betisnya ia taruh di pundak. Sakura semakin menjerit senang dan Naruto kian bersemangat.

Masih dengan gerakan yang sama, dia hirup aroma keringat dan seks ini dengan segenap hati dan menghembuskannya perlahan. Pemuda berkulit tan itu membungkukkan badan, mencium bibir Sakura dan memagutnya. Membiarkan lidahnya bermain sekilas lalu memelankan tempo karena kini mulutnya sedang beralih ke leher jenjang wanita itu, menyesapnya.

Kini mereka sama-sama terengah. Naruto pun begitu walau bibirnya masih terus menciuminya. Sakura kini tersenyum. Ia hapus keringat di dahinya dan kemudian ia balas membanting Naruto ke sisi ranjang. Ia menibannya dan kemudian mengedip mesra. "Sekarang giliranku, ya?" Ucapnya. Sakura mengambil lotion bening dan mengeluarkan isinya ke kejantanan Naruto yang kembali menegak. Setelahnya ia kembali menatap Naruto yang masih terbaring dan mulai memasukkan benda itu ke lubang analnya. Badannya mulai naik-turun cepat. Naruto sendiri berdesis. Ia menyipitkan salah satu mata dan meraba paha putih Sakura yang berada di dekat perutnya. Iris sapphire-nya susah payah menyaksikan pertunjukan hebat yang sedang Sakura berikan hanya untuk dirinya.

Namun semua itu tak berlangsung lama saat Naruto melihat seseorang berdiri di tengah kegelapan, tepat di samping kiri ranjang tempat tidurnya berada. Dengan sensasi dingin yang merayap ke ubun-ubun, mata pria itu terbelalak dan menyadari bahwa figur itu kembali datang.

Sesosok wanita berponi rata serta surai hitam kebiruan sepanjang pinggang sudah berdiri di sana. Ada sebuah cutter merah besar yang dia pegang.

Hi-Hinata?—Ingin berkata namun sulit. Naruto yang terkejut dengan datangnya langsung menatap Sakura kembali. Gadis itu masih sibuk merangsang diri. Mengadah, dan mendesah beberapa kali dengan kencang. Dia sepertinya tak sadar dengan kehadiran pihak ketiga di sana.

Di sana, mata ungu muda wanita itu memperhatikannya sayu. Tidak tepat ke matanya memang, tapi ke Sakura yang tengah bergerak. Tapi karena hal tersebutlah tingkat kewaspadaan Naruto jadi meningkat.

'Kenapa... kau melakukan hal seperti ini bersama Sakura-san?'

Pertanyaan itu terlontar dan Naruto menelan ludah, tak bisa menjawab.

'Bukankah kita masih memiliki hubungan... Naruto-kun?'

"Hinata—akh!"

Tak tepat waktu. Benih putih Naruto keluar di rahim Sakura dan gadis musim semi itu mengerang lega. "Naruto... kau keluarnya terlalu cepat..."

Naruto ingin membalas kalimat Sakura, namun Hinata di ujung kamar mengamati mereka lekat tanpa sekalipun mengedip. Raut kecewa terukir jelas di wajah manisnya.

"Kita mulai Ronde keempatnya, ya..." Sakura mengerling. Ia kembali bergerak naik-turun dengan wajah penuh nafsu. Sisa sperma Naruto yang tadi mengalir pelan di sela pahanya."Ah, Naruto..." Sakura menyisir poninya ke belakang dengan tangan. "Naru..." Ia menggigit bibir sambil menghayati perannya. Matanya terpejam khidmat. "Hh, hha, punyamu yang terbaik, Naruto..."

Ctik...

Di sela nafas yang tersenggal, mata biru Naruto menoleh panik saat ia dengar bunyi kecil yang cukup mencurigakan. Ternyata lihat Hinata yang baru saja mengeluarkan bilah tajam cutter-nya. Naruto tersentak saat Hinata berjalan mendekatinya. Baru selangkah.

"JANGAN—JANGAN MENDEKAT!"

Hinata tersentak, Sakura juga sama. Sambil menghentikan perbuatannya Sakura menatap Naruto yang tegang di tempatnya berbaring. Wajah Sakura langsung sedih. "Ada apa, Naruto? Kau kenapa?" Sakura menyempatkan diri melirik ke sisi ranjang—arah yang dipandang Naruto—tapi wanita itu masih bingung karena tak melihat apapun di sana.

Naruto menggeleng, lalu dia merilekskan tubuhnya yang tidak tenang ke kasur. Dia hadapkan lagi wajahnya ke Hinata yang masih berdiri kaku di sana, lalu berbisik. "Hinata, tolong lepaskan cutter-mu. Jangan main-main..."

'Tapi...'

"Hinata. Tolong. Sekali ini saja."

Hinata menggeleng.

"Hinata..."

Hinata terlihat memejamkan mata sampai keningnya berkerut. Ada sesuatu yang kelihatannya membuat ia berpikir. Lalu ia membuka mata. Memandang lurus Naruto dengan mata yang berkaca-kaca.

'A-Asal... asal aku boleh memelukmu... a-aku akan menurutimu...'

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Hinata di bayangannya ini kembali tergagap. Wanita itu berbicara dengan penuh kenekatan dan kecemasan yang tinggi. Dapat Naruto lihat juga mata lavendernya yang kini digenangin air mata. Kedua pipinya memerah. Itu sosok Hyuuga Hinata yang asli. Persis saat SMA dulu.

Terutama saat meminta pertanggung jawaban dari bayi di kandungannya.

Naruto menggertakkan gigi—mencoba untuk tak mengingatnya—menahan nafas, mengangguk, dan menyuruh dia mendekat.

Hinata memandang lantai. Dengan bibir bawah yang digigit dia jatuhkan cutter ke lantai begitu saja. Ia melangkah pelan dan menaiki ranjang yang saat ini dihuni Naruto dan Sakura. Berbaring di sebelah Naruto, memeluk kepalanya dari samping kiri. Seketika hawa dingin menjalari tubuh bagian atas pria jabrik itu. Agak merinding memang, tapi Naruto menghela nafas lega saat Hinata tak jadi membahayakan dirinya ataupun Sakura. Cukup mengejutkan sekarang Hinata di bayangannya bisa diatur. Dan ini adalah sebuah kemajuan besar.

Namun ketika ia meluruskan pandangannya lagi ke depan, sudah terpampang wajah cemberut Sakura yang kini harus dia hadapi. "Hmph, Naruto... kau tidak senang ya bercinta denganku? Dari tadi kau bertingkah aneh."

"Aneh bagaimana?" Ia tertawa maksa. "Mungkin hanya perasaanmu..."

"Huh, bohong..." Sakura melepaskan persatuan mereka. Dia lirik sebal kejantanan Naruto yang kelihatannya juga tak lagi tegak dan keras seperti tadi. "Tubuh kurusku sudah tak menarik lagi ya buatmu?"

"Tidak. Siapa bilang?" Naruto coba memberikan senyum canda. "Kalau punyaku lagi turun, naikan kembali dong. Masa Sakura-ku tidak bisa membuatnya bersemangat lagi?"

Sakura melirik Naruto masih bibir yang mengerucut, tapi beberapa saat kemudian ia tak bisa menahan senyuman gemas. Dia tertawa kecil dan meniban Naruto dengan lompatan kecil sampai pria itu mengeluh pelan. Kelamin mereka bersentuhan dan dada kecil tapi mancung milik Sakura menekannya dari atas. "Oh, ya? Kupikir karena dulu pasanganmu Hinata, kau jadi kecewa saat melihat penampilanku saat ini..."

"Kenapa kau malah berkata seolah aku baru pertama kali melihat tubuhmu, eh?"

Tapi daripada itu, kenapa nama Hinata dibawa-bawa Sakura? Bukannya nama itu seharusnya tabu bagi mereka—ia, Sasuke dan juga Sakura?

Sakura terkikik. "Ne, Naruto... aku jadi ingin tanya..."

"Tanya... apa?"

Dan Hinata mengeratkan pelukannya. Jantung Naruto langsung berdebar panik. Dia mendapatkan firasat buruk untuk ini. Hinata di samping kiri masih membuka mata, menatapnya tanpa henti dari samping, dan Sakura yang ada di atas tubuhnya tersenyum jahil.

"Lebih menyenangkan mana, bercinta denganku atau bercinta dengan Hinata?"

Dan benar. Pertanyaan yang mengerikan. Sadar tak sadar keringat dingin membubuhi keningnya.

"Gaya apa sih yang kalian pernah gunakan?"

"Dadanya kan besar—jadi apa kau pernah membenamkan kejantananmu di sana?"

"Seberapa hebat dia mengoralmu, Naruto? Kudengar gadis pemalu bisa jadi liar di ranjang loh—"

"Sakura..." Naruto menghentikan pertanyaan vulgar Sakura dengan suara tertekan. Perutnya serasa terlilit. "Aku baru sekali bercinta dengannya. Dan itu sudah lama, lima tahun yang lalu—aku lupa."

"Sakura cemberut lagi. "Oh, jadi kalau nanti pacarmu sudah berubah, kau juga akan melupakanku? Begitu?"

"Ti-Tidak... aku tidak akan melupakanmu..." Lirihnya, sengaja agar Hinata tak terlalu mendengarnya—meski itu tak mungkin. "Aku... sudah mencintaimu sejak SD. Melepaskanmu sama sekali tidak akan mudah buatku."

"Dari SD? Benarkah? Lalu kenapa kau pernah pacaran dengan Hinata?"

Naruto menelan ludah.

Demi Tuhan. Ini situasi yang sulit. Ada Hinata dan ada Sakura di waktu yang bersamaan. Dan itu—

'Naruto...'

Naruto menatap Hinata yang berbisik di telinganya. 'Tak apa. Katakan saja.' Walau tak terisak mata sendu wanita itu basah oleh air mata yang menggenang. 'Katakan yang sesungguhnya...'

Naruto memejamkan matanya erat. Dia bergumam pelan. "Hinata... hanyalah pelarianku."

"Pelarian?"

"Karena aku hanya mencintaimu seorang, Sakura..."

Nafas kecil di lehernya jadi berat. Ada sesak yang menyeruak.

"Kau bilang sudah dari SMP mencintaiku, tapi kok kamu pas SMA mau bercinta dengan Hinata?"

"Aku cuma pernah sekali bercinta dengannya."

"Iya, tapi sama saja, kan? Itu tandanya waktu itu kau tidak mencintaiku lagi."

"Sakura..." Naruto menahan nafasnya terlebih dulu. Tapi Sakura terlebih dulu bangkit, ingin menuruni ranjang tapi tangan Naruto menahannya.

"Mou, Naruto. Kalau kau menikah denganku, aku yakin kau akan mudah tergoda oleh perempuan lain di luar sana."

"Aku tidak akan seperti itu!"

"Apa iya? Saat mencintaiku saja kau bisa meniduri Hinata, bagaimana nanti jika kau sudah tidak mencintaiku atau bahkan kesal padaku? Kau pasti akan selingkuh!"

"Tidak!"

"Kata 'tidak' saja tak akan cukup untuk menyangkal tuduhanku, Naruto!" Sakura jadi ikutan emosi. Naruto memejamkan mata dan mengepalkan tangan yang satunya lagi erat-erat.

"Kalau kau ingin tau kenyataannya... saat bercinta dengan Hinata, aku membayangkanmu." Hening mulai menerpa di detik selanjutnya. "Apa itu belum cukup membuktikan bahwa aku setia padamu?"

Tak tertahankan lagi. Buliran bening menetesi kulit Naruto. Hinata di sampingnya menangis tanpa suara. Tangannya memeluk erat Naruto lebih kencang. Hati kecil wanita itu hancur. Dan Naruto, tak bisa melakukan apa-apa.

Hinata di sana cuma imajinasinya.

Ya, cuma imajinasinya.

Tangisan itu tak nyata.

Tangan yang menggenggamnya pun juga tak nyata.

Lagi pula kalimatnya yang tadi adalah kenyataan.

"Sungguh?" Sakura mengerjap tak percaya. "Kau parah, Naruto... tapi sweet juga." Sakura tersenyum manis. "Lalu kalau Hinata hamil karenamu bagaimana, hayo? Apa kau mau bertanggung jawab dan meninggalkanku begitu saja?"

Naruto terbelalak.

"Ti-Tidak. A-Aku..."

"Lalu bagaimana kalau sekarang aku hamil? Apa kau akan bertanggung jawab? Hari ini kan kita lupa membeli pengaman..."

"Sakura..."

Wanita merah muda itu masih saja sibuk memberikannya pertanyaan-pertanyaan lain. Naruto benar-benar kaku dibuatnya.

Hanya saja mendadak ada suara yang memanggilnya. Suara parau yang bergetar.

'Naruto...'

Hinata memanggilnya. Naruto menggigit lidah, menahan diri agar tak menoleh. Dia sendiri tak sanggup melakukannya.

'A-Aku...'

Lagi, dia terisak.

'Aku sungguh... dan sungguh mencintaimu.'

Srek!

Mendadak Naruto membuka mata, terbangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk, terengah, dan kemudian mencengkram erat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Bulir-bulir keringat yang menghiasi kening dan lehernya ia usap. Sekalipun wajahnya masih menyiratkan kesan frustasi yang terpampang jelas, ada sebuah desahan lega ia keluarkan. Sambil membungkuk dia memejamkan mata dan terkekeh pelan.

Benar, kan? Kehadiran Hinata yang selalu tiba-tiba itu adalah mimpi. Tak ada yang nyata dari rangkaian kejadian tersebut.

Dan cuma ada satu hal yang bisa ia simpulkan.

"Ya, mimpi... cuma mimpi..."

Mimpi yang kali ini terasa amat nyata... dan menyedihkan.

"Ngh... Naruto?"

Ada suara perempuan yang membuat Naruto nyaris terlonjak. Kala ia meoleh, terlihatlah seorang wanita bersurai pink pendek yang sedang berusaha membuka mata penuh kantuknya. Itu Haruno Sakura. Dia terbaring tepat di sebelahnya, di atas kasur dan di bawah kain selimut yang sama. Ia tampak tak memedulikan dada polosnya yang tak ditutupi oleh selimut tebal. Toh, kemarin malam pria itu sudah melihat keseluruhan dari tubuhnya, untuk apa perlu menyembunyikannya lagi?

"Kau terbangun?"

Sakura mengangguk. "Mm. Ada apa, Naruto?"

Naruto mengusap limpahan keringat yang membasahi dahi dan lehernya. Dia juga menggeleng. Sedikit menenangkan deru jantungnya yang masih belum tenang. Ia baringkan lagi tubuh tegangnya dan kemudian memeluk pinggang ramping Sakura. Dengan posisi yang berhadapan ini, Naruto menyandarkan wajahnya ke leher wanita itu, menghirup wewangian khas yang dapat menenangkannya dalam hitungan detik.

"Maaf membangunkanmu..." Naruto menelan ludah. "Aku... baru saja bermimpi..."

"Mimpi buruk—lagi?"

"Iya." Naruto berdesis. Ia mengadahkan kepalanya sambil menjambak rambut. "Ah, entahlah."

Sakura tak begitu mengerti dan tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih. Jadilah ia balas memeluk Naruto, dan membisikkan beberapa kalimat penenang di telinga pacarnya hingga dia terlelap tidur.

.

.

® handycam ii

.

.

Wisuda adalah salah satu momentum yang paling bersejarah dari tiap manusia. Dan Sasuke, sebagai salah satu murid yang paling berprestasi, akan ditunjuk sebagai mahasiswa yang akan memberikan sambutan di atas podium setelah rektor universitas berbicara. Karena itulah saat rapat pra-wisuda diadakan, dia diundang secara khusus untuk mengelilingi meja lingkaran ini terkait membahas masalah-masalah wisuda yang akan diselenggarakan nanti setelah tahun baru.

Hanya saja Sasuke tidak suka. Berjam-jam pria itu terpaksa duduk rapi di sana, ikut mendengarkan para dosen dan juga mahasiswa lain yang berbicara tanpa henti selama rapat. Mengabaikan perutnya yang mulai kelaparan, dan juga punggungnya yang sudah pegal sendiri karena kelamaan duduk di bangku keras murahan ini.

Semuanya menyebalkan. Terutama Kakashi yang tak mengizinkannya bolos rapat.

Jam delapan tepat rapat yang dimulai sejak jam lima sore itu selesai. Belum sempat merogoh saku untuk mengambil kunci mobil, Kakashi sudah menariknya pergi ke dalam mobil pribadinya bersama teman-teman dosen dan mahasiswa lainnya. Mereka mau makan sebentar sekaligus minum-minum. Sasuke sempat menolak tapi ajakan Kakashi terasa mutlak dan lagi-lagi dengan tak ikhlas Sasuke mengikuti tarikan pria itu.

Satu malam dihabiskan oleh teman-teman serombongan kampus di salah satu tempat makan bernama Yakiniku-Q. Gelas demi gelas bir dihabiskan oleh orang-orang di sana, tak terkecuali Sasuke, walau sebenarnya ia juga tak begitu suka citarasa dari bir ala supermarket seperti ini. Bikin mual dan tak ada enaknya. Jadilah dia dengan perut kembung berdecak tak nyaman dan kemudian meninggalkan uang bernominal besar—untuk membayar bagiannya—di saku Kakashi yang mulai teler dan pergi. Ia gunakan taksi untuk mengantarnya ke universitas dan kemudian ia ambil mobil untuk mengendarainya ke apartemen.

Selama perjalanan pulang Sasuke terus mengeluh dan merutuk. Badannya pegal-pegal dan isi otaknya penat. Tak ada hal yang ia inginkan saat ini selain membanting tubuhnya di kasur dan memejamkan mata. Ya, tak ada yang bisa mengganggunya lagi. Mau itu ada gempa bumi, deringan beruntun dari telefonan Itachi atau ibunya, atau mungkin plafon kamar apartemennya yang runtuh pun Sasuke tak akan peduli. Dia cuma mau tidur. Dan Sasuke bersumpah tak ada boleh atau bisa mengganggunya.

Apapun.

Hingga tiba-tiba saja Sasuke yang baru ingin mematikan ponsel mau tidak mau terdiam sebentar saat melihat layar. Ada sebuah notifikasi dari aplikasi kalender yang dari pagi dia abaikan. Bentuk icon-nya menyerupai kue. Awalnya Sasuke tak berniat peduli, tapi karena ibu jarinya sempat tak sengaja menekan tulisan tersebut, terpampanglah pemberitahuan itu dalam sekejap.

Hinata Hyuuga's 25th Birthday.

Dan Sasuke terbelalak lebar. Rasa kantuknya hilang, degup jantungnya berdetak cemas, bulu roma berdiri, dan dia melirik jam digital yang menyala di mobil.

Sekarang jam 22.16 malam, tanggal 27 Desember. Satu jam 44 menit sebelum hari berganti dan ulang tahun Hinata terlewat.

.

.

® sanpacchi

.

.

Hinata yang saat itu sedang tertidur pulas di atas ranjang Sasuke mendadak tersentak saat ada tangan seseorang yang mengguncangnya. Namanya disebut berulang kali tanpa henti. Jadilah Hinata membuka kedua matanya yang berat dan mengusapnya pelan. Itu ternyata Sasuke yang memanggilnya. Belum sempat menyahut sepatah kata, dirinya Hinata ditarik lebih kuat hingga menuruni ranjang dan berdiri. Masih dengan sempoyongan, gadis yang hanya mengenakan gaun tidur itu dipakaikan mantel besar miliknya yang berwarna cokelat. Kepalanya juga ditutupi kupluk berwarna hijau pudar—punya Sakura, yang pernah tak sengaja tertinggal. Dan kemudian ia tarik Hinata untuk keluar, menuruni lift tanpa suara dan kemudian memasuki mobilnya.

Sasuke duduk di bangku kemudi sedangkan Hinata di sebelahnya. Duduk lemas sambil sesekali memejamkan mata. Tak ada yang bersuara, hingga saat mobil sudah memasuki jalan raya barulah suara itu terdengar.

"Sasuke... mau ke mana?"

Pertanyaan bernada lembut itu terlontar dan Sasuke menatapnya lirih. Hinata sendiri memperhatikannya. Wajah Sasuke tak santai. Keningnya mengerut dan berkali-kali ia berdecak tanpa arti. Hinata benar-benar dibuat bingung olehnya. Tak juga mendapat jawaban, Hinata memutuskan untuk tidak berkomentar lebih banyak dan mengelus boneka beruang kuning yang berada di pangkuannya. Sedih juga diabaikan seperti ini.

"Aku cuma mau jalan-jalan. Cari angin." Sasuke memalingkan wajah. Jauh di lubuk hatinya, ada keinginan untuk langsung menyatakan bahwa dia ingin membawa Hinata pergi—bersenang-senang kalau bisa. Paling tidak ke tempat yang bisa membuat mereka berdua menghabiskan waktu ulang tahun wanita itu. Tapi untuk mengatakannya saja sulit bagi Sasuke. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di lidahnya.

"Kau sendiri mau ke mana?"

"Kenapa tanya aku?"

"Aku cuma bertanya kau maunya ke mana." Sasuke memalingkan wajah. "Jawablah..."

"Kalau begitu... aku ingin pulang."

"Ada tujuan lain?"

Hinata diam sebentar. "Tapi kamu sendiri sudah terlihat mengantuk, Sasuke..."

"Aku baik-baik saja." Pria raven itu menghela nafas keras-keras. Sejujurnya perutnya yang kembung membuat pundak dan kepalanya jadi lebih berat dua kali lipat. Belum lagi kelopak mata yang sedari tadi memaksanya untuk terpejam. Sasuke terpaksa membelokkan mobil yang ia kendarai dan mampir ke sebuah minimarket 24 jam yang masih menyala di tengah jalan yang sepi ini "Aku mau beli obat. Mau ikut?"

Hinata mengangguk pelan. Ia mengekori Sasuke tepat di belakang punggungnya seperti anak ayam. Ujung mantel Sasuke—yang ia kenakan—pun tak ia hiraukan saat terseok-seok aspal basah sisa salju akibat tubuh kecilnya yang berjalan. Suasana di luar benar-benar dingin. Mengusap kedua tangannya bersamaan, Hinata melirik Sasuke yang sedang mengambil beberapa obat dan juga empat minuman stamina. Mungkin dia membutuhkannya untuk tetap terjaga. Ia beli juga sebotol besar air putih dan beberapa makanan seperti roti dan permen. Pria itu berbalik dan membimbing Hinata ke rak berisi cemilan. "Ambil yang kau mau. Cepat—kita tak lama-lama di sini."

Bukannya mengambil makanan, Hinata malah berjalan ke daerah minuman dingin. Aneh memang kalau dia berkeinginan membeli minuman itu di saat suhu di luar sana sudah sanggup membekukan air. Tapi tak ia pedulikan hal itu dan segera mengambil minuman kaleng berwarna hitam.

"Apa-apaan ini?" Mendadak Sasuke yang berada di belakangnya berkomentar. Dia merebut kalengan itu walau Hinata sedikit bersikeras tak melepaskannya. "Kau tidak boleh minum bir. Pilih minuman yang lain."

Hinata mengerjap. "Tapi... aku belum pernah coba bir."

"Pilih yang lain, Hinata."

Hinata menunduk. Bibirnya ia majukan tanpa ia sadari. Sasuke menghela nafas.

"Hinata..."

"Kalau begitu... aku tak usah beli."

"Kau bisa membeli susu atau jus..." Kalimat Sasuke terhenti karena gelengan Hinata yang menolak tawarannya. Wanita itu dengan diam dan sedikit menunduk berjalan menjauh darinya dan memutuskan untuk berdiri di depan pintu minimarket, menunggu Sasuke untuk membayar segala belanjaannya.

Sasuke mengamatinya sebentar. Dia usap rambut raven-nya dan dengan berat hati dia ambil kaleng bir tersebut dan kemudian membelinya.

.

.

® handycam ii

.

.

Dengan jemari-jemari lentik yang terlihat di ujung lengan mantel, Hinata memegangi kaleng bir yang baru dibelikan Sasuke. Mata lavendernya memandang lurus minuman itu tanpa henti. Bibirnya juga sedikit melengkungkan senyum samar. Sasuke jadi heran sendiri. Bahkan wanita itu jadi tak lagi menghiraukan Himawari yang berada di pangkuannya.

"Kenapa kau mendadak ingin coba bir?"

"Entahlah. Ingin saja."

"Untuk sekedar informasi, tidak ada bir yang enak."

"Mm..."

Hinata berniat menarik besi pembuka kalengnya namun Sasuke sudah mengambilnya terlebih dulu. Pria itu membukanya dengan sekali tarik dan kemudian menasihatinya pelan. "Kau boleh minum yang satu ini, tapi jangan beli lagi—ini tidak baik buat tubuhmu. Mengerti?"

Lagi, ia mengangguk dan menerima pemberian bir dari Sasuke. Sebelum menempelkan bibirnya ke kaleng bir, Hinata melihat pria itu. Sasuke sedang menegak sebuah minuman stamina sampai ia mengadah, dan Hinata otomatis mengikuti cara menenggak minumannya.

"Kh."

Hinata tersedak. Dan Sasuke memandangnya tajam. Sudah dia bilang, bir bukanlah minuman yang bisa dinikmati oleh orang sepertinya. Rasanya pahit. Tidak ada enak-enaknya. Eneg dan kembung yang ada. Apalagi merk bir yang Hinata pilih. Di tegukan ketiga, Hinata menutup mulutnya dengan tangan, diam sebentar, lalu kembali meminumnya. Kali ini ia beranikan meminumnya langsung banyak. Sasuke cuma bisa geleng kepala.

"Apa rasanya?"

Hinata terbatuk lagi—kali ini sebutir air mata ikut keluar dari sudut matanya. "Pahit."

"Kemarikan birmu, biar aku yang habiskan."

Hinata menggeleng. "Aku bisa habiskan."

"Kau tak akan bisa."

"Bisa."

Sasuke menahan nafas, mencoba bersabar. "Aku tak tanggung jawab kalau kau muntah."

"Mm..."

Sasuke merilekskan kembali tubuhnya di atas jok kemudi dan menatap lurus jalan besar di depannya. Dia menatap sekeliling jalan yang hanya dikelilingi oleh pemandangan kota. Ini sepertinya jalan menuju kota Ame—daerah kecil yang terletak di pinggiran Tokyo, sama seperti kota Suna. Tapi karena sebelumnya tak pernah lewat sini, Sasuke cuma bisa menghela nafas dan mengharapkan dirinya cepat-cepat keluar tol dan mengambil jalan kembali ke tokyo. Dia sudah benar-benar tak tau harus ke mana. Dan daripada itu, ini sudah jam 23.56—4 menit lagi tanggal 27 Desember akan terlewat.

"Hinata..."

Hinata menatap Sasuke. "Ya?"

Detik berikutnya hening kembali menyertai. Sasuke tak bersuara. Cuma ada suara hati yang mengebu-ebu memerintahnya.

Tinggal ucapkan selamat ulang tahun, Uchiha Sasuke? Sebegitu sulitnya, kah?

"Apa ada tempat yang ingin kau datangi?" Sasuke mencengkram setirnya. Gila. Bisa-bisanya ia tak sanggup mengucapkan kalimat sesederhana itu. "Asal jangan 'pulang' mungkin aku akan terima."

"Aku tidak tau banyak tempat... tapi aku ingin lihat salju di pagi hari. Ini kan akhir bulan Desember..." Hinata melirik ke jendela yang gelap dan menatap menerawang. Mata lavendernya kemudian terbelalak sendiri dan senyuman kecil muncul. "Ah, turun salju..."

"Musim dingin sudah dari beberapa minggu yang lalu, kan? Kenapa kau baru senang melihat saljunya sekarang?"

"Soalnya jendela kamar Sasuke buram... aku tak bisa begitu melihatnya dengan jelas..." Katanya. Wajahnya masih menghadap jendela. Sasuke yang dipunggungi olehnya langsung melirik sendu. Baru ia sadari juga sejak kedatangan Naruto di apartemennya, dia jadi tak pernah mengajak Hinata keluar. Dia terlalu mengurungnya—tak mengizinkannya lagi melihat dunia. Karena ada sepercik rasa tak enakan, sSsuke putuskan untuk berhenti sebentar di tepi jalan. Ia turunkan jendela mobil di sisi Hinata dan membiarkan hawa dingin masuk. Awalnya Hinata menatap Sasuke, berniat memastikan, lalu setelah itu sudut bibirnya naik beberapa mili dan tanpa izin ia langsung mengeluarkan kepala dari sana. Ada senyum tipis yang rilis di bibirnya. "Indah..."

Sasuke memperhatikan sosok itu dari belakang. Rambut biru panjangnya yang menjuntai sedikit terayun oleh semilir angin dingin. Terlihat halus walau acak-acakan dan jarang disisir. Cukup lama, hingga ada perasaan berat yang menghampiri. Sasuke berkomentar lirih sambil memalingkan pandangan. "Ya. Indah..."

Kau yang indah, Hinata.

Entah kenapa ada perasaan nyeri di hatinya. Dia usap kedua matanya yang berat dan kemudian meregangkan tubuhnya ke kanan. Inginnya melepas rasa pegal, namun mata oniks si bungsu Uchiha ini jadinya tak sengaja melihat sebuah tas hitam yang berada di jok tengah. Mengernyit, Sasuke mengambilnya dan membuka isinya. Dan di sana ada handycam. Handycam milik Hinata, tentunya. Kalau tidak salah charger-nya sedikit rusak. Jadi beberapa hari yang lalu sengaja ia bawa untuk di-service.

Niat awalnya menutup tas tersebut dan menaruhnya kembali ke belakang, tapi saat ia melihat Hinata masih sibuk sendiri dengan panorama salju di luar, Sasuke dengan sedikit keraguan menyalakan handycam itu. Sasuke arahkan kamera handycam-nya ke sosok wanita tersebut, menyorot punggung kecilnya yang terbalut mantel kedodoran. Diam-diam ia tersenyum kecil dan menikmati suasana diam ini. Hanya saja... lagi-lagi sebuah perasaan berat menghampiri hatinya.

Sasuke menunduk. Bibirnya dia gigit sendiri. Lalu dia berbisik, nyaris tak terdengar. "Kenapa... aku begitu ingin memilikimu?"

Hinata menoleh dan Sasuke tersentak. Saking kagetnya tak sengaja handycam itu jatuh ke bawah kakinya. Sasuke berdesis dan berniat mengambilnya, tapi Hinata terlebih dulu memegang tangannya. "Na-Naikan jendelanya..."

Sedikit kikuk Sasuke bertanya. "Ada apa?"

"Di luar... agak seram."

"Hn?"

"Bulannya... bulannya seram... aku tunggu matahari datang saja."

Sasuke menghela nafas sambil menuruti kemauan Hinata. Dia kira ada apa. Tapi karena itu Sasuke jadi teringat bahwa ada tujuan yang mungkin bisa dia kunjungi. Menginap di villa, mungkin? Anak ini suka melihat pemandangan, kan? Sunset dan sunrise di sana luar biasa indah. Tapi sebelum itu...

"Hinata... birmu, sinikan."

"Kenapa lagi...?"

"Aku tau kau tidak suka rasanya.."

"Tidak... aku bisa habiskan."

"Aku tidak yakin. Kau seperti mau mengulur-ulur waktu. Paling nanti terbuang,"

Ia cemberut dan akhirnya meneguk sisa bir tadi. Dengan tak bernafas tentunya. Cairan pahit itu membasahi lambungnya, membuatnya agak panas, mual, dan tiba-tiba—

Hinata memukul-mukul jendela, minta dibukakan. Sesudah Sasuke menurutinya Hinata mengeluarkan kepalanya dari jendela dan gadis itu memuntahkan cairan bir yang barusan sampai di lambungnya. Sasuke mendesah malas. "Sudah kubilangkan? Kau ini... terlalu memaksakan diri. Bodoh..."

Hinata yang menoleh langsung diberikan sumpalan tisu ke mulutnya oleh Sasuke yang kini mendekat, setelah seat belt-nya di lepas. Mulut Hinata dia usap pelan. Air mata yang mengumpul di sudut matanya juga dia hapus dengan jari. "Mual?"

Ditatapnya Sasuke dengan pandangan sedih. "M-Mual..."

"Kemarilah..." Sasuke menarik pelan Hinata, membawa wanita ini ke bangku kemudi, merelakan Hinata mendudukinya dengan kedua kaki terbuka serta tubuh yang menempel karena Sasuke langsung mendekapnya erat. "Dasar..."

Hinata tak berkomentar apa-apa tapi dia tutupi itu dengan membenamkan mulut dan pipinya ke bahu lebar Sasuke yang tersedia di depannya. Pria raven itu mengusap punggungnya perlahan.

"Kadang kau memang suka memaksakan diri."

Sasuke memejamkan matanya sesaat.

"Sama seperti waktu itu..."

Saat kau meminta pertanggung jawaban dari Naruto.

Dia lirik jam yang ada di mobil yang masih menyala. Sudah jam 00.13—terlewat sudah. Sasuke mendengus. Dan dia masih belum bisa mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

"Hinata..."

"Mm?" jawabnya, lesu.

Hening hingga detik kedelapan.

"Kenapa... kau... tidak mencintaiku saja?"

Ada sengatan aneh yang terasa di jantung Sasuke saat kalimat itu terucap lirih. Ada harapan agar Hinata tak mendengarnya, tapi biarkanlah hari ini ia lebih jujur dari biasanya.

"Orang yang kau cintai dulu itu... bukanlah orang yang terbaik."

Hinata membuka kelopak matanya. Dan Sasuke melanjutkan.

"Dia mencampakkan perempuan sepertimu."

Kemudian sepi—masih sepi. Bahkan lagu di radio terdengar samar hingga nyaris tak terdengar.

"Kalau seandainya dari dulu kau mencintaiku, mungkin tak akan begini." Ia mengeratkan pelukannya dan berbisik. "Aku akan melakukan hal yang lebih baik. Aku akan menyayangimu apapun yang terjadi."

"Sasuke..." Hinata berniat melepaskan pelukan ini tapi Sasuke menolak.

Sasuke tak bisa memungkiri, sejak awal bertemu di SMA Hinata Hyuuga memanglah gadis yang memiliki nama di sana. Cantik, baik, pintar—perempuan sempurna walau sama sekali bukan tipenya. Dulu Sasuke tak pernah sekelas dengannya. Berharap untuk memiliki hubungan pun tidak. Dia hanya ingin mencari perhatiannya.

Berjalan dan terdiam cukup lama di depan kelas Hinata.

Mengikuti klub sepak bola hanya untuk melihat gadis itu menyiram bunga di klub kebumian.

Bahkan menyetujui permintaan guru untuk ikut kelas tambahan khusus anak olimpiade karena ada Hinata Hyuuga di sana.

Tidak. Dia tidak mau dibilang menyukai atau memiliki minat pada anak itu.

Dia hanya ingin Hinata mengetahuinya. Sadar akan popularitasnya yang lebih tinggi. Menatapnya dengan penuh kekaguman. Paling tidak satu lirikan mata. Atau obrolan kecil dari bibir merah Hinata tentang dirinya bersama teman-temannya.

Tapi tidak ada.

Saat kelas dua belas, gadis itu pun baru tau namanya.

Baru tau pemilik rupa dari nama Uchiha Sasuke.

Dan dia dengan bangga menggenggam erat tangan pacar barunya, yang ternyata adalah sahabatnya sendiri.

Menggelikan.

"Tapi aku lebih menyedihkan jika dibandingkan dengannya."

Ia sesapi segala kesalahan yang dulu ia perbuat ke Hinata dengan mengeratkan pelukannya. Leher Hinata ia cium dan dia letakan kedua kelopak matanya yang tertutup ke sana.

"Hanya saja ini semua salahmu. Kenapa dulu kau tak pernah melirikku?"

"Kenapa kau malah mencintai pria bodoh itu?" Sasuke menahan nafas. "Kenapa kau tidak mencampakkannya saat dia mengemis keperawanan darimu?" Dia hela nafasnya kencang. "Bodoh." Tak disangka ada setitik air mata yang keluar dari mata Sasuke yang menyipit tajam. Ia melanjutkan dengan suara serak. "Dan tak kupercaya dulu kau cuma meminta pertanggung jawaban bayi yang ada di perutmu itu hanya kepadanya."

Sasuke menunduk dalam.

"Padahal... kau bisa meminta pertanggung jawaban yang sama kepadaku..."

Hinata memalingkan wajahnya dalam diam. dan di saat itulah bibir tipisnya terbuka pelan. "Apa... Sasuke mau bertanggung jawab?"

Pertanyaan itu membuat Sasuke menegakkan badan. Ia menatap wajah Hinata yang menunduk dan berniat menjawab cepat. "Hinata—"

Tapi senyuman sendu Hinata menghentikannya.

"Aku muntah saja... Sasuke bilang tak mau tanggung jawab, kan?"

Jawaban yang tak nyambung, memang. Tapi kalimat itu cukup menampar Sasuke yang kemudian menelan semua kalimat yang awalnya akan ia lontarkan. Hinata juga mengadah dan menatap Sasuke dengan tatapan penuh arti. Dan kemudian Sasuke mendengus—mendengus pelan, sangat pelan bahkan, hingga terdengar amat menyedihkan.

"Ya."

Yang sepele saja ia tidak mau, bagaimana yang kompleks?

Ia menarik nafas.

"Karena itulah sampai detik ini aku belum pantas bersamamu." Katanya. "Aku tau."

Hinata terdiam. Cukup lama hingga wanita itu menaikkan telapak tangannya, mengusap butiran bening yang terus menetes dari mata oniks Sasuke di depannya. Tapi air mata itu tak berhenti keluar. Terus menciptakan bulatan bening nan hangat di ujung mata, dan kemudian menetes turun. Hinata memperhatikan wajah Sasuke di tengah keadaan gelap kabin mobil. Tak ada cahaya yang membantu penglihatannya selain sorotan lampu jalan di luar sana, namun dapat Hinata saksikan wajah Sasuke yang stoik, garis bibir yang datar, serta tatapan mata yang mengarah kepadanya, seolah menampilkan kepedihan yang besar.

Sasuke menangkap tangan Hinata yang berada di pipinya, lalu ia dekatkan wajahnya sampai bibirnya kembali mencapai bibir Hinata. Sasuke memiringkan wajah dan melumatnya pelan, dan dengan seketika ia lepaskan kembali. Memberikan tatapan yang sama ke iris lavender tersebut. Dan Sasuke berucap.

"Tak peduli apapun anggapanmu. Tak peduli juga seberapa hinanya aku... aku mencintaimu."

"Dan juga, selamat ulang tahun... Hinata." Kemudian ia peluk Hinata dan kembali meletakkan kepalanya di pundak kecil wanita itu. Membenamkan wajahnya ke surai indigo Hinata yang lembut dan wangi. "Sebagai dosa terakhir... biarkan aku membawamu ke Amerika. Kita buat hidup baru di sana."

Hinata membisu.

Dan bertepatan dengan itu, handycam yang tergeletak begitu saja di dekat pedal gas—menyorot pedal gas di tengah kegelapan—mobil pun mati. Baterainya habis.

.

.

® sanpacchi

.

.

Trrrr...

Trrrr...

Suara deringan telefon itu membuat Naruto yang masih terlelap di atas kasurnya melenguh pelan. Dia usap wajahnya malas lalu merentangkan tangan, mengangkat ponselnya dari atas buffet kecil di sebelah ranjang. "Mm? ada apa, Sakura—?"

"Aku bukan Sakura dan lebih baik kau buka matamu, Uzumaki."

Ibarat tersiram air dingin Naruto langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia terduduk dan mengerjap bingung. "Ji-Jiraiya—maksudku, err, bos?" Naruto melirik jam wekernya, menunjukkan angka 05.43 pagi. "Ada apa menelefon sepagi ini?"

"Aku dari semalam belum tidur karena kerjaan, dan kuharap nanti kau membantuku."

Datang ke kantor satu jam lebih cepat? Begitu?—Naruto mengeluh dalam hati. Berniat protes tapi Jiraiya menjelaskan. "Hari ini kau tak perlu masuk kantor. Tapi jam 16.00 nanti ikut denganku menemui klien di restoran. Cukup memakai baju formal lalu gunakan mobilmu untuk menjemputku nanti sore—jadi selama perjalanan aku bisa tidur di mobilmu. Karena masih banyak kerjaan yang harus kuselesaikan, itu saja dulu. Bye."

Pip.

Lalu sambungan terputus. Naruto menghela nafas dan membanting kembali tubuhnya di kasur. Bosnya kali ini memang agak seenaknya dan semena-mena. Tapi tak apalah kalau dia suruh bolos hanya untuk pertemuan nanti sore. Mungkin dia bisa mengundang Sakura main lagi ke apartemennya untuk beberapa jam. Tapi...

Naruto tak jadi tidur. Lagi lagi ia membuka mata. Dia tatapi sekeliling kamarnya yang masih gelap. Kosong. Lalu ia menghela nafas sambil mengusap rambut. "Akhir-akhir ini tidurku nyenyak." Ia tersenyum lega. "Semoga seterusnya begini."

Tidak ada mimpi buruk.

Hinata tak datang—lagi—minggu ini.

.

.

® handycam ii

.

.

Sesuai janji, hari ini pria itu membawa Hinata Hyuuga ke sebuah gedung restoran mewah untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Banyak pelayan berpakaian rapi yang menyapanya di depan lobby. Bahkan untuk ke meja makannya saja mereka berdua harus menaiki lift untuk sampai ke lantai lima. Ke lokasi meja makan yang menyediakan suasana paling mahal di tempat itu.

Dan kini Hinata yang berdiri di dalam lift terdiam. Dia pandangi tubuh semampainya yang terpantul di dinding cermin. Ia yang sudah terbalut gaun ungu panjang yang menjuntai sampai menyentuh lantai. Perhiasan serba baru menghiasi telinga, leher dan juga jemari putihnya. Wajah dilapisi make-up, dan rambutnya juga sengaja dihiasi dengan kepangan mungil yang kemudian digulung di atas kepalanya. Semuanya sempurna. Sasuke pun puas pada orang-orang yang ia suruh untuk menyiapkan keperluan Hinata untuk malam ini.

Lift terbuka dan mereka berjalan sebentar melewati karpet merah hingga tiba di depan pintu megah. Ada dua bodyguard yang membukakan pintu, lalu terlihatlah beberapa meja-meja cantik yang tertata agak berjauhan di sana. Sasuke memilih meja bundar bertaplak putih; ada bunga dengan warna senada dan chandelier di atasnya. Sasuke yang mengenakan jas abu mempersilahkan Hinata duduk terlebih dulu, dan kemudian ia duduk di hadapannya. Dalam hitungan detik seorang pelayan menghampiri mereka dan dengan hormat langsung menaruh dua buah buku menu besar. Menu-menu yang ada di sini sepertinya cukup bervariasi. Berbagai macam makanan favorit mancanegara dimasukkan. Sasuke menatap Hinata yang kelihatan bingung memandangi berbagai tulisan makanan aneh di buku menunya. Tak ada gambar. Tak ada harga. Cuma ada tulisan latin yang tak bisa dibaca olehnya.

"Ada yang mau kau coba, Hinata?"

Hinata tak menjawab. Dengan raut agak tersesat ia membuka halaman demi halaman. "Aku... tidak tau."

"Kau suka kerang?"

Hinata menggeleng.

"Sapi?"

"..."

"Bagaimana kalau ayam?" Dan saat itulah Hinata melirik. Sasuke menangkap apa maksudnya dan menatap pelayan. "Chiken parmigiana, lalu duck confit." Pria itu juga memesan berbagai macam makanan pembuka dan penutup sebagai sampingan, dan sebotol wine yang namanya panjang saat Sasuke lafalkan. Tak lupa segelas mocktail untuk Hinata yang tak mengandung alkohol.

Sesudah memesan, Hinata yang masih melihat nama makanan Eropa yang tersaji di sana dibiarkan untuk tetap memegang buku menu. Sasuke ingin membuka obrolan namun ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kalau saja bukan Kabuto Yakushi—orang suruhannya—yang menelefon, mungkin ia akan mematikannya tanpa basa-basi. Dia pun berdiri dan meninggalkan Hinata tanpa pamit.

"Bagaimana tugasmu?" Ucap Sasuke to the point saat ia mengangkat sambungannya.

"Semuanya sudah beres, Uchiha-san. Kartu penduduk dan paspor Hinata sudah saya buatkan. Mungkin semuanya akan selesai dalam waktu tiga hari."

"Bagus. Lalu bagaimana dengan namanya? Sudah kau ganti?"

"Ya. Hinata Uchiha yang tertulis disana."

Sasuke tanpa sadar tersenyum. Memang nama itu lah yang ia inginkan untuk Hinata memilikinya. "Sesudah wisuda aku akan membawanya ke amerika bersamaku. Secepatnya."

Laporan Kabuto selesai dan Sasuke memasukkan ponselnya ke saku. Lantas ia berjalan balik ke kursi dimana ia bisa menghabiskan waktu dengan Hinata, namun saat ia baru sadar kalau ia melupakan suatu hal yang lumayan penting, pria itu berdesis. Diarahkan pandangannya ke salah satu pelayan lalu pria itu bertanya.

"Apa di sini ada yang menjual kue?"

"Tentu saja ada, Tuan. Lokasinya di lantai dua. Kue apa yang mau Anda pesan, saya yang akan pesankan—"

"Tak apa, aku yang akan ke sana." Ujar Sasuke sambil menuruni lift.

.

.

® sanpacchi

.

.

Sedangkan masih di lantai lima, di tempat yang tak jauh dari Hinata yang duduk di meja bundar sendirian, beberapa pria paruh baya dengan setelan formal keluar dari sebuah ruangan khusus untuk meeting. Naruto dan bosnya yang bersurai putih juga ikut menyusul yang lainnya meninggalkan ruang rapat. Tampaknya mereka baru selesai menghadiri meeting dari sebuah perusahaan ternama. Untuk meeting saja sampai menyewa tempat di restoran mahal seperti ini.

"Gila, aku tak menyangka harus dua jam duduk diam untuk menemanimu rapat. Kalau ini bukan tempat berkumpulnya para elit mungkin aku akan tertidur." Naruto berdesis di sebelah bosnya dan pria itu tertawa.

"Memangnya cuma kau saja yang merasa seperti itu? Aku juga datang ke sini murni karena formalitas saja—dan minumannya. Kebetulan komisaris yang duduk di bangku besar di ruangan tadi teman lamaku yang paling sukses. Dia suka traktir orang yang lagi kesulitan."

Lagi kesulitan tapi traktirannya minuman alkohol mahal? Buang-buang uang saja—Naruto cuma bisa sweatdrop melihat kelakuan kakek-kakek tua berusia enam puluh tahunan itu.

"Kau mau minum-minum dulu di sini?" Jiraiya Senju melirik Naruto yang melonggarkan dasinya sendiri. "Aku akan ke bar bawah. Mau ikut?"

"Tidak, terima kasih. Aku khawatir kau pingsan nantinya sehingga aku yang akan membayar seluruh tagihanmu." Naruto menolak pelan. Jiraiya hanya tertawa dan kemudian mereka berpisah di depan lift. Naruto sebenarnya juga ingin ke bawah, pulang. Tapi rasanya ia harus ke kamar mandi. Toh, jam segini sudah ada bawahan Jiraiya lainnya yang bisa menjemput pria itu. Dan tandanya Naruto juga bisa pulang sendirian tanpa orang itu.

Namun kala ia melewati meja-meja penuh pasangan kaya berpakaian serasi, di salah satu meja yang paling ujung, ada rupa seorang wanita yang mampu menangkap perhatiannya. Sosok wanita dengan kulit seputih susu serta lekuk wajahnya yang khas dan juga familiar. Jantung Naruto berdebar hebat.

Dia...

"Hi-Hinata?"

.

.

® handycam ii

.

.

Agak terburu Sasuke mendatangi sebuah cafe mini di lantai bawah yang menyediakan beberapa kue di etalasenya. Jejeran kue yang dipamerkan memiliki tampilan yang tak jauh berbeda dari kue-kue lainnya di luar sana, tapi jelas harga yang terpajang di sini lebih fantastis. Entah apa yang mempengaruhinya. Barangkali bahannya yang lebih berkualitas dan enak? Tapi Sasuke tak begitu peduli. Dia hanya mencari rasa yang sekiranya Hinata suka.

Tapi apa yang wanita itu sukai? Strawberry? Tiramisu? Cokelat?

"Mau pesan apa, tuan? Kue yang besar atau yang kecil?" Seorang pelayan yang mengurusi kue-kue ini tersenyum pada sosok tampan Sasuke yang terdiam di depan etalasenya.

"Sedang. Untuk berdua." Sasuke yakin dirinya juga tak akan mencoba kue ini. Dia tidak suka makanan manis.

"Untuk siapa, kalau saya boleh tau? Pacar?"

Sasuke tidak begitu mengangguk, tapi tatapan matanya seolah mengiyakan.

"Kalau begitu saya rekomendasikan Strawberry Curd, atau mungkin Blueberry Cheese."

Wanita itu menunjuk sebuah kue di pojokan. Ada cheesecake berselimut selai blueberry dan pinggiran gula yang terlihat manis dan cantik secara bersamaan. "Aku pesan yang itu."

"Yang Blueberry Cheese?"

"Hn." Sasuke menggantung kalimatnya. Ada sesuatu yang ia perhatikan. "Selainya ungu..."

Pelayan tersebut berniat mengambilkan kue yang dipesan Sasuke, namun Sasuke terlebih dulu menahannya. "Apa di sini ada kue yang semuanya berwarna ungu?"

"Ada sih... Sweet Violet, mungkin? Tapi kuenya masih belum—ah, ini dia."

Kebetulan ada yang membawakan kue tersebut, berniat memasukkannya ke etalase. Sasuke mengamatinya. Lapisannya kuning lembut, menampilkan dengan jelas bahwa itu kue berbahan keju. Bagian atasnya ditaburi serbuk yang Sasuke tak tau apa tapi yang berwarna ungu yang berkedip-kedip layaknya bintang. Dan loyangnya berbentuk hati.

"Akan kubayar lebih jika kalian mau menaburkan serbuk ungu itu ke seluruh permukaan kue itu."

Wanita itu mengerjap dan bergerak cepat. Sambil mengangkat kue untuk diurus sesuai pesanan di dapur. Ia menatap Sasuke sebelum pergi. "Ada nama yang mau kau tulis di atas kuenya?"

"Hinata."

Sasuke ingin menggeleng tapi ujung lidahnya sudah telanjur mengucapkannya.

"Ah, dia wanita yang beruntung. Jarang sekali ada orang seperti Anda yang sampai mau membelikan kue berbentuk hati ini kepada kekasihnya."

Sasuke menahan nafasnya sendiri. Sambil menarik beberapa lembar uang ribuan yen dari dompetnya, dia menatap kue yang sudah siap diberikan kepadanya. Dia pun tersenyum lesu. "Aku lah yang beruntung memilikinya..."

Dan hati Sasuke teremas pelan.

"Jika aku benar-benar memilikinya..."

.

.

® sanpacchi

.

.

Hinata meletakkan Himawari di atas meja. Sasuke yang sudah pergi hampir selama sepuluh menitan itu membuatnya tak bisa melakukan apa-apa selain memainkan bonekanya. Botol wine milik Sasuke yang sudah diberikan pelayan dia geser ke dekatnya—dijadikan sandaran untuk Himawari agar bisa duduk dengan rapi. Bibir Hinata memamerkan senyum kecil saat ia menggerak-gerakkan tangan beruangnya. Wajahnya terlihat senang. Paling tidak dia bisa melakukan kegiatan selain melamun sendirian.

Hanya saja mendadak ada seorang pria yang duduk di depannya. Sosoknya yang memakai baju lebih berantakan dari Sasuke itu sedikit menyita perhatiannya. Ingin menaikkan pandangan dan beralih ke matanya, tapi entah kenapa ketiga garis halus di masing-masing pipi pria itu menahan dirinya untuk sesaat. Hinata terpana sedetik lalu barulah ia menatap mata birunya yang sedang menatapnya lurus.

Naruto Uzumaki.

Dengan wajah tegang pria itu menatapnya lekat-lekat. Ingin berbicara tapi sungkan memulai. Tapi karena perempuan ini yang ia dapati saat ini benar-benar serupa dengan Hinata yang terakhir kali ia temui di Suna, perlahan-lahan kepercayaan diri Naruto bangkit. Tak mungkin salah. Mata lavender, hidung kecil, bibir tipis dan kulit putihnya sama. Cuma ada riasan tipis dan tatanan rambut berbeda yang sedikit menyamarkannya.

Semuanya jelas-jelas mencirikan wanita itu.

"Hinata... Hyuuga?" Ucapnya memastikan, dia semakin mendekatinya.

Hinata memandang Naruto. Lama. Dia memandang Himawari—seolah meminta pendapat—dan kemudian mengangguk pelan. "Mm?"

"Kau benar-benar Hinata?"

Hinata kali ini mengedip. Naruto yang memandangnya dengan raut terkejut menakutinya. Pria itu berdiri dan kemudian menghampirinya. Dia sentuh pipi Hinata dan mengelusnya pelan. Mata birunya masih menatapnya dengan tak percaya.

"HInata... kau dari mana saja, hah?" Ucapnya, sebesit kebahagiaan terlukis di sana. "Aku dan adikmu sedang mencarimu di mana-mana..."

"Adikku?"

"Iya, adikmu. Lalu..." Pipinya ia rangkum pelan. Lagi-lagi Naruto mengamati penampilan Hinata yang jauh lebih rapi dari biasanya. Ini mungkin penampilan gadis itu yang paling cantik dan elegan selama ia memandangnya. "Kenapa kau bisa di sini? Kau sedang bersama siapa?"

"T-Tunggu..." Hinata menjauhkan tangan tan Naruto dari wajahnya. "K-Kau..."

Hinata menelan ludah.

"K-Kamu siapa?"

Naruto terbelalak. Hinata tak mengingatnya? Ke mana sosok Hinata yang saat pertama kali bertemu malah berteriak histeris saat mengingat namanya, juga menerjangnya dengan jilatannya? Waktu itu ia juga tidak lagi sedang berkhayal, kan?

"Hinata... kau melupakanku?" Naruto menggeleng. "Tidak, itu tidak mungkin. Kau pasti mengingatku! Jangan berpura-pura tidak tau!"

Hinata gemetar di tempatnya. Dia tidak paham harus bertindak seperti apa di situasi ini.

Lantas ia menarik Himawari dan berdiri. Ia ingin pergi meninggalkan Naruto begitu saja. Begitu rencananya, tapi tidak bisa semudah itu saat Naruto sudah terlebih dulu memeluknya dari belakang. Bukan pelukan yang lembut memang. Malah lebih cenderung kasar agar tetap menahannya. Tapi tiba-tiba mata lavender Hinata terbelalak. Ada sebuah sensasi aneh yang menjalar dari tubuhnya saat dua tangan tan yang kokoh ini memeluknya erat dan memaksa mereka agar tetap terduduk—walau kini jadinya Hinata harus duduk di pangkuannya.

"Hinata... aku serius. Dengan siapa kau ke sini?" Naruto berbisik di tengkuknya, Hinata memejamkan mata. Niatnya cuma ingin mengecilkan suara agar tak ada orang yang memperhatikan mereka. "Demi Tuhan aku harus tau—Hinata!"

Hinata berhasil berdiri, dia berlari namun lagi-lagi tangannya di tahan Naruto.

"A-Ah, a-aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan, dan t-tolong lepaskan aku..."

Ada beberapa pelayan yang melirik curiga ke arah Naruto—terutama wajah Hinata yang pucat di pelukannya—namun karena masih banyak tanda tanya atas perilaku keduanya, mereka menahan diri. Ingin melerai tapi terlalu ragu. Hinata yang masih memberontak pelan sedikit merintih. Ingin terlepas tapi sulit. Naruto terlalu kuat. Matanya mulai berkaca-kaca dan tanpa sengaja pegangannya terhadap Himawari terlepas. Beruang kesayangannya jatuh. Hinata terkejut. Ia ulurkan tangan dan coba mengambilnya, tapi nyatanya ada pria bertubuh tegap yang jauh lebih menyita perhatiannya.

Sasuke Uchiha di depan sana berdiri kaku, tepat sepuluh meter dari Naruto dan Hinata.

"Sa-Sasu... Sasuke?"

Ucapan itu membuat Naruto meluruskan tatapannya ke depan. Dia lihat pula mata Sasuke di sana yang sama terbelalak dengannya. Ganggang bungkus kue—yang masih di plastik, yang aslinya akan dia berikan dulu ke pelayan agar bisa menyalakan lilinnya—dia pegang erat. Mata oniksnya mengarah lurus ke Naruto.

Tegang. Semuanya tegang. Hanya ada jantung yang berdegup panik dan suara berisik dari pengunjung lain yang menonton.

"Naruto... kenapa kau bisa ada di sini?"

Naruto melepaskan Hinata dan mencoba mengumpulkan nyawanya kembali. "Oh, jadi Sasuke yang membawamu ke sini? Dia yang menculikmu?" Naruto menggeram. dirinya berlari.

BUAKH!

"JADI KAU ORANGNYA!" Ada sebuah keberanian yang merasukinya, dan membuat Naruto memukul keras Sasuke sampai pria itu jatuh ke samping. Kue yang ia pegang pun terbalik di lantai karenanya. "JADI KAU YANG MENCULIK HINATA, HAH!? JADI SELAMA INI KAU LAH YANG MEMBAWA HINATA PERGI DARI RUMAHNYA, HAH!?"

Sasuke menjilat sudut bibirnya yang pecah. Berniat terduduk, namun Naruto terlebih dulu menarik kerah kemejanya hingga tubuhnya sedikit tertarik. "KUPIKIR KAU PRIA YANG BAIK, SASUKE! KAU SUDAH MENJADI LEBIH BAIK SAAT LULUS SMA, TAPI TAK KUSANGKA KAULAH YANG TELAH MENCULIK HINATA SELAMA INI!"

Sasuke tak bersuara. Matanya menatap tanpa takut ke Naruto di hadapannya. Naruto menghempaskan Sasuke sekali lagi, namun pria raven itu menahan diri. Dia usap poninya—yang kini tak lagi tertata dengan rapi—ke belakang dan menghela nafas. "Aku memang menculiknya. Ada masalah?"

Naruto menahan nafas. "DASAR BERENGSEK! AKU SALAH MENILAIMU—!"

"Tolong jangan berkelahi di sini!"

Detik berikutnya Naruto yang berniat memukulinya tanpa henti itu ditahan dua pelayan restoran di masing-masing sisinya. Selagi Naruto sedang ditahan, Sasuke berdiri dan merapatkan jasnya sendiri, merapikan diri. Ia juga ambil selembar tisu dari meja di sebelah dan menyeka darahnya, kemudian ia memandang Naruto. Serius.

Naruto sendiri masih terengah. Pikirannya luar biasa kacau saat mendapati fakta ini. Sedangkan Hinata yang tak jauh dari mereka berdua cuma bisa diam dengan tangan yang menutupi mulut. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Bingung. Tak ada hal yang benar-benar bisa dia lakukan.

"Maaf, kalian semua menakuti pelanggan lain. Jika ada masalah, kalian bisa meneruskannya di luar. Bagaimana?"

Akhirnya seorang manager restoran turun tangan. Dengan raut cemas yang dipertegas ia coba mengusir mereka secara halus. Lagi pula, baru kali ini ada yang bertengkar di tengah restoran bintang lima seperti ini. Terlebih lagi... cuma karena perempuan.

Naruto berdecak. Dia melihat Hinata lalu tangan wanita itu ia tarik untuk berdiri, dan tanpa suara Hinata mematuhinya. Hanya ada pandangan bingung dari Hinata yang kemudian melirik Sasuke yang juga memandanginya, tampak tak terima. Sebelum pergi Naruto mengacungkan jari telunjuknya di depan sang Uchiha.

"Hinata akan bersamaku, dan aku akan langsung mengembalikannya ke Suna. Ingat itu, Sasuke. Dan aku tak akan peduli lagi padamu. Jika ditanya, aku akan menceritakan hal yang sebenarnya ke keluarga Hinata yang mencarinya. Dan jangan salahkan aku apabila kau dituntut habis-habisan oleh keluarga Hyuuga."

Naruto hendak pergi namun Sasuke bergerak mendahuluinya.

Tanpa berkata apa-apa, Naruto dan Hinata dia tarik pergi dari ruang makan mewah itu, meninggalkan manusia yang memandangi mereka dengan heran. Kini ketiganya sudah di lorong yang menghubungkan tempat makan tadi dengan lift di ujung tempat ini. Sasuke melepaskan mereka berdua secara bersamaan.

"Justru kau yang seharusnya berterima kasih padaku, Naruto." Ucap Sasuke dengan nada retoris. "Kau pikir siapa yang telah susah payah menormalkan gadis gila ini, hah? Dulu saja dia bahkan tidak bisa berjalan dan melakukan apapun sendiri."

"Jaga omonganmu, Sialan! Hinata tidak gila!"

"Dengar, aku tak peduli kau mau mendengarkannya atau tidak, tapi yang jelas dia sudah lebih normal. Dan kau tau itu karena siapa? Aku!" Dia dorong Naruto sampai pria itu menabrak dinding. "Dia sudah tidak seperti dulu kau baru menemuinya!"

"Jadi kau tau keadaan mental Hinata!?"

"Ya, aku memang mengikutimu sejak pertama kali kau ke Suna! Dan aku menculiknya!"

"Kenapa kau lakukan itu, bodoh!"

"Untuk mengajarinya agar mengerti kalau ada orang lain yang mencintainya." Sasuke berdesis penuh penekanan.

Naruto ingin menyela tapi fakta yang baru Sasuke katakan begitu mengejutkannya. Naruto terbelalak luar biasa. "Sa-Sasuke... kau... sejak kapan?"

Sasuke menelan ludah. Dia anulir pertanyaan itu dengan memejamkan mata, mengulur waktu. Lalu ia melirik Hinata. "Biarkan dia yang memilih."

"Memilih apa?" Nada Naruto turun. Dia masih kaget dan bingung di waktu yang sama. "Dia harus tetap ke Suna... kembali ke keluarganya."

Kepalan kedua tangan Sasuke mengerat. Adakah cara lain untuk mempertahankan Hinata di saat-saat seperti ini?

"Biarkan dia memilih; kembali bersamamu, atau bersamaku." Lalu dia, Sasuke Uchiha, masih dengan wajah stoiknya berjalan melewati Hinata yang masih mematung bingung. Dia berhenti setelah yakin bahwa Hinata sudah berada di tengah-tengah ia dan Naruto. "Kau dengar apa yang kuucapkan, Hinata? Pilihlah."

Ragu.

Sasuke tau ini keputusan yang akan salah.

Naruto terdiam. Ia melirik Hinata yang lumayan jauh dari mereka..

"Hinata, kembali lah ke Suna..." Dia menelan ludah. "Hanabi menunggumu."

"Hanabi?"

"Dia adikmu—dia yang paling mencemaskanmu." Naruto menjulurkan tangan.

Hinata tapi menggeleng. Raut sedihnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya yang diaangkat sebatas bibir. "Ta-Tapi... kau siapa? Apa aku... mengenalmu—?"

"Hinata." Panggilan dari Sasuke membuat Hinata langsung menoleh. Ingin melangkah ke arah pria itu tapi suara Naruto kembali mengambil alih.

"Aku... Naruto Uzumaki... mantan kekasihmu..." Naruto mencoba tersenyum—walau nyatanya sulit. "Kau... ingat aku?" Ia tersenyum getir, merasa berdosa dengan ini semua. "Kau... mencintaiku, bukan? Percayalah padaku..."

"Uzu...maki? Kau... Naruto?"

Diawali dengan mengamatinya lama, Hinata pun mulai berjalan ke arah Naruto.

Sasuke di kejauhan sana menurunkan tangan. Rahangnya menegang. Dia menahan diri agar tak melangkah maju dan menarik Hinata pergi. Terutama saat Hinata semakin dekat ke pria itu. Tapi di langkah keempat Hinata berhenti. Lagi-lagi dia menatap Sasuke dan terdiam.

Sasuke mematung, tak berkata apa-apa kala itu. Tapi mata hitamnya menatapnya lekat.

Menginginkannya.

Mengharapkannya.

Sangat.

Dan Hinata pun mulai membuat keputusan.

Dia meluruskan pandangannya kembali dan menyelesaikan langkahnya ke hadapan Naruto. Sampai tangannya menyentuh pria pirang itu.

Naruto lah yang pada akhirnya dia pilih.

Naruto memberikan tatapannya ke Sasuke. Ia juga tak berkata apa-apa. Senyum atau hinaan tidak dia keluarkan. Hingga pada akhirnya ia lihat Sasuke berbalik. Pria itu pergi ke ruang makan tanpa suara.

.

.

® handycam ii

.

.

Suara sepatu pantofel mewarnai ruangan yang ramai ini. Suara alunan live music terdengar dan Sasuke pun berjalan ke mejanya.

Makanan dan minuman sudah tersedia di sana. Tak ada yang kurang. Juga pemandangan di depan mereka yang tersuguh pun benar-benar indah. Sasuke pun menunduk. Poninya yang panjang menutup mata. Lalu dia ambil boneka kuning Hinata yang tertinggal, juga kue yang terjatuh begitu saja di atas lantai. Dia taruh segalanya di atas meja. Himawari dia jatuhkan begitu saja, dan kue itu dia buka setelah ia duduk.

Tulisan 'Hinata' yang ditulis di sana dia pandangi. Pisau plastik dia pegang, dan dia potong.

Kue hati itu kini sudah terbelah dua.

Dan Sasuke tersenyum kecil, diikuti oleh air mata yang mengalir dari kedua sudut matanya.

Aneh.

Kenapa tidak bisa berhenti?

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Thanks to

astia morichan, Kakashi lover, Cicikun, Sweety, Mrs Sasori, aeryn kim, rikarika, hyunkjh, The RedsLFC, Uchiha Ryuuki, Opung, kazekageashainuzukaasharoyani, Intan-sept, siiuchild, Misseleus Femyni, Rei Atsuko, sushimakipark, alta0sapphire, Mayyurie Zala, Kurama, Hyde'riku, Cahya Uchiha, Nate Xavela, Hana harumi, tiara, Jm, Re Na Ta, RinZiTao, Rini Andriani Uchiga, stillewolfie, Ashura Darkname, Lady Bloddie, guest, chan, Lawchan-Ai, melati, Niveilla Neil, ulvha, re, Vampire Uchiha, Yippie Yeey, D-sally, hiru neesan, aindri961, Hikari No Aoi, Haru3173, qq, rey, jskd, Budi sebastian, Mirai, anita-indah-777, Layla YukarinX99, uchihapanchira, n, lavender, Luluk Minam Cullen, yassir2374, maya-ajjah-14, nonono, hee chan, SHL always, aiko, megami, SasuHina 4evErxx, SHU, Rhe Muliya Young, emma-nyaaan, chipana, Po mie, lavarrr, Name onna miku, SasoNara-Chan, Ichika, bommie, Hyuchiha, Mimiko Fujimura, Mr. Xavier, Dark Side, kensuchan, NaruHinaKarin Forever, Sabaku Kagumi, Memang Anon, Lilith RM, Just a Kid, akbarjr121, silent reader, MRSME, Icha uchiha, Blank, imoet 07 fadli, nana, zeklucifer, 3rosanin, nia, chimi wila chan, Ryuhara Shanchi, tantrikot4k, himeni, fain yu, mhey-ariska, Lollytha-chan, Rui Akira, deni'uzumaki, ECHIZEN, bala-san dewa hikikomori, CloverLeaf as Ifanaru, hime, Namikaze Yuli, Lilac, kim hae rim, Nia CheeScorpio, durara, Yuko Kaze, Miyuki Nadeshiko, dwi-sitimaharani, RaraRlovesasu, tyuhu, jessica, hazuki, fina, Uri-hime luv Sata Kyoya, ck mendokusei, semanggi, Virgo Shaka Mia, harunoyoi12, Sarah Hyuzumaki, ulfahrw, SasukeBlue96, park-yu-79, meetoo, MaudiRein, himehinata, Vidi S. Niar, Wistheria, zahra, Lavenderiaz19, ejacatKyu, ucihagremory, Hana, miki, Begal, geminisayank-sayank, Namikaze RASYAD, sucihime-chan, OnyXxLavendeRr, OkereinaF, Chaerith, saehee, Chacha Rokugatsu, Farid, yulli, FuckSasuHinaNaru, YuniMoet01, sasukekangcilok, kuronachi ppoi, merisa, edo-khawiryan, V1ckyPrasetyo, cancer, piinocchio, sasuhinA, bellatrixsan, shabilla-chan, Ida Akaibara, C-S-B, Guest, Sweet Evening Breeze, dhani, fuck SHL, naruhina23, bagas abymanyu kun, Indigo Pie, Mutii, Just MyOpinion, Orihime Kumiko, adit, Baby niz 137, chacha, lauda-9396, intan-permatasari136, djsasunata, niisama-niisama-1, hyumaaa, jendaiyu, Han Latte, Pria Sejati, Da, Kaoru-chan, Amichan, sasusaku69, kucing, Hanayuki no Hime, angel, sagaara, Viper, riyoku, Kamizaku Hinata, Uchiha love love, striyed, LittleHunnie, Hana Yuki no Hime, kim kara, Hiname Titania.

.

.

Frequently Asked Questions

Saranku Hinata mati aja biar SasuNaru sama-sama nyesel. :) Sansan Hinata-centric, ya? Iya. Review 1k dan kamu bangga? Ngga juga. Kamu cuma ngerusak Hinata. Aku akan memperbaiki itu pelan-pelan. Awalnya NaruHina, sekarang SasuHina-NaruSaku? Menurutmu? Kenapa FFn diblokir? Mungkin banyak fict ratem yang make bahasa vulgar jadinya kena sensor pemerintah. Bikin Hinata jatuh cinta sama Sasuke dong. :) Buat Hinata hamil. Hinata udah ngga bisa hamil. Aktifin PM dong biar aku ga flame di review. Internet di laptop ngga bisa buka PM. Sepertinya Sansan suka hard lemon, ya? Pfft, lumayan. Lagian nanggung kalo lime. Mistakes II kapan keluar? :) Request fict dong. Maaf aku ngga menerima request. Naruto kok bisa mimpi kayak gitu? Anggep aja depresi atau rasa bersalah. Ada yang bilang ibu yang pernah ngelakuin aborsi juga sering ngalamin mimpi didatengin si cabang bayinya (jadi ya mungkin semacam itu). Fict ini terinspirasi dari shutter, kan? Iya, tapi cuma bagian 1-7. Sisanya udah ngasal. Kenapa Sansan sering memberi harapan ke SHL dan NHL di fict ini? Karena... ah, entahlah. Ceritanya bertele-tele. Iya. Sangat menunggu chapter 14. Aku tau lanjutan cerita di chap ini bukan yang terbaik, tapi aku masih berharap ada beberapa dari kalian yang tetep dukung aku ngelanjutin Handycam.

.

.

I'll pleased if you enter your comment

Mind to Review?

.

.

Ramenly,

SANPACCHI