Satu, kita berjumpa.

Dua, ikatan persahabatan kita mulai terjalin.

Tiga, muncullah cinta di antara kita.

Empat, kita menjadi kekasih.

Lima, pengkhianatan muncul.

Enam, angkasa pecah.

Tujuh, hujan turun.

Delapan, kau lenyap.

Sembilan, ikatan kita terputus.

ikatan kita terputus?

Sungguh, benarkah ikatan kita akan terputus?


Sembilan.


Seorang gadis—berambut pendek—muncul, dan duduk di sisiku.

"Ieyasu-san," katanya—dengan suara serak, "Bagaimana dengan dia?"

Aku terdiam—hanya menggelengkan kepalaku.

"Begitu…" gumamnya—muram.

Aku kembali terdiam.

"A—ah, tadi, aku mencoba memasak chawan-mushi untuk semua orang, lho!" katanya—mencoba riang—walaupun gurat kesedihan nampak jelas tepatri di wajahnya yang putih bersih.

"Ieyasu-san juga, kalau mau, bisa mencoba—"

Namun, bulir-bulir air mata yang besar mengalir dari matanya.

Ia mencoba berbicara lagi, namun suaranya tercekat.

Mulutnya membuka—namun tidak ada suara yang keluar.

"Sudah, Tsuru-hime-dono," bisikku—sambil mengusap rambutnya.

"…kenapa….?" katanya—lirih—sambil sesenggukan.

"Bukankah…bukankah Ieyasu-san menyukai Mitsunari-san…..?"

Aku mengangguk—sambil berusaha untuk tersenyum—walau harus dipaksakan.

"Bukankah….Mitsunari-san juga…..menyukai Ieyasu-san….?"

Aku mengangguk lagi—sambil menahan jatuhnya air mata.

"Tapi—kenapa—kenapa…..ini semua harus terjadi….?" bisiknya, sambil menggosok matanya dengan lengannya.

"Tsuru-hime-dono," pangkasku—berusaha untuk tegar—padahal suaraku sudah parau, "Aku lapar. Aku ingin makan chawan-mushi buatanmu. Boleh?"

Tangisnya meledak. Ia membenamkan dirinya dalam pelukanku.


Waktu menunjukkan pukul tujuh lima belas malam.

Hujan sudah berhenti turun.

Udara makin terasa lembab dan berat—sementara embun menghantui udara.

Kupandang sosok yang berada di kasurku.

Ia menggeliat, lalu membuka matanya perlahan.

"Ah," gumamku—agak senang, agak cemas, "Kau sudah bangun. Kau tidak apa-apa?"

"Aku…di mana….?"

"Ini di rumahku. Tadi kau pingsan, jadi aku bawa kau ke sini."

Ia mengerjapkan matanya.

"…Aku mau pulang. Aku tidak apa-apa," katanya, sambil bangkit dari tempat tidur.

Aku terkejut, namun aku mencoba mencegahnya.

"Jangan, kau masih lemas begitu. Nanti saja, setelah kau sudah merasa baikan."

"Sudah kubilang, aku tidak apa-apa. Minggir, aku mau pulang."

"MITSUNARI!"

Ia limbung, lalu terhuyung, nyaris jatuh terjerembab di lantai—namun berpegangan di lenganku.

"Lihat, kau parah begini—sudah mau pulang? Atau aku antar saja kau pulang?" kataku—membujuk.

"Tidak," tolaknya—kaku, "Aku tidak butuh. Aku tidak apa-apa."

Kugigit bibirku—kesal bercampur khawatir.

Kucengkeram lengan-lengannya.

"Aduh, sakit. Lepaskan—Tokugawa. Lepaskan aku," katanya—mengaduh.

"Tidak," desisku, "Tidak akan kulepaskan."

"Kubilang, aku tidak apa-apa! LEPASKAN AKU!"

"TIDAK! TIDAK! TIDAK AKAN!"

"IEYASU! LEPASKAN!"

Aku tersentak.

Namaku.

Ia menyebut namaku.

Aaah….betapa lamanya aku tidak mendengar suara itu—panggilan itu…

"TIDAK MAU!" bentakku.

Kusambar pergelangan tangannya, dan kudorong ia ke kasur.

Tubuhnya jatuh berdebum—ditimpa beban tubuhku.

"BRENGSEK! LEPASKAN! AKU MAU PULANG!"

"Mitsunari," geramku—tertahan, "Setelah sekian lamanya, mana mungkin kau akan kulepaskan kali ini?"

Ia membelalak—menatapku marah.

"Apa maksudmu? Ini pertama kalinya aku mengenalmu—"

"Tidak," pangkasku, "Ini bukan yang pertama. Ini yang kesekian kalinya. Dan selalu—selalu saja kau menghilang dari hadapanku. Kau selalu lenyap. Kau hanya menyisakan kehampaan untukku. Untuk yang kali ini, aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

"Apa katamu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan! LEPASKAN AKU!"

"Sakichi," bisikku.

Ia tersentak.

"Sakichi—kau ingat? Ini aku, Takechiyo."

Ia gemetaran.

"Ingat Hanbei-dono? Hideyoshi-dono? Wakashudo? Dan….."

Aku menelan ludah. Menunggu reaksi yang akan terjadi.

"…Sekigahara…?"

Pupil matanya melebar—dan nafasnya tercekat.

Ia meringis, memegangi kepalanya—kesakitan.

"Mitsunari?" gagapku—cemas.

Tiba-tiba, cengkeraman tangannya melingkar di batang leherku—dan ia bangun, mendorongku ke kasur.

Nafasku sesak—aku gemetaran.

Namun ia memegangiku terlalu keras.

Mencekikku—tanpa ampun.

"KAU—" raungnya, "TIDAK AKAN KUMAAFKAN!"

Kupegangi tangannya, mencoba menyingkirkan cekikannya dari leherku.

Aku menggapai-gapai, tapi sia-sia.

"Akhirnya," kekehnya—mengerikan, "Kesempatan ini tiba juga, Hideyoshi-sama! Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya! HAHAHAHA, AKU AKAN MEMBUNUHNYA—"

"Mitsu—nari—"

Kuraih wajahnya dengan tanganku—gemetaran.

"Ya….seperti ini—" kataku—sembari kesadaranku mulai memudar, menghitung detik-detik yang tersisa untukku, "Seperti…ini. Bunuhlah—aku."

Ia melotot—berhenti tertawa.

"Bunuh…aku….supaya—aku….tidak melihatmu…..lenyap…..di depan mataku…"

Tubuhku lemas.

"IEYASUUUUUUUUUUUUUUU!"

Lalu semuanya gelap.

Aku tidak merasakan apa-apa lagi.

Putuskan ikatan ini, Mitsunari.

Hanya kau yang bisa.

Karena aku tidak bisa.


Tiba-tiba, sesuatu yang berat menghantam tubuhku.

Aku terguncang-guncang.

Lalu kurasakan sesuatu menerpa wajahku.

Hangat—panas—menyeruak, memenuhi seluruh tubuhku yang kaku.

Kemudian, sebuah dorongan yang kuat meledak di dalam dadaku—dan aku terlonjak.

Udara melesak masuk ke paru-paruku yang buntu, dan ledakan oksigen yang menyakitkan menusuk dadaku.

Aku terbatuk-batuk, kemudian terduduk.

Air mata menggenang di pelupuk mataku.

Aku tersengal, lalu menggosok leherku.

Mitsunari duduk di kasur—di sebelahku.

Wajahnya nampak terguncang—ia menatapku ngeri.

"A—aku—tidak—aa—aaahh…."

Mitsunari meracau—wajahnya dipenuhi air mata.

Hatiku sakit melihatnya.

Serasa tercabik dari dalam.

Aku tercabik-cabik—tanpa sisa.

"Mitsunari."

Ia menunduk—tidak berani menatap wajahku.

Menangis, terisak-isak.

"Mitsunari."

Ia gemetaran—tersengal-sengal.

"Mitsunari."

Kusentuh bahunya, lalu kuangkat dagunya—perlahan.

"Lihat aku."

Ia menatapku—ketakutan.

"TIDAK! TIDAAAAAKK!"

"Aku masih hidup," kataku, "Aku tidak mati. Lihat aku, aku tidak mati."

"TIDAK—TIDAK—TIDAAAAAK!"

"MITSUNARI! LIHAT AKU!"

Kulingkarkan lenganku—menggapainya dalam pelukanku.

Ia bernafas dengan susah payah—dan sekujur tubuhnya bergetar.

"Kau dengar?" bisikku—di telinganya, "Degup jantungku. Mereka berdetak. Dengar?"

Ia menangis dalam diam—lalu mencengkeram lenganku.

Aku tersenyum—lalu sebutir air mata jatuh mengaliri pipiku.


Bait kesembilan, apakah ikatan kita terputus?

Ya, tercabik-cabik—dengan amat sangat mengerikan.

Namun, sepertinya kita perlu merubah isi bait kesembilan sedikit.

Ikatan kita tidak sepenuhnya putus—jika memang sesungguhnya putus, maka bait kesepuluh tidaklah pernah ada.

Kemudian, berikutnya—bait kesepuluh?

Apa yang ada di bait kesepuluh?

Kita akan menggenapi lagu ini—sebentar lagi, sebentar lagi.

Sebentar lagi.


Sepuluh.


Keesokan harinya, kami menghabiskan waktu di sekolah dalam diam.

Entah dia ingat kejadian kemarin atau tidak—aku tidak tahu.

Yang jelas, wajahnya lebih pucat dari hari kemarin.

Saat pelajaran berlangsung, kuperhatikan ia tidak fokus. Pandangan matanya menerawang entah ke mana. Buku tulisnya kosong—tidak terlihat tanda-tanda pikirannya masih berada di tubuhnya.

"Nah, sekian materi bab ini," tutup Shimazu-sensei, sambil merapikan buku-bukunya di atas meja.

"Kita absen dulu. Yak, Date Masamune-don?"

"Ada."

"Oichi-don?"

"…Hadir."

"Baiklah. Oichi-don…hadir….nah, Maeda?"

"Ada Sensei!"

"Tokugawa-don?"

"Hadir," jawabku.

"Ishida-don?"

Hening. Tidak ada jawaban.

"Ishida Mitsunari-don?"

Mitsunari mendadak tergagap—dan mengangkat tangannya dengan gugup.

"Y—ya, hadir."

"Baiklah, Ishida-don sudah hadir…..berikutnya, Sanada-don?"

"Hadir!"

Kulihat ia berkeringat dingin—wajahnya keruh.


Saat istirahat, aku mencari Mitsunari—namun ia tidak ada dimana-mana.

Sudah kucoba mencarinya di perspustakaan—tempat favoritnya, namun ia tidak ada.

Aku menghela nafasku—merasa terganggu.

Kemudian, tiga orang siswi muncul di lorong depan pintu masuk.

Satu siswi berambut pirang, satunya berambut panjang hitam—Oichi-san, dan yang terakhir berambut pendek cokelat.

Wajah itu—wajah yang sangat kukenal.

Wajah yang menangis karena kesedihanku.

Putih bersih yang ternoda kesedihan.

"Itu dia, Tsuru-san. Itu Tokugawa-san," kata Oichi-san, sambil menunjuk ke arahku.

Gadis yang berambut pendek tersebut mendekatiku—nampak malu-malu, wajahnya bersemu.

"T—Tokugawa Ieyasu-senpai?" tanyanya—sambil gelagapan.

Aku tersenyum—bingung, "Iya. A—ada apa, ya?"

"I—ini….payungmu—kemarin, aku tidak sengaja tertukar payungku dengan punyamu. Maaf, Senpai!" katanya—sambil membungkuk, menyerahkan sebuah payung berwarna jingga yang bertuliskan namaku.

Aku tertawa geli, sambil mengambil payungku. Ternyata, ini yang kemarin terjadi.

"Ahaha, tidak apa-apa, kok. Lain kali, jangan sampai salah loker lagi, ya," kataku—santai.

Gadis itu memeletkan lidahnya, sambil tersenyum kecil—malu.

"Kau sih," omel siswi berambut pirang di sebelahnya, "Asal buka loker saja. Lihat, dong, itu loker siapa. Dasar, Tsuru…."

"Kasuga-san—aku kan waktu itu panik, makanya…."

"Haha, sudah, sudah. Tidak apa-apa, kok. Oh ya, namamu siapa?" tanyaku, sambil mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan.

"Ah, namaku Tsuru, kelas 1-5. Senang berkenalan," jawabnya, sambil menjabat tanganku.

"Aku Kasuga, kelas 2-2. Senang bertemu," kata siswi yang berambut pirang—memperkenalkan dirinya.

"Senang juga bertemu denganmu, Kasuga-san," kataku, sopan.

Kemudian, siswi yang lagi satu—Oichi-san—menatapku dengan pandangan yang dalam.

"Ada apa, Oichi-san?" tanyaku—penasaran.

"…Ieyasu-san….kau menangis?" tanyanya.

Aku gelagapan.

Kasuga-san dan Tsuru-san memandangnya—keheranan.

"Kau menangis?" ulangnya, "Jangan sedih, Ieyasu-san. Jangan sedih. Dia juga sedih."

"Eh?" gagapku, "Siapa? Maksudmu?"

"Kalau kalian berdua sedih," lanjutnya, "Nanti lagu kalian akan berakhir sedih. Bait terakhir lagu, 'kan, harus gembira? Ichi tidak ingin kalian berdua menangis terus."

Kasuga-san makin kebingungan.

"Ehm….apa kalian….melihat Mitsunari?" tanyaku—sama bingungnya dengan Kasuga-san, "Ishida Mitsunari?"

"Dia tadi pergi ke sana," kata Oichi-san, sambil menunjuk ke arah sebuah tangga, "Dia pergi ke atap sekolah."

Kasuga-san bertanya pada Oichi-san, "Apa maksud perkataanmu tadi, sih? Aku nggak ngerti."

Oichi-san tersenyum sambil menatapku, "Ieyasu-san pasti mengerti. Bergembiralah, Ieyasu-san—jangan bersedih terus."

Kemudian, Tsuru-san juga tersenyum ke arahku.

Kubalas senyuman mereka yang penuh arti.

"Begitu, ya. Terima kasih!" seruku, sambil berlari meninggalkan mereka.


Aku berlari sekencang-kencangnya—melompati beberapa anak tangga sekaligus.

Kemudian, aku membuka pintu menuju balkon atap sekolah dengan kekuatan yang berlebihan.

"MITSUNARI!"

Ia terkejut—setengah terlonjak.

"Kau," katanya—nampak gelagapan.

"Mitsunari—"

Aku berlari ke arahnya—lalu kudekap ia erat-erat.

Ia tergagap—lalu memberontak, hendak melepaskan diri.

"Apa-apaan—"

"Mitsunari, aku…."

Kutahan ia dalam genggamanku—sembari merasakan degup jantung kami yang saling berlomba.

"Ingat lagu yang kita nyanyikan di Kastil Osaka? Lagu tak berjudul itu?"

Ia terhenyak—lalu nafasnya menenang.

"Ya," bisiknya—serak.

"Kau masih ingat bait kesepuluh?"

Ia mengangguk—air mata berjatuhan dari wajahnya.

"Ya," katanya lagi—gemetaran.

Kulepaskan pelukanku. Kutatap wajahnya—lalu tersenyum.

"Coba nyanyikan," ujarku—penuh rasa bahagia yang menggelembung di dadaku.

"Eh?"

"Nyanyikan," ulangku, "Dan jangan pernah takut lagi. Lakukan apa yang kau inginkan sekarang."

Ia menggigit bibirnya—mencengkeram kerah bajuku.

"Tidak!" jeritnya—tertahan, "Aku tidak bisa—aku tidak bisa membunuhmu—"

"Ayo, Mitsunari," kataku—tenang, "Kalau begitu, nyanyikan bait kesepuluh."

Ia nampak ragu—lalu membuka mulutnya perlahan.

"…Sepuluh…."

Kugenggam tangannya.

"…..kita akan bertemu lagi….pasti…"

Dengan penuh rasa yang tak tertahankan lagi—aku mengalungkan lengan-lenganku melingkarinya—menariknya dalam pelukanku.

"Ya—Mitsunari….ya, itu dia….."

Ia menangis—keras sekali.

Kusentuh wajahnya dengan jemariku—membersihkan air matanya.

Kucium bibirnya.

Kurasakan nafas kami saling beradu—dan kehangatan tubuhnya mencapai inderaku.

Aaaah…..entah bagaimana caranya menjelaskan apa yang aku rasakan.

Mendadak, bel berbunyi—nyaring. Menandakan waktu untuk kembali masuk ke kelas.

"Ieyasu," bisiknya—di antara ciumannya.

"Hmmm?"

"Belnya…sudah berbunyi…"

"Biarkan saja. Aku ingin mendengar bait kesepuluh itu sekali lagi, Mitsunari."


"Takechiyo!"

Kutolehkan kepalaku.

Ternyata Sakichi memanggilku—dengan rangkaian bunga berwarna-warni di tangannya.

"Ah, ada apa, Sakichi?"

"Hideyoshi-sama dan Hanbei-sama senang sekali dengan rangkaian bunga yang kubuat!" ujarnya—ceria, dengan binar-binar di matanya.

"Oh ya? Selamat! Eh, itu ada lagi satu—buat siapa?"

Ia menundukkan kepalanya—wajahnya memerah.

"Buat kamu."

"Eh?"

"BUAT KAMU!" ulangnya—selagi wajahnya makin bersemu.

"Eh? Ehm….t—terima kasih?" gagapku—salah tingkah.

Sakichi merengut.

"Oh, ya," katanya, "Aku hari ini mendengar lagu yang bagus sekali, lho."

"Lagu apa?" tanyaku—penuh rasa penasaran, "Coba nyanyikan untukku."

"Tapi, lagu ini sedih sekali. Lagu ini mengisahkan tentang sepasang kekasih yang berpisah—bahkan setelah kematian, mereka bertemu dan berpisah lagi. Kurasa, kau tidak akan begitu senang mendengarnya, Takechiyo. Kau 'kan, tidak suka cerita-cerita sedih."

"Tak apa!" seruku—percaya diri, "Kita bisa mengubahnya jadi bahagia kalau kita mau! Hidup kita, juga—kita bisa mengubahnya jadi akhir yang bahagia kalau kita mau!"

Ia terpana—lalu tersenyum.

"Ya, kau benar."

"Nah, nah, ayo, coba nyanyikan, Sakichi!"

Kukalungkan rangkaian bunga berwarna putih, merah, dan ungu itu di kepalaku.


Satu, kita berjumpa.

Dua, ikatan persahabatan kita mulai terjalin.

Tiga, muncullah cinta di antara kita.

Empat, kita menjadi kekasih.

Lima, pengkhianatan muncul.

Enam, angkasa pecah.

Tujuh, hujan turun.

Delapan, kau lenyap.

Sembilan, ikatan kita tercabik—namun tidaklah putus.

Sepuluh, kita akan bertemu lagi…..pasti.

Demikianlah bait sepuluh berbunyi—meskipun aslinya tidak berbunyi seperti itu.

Namun, kita menyanyikannya sendiri—atas keinginan kita sendiri.

Kitalah yang akan menulis cerita tentang kita sendiri.

Kitalah yang akan mengakhiri cerita kita sendiri dengan akhir yang kita inginkan.

Meskipun takdir berkata sedih—namun, kita akan merubahnya.

Kita akan membuat diri kita sendiri bahagia.

Pasti.


Akhir dari lagu ini.