Disclaimer:

EYESHIELD 21 by : RIICHIRO INAGAKI & YUSUKE MURATA

THE THING THAT WE JUST CAN'T SEE by : RUKISKYE LUKITA

Warning: OOC-ness, AU-ness, gaje-ness, aneh-ness, dll

Pair: Yamato Takeru x Karin Koizumi, slight Taka x Karin

A/N: halo, Minnasan. Saya kangen banget sama fandom ES21 ini *peluk-peluk Sena*. Kebetulan saya emang lagi pengen banget bikin fic di fandom ini lagi. Sebenarnya udah sekitar setahun terakhir saya fakum dari dunia ffn, karena UN SMP waktu itu. Tapi sekarang saya lumayan bebas—padahal masih harap-harap cemas masalah UAS—hehee. Oke, langsung aja.. ENJOY!


"Hidupmu untuk menemukan perubahan, berusaha menerima dan tetap jalani bersama perubahan itu.

Duniamu tak akan berubah sebelum kau berubah.

Kau tak mungkin berkembang jika kau tak mau berubah.

Sadarilah. Dengan begitu kau akan belajar untuk menerima dan memahami.

Dan, saat itu kau dapati dirimu yang sudah dewasa."

*****THE THING THAT WE JUST CAN'T SEE*****

"Close your eyes, and try not to think"

1st Chapter: Will it be the same?

(For Eyeshield 21 Fanfiction Indonesia Award

December 2011: Metamorphose)


Lelaki itu menderapkan langkahnya dengan cepat. Rasanya ia ingin segera meninggalkan bandara ini. Raut bahagia terpampang di wajahnya. Sekilas, terlihat senyumannya terkembang.

Entah apa yang membuatnya menjadi begitu semangat. Mungkin karena hari ini ia sudah kembali menginjak negeri sakura setelah seminggu ia tinggalkan ke Amerika. Ia memang tak lama di Amerika, toh hanya sekedar menjenguk dan membantu merawat neneknya yang sakit disana. Namun, selama kurang lebih dua minggu berpisah dengan Negara Jepang, sudah cukup membuatnya rindu sekali.

"Uh, maaf." Ujar Yamato, lelaki tadi, ketika ia sempat menabrak seseorang di bandara.

Wanita paruh baya yang ia tabrak itu hanya menatapnya sinis, kemudian meninggalkan Yamato. Yamato sendiri terlihat tidak begitu peduli dan kembali berjalan.

Yamato memberhentikan taksi dan pulang. Ia sungguh tak sabar untuk besok. Kenapa? Karena besok ia bisa kembali ke sekolah. Lelaki yang duduk di kelas 3 SMU Teikoku itu tak dapat membendung rasa senangnya. Akhirnya ia besok dapat melihat gadis itu lagi.

Ya, gadis itu. Karin Koizumi.

Bagaimana kabarnya, ya?

Ah, Yamato memang terlihat seperti orang bodoh jika kita sudah mulai menyinggung tentang Karin Koizumi. Gadis cantik yang sederhana, pintar dan baik hati. Yamato sudah lama menyukainya. Mungkin sejak awal semester pertama saat kelas 1 dulu.

Sebenarnya, Yamato punya rencana besar untuk hari esok. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Karin. Percaya atau tidak, Yamato sempat berdiam diri selama dua hari hanya karena memikirkan hal ini. Akhirnya ia putuskan untuk mengatakannya karena sebentar lagi mereka akan lulus dan kemungkinan mereka masuk universitas yang sama bukanlah 100%.

Tapi, ah.. nampaknya Yamato masih ragu.

Ragu? Ya. Entah Karin akan memberikan respon seperti apa nantinya. Ia.. takut? Gugup? Apalah namanya. Perasaan ini wajar, bukan? Tidak. Tidak bagi seorang Yamato Takeru yang populer, tampan, tinggi, pintar dan disukai banyak gadis di sekolah. Jelas, Yamato bisa saja mengatakan suka pada gadis manapun yang disukainya. Toh, mereka tak akan menolak, bukan?

Tapi, itu tak berlaku pada seorang Karin Koizumi. Karin bukanlah gadis seperti itu. Bukan karena ia berbeda, tapi.. karena ia sudah punya pacar.

"Ck." Yamato berdecak kecewa. Andai saja ia lebih cepat dari laki-laki itu, Karin pasti sudah jadi miliknya. Ia memang bodoh untuk urusan cinta seperti ini.

Malam itu juga Yamato menelepon Karin. Ia sudah membulatkan tekadnya dan berusaha membuang rasa ragunya. Ia tak akan mengatakannya di telepon, ia hanya ingin memastikan Karin akan menemuinya besok.


"Moshi-moshi?" terdengar suara lembut Karin di seberang sana.

"Ah, moshi-moshi, Karin." Jawab Yamato.

"Yamato? Ada apa menelepon?"

"Aku hanya ingin memastikan kalau besok kau ada waktu." Kata Yamato sambil melempar pandang ke luar jendela kamarnya.

Dan Yamato berani bersumpah bahwa barusan, sesaat ia mendengar Karin tertawa pelan, "Tentu, Yamato.."

Yamato tersenyum, "Hm, bagaimana hubunganmu?"

"Maaf?"

"Hubunganmu dengan Taka?"

Tch! Sebenarnya Yamato enggan membicarakan hal ini. Tapi ia ingin sekali terus bicara dengan Karin di telepon. Ia suka sekali mendengar gadis itu berbicara. Yah, tak ada topik lain yang terlintas di kepala Yamato selain tentang hubungan Karin dengan Taka.

Namun, Karin malah tak terdengar lagi suaranya. Hanya terdengar sekilas helaan napas gadis itu.

"Entahlah, sulit." Kemudian Karin berkata.

Yamato sedikit tersentak. Suara Karin barusan tidak menggambarkan bahwa keadaan hatinya baik-baik saja. Sempat Yamato merasa khawatir. Namun, terselip rasa senang yang luar biasa di batinnya.

"Ah, kenapa?" Yamato berusaha untuk tidak melayang terlalu tinggi.

"Hm.. sulit diceritakan. Kurasa hidupku akan semakin sulit untuk kedepannya.." suara Karin terdengar melemah.

Yamato terdiam. Perasaan senangnya mendadak memudar. Suara Karin barusan terdengar menyakitkan. Sulit? Sulit hidup tanpa Taka? Atau, kesulitan yang lainkah?

"Ke—kenapa?" dengan hati-hati Yamato bertanya.

"Bukankah semua orang di sekolah sudah tahu? Ah, oh iya, kau 'kan baru pulang dari Amerika, ya.."

Sudah tahu? Semua orang? Ada apa ini?

"Karin.. sebenarnya apa yang—.."

"Bahkan mungkin kau akan jadi seperti mereka juga, Yamato."

"Seperti mereka?"

Hening sejenak. Yamato kini diliputi oleh rasa penasaran yang teramat sangat.

"Kau akan tahu besok. Selamat malam," ujar Karin sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon, bahkan sebelum Yamato sempat membalas perkataannya. Menyisakan sejuta pertanyaan di benak Yamato. Dan, Yamato yakin, ia akan kesulitan tidur malam ini.


Karin menutup telepon. Gadis itu menghela napas panjang dan dalam. Ia menatap nanar pada layar ponselnya yang masih tertera nama Yamato disana. Kemudian, jemarinya mulai membuka-buka isi SMS-nya. Ia ingat betul orang terakhir yang mengirim pesan singkat padanya hari itu: Taka.

From: Taka

Kau baik-baik saja?

Pesan itu ia terima sore tadi. Dan sama sekali tak ada niat di hati Karin untuk membalasnya. Karin yakin, Taka menanyakan apakah dirinya baik-baik saja hanya karena rasa bersalah dan kasihan. Karin benci dikasihani.

Lagi pula, masih saja si Taka itu menanyakan sesuatu yang sudah jelas ia ketahui? Apakah ia pikir Karin akan baik-baik saja setelah kecelakaan yang menimpanya sekitar dua minggu lalu? Tak tahu dirikah ia?

Bisa-bisanya ia bertanya begitu padaku. Memangnya ia peduli?. Batin Karin.

Ibu jarinya kembali menekan tombol ponselnya. Beralih menuju pesan-pesan yang ia terima sekitar dua minggu lalu hingga sekarang yang sengaja belum ia hapus. Masih dari Taka.

From: Taka

Hey, aku akan menjengukmu nanti sore.

Karin tersenyum kecut saat membaca pesan itu. Ia tak lupa bagaimana ia melarang Taka untuk menjenguknya waktu itu. Tapi, Taka tetap datang dan terkejut saat melihat keadaan dirinya saat itu. Taka jadi berbeda, seperti orang lain di mata Karin kala itu. Ia jadi pendiam, bicara seperlunya, tatapannya berbeda, jarang lagi mengirim pesan padanya.

Saat mereka jalan berdua menuju ke sebuah restoran, Karin sempat bertanya, "Apakah kau menyesal dengan keadaanku?"

Dan Taka tak menjawab. Acara mereka hari itupun batal karena Karin ingin pulang saja. Kini Karin lanjut membaca pesan dari Taka yang lainnya.

'Aku minta maaf.'

'Karena ternyata aku tidak sanggup.'

'Kau akan temukan orang lain yang lebih baik dariku.'

'Maaf. Sayonara, Karin.'

Tak lepas dari ingatan Karin bagaimana ia menangis tersedu-sedu saat membaca pesan Taka yang barusan itu. Saat itu, ia merasa segalanya tidak adil. Ia ditinggalkan orang yang disayanginya karena kesalahan yang tidak dilakukannya. Ia kehilangan segalanya saat ia datang ke sekolah dengan kursi roda. Semua berubah, semua berbeda. Tak hanya Taka, teman-temannya, guru-gurunya, pelatih American Footbal-nya, bahkan kedua orang tuanya.

Mereka memperlakukan Karin dengan berbeda, diluar kebiasaan mereka selama ini. Mereka jadi lebih hati-hati, bahkan terkesan menjauh. Apa yang salah dengan kursi roda? Apa yang salah dengan seorang gadis yang divonis lumpuh karena kecelakaan?

Satu-satunya orang yang belum melihat keadaannya yang sekarang adalah Yamato Takeru, teman satu klub ekstrakurikuler-nya. Lelaki yang selama ini ia anggap sebagai sahabat. Tampat ia biasa mencurahkan isi hatinya. Teman yang—setidaknya selama ini—selalu ada untuknya. Seseorang yang tak pernah protes saat mendengarkan ceritanya.

Apakah ia akan tetap sama?


END OF CHAPTER~~~

A/N: Nah, itu dia jadinya. Abal-kah? Aneh-kah? Gaje-kah? Silahkan beri komentar anda mengenai fic ini lewat review. Masalah update, tenang aja, kalo ada deadline saya gak bakal ngaret kok. Hihii. Sebenarnya, kosa kata terbatas banget kali ini. Maklum, lagi UAS. Masih dibolehin ngebuka laptop aja udah sesuatu banget, hehe. RnR, No Flame. Arigatou..

Sign: Ruki