T H E F U T U R E

Disclaimer : Naruto©Masashi Kishimoto

Semi Canon

First SasuSaku Angst FanFiction

for

Nagi Sa Mikazuki Ananda

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:

Angin menderu ringan menerpa segala yang membentang di jalurnya. Walaupun sepoi tetap terasa menusuk bagi sosok yang tengah terduduk dengan perasaan kosong di atas batang pohon tumbang yang melintang itu. Rambut merah muda pucatnya yang sepunggung itu berkibar mengikuti tarian angin yang seolah-olah sedang menggodanya. Ya, angin pun tak mau berdusta untuk menyatakan bahwa wanita itu begitu cantik dan menawan. Kulitnya yang putih bersih dengan tubuh ideal seorang wanita. Pandangannya nanar seakan menerawang. Ah! Bukan seakan, namun ia memang tengah menerawang ingatannya. Ingatannya yang menyakitkan. Ya. Ingatan yang ia inginkan sebagai mimpi saja. Mata emeraldnya menyiratkan perasaan kosong. Tidak ada kebahagiaan. Tidak ada kepedihan, tak ada apapun disana. Mata itu terlihat begitu angkuh. Tentu saja. Ia diajarkan untuk selalu terlihat anggun dan angkuh. Sebagai istri seorang pemimpin ia memang diharuskan begitu.

Tapi bukankah ia sedang sendirian? Lalu apa salahnya untuk berhenti bersikap sebagai istri penguasa seperti itu? Jawabannya adalah... memang begitulah dirinya kini. Inilah dia yang sekarang. Ia bukanlah seorang gadis ceria yang pemarah dan tomboy lagi. Ia seorang wanita dewasa yang anggun sekarang. Tapi bukan itu saja. Ia memang seorang wanita anggun yang terlihat di khalayak. Namun, dirinya yang sesungguhnya hanyalah sebuah kertas buram kosong. Yang hanya akan menampilkan apa yang diinginkan oleh suaminya. Ia sudah seperti manusia tanpa jiwa yang bertindak bak boneka.

Hanya dua hal yang bisa mengembalikan sifat kemanusiaannya—berperasaan, yang pertama kenangan buruknya yang sedang terkilas di pikirannya. Dan yang kedua, adalah cinta. Ya. Cinta. Cinta pada Uchiha muda itu...

"Kaa-saaan!"

Wanita itu menoleh cepat ke arah sumber suara. Didapatinya seorang laki-laki kecil tengah berlari semangat ke arahnya. Dengan mata onyx yang memancarkan kecerdasan dan senyum kekanakan. Rambutnya yang mencuat di bagian belakang berkibar tertimpa angin sepoi. Seorang Uchiha berusia empat tahun itu terlihat begitu identik dengan ayahnya.

Wanita itu tersenyum kecil memandang putra semata wayangnya. Senyum tulus dan manis, hanya untuk putranya. Uchiha Yugao. Satu-satunya alasannya untuk tetap hidup hingga kini. Perlu kalian ketahui hanya ia penduduk Konoha yang tersisa. Tidak. Suaminya juga seorang kelahiran Konoha. Percuma saja. Konoha sudah tak ada.

"Hah.. hah... Kaa-san sedang apa?" Yugao bertanya dengan nafas sedikit terengah.

"Hanya sedang istirahat. Ada apa? Yuu-chan tidak bermain dengan yang lain?" Sakura bertanya dengan lembut pada putranya yang tiba-tiba cemberut.

"Jangan panggil Yuu begitu lagi kaa-san. Bagaimana kalau ada yang dengar?" Yugao bersungut-sungut dan memandang panik ke sekelilingnya. Sakura terkekeh kecil melihat tingkah putranya.

"Apa kata yang lain kalau mereka tahu? Yuu kan sudah besar." Kini bocah Uchiha itu menyedekapkan keduan lengannya dengan wajah terangkat.

Sakura langsung menarik Yuu dalam dekapannya dan menciumi pipi putranya itu.

"Aa. Yuu sudah besar! Mana boleh dicium seperti anak kecil." Yuu memberontak.

"Baiklah." Sakura melepaskan Yuu dari pelukannya. "Sini." Sakura menepuk sebelah pahanya. Mengisyaratkan Yuu untuk duduk di pangkuannya.

"Hn." Yuu beringsut ke pangkuan ibunya.

Lama keduanya terdiam. Sampai Yuu yang sudah benar-benar tidak nyaman dengan kebisuan ibunya mulai berceloteh lagi.

"Tadi Otou-sama mencari kaa-san." Uchiha kecil itu memandang kedua manik mata ibunya lekat-lekat.

"Wah. Kalau begitu kita harus cepat mencari Otou-sama." Sakura tersenyum lagi ke putranya dan berdiri, Yuu berdiri lebih dulu mengetahui ibunya ingin berdiri.

"Yuu tidak ikut cari otou-sama. Yuu mau latihan dengan Itachi." Yuu menatap ibunya dengan wajah polos.

"Itu tidak sopan Yuu, panggil Itachi jii-sama." Sakura mengingatkan putranya. Dan lagi-lagi putranya yang tampan itu cemberut. Namun, tak pelak bocah tampan itu mengangguk juga atas nasihat sang ibu.

"Baiklah. Hati-hati." Sakura melambaikan tangannya pada Yuu yang sudah berlari meninggalkannya di halaman.

"Iyaa! Yuu janji pulang sebelum makan malam!" Yuu sedikit berteriak semangat. Sakura tersenyum menatap punggung putranya.

Senyumnya hilang bersamaan dengan sosok Yuu dan teringat bahwa suaminya mencarinya.

Ia berdiri dan sedikit menepuk bagian belakang yukatanya. Yukata sederhana berwarna krim polos, hanya ada simbol kecil di bagian kiri atas. Simbol kipas dengan warna merah dan putih.

Ia kembali berdiri tegak dengan wajah angkuh dan berjalan anggun menuju kembali ke kediamannya.

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:

"Apa Sasuke-sama mencari saya?" Sakura bertanya sopan saat ia duduk di hadapan suaminya. Terlihat Sasuke berhenti menggores di atas gulungannya. Tatapan sedingin es menghujam emerald yang balik menatapnya. Mungkin beberapa tahun yang lalu hati Sakura akan terasa nyeri mendapat tatapan seperti itu dari Sasuke. Namun, saat ini tak lagi. Tak akan lagi ada kepiluan di hatinya. Tak akan ada apa-apa di hatinya.

"Ya. Nanti malam akan ada tamu dari keluarga Mizushima. Siapkan jamuan makan untuk nanti." Sasuke berucap dengan nada tegas dan tatapan yang sama dengan sebelumnya.

"Saya mengerti. Ada lagi yang Sasuke-sama butuhkan?" Sakura bertanya lagi dengan wajah patuh.

"Tidak. Daritadi kau kemana saja?" Sasuke bertanya lagi seraya mulai menggores tinta di atas gulungannya.

"Saya hanya istirahat sebentar di bukit kecil di belakang." Sakura menjawab dengan nada datar. Ya. Tak pernah ada perasaan lagi. Kecuali saat ia bersama putranya dan saat ia mengingat kenangan buruknya.

"Hn. Kau boleh pergi." Sakura berjalan keluar ruangan dengan langkah pelan. Sasuke menatap punggungnya yang berjalan menjauh. Perasaan hangat dan rindu tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Terdengar aneh memang. Namun, ia sendiri tak mau mengakuinya.

"Sakura, kau bisa tunggu aku di kamar." Sasuke berucap masih dengan tatapan dinginnya.

Sakura berbalik dan menatap mata Sasuke sekilas. Ia menunduk kecil.

"Hai." Jawabnya pelan, dan menghilang di balik pintu.

:+:+:+:+:+:+:+:+:

Sakura memejamkan matanya rapat-rapat. Hembusan angin malam dengan lihainya memainkan rambutnya yang menjuntai di kedua sisi wajah, sementara sebagian lainnya tergelung kokoh dengan semat berlambang Uchiha agak tinggi di kepalanya.

Lagi-lagi ia hanya menatap kosong rimbunan pohon-pohon di bawah sana. Ia duduk di atas batang pohon tumbang yang sudah menjadi tempat termenung setianya sejak beberapa tahun lalu.

Terbayang di benaknya wajah-wajah orang yang 'dulu' amat disayanginya. Mereka semua…

Naruto dan Kakashi.

Dua orang yang paling ia sesali kematiannya karena tepat di hadapannya, kedua pria itu meregang nyawa dengan cara yang amat menyakitkan.

Tsunade.

Sang Godaime Hokage. Mentor tertingginya yang amat berjasa dan sudah seperti ibunya sendiri.

Ino.

Gadis Yamanaka yang begitu menyebalkan, sahabat karibnya.

Sai.

Shizune.

Yamato, dan orang-orang terdekatnya dulu beserta penduduk Konoha.

Kini mereka telah menghadap Kami-sama berkat seorang Uchiha.

Dulu, Sakura sangat menyayangi mereka. Dulu? Bagaimana dengan sekarang? Tentu tidak. Ia tak bisa merasakan apa-apa lagi sekarang. Ia hanya seorang Nyonya Uchiha yang patuh pada Sang Suami.

.

"Sumimasen," Sakura menolehkan wajahnya perlahan, masih dengan tatapan kosong.

Di sampingnya kini berdiri seorang pria bertubuh tinggi tegap. Sebuah senyum tipis terpeta di wajah pria tampan berambut silver itu.

Sakura dengan gerakan anggun berdiri hingga mereka berhadapan. Sakura menunduk pelan pada pria itu, begitu pun pria tersebut.

"Apa yang membawa anda kemari, Tuan Mizushima?" Sakura bertanya dengan sopan. Dengan sikap yang menunjukkan kedudukannya sebagai istri dari pemimpin klan.

"Saya dan Uchiha-sama telah selesai. Beliau memperkenankan saya untuk melihat-lihat sedikit kediaman Uchiha yang asri." Pria tampan beriris biru kelam sewarna langit malam itu berujar dengan tutur ramah. Begitulah sifat pria pemimpin klan Mizushima ini, Mizushima Ryuu, pria yang begitu ramah dan baik hati.

"Saya mengerti. Kalau begitu saya mohon diri." Sakura menunduk sekilas dan berlalu melewati Mizushima.

"Tunggu," Sakura menghentikan langkahnya begitu mendengar gumaman pelan itu.

Dengan perlahan ia membalikkan tubuhnya dan berdiri diam menatap Mizushima, berniat mendengarkan apa yang ingin pria itu sampaikan.

Mizushima tidak mengatakan apapun. Ia hanya menghampiri Sakura dengan langkah-langkah pendek dan pelan.

Hingga akhirnya mereka berakhir dengan saling berhadapan kurang lebih setengah meter satu sama lain. Sakura mendongakkan kepalanya menatap Mizushima yang lebih tinggi darinya. Tatapannya masih tak memberi makna apapun.

Mizushima Ryuu menatapnya dengan tatapan lembut. Namun sayang, wanita emerald yang ia tatap tak mampu mengecap arti dari tatapannya itu, sedikit pun tidak.

"Apakah ada yang salah?" Sakura bertanya dengan nada datar.

"Tidak. Hanya saja," Mizushima menatap dalam kedua iris musim semi di hadapannya.

"Anda baik-baik saja?" nada suaranya terdengar agak khawatir.

"Tentu saja." Sakura menjawab dengan sopan. Ia lalu kembali menunduk kecil dan berlalu pergi.

Saat itu, hatinya yang membeku terasa sedikit bergetar. Ia merasa melihat dirinya yang dulu saat melihat cara Mizushima menatapnya.

Namun, getaran itu tetap belum cukup membebaskan perasaan Sakura dari sangkar es yang melingkupinya rapat.

Sakura menghentikan langkahnya, ia berbalik sekali lagi dan tersenyum kecil.

"Arigatou." Gumamnya. Dan ia segera berbalik menuju kediamannya.

Lagi, Sakura merasa sebuah memori menghantamnya. Ia seperti memerankan peran seorang Uchiha di masa lampau saat mengucapkan ucapan terima kasih itu.

Bahkan senyum lembut yang ditunjukkan Pria Mizushima itu tak sempat tertangkap iris musim semi milik Sakura.

Kini, hanya tinggal Mizushima dengan senyumnya. Yang sekarang berubah menjadi senyum yang menyiratkan kekecewaan.

:+:+:+:+:+:+:+:+:

PLAAK!

Tamparan keras mengenai pipi Sakura. Wajahnya terdorong ke samping saking kerasnya telapak tangan itu menghantam sisi kiri wajahnya. Tak ayal tanda bayang merah terlihat di pipi putihnya. Mungkin jika ada orang yang melihat kejadian ini akan mengelus pipinya sendiri dengan tatapan ngeri, seolah-olah dirinya sendiri yang terkena tamparan yang sangat keras itu. Namun Sakura sendiri hanya menampakkan keterkejutan sekilas di emeraldnya. Hanya sekilas, setelahnya tatapannya kembali kosong seakan tak merasakan apapun. Memang, bahkan tamparan itu sudah tak berasa lagi di kulitnya. Sebeku hatinya. Tubuhnya juga tak lagi merespon rasa sakit. Mungkin hanya sedikit kebas yang dirasakannya.

Ia memutar wajahnya ke depan, sedikit menunduk menatap sebagian dada suaminya yang tertutup yukata berwarna gelap. Masih, tak ada apapun yang dirasakannya. Tak dirasanya perih di pipi, atau pun perasaan kecewa, marah atau apapun. Ia mendongak, menatap sepasang iris hitam yang balik menatapnya. Tanpa tahu apa yang tersirat dalam tatapan iris onyx itu. Ia tak tahu, dan memang tak ingin tahu. Matanya masih menatap tanpa perasaan. Bibirnya sedikit membuka perlahan.

"...gomenasai, Sasuke-sama." Ujaran yang hampir menyerupai bisikan itu terdengar begitu datar dan hambar. Sedatar emosi dalam emerald yang tengah menatap kosong pada onyx di hadapannya. Darah mengalir turun di celah bibirnya saat ia membisik pelan. Tak diusapnya darah yang terus mengalir turun itu. Sementara Sasuke terlihat sedikit kaget. Entah kaget mendengar permintaan maaf istrinya atau melihat darah yang mengalir dari bibir istrinya. Sakura malah menunduk rendah dan bergeser menjauh.

Belum satu langkah mutlak Sakura lalui, lengannya telah dicekal oleh Sasuke. Tangan Sasuke mencengkram lengannya erat. Ia hanya diam dan memandang lengannya. Sasuke menariknya perlahan. Dan sekali lagi Sakura hanya menurut dalam diam. Sasuke mendekap Sakura yang sama sekali tak merespon. Keduanya saling menatap dengan tatapan tanpa emosi. Tidak, tidak keduanya. Sakura sungguh menatap Sasuke tanpa emosi. Sedangkan Sasuke sendiri, berusaha menghilangkan sedikit perasaan menyesalnya dengan menatap Sakura tanpa rasa bersalah.

Tangannya terangkat, Sakura hanya menatap tangan Sasuke yang terangkat dan mengusap darah yang tak lagi mengalir banyak dari sudut bibirnya.

"Sembuhkan lukamu nanti." Sasuke berucap dengan suara pelan dan masih terdengar dingin. Dan menenggelamkan wajahnya di bahu Sakura. Memejamkan matanya dan menyesap wangi khas Sakura dalam-dalam. Perasaan galau dan tak tenang mulai muncul di hati Sasuke. Hanya sedikit, hatinya yang lama beku itu mulai luluh pada istrinya. Walaupun ia telah luluh terlebih dahulu pada putranya.

"Saya mengerti, Sasuke-sama." Sakura membalas dengan nada hormat dan patuh. Berbeda dengan Sasuke, tak ada perasaan apapun yang hinggap di hatinya. Hanya ada lubang hitam besar yang berisi kekosongan di dalam batinnya.

Bersambung

(17.01.2012, 12.06 AM)

Cuap-cuap author: Hai! Akhirnya saya bisa publish lg, walaupun nyuri-nyuri waktu dikit. Fic ini pertama kalinya saya nyoba genre angst. Tapi… waktu saya baca ulang kurang nge-angst y? utk itu saya minta maaf, terutama sama Nagi-chan. Pdhl fic ini seharusnya dipublish tahun lalu, tp sya baru bs ngelakuinnya skrg, blm lg kualitasnya yang jauh dr kata 'memadai'

Untuk itu, sy mohon bantuan dan komentarnya dari reader semua. Beri tahu saya tips bikin fic yang bisa bikin ngilu-ngilu sembilu. Saya akan berusaha memperdalam reaktor ngilu(?) dalam fic ini di chap depan. Jd, saran sangat dibutuhkan.

Akhir kata, Arigatou