Wakana yang baru saja akan memulai ritual paginya—membereskan ruangan klubnya—kini membeku di tempat. Kristal coklatnya melebar saat mendengar suara tegas Shin yang bertanya 'hari-ini-kau-ada-waktu'. Untuk sesaat, Wakana Koharu tidak bisa membedakan mana realita dan mana imajinasinya—

"Kau mau mengantarku ke rumah sakit, tidak?"

—dan kalimat Shin berikutnya membuat ia tahu, ini bukan imajinasinya.

.

Eyeshield 21 belongs to Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata

Fanfic ini sama sekali tidak diperuntukkan untuk mencari keuntungan komersil.

Warning (s): ShinWaka/Friendship-Romance genre/It's appropiate for teenager/use 3rd POV/abal/absolutely OOC/OC/Typo(s)/and contains many absurd things!

.

.

Carnadeite Present,

AnEyeshield 21 Multichapter FanFic that dedicated for Eyeshield 21 Fanfiction Indonesian Awards:

Heart Expression

.

"His Way"

[Bagaimanapun juga, dia tetap seorang Shin Seijuro]

.

Chapter 2

.

Dan di sinilah Wakana sekarang, di depan sebuah rumah sakit. Di sebelahnya berdiri Shin Seijuro. Untuk beberapa saat, keheningan menghampiri mereka. Ah, tidak. Bahkan semenjak di ruangan klub pun keheningan sudah menempel di kedua sisi manusia berbeda jenis itu. Namun, berbeda dengan yang ada dalam hati dan pikiran kedua orang itu. Di sisi seorang Shin Seijuro, pikirannya masih berkutat dengan segala kemungkinan kenapa dadanya terasa sesak. Apa aku sedang sakit? Tanya Shin dalam hati.

Sementara itu, di sisi seorang Wakana Koharu, pikirannya masih berkutat dengan segala kemungkinan kenapa Shin mengajaknya keluar—lebih tepatnya ke sebuah rumah sakit. Apa dia sedang sakit? Tanya Wakana dalam hati.

"Shin-san," panggil Wakana pelan. Sudah lima menit lebih mereka berdiri di depan gerbang rumah sakit. Selain kakinya sudah pegal, Wakana juga ingin segera tahu kenapa Shin mengajaknya ke sini. Ia melirik Shin, namun lelaki itu hanya memandangi rumah sakit dengan datar. Sambil menunggu jawaban Shin, Wakana merapatkan jaket biru mudanya—yang senada dengan kaos Oujou yang dipakai Shin. Angin musim gugur sedang asyik berhembus dan mengguling-gulingkan dedaunan yang sudah meranggas. Dalam hati, Wakana bertanya, "Apa Shin-san tidak kedinginan? Aku yang memakai jaket saja sudah cukup menggigil,"

Tapi Shin tidak memerdulikan tatapan ingin tahu dari Wakana. Lelaki itu malah melangkahkan kakinya ke depan. Ia tidak punya banyak waktu lagi, bahkan sebenarnya kunjungannya ke rumah sakit kali ini sudah mengganggu jadwal latihannya. Tapi ... Shin merasa ada sesuatu yang harus ia pastikan di sini. Maka ia rela menyisihkan sebagian waktunya untuk mencari jawaban. Ia melangkahkan kakinya ke dalam lobi rumah sakit itu.

Wakana yang 'ditinggalkan' langsung saja berlari kecil-kecil. Sulit baginya untuk mensejajari langkah panjang Shin. Rambut coklat yang dikuncirnya tampak bergoyang seirama dengan langkahnya. Rasanya lucu sekali melihat wajah lugu Wakana yang sedang berusaha mengejar Shin yang bertampang dingin. Sayang, tidak ada yang memerdulikan kenyataan itu. Shin sendiri sudah berada di dalam lobi langsung berbincang dengan resepsionis.

"Dokter spesialis penyakit dalam?" tanya sang resepsionis dengan wajah kaget. Ia menelan ludah. Lelaki yang ada di hadapannya itu baru saja menyebutkan kalau dirinya ingin bertemu dengan doktor spesialis penyakit dalam. Resepsionis itu kaget karena lelaki itu kan memiliki badan yang tidak terlihat sakit. Malahan, dibanding pasien yang datang kesini, ia terlihat lebih sehat. Resepsionis muda itu hanya bisa menghela nafas. Penampilan memang bisa menipu, pikir sang resepsionis.

Shin tidak perduli pada tatapan heran yang dilemparkan resepsionis muda itu. Ia hanya berharap urusan administrasi cepat selesai.

"Shin-san!" panggil Wakana. Shin hanya menoleh kepada Wakana dan kembali mengisi urusan administrasi.

"Shin-san, biar aku yang mengurus ini. Shin-san ke ruangannya dulu saja," sahut Wakana sambil mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Shin kemudian mengangguk dan memberikan pulpennya kepada Wakana. "Baiklah, aku serahkan urusan ini padamu, Manajer,"

Wakana hanya bisa tersenyum canggung sambil mengisi urusan administrasi. Sementara itu, ia melupakan sesuatu yang penting. Tapi ia langsung menepis prasangkanya.

Shin sendiri sedikit lega dengan keputusannya mengajak menajernya itu. Manajernya tahu saja kalau Shin tidak mau berlama-lama mengisi urusan administrasi. Wakana memang manajer yang baik, pikir Shin. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke arah lift utama. Menurut resepsionis, ruangan dokter yang menangani penyakit dalam itu ada di lantai 4. Shin dengan dinginnya memencet tombol lift dan—

BRAAAAK

"Dimana tangga menuju lantai 4?" Tanya Shin—entah kepada siapa.

—Wakana ingat apa yang ia telah lupakan.

.

.

"Shin-san, tidak ada yang salah dengan organ bagian dalam Anda," ujar Dokter Matsushita. Shin baru saja melalui serangkaian tes. Tapi, seperti yang kita ketahui, tidak ada yang salah dengan Shin. Dadanya baik-baik saja. Seluruh organ di dadanya baik-baik saja. Bahkan seluruh organ di tubuhnya bekerja normal. Yang salah hanyalah suhu badan Shin yang sedikit tinggi. Shin sendiri tidak kaget dengan suhu tubuhnya mengingat apa yang baru saja dilakukannya tadi malam. Hanya saja, kapten baru Oujou itu sedikit kaget dengan kenyataan kalau dia baik-baik saja.

Lalu apa yang terjadi semalam? Lalu apa yang terjadi dengan dadanya saat Wakana menatapnya dengan tatapan seperti itu? Rasa sesak di dadanya itu bukan ilusi. Shin tahu itu. Namun ia tidak ingin membicarakannya. Shin hanya diam saat dokter mengobrol dengan Wakana. Pikirannya sibuk memikirkan hipotesa keadaannya. Semuanya pasti memiliki sebab, pikir Shin.

Setelah kunjungan—yang sia-sia—itu, Shin dan Wakana langsung keluar dari ruangan dokter itu. Wakana kini berjalan di depan Shin. Yang terdengar hanyalah suara gesekan antara dua pasang sepatu dengan lantai. Tidak ada suara lain. Sepertinya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Manajer," panggil Shin datar. Memecahkan keheningan di lorong rumah sakit itu. Setelah menimbang-nimbang, Shin memutuskan untuk meminta bantuan pada manajernya. Wakana menoleh. Ekspresi kaget menghiasi wajahnya. "Ada apa?"

"Ada hal yang ingin aku tanyakan," jawab Shin tegas. Dia menghampiri sebuah bangku di lorong itu dan duduk. Wakana—walaupun sedikit bingung—juga mengikuti Shin. Ia duduk di bangku yang bersebrangan dengan Shin. Ada sedikit semburat merah muncul di pipi Wakana saat menyadari kalau Shin sedang menatapnya dengan intens. Gadis itu hanya bisa melirik ke arah lain, berusaha agar tidak bertatatapan langsung dengan Shin.

"A-apa yang ingin Shin-san tanyakan?" tanya Wakana, berusaha menghilangkan rasa saltingnya.

"Tadi pagi, kenapa Manajer menatapku seperti itu?" tanya Shin to-the-point. Tatapan itu, kalau Shin ingat bagaimana tatapan Wakana padanya tadi pagi, maka rasa sesak itu akan datang lagi. Ia ingin tahu kenapa Wakana dan teman-temannya seperti itu. Namun, yang ditanya hanya menundukkan wajahnya. "Jawablah, Manajer. Ada sesuatu yang salah dengan otot dadaku saat kau dan anggota tim lainnya memandangku seperti itu!" Nada bicara Shin yang tegas menggema di lorong yang sepi ini.

"A-apa?" tanya Wakana ragu. Pertanyaan yang lebih tepatnya ia lontarkan untuk dirinya sendiri. Shin mengulangi pertanyaannya dan alasan kenapa ia menanyakannya. Sementara itu, Wakana panik. Bagaimanapun juga, jawaban dari pertanyaan Shin itu menyangkut perasaannya. Apa dia harus membeberkan perasaannya pada Shin sekarang? Ia menelan ludah. Berusaha menetapkan hatinya kalau-kalau ia terpaksa harus memberitahukan rahasianya.

"Err ... sebagai manajer kukira anggota tim kita kecewa karena kita tidak bisa melanjutkan ke final, dan mereka juga merasakan perasaan bersalah yang Shin-san saat ini rasakan—aku juga merasakannya, Shin-san. Kita kan satu tim, normal saja kalau kita merasa kecewa dan menyalahkan diri kita saat kita kalah," jawab Wakana hati-hati. Takut menyinggung perasaan Shin.

"Kau juga kecewa padaku?" tanya Shin beberapa detik kemudian. Ekspresinya tidak berubah walaupun sebenarnya rasa sesak di dadanya berkurang sedikit setelah mengetahui kalau yang dirasakannya itu normal saja. Wakana menggeleng dan tersenyum lega, setidaknya Shin tidak menanyakan perasaannya. "Kupikir Shin-san dan semuanya sudah melakukan yang terbaik untuk tim kita, jadi ... aku tidak terlalu kecewa walaupun kita kalah. Tapi tentu saja kita ingin menang, bukan?"

"Kau benar." Shin mengangguk setuju. Lelaki itu kemudian berdiri, sepertinya Shin sudah menemukan jawaban yang dicarinya dan hendak pulang. Urusannya di sini sudah selesai, "kalau begitu, naiklah," lanjutnya sambil berjongkok.

Wakana memandang tak mengerti. "Aku tahu otot kakimu kelelahan setelah naik ke lantai 4, selain itu, untuk memenangkan pertandingan nanti aku butuh latihan tambahan untuk mengganti waktu yang kuhabiskan di sini. Kau bisa membantuku latihan, kan?" ujar Shin tanpa melirik ke arah Wakana.

Wakana sendiri tidak bisa menyembunyikan senyumannya walaupun ia tahu Shin hanya ingin latihan. Bagaimanapun juga, yang ada di hadapannya adalah Shin Seijuro. Seorang lelaki yang maniak latihan. Namun—

Wakana tetap melingkarkan kedua tangannya di leher Shin. Lelaki itu kemudian menggendong Wakana sampai turun ke lantai satu. Mereka tidak berbicara satu sama lain, tapi Wakana bisa merasakan hangatnya suhu tubuh Shin, begitupula Shin bisa merasakan hembusan nafas Wakana di lehernya. Setidaknya bagi Wakana ini lebih dari cukup daripada mengobrol dengan orang yang diam-diam disukainya. Beberapa orang yang lalu lalang menyipitkan mata sedikit heran saat melihat Shin Seijuro menggendong Wakana Koharu. Namun, Shin Seijuro menghiraukannya. Ia sedang menimbang-nimbang untuk memasukkan latihan-mengangkat-beban-di-punggung-ini ke dalam jadwalnya. Selain itu, ada sesuatu yang harus ia lakukan setelah ini. Sesampainya di lantai satu, Shin menurunkan Wakana.

"Lain kali bantu aku latihan lagi, Manajer," ucap Shin sambil mengangguk sopan. "Sekarang aku harus pergi,"

"Ya," sahut Wakana. Sesaat kemudian Shin berjalan keluar dari rumah sakit ini dan yang bisa Wakana lihat selanjutnya adalah punggung Shin yang mulai melakukan joging. Melihatnya, Wakana hanya bisa tersenyum.

—untuk sekali ini, boleh kan Wakana menganggap itu sebagai bentuk terima kasih?

.

-Owari-

.

A/N: Apa kabar minna-sama? Baik-baik saja? Deite kembali dengan satu fic sederhana (?) :) Yap, saya ikutan awards lagi, yeeey! Tadinya mau bikin gore AgonMamo tapi ternyata gak mampu. Jadilah bikin fic ini. Tapi saya tau kok, fic ini aneh dan ... tidak memuaskan ;_; Harapan saya sih semoga fic ini bisa meramaikan event~ Ikutan event kayak gini ternyata asyik, ya? #dia ketagihan. Maaf buat adegan di rumah sakitnya, saya gak pernah berurusan dengan rumah sakit, apalagi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Jadi saya cuman bisa meraba-raba prosesnya kayak gimana. Maaf kalau tidak sesuai. O, ya menurut kalian, genre-nya udah pas belum, ya? Saya pending publish cerita ini karena ragu nentuin genre-nya. Asa gak ada yang pas gitu #pundung. O, ya panitia, maaf kalau 'heart expression'nya kurang terasa~ m(_ _)m

O, ya. Sekalian numpang bales review, boleh?

Untuk Naomi yang review di Reciprocated Love; Jangan nangis, jangan nangis v Maaf ya kalau aku jahat v Err ... makasih udah suka RL, jangan segan review lagi :*

Lalu untuk Eyeshield 21 award yang review di Faktor X saya bales disini gak apa-apa? Err ... selamat malam/pagi/siang juga :) makasih buat konkritnya, sering-sering ngasih doong :3 Err ... interaksi di faktor X dibilang manis? QAQ #pingsan. #bowed. Makasiih ya panitia, ganbatte! :**

Terus, untuk Yuki Kineshi yang review di His Way, ch 1, kamu suka ShinWaka? :) ini lanjutannya~ makasih udah review~ (dan sering-sering review yaa~) :**

Lalu untuk Lala san Michiru yang review di His Way ch 1, kamu juga suka ShinWaka, yaa? :) humor? Ta-tapi pas saya baca ulang ... fic ini gak ada lucu-lucunya ;_; #garukin tembok. Mungkin lain kali saya bikin yang emang khusus genre humor :) ini udah update~ makasih udh review—dan review lagi, yaa :**

Okaay ... thank you for read and see ya' later!

.

.

Carnadeite,

(March 23th 2012-March 24th 2012)-(edited in 29th March 2012-31th March 2012)

'His Way'

Isn't ... formally finish.

.

-Omake-

.

Matahari sudah berada di puncaknya. Namun, suasana tidak terlalu panas karena sinarnya terhalang oleh awan. Namun itu tidak menyurutkan semangat sekolompok orang. Terlihat banyak orang kini berdiri dan duduk di tengah lapangan yang sering dipakai Oujou untuk latihan. Baju putih-birunya terlihat mencolok bila dilihat dari kejauhan. Mereka tampaknya baru saja berlatih, terlihat dari peralatan amefuto yang berserakan di mana-mana.

"Hei, itu Shin-san!" sahut salah satu anggota saat matanya tak sengaja mendapati sosok Shin yang baru saja sampai ke lapangan. Semua mata kemudian tertuju pada Shin. Sementara itu, sang perfect player versi Doburoku-sensei itu hanya bisa menatap anggota timnya.

"Bukankah hari ini tidak ada latihan?" tanya Shin heran. Biasanya, sehari setelah pertandingan tidak ada yang berlatih tapi kali ini ... semuanya ada di lapangan. Bahkan Ikari pun hadir. Sementara itu, yang lainnya saling berpandangan, membuat Shin semakin heran.

Puk

Shin menengok ke belakang dan mendapati Otawara, Takami, dan Sakuraba sedang berdiri di belakangnya.

"Kita hanya bisa menghilangkan rasa bersalah ini dengan latihan, Shin. Bukankah itu juga yang kau rasakan?" tanya Takami sambil membetulkan posisi kacamatanya. Shin dan Otawara mengangguk setuju.

"BA HA HA HA HA, Takami, kau jenius," sahut Otawara sambil mengupil. Takami hanya tersenyum. Namun Sakuraba langsung menyikut Kak Takami. "Itu salah! Kita akan menghapuskan rasa bersalah kita dengan menjadi pemenang tahun depan, betul kan Shin?"

Shin hanya mengangguk. Tentu saja, Oujou akan menjadi pemenangnya.

[Saat hati merasa bersalah, first things to do adalah memaafkan kesalahan yang kita lakukan]

-Carnadeite-