EDITED: 18/12/2012

Karakuri Burst~

*Len*

"Kakaaak, ayo coba kejar aku!" seru seorang gadis kecil berambut pirang. Seorang bocah yang berambut pirang mengejarnya dengan terengah-engah.

"Rin, pelan-pelan! Kau... hhh... hhh... terlalu cepat!" Gadis itu berhenti berlari dan tersenyum mengejek padanya.

"Masa' begitu saja sudah capek? Kamu ini kakak laki-lakiku bukan sih?" tanyanya meledek.

Bocah itu duduk bersandar di pohon untuk beristirahat. Wajahnya berkerut kesal. "Pokoknya, suatu saat nanti, aku akan menjadi kakak yang bisa melindungimu!" ujarnya agak kesal.

Gadis itu tertawa terbahak-bahak. "Yang benar saja deh, Len. Kamu? Melindungiku? Tidak terbalik tuh?" godanya di sela tawanya.

Bocah itu melipat tangan di dada dan menatap adik kembarnya dengan tatapan jengkel. "Aku serius!"

Gadis itu berhenti tertawa dan menghampirinya. Dia duduk di sampingnya sambil tersenyum lebar. "Oke deh kakakku sayang yang seorang ksatria gagah berani. Kupegang kata-katamu itu. Yah, meskipun aku jauh lebih menyukai pangeran berkuda putih."

Ia bersandar ke batang pohon yang kasar dan menghela napas. Langit hari itu cerah tanpa awan. Kicauan burung-burung sayup terdengar. Angin berhembus, meniupkan semilir angin musim panas. Siang itu, padang rumput tempat mereka bermain terlihat begitu tentram, indah. Pohon tempat mereka bersandar adalah satu-satunya pohon yang berada di sekitar situ. Pohon elm yang tua itu berdaun rindang dan tinggi. Cahaya matahari yang lembut menerobos sela-sela ranting pohon. Hari musim panas dengan cuaca terbaik tahun ini.

"Len?"

"Hm?"

"Kenapa ya, hari ini Mom dan Dad tidak mau pergi berpiknik? Maksudku, lihat ini," dia membentangkan tangannya, sekakan mencoba menggambarkan keindahan padang rumput hari itu, "sinar matahari, kicauan burung, aroma semerbak bunga dandelion. Bukankah ini hari yang cocok untuk piknik?"

Bocah itu mendesah berat. Berapa kali sih, dia harus menjelaskan ini pada adik kembarnya itu?

"Rin, Mom sudah bilang kalau hari ini mereka berdua sibuk kan? Pasti ada urusan lain yang sangat penting sampai-sampai mereka tidak bisa. Dan kalau bertanya, urusan penting itu artinya―"

"Sesuatu yang lebih penting daripada merayakan ulang tahun anak perempuannya yang ke-9 tahun 6 bulan. Harusnya Mom tahu 27 Juni itu hari kedua terpenting dalam setahun untukku!" putusnya getir.

Bocah berambut pirang itu menatapnya dan tersenyum hangat. Dia membelai rambut pirang pendek adiknya lalu menghiburnya. "Rin, kamu bicara apa, sih? Tentu saja bukan karena itu! Mereka terlalu sibuk untuk merayakan hari spesialmu. Um, maksudku, kita tentu saja." "Tapi... TETAP SAJA!" katanya jengkel sambil duduk memeluk lututnya.

"Aku mengerti perasaanmu, Rin. Oh! Aku lupa memberikan ini padamu!" ucapnya teringat.

Ia merogoh kantong celananya yang berwarna putih. Ibu mereka yang menjahitkannya. Gadis itu juga memakai dress lengan pendek berwarna putih. Ibu mereka selalu mengingatkan, 'Putih adalah warna yang suci, melambangkan kebenaran.' Waktu itu, mereka pernah bertanya mengapa. Ibu mereka hanya tersenyum sedih dengan tatapan menerawang. 'Kalian tidak perlu tahu.' Bocah itu tersenyum senang saat menemukan benda yang dicarinya di kantongnya. Ia mengulurkan sebuah benda berbentuk lingkaran.

"Selamat hari ulang tahun yang ke sembilan setengah tahun!" ucapnya sambil tersenyum.

"Apa ini?"

Gadis itu meraih benda itu lalu langsung menyadarinya. Itu adalah sebuah cincin perak berukiran dengan hiasan berbentuk semanggi berdaun empat yang terbuat dari batu amber. Gadis itu memakainya di jari manisnya. Masih longgar, namun cincin itu memancarkan cahaya kuning jingga yang bercampur dengan warna pelangi, seakan terdapat prisma di dalamnya. Bau harum amber menyeruak ke udara. Gadis itu menatap kakak kembarnya terperangah. Kakaknya hanya tersenyum. Senakal apapun adik perempuannya itu, ia masih menyayanginya. Setetes airmata keluar dari bola mata gadis itu yang biru sewarna langit. Gadis itu tersenyum lebar.

"Len! Aku― aku tidak tahu apa yang harus kukatakan!" gadis itu menahan isakannya dan berbisik, "Terima kasih."

Bocah itu mencium pipi adiknya lembut. "Aku berjanji, aku akan menjadi pelindungmu selamanya. Aku akan melindungimu dengan nyawaku."

Gadis itu mengusap airmatanya dan menatap mata kakaknya yang identik dengannya. Gadis itu mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji ya?" Bocah itu tersenyum lebar dan mengaitkan jari kelinkingnya di jari adiknya.

"Aku berjanji."

Gadis itu melangkah menjauh dari pohon elm itu sambil bersenandung. Ia berputar sambil mengangkat kedua ujung dressnya sambil tertawa. "Ayo Len! Kita harus memamerkan ini pada Mom dan Dad supaya mereka menyesal tidak pergi piknik bersama kita!" ajaknya kegirangan.

Bocah itu hanya mengikutinya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dalam perjalanan ke rumah tempat mereka tinggal di tepi padang rumput, mereka berdebat tentang apa yang akan disajikan ibu mereka tersayang sebagai kejutan. "Aku bertaruh itu pasti puding jeruk yang besar!" "Puding jeruk? Yang benar saja! Mom pasti membuatkan kita banana split raksasa!"

Sesampainya mereka di depan rumah mereka yang sederhana, mereka mendengar suara keras yang aneh. Mereka yang baru sampai terlonjak.

"Apa itu?" tanya bocah itu pada adiknya. Ia menggeleng ketakutan. "

Aku tidak tahu, tapi... aku takut," aku gadis itu.

Bocah itu merasakan adiknya memeluk punggungnya ketakutan. Ia hanya tersenyum menenangkan.

"Tidak apa-apa, tenang saja," ujarnya meyakinkan, meskipun ia sendiri meragukan kata-katanya sendiri. Suara itu terdengar familier. Seperti bunyi kembang api, hanya saja lebih mengerikan. Seperti...

suara letusan senjata.

Mereka perlahan masuk melalui pintu depan. Pintu itu tidak terkunci, sebaliknya malah terbuka lebar. Bocah itu mendorong pintu itu terbuka ketakutan. Orang tua mereka selalu mengunci pintu, kenapa bisa terbuka begitu saja. Mereka perlahan masuk ke ruang depan. Tirai-tirai semua jendela tertutup rapat dan lampunya dimatikan sehingga mereka tidak melihat dengan jelas. Tapi mereka bisa melihat lima sosok bertengkar dalam cahaya yang temaram. Sosok kelima terlihat terkulai dan bergeming di lantai. Siapa mereka? Mereka bisa mendengar salah seorang dari mereka sedang memebentak seseorang, terdengar familier. Mereka tahu itu ibu mereka. Suaranya terdengar penuh amarah sampai-sampai mereka tidak yakin wanita itu adalah ibu mereka.

"Kalian tidak bisa mengambil mereka dari kami! Kontrak itu sudah tidak berlaku lagi sekarang!" Mereka mendengar suara seorang wanita lain tertawa.

"Tidak berlaku? Mrs. Chamberlain, sebuah kontrak," seorang sosok melambaikan sesuatu di udara, "tetaplah sebuah kontrak."

Mereka melihat seorang sosok menarik kerah seorang sosok lain yang mereka duga ibu mereka.

"Bagaimana kalau kita membuat keputusan yang adil? Kau lari dari organisasi kami karena perjanjian itu karena menurutmu sekarang tidak berlaku lagi. Bagaimana kalau salah satu dari mereka?"

Gadis berambut pirang yang sedari tadi menonton kejadian itu di belakang kakaknya menggigit kukunya cemas. Apa yang sedang mereka bicarakan? Gadis itu mendapatkan firasat buruk.

"Salah satu dari mereka? Kalian tidak mungkin bisa mendapatkannya dariku!" jerit ibu mereka. Seketika, salah satu sosok itu memukul ibu mereka sampai jatuh ke tanah. Gadis berambut pirang itu terkesiap dan berteriak memanggilnya,

"MOM!"

Seluruh sosok di ruangan itu kini menoleh ke arah mereka. Mata ibu mereka melebar dan wanita itu berbicara tanpa suara. Tapi di tengah keremangan, mereka bisa membaca gerakan bibirnya. 'Lari.' Sebelum mereka dapat bereaksi, terdengar kembali suara tembakan. Sebuah peluru menebus kepala ibu mereka, membuat darahnya bercipratan kemana-mana. "

MOM!" jerit bocah itu.

Mereka menatap tubuh ibu mereka itu ambruk ke tanah, menciptakan genangan darah hangat di lantai. Mereka tahu, sejak saat itu mereka tidak akan melihat ibu mereka lagi. Ketiga sosok lain mendekat, membuat si kembar dapat melihat wajah mereka.

"Lihat ini. Kembar, hm? Yang mana yang akan kau pilih, ketua?" tanya seorang wanita yang berambut hijau muda pendek.

Seorang wanita lain dengan rambut tosca yang dikuncir disanggul tersenyum licik dan memandang mereka merendahkan. Bocah itu benci cara wanita itu memandangnya. Cengirannya mengingatkannya pada tokoh penyihir dalam cerita 'Putri Salju' yang sering diceritakan ibu mereka setiap malam. Ibu mereka yang telah terbunuh. Yang telah ditembak mati oleh mereka. Dalam sekejap, kebencian meluap dalam hati bocah itu. Tapi mereka tetap di tempat, tak sanggup bergerak. Wanita itu mendekati gadis berambut pirang itu dan menjambak rambutnya, membuatnya menjerit kesakitan.

"Rin! Apa yang ka―"

"Gadis kecil ini akan menjadi subjek yang sempurna," wanita itu berpaling pada sesosok lelaki. "Kiyoteru, tandai dia."

Tandai? tanya bocah itu dalam hati. Tetapi dia tahu, pertanyaan itu akan segera terjawab. Lelaki itu maju dan menahan kepala gadis itu dan mengangkatnya, membawa sebuah pisau panjang. Lelaki itu tersenyum ketika ia mendekatkan pisau itu ke wajah gadis itu. Gadis itu mulai menangis dan meronta, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari cengkramannya. Bocah itu merasakan bahwa adiknya berada dalam bahaya.

"HEI! Lepaskan adik―" suaranya terputus oleh jeritan keras adiknya.

Pria itu mulai 'menandai' adikknya, menghujamkan belati tajam itu ke mata kiri gadis itu. Darah bercipratan dari luka di matanya, disertai rontaan yang semakin keras. Tapi pria itu tidak bergeming, hanya tersenyum girang seakan dia melakukan suatu hobi yang lama tidak dilakukannya. Mata bocah itu terbelalak. Melupakan rasa takutnya, ia menerjang pria itu dan memukul-mukulnya.

"Lepaskan adikku! LEPASKAN!" jeritnya penuh amarah.

Ia dapat merasakan tetes demi tetes darah hangat membasahi wajahnya, bercampur dengan airmata. Pria itu bergeming, tetap berkutat mencungkil mata adiknya. Mata kiri bocah itu berdenyut sakit. Ia dapat merasakannya, penderitaan saudari kembarnya. Karena itu, dia harus menghentikannya. SEKARANG JUGA.

"KUBILANG LEPASKAN!" teriaknya lagi lalu menggigit betis pria itu yang terbungkus celana panjang. Ia menggigit sekuat tenaga sampai seluruh giginya terasa sakit dan matanya berair. Tak lama kemudian ia merasakan giginya menembus ke daging pria itu dan darah mengalir deras memenuhi mulutnya. Tetapi bocah itu tidak melepaskan pegangannya. Pria yang sedari tadi mengabaikannya itu meraung kesakitan. Akhirnya ia mengalihkan perhatiannya ke bocah itu.

"Bocah sial! Lepaskan!" Ia menendang-nendang bocah itu agar dia melepaskannya, membuat kepala bocah itu membentur-bentur lantai keramik. Darah mulai muncul dari bekas hantaman itu, membuatnya melepas gigitannya dan terlempar ke seberang ruangan dan membentur dinding.

Matanya berkunang-kunang sejenak, rasa sakit menjalari syarafnya. Ia terduduk lemas disana, tak mampu bergerak. Bocah itu melihat adiknya pingsan karena rasa sakit namun ia tak bisa menyelamatkannya. Ia terengah, melihat pria itu menghampirinya di tengah pandangannya yang buram oleh darah. Pria itu menatapnya penuh kebencian.

"Tampaknya anak ini butuh ditandai untuk itu." Dalam sekejap, ia merasakan hujaman pisau di mata kanannya.

"AAAAAAAAAKKKKKHHHHH!"

Sensasi terbakar menusuk matanya. Sakit. Hentikan. Kalian jahat! Seberapapun ia menjerit, pria itu hanya tersenyum dan meneruskannya. Darah mulai mengaliri pipi kanannya sementara pisau itu mengorek-ngorek rongga matanya. Mata kirinya dipenuhi airmata kesakitan. Pria itu akhirnya melepaskan pisau itu dan tersenyum puas. Bocah itu mennggenggam mata kanannya yang terluka. Dengan mata kirinya, ia melihat genangan darahnya sendiri di lantai dan pemandangan yang paling mengerikan yang pernah dilihatnya selama hidupnya; bola matanya yang biru diwarnai warna merah, menggelinding di bawah kakinya. Pria itu berdiri dan menjauh, membawa adiknya yang tak sadarkan diri. Kehabisan tenaga dan kesakitan, suaranya berubah menjadi bisikan.

"Rin..." Pandangannya menggelap.

Janjiku adalah, suatu saat aku akan melindungimu dengan tanganku ini.

Maafkan aku, janji kita telah lenyap bersama dirimu pada hari itu.


Aku tersentak dan terbangun, terengah. Aku meraba mata kananku, merasakan sebuah penutup mata ala bajak laut terpasang disana. Aku menghela napas.

"Mimpi itu lagi."

Tiba-tiba, seseorang membanting pintu kamarku keras-keras. Kata kuncinya adalah keras-keras. Aku terlonjak. Oh, tidak. Jangan dia lagi!

"Selamat pagi, Len-kun!" panggil seorang laki-laki berambut biru. Aku berbalik dan mengerang.

"Kaito! Demi Pelindung Hasegraal, apakah kau tidak tahu tata krama yang disebut mengetuk?" Pria yang bernama Kaito itu tersenyum licik.

"Ketika kau tidur seperti 'Sleeping Beauty'? Um, kurasa tidak. Tidak."

Aku memutar bola mataku jengkel. "Tak bisakah kau berlaku seperti seorang komandan?" gerutuku.

"Tak bisakah kau berlaku seperti bawahanku?" beonya dengan nada sok melengking. Sial, menjadi cowok bersuara tinggi memang menyakitkan.

Ekspresinya seketika berubah menjadi serius. "Kuasumsi kau sudah mengetahui perihal kasus itu."

Aku meraih handuk tanpa berpaling darinya. "Kasus pembantaian di desa itu? Ya, aku sudah mendengarnya." Aku menaruh handuk itu ke sekeliling leherku dan tersenyum.

"Kutebak kita punya pekerjaan yang harus dilakukan."

Kaito mengangguk. "Ya, kita punya."