Timeline : Episode 224 (yang pas Saku-Ino-Chouji dikasih misi ke pulau Nanakusa yang diindikasi surganya tanaman obat lalu bertemu Naruto yang sedang berlabuh karena guru Gai mabuk laut XD)

Note : inget lagu Nidji yang Manusia Sempurna? Aku nulis adegan terakhir fic ini dengerin lagu itu loh… kalau ada yang punya sekalian denger ya ^^

Naruto milik Masashi Kishimoto

A SasuSaku-Canon's fic.


Tentang Cinta


Tobi melirik, memerhatikan dengan seksama. Dari sebelah mata sharingannya, ia dapat melihat dengan jelas Sasuke berkali-kali menipiskan bibir sendiri. Di tangan adik tunggal Itachi itu terdapat beberapa mawar yang indah itu sangatlah cantik. Besar, segar, beraroma khas.

"Berapa jumlahnya?" tanya Tobi.

"Apa?" Sasuke bertanya balik apa yang Tobi maksud. Bukannya kembali ke gua markas, Sasuke malah berjalan ke arah air terjun dengan keadaan perban yang menutup kedua matanya.

Tobi tidak heran, ia tahu apa yang akan Sasuke lakukan jika melihat mawar merah yang cantik itu tengah dicoraki oleh cairan kental yang warnanya lebih gelap dari sang kelopak mawar.

"Mawar itu?" Tobi memperjelas pertanyaannya, "Terlalu banyak untuk dibawa dengan kedua tanganmu. Kau terlalu memaksakan diri."

"Oh," hidung Sasuke mengendus-endus udara, ia menyeringai tipis dan miring mencium aroma segar, "Bisa tolong kau bantu aku?" pinta Sasuke berjongkok sebelah lutut di pinggir muara air terjun.

"Baiklah," Tobi ikut berjongkok. Tanpa bertanya, Tobi juga sudah tahu apa yang Sasuke pintai tolong. Satu persatu mawar itu berpindah tangan dan Tobi membersihkannya. Pria bertopeng itu membersihkannya dengan hati-hati, namun tetap saja dua tiga goresan karena duri tetap didapatkan sarung tangan hitamnya.

Selagi membersihkan pun Tobi sesekali melirik, Sasuke berusaha tidak bersuara menahan perih dengan lenguhan teramat pelan dari bibirnya yang sedari tadi ia tipiskan. "Sshh…" suara bisikan menahan sakit itu pun tak dapat ditahan Sasuke lagi. Terlalu banyak lubang dalam telapak tangannya.

Setelah selesai, Tobi mencipratkan sedikit air di kedua tangan Sasuke yang sudah memiliki luka tusuk duri. "Apa yang kau lakukan!" Sasuke berusaha menyembunyikan tangannya yang terasa semakin perih. Kedua matanya dalam keadaan tertutup mungkin membuatnya tanpa sadar telah menunjukan ekspresi dari giginya yang menggertak menahan perih.

"Itu harus lekas dibersihkan, nanti infeksi," Tobi memperingatkan berniat menciprati sedikit air lagi, tapi Sasuke mengelak seakan tahu sebelumnya. "Cukup! Ini bukan urusanmu!" ketusnya tak suka. "Kembalikan saja mawarnya!"

Tobi mengangkat bahu dan melempar asal mawar-mawar itu. Sesuai dugaannya, Sasuke yang dalam keadaan buta itu mempunyai refleks bagus. Uchiha termuda itu menangkap mawar-mawar tersebut dalam pelukannya, karena ia hampir tidak sanggup untuk menyentuh tangkai mawarnya yang penuh duri.

"Jangan melemparnya sembarangan, sialan!" Sasuke protes setelah tahu satu mawar jatuh ke tanah karena tangannya tak lagi bisa bergerak cepat saking perihnya sehabis terkena air dan tertiup angin malam.

Secara hati-hati Sasuke menaruhnya di atas tanah berumput dan mengeluarkan kunai-nya. Tobi duduk bersila di seberang Sasuke sambil memperhatikan. Sasuke mencoba memegang satu persatu tangkai mawar-mawar itu dan membersihkan durinya.

Namun Uchiha yang satu itu tak bisa menyembunyikan ekspresinya yang berusaha mempertipis ringisan pedihnya tiap kali duri-duri itu membuat luka tusukan baru, atau lukanya tergesek tangkai dan gagang kunai.

"Kau terlihat seperti orang dungu," Tobi mengejek dan merebut kunai tersebut. "Tidak perlu sok, aku bisa membantumu sekali lagi untuk ini." katanya lantas memotong duri-duri mawar tersebut. "Jadi, gadis itu tujuh belas tahun?"

Tobi dapat melihat alis kelam Sasuke mengkerut sedikit, "Tujuh belas tangkai mawar," gumamnya seperti selesai menghitung, "Kau harusnya tidak perlu kepayahan. Berikan saja beberapa tangkai yang jumlahnya tujuh belas kelopak."

Sasuke tidak menjawab, ia ingin membantah, mengelak, tapi ia tahu Tobi memang tidak bisa dibohongi. "Dia… tidak akan menghitung kelopaknya."

Tobi terkekeh masih memotong-motong duri dengan kunai, sekilas melirik Sasuke, "Jadi kau ingin dia menyadari kalau bunga yang kau berikan sesuai usianya?"

Andai Sasuke sadar wajahnya sedikit memerah. Ia tetap sering menipiskan bibirnya selagi melenguh pedih.

"Dan kau bersikeras mempertahankan luka-lukamu, karena dia… ninja medis kan?" Tobi mehanan kekehannya mati-matian melihat tampang Sasuke yang berhenti meringis kesakitan.

"Urusai na!"

Akhirnya kekehan Tobi pecah. "Che, anak muda. Yah, lakukanlah sesukamu selagi kau atau dia masih hidup…" suara Tobi perlahan memelan…

"Setelah ini, aku butuh bantuan sekali lagi—"

"—ya, tentu." Tobi menyahut cepat, suaranya tak bersemangat mengajek seperti tadi. Datar, lalu menghela napas. Dalam hatinya, pria bertopeng itu menyebut satu ninja medis di masa lalu… Rin…

.

==00==00==00==

.

"Jidat, kau belum tidur?" tanya Ino keluar dari tenda. Mereka sedang berada di pulau Nanakusa sesuai perintah Hokage untuk menciduk bahan dasar ramuan di pulau yang diidentifikasi sebagai harta karun tanaman obat—untuk keperluan perang yang akan dihadapi beberapa bulan lagi.

Beberapa jam yang lalu mereka baru berlabuh dan langsung mendirikan tenda di tepi pantai untuk tidur. Tim mereka kali ini diberi misi untuk mengambil tanaman obat-obatan yang berada di pulau tak berpenghuni ini.

"Seperti yang kaulihat…" Sakura bergumam kembali menatap rembulan yang menggantung rendah di langit. Ia sedang membaringkan diri di atas terpal dan menggunakan kedua lengannya yang ditekuk kebelakang sebagai alas kepala.

"Kira-kira, sekarang jam berapa, ya?" tanya Ino duduk di sebelah atas kepala Sakura.

"Tepat tengah malam, Ino." Jawab Sakura sekenanya, tanpa menoleh. Sedari tadi kepalanya hanya dipenuhi oleh Sasuke. Kejadian dua hari yang lalu… saat Sasuke tiba-tiba muncul.

Rasanya hangat jika mengingat-ingat itu. Namun terasa sakit pula, Sakura harus menyembunyikan kenyataan tersebut. Bukan maksud berpamer jika saja bisa bercerita terhadap seseorang. Sakura hanya merasa tidak punya tempat untuk bercerita kala kegundahan dalam hatinya mulai mencuat.

Ia merindukan laki-laki itu.

Uchiha Sasuke.

"Otanjoubi Omedetou, Jidat!"

Sebuah anyaman tipis berbentuk keranjang kecil menapak di atas kening Sakura. Sakura terdiam sesaat, kemudian tersenyum dan bangkit membuat keranjang kecil itu terjatuh—namun Sakura segera memungutnya.

Sebuah keranjang kecil berukuran dua belas kali dua belas inci. Keranjang itu berwarna kuning kecokelaan dengan pita kain merah di gagangnya. "Arigatou, Pig!" serta merta Sakura memenjara Ino dengan kedua tangannya. Memeluk erat dan berayun-ayun.

"Aku bahkan tak ingat hari ini ulang tahunku!" Sakura yang sibuk memperhatikan keranjang kecil tersebut. "Cantiknya!" namun senyuman Sakura pudar kala melihat Ino tak lagi tersenyum padanya.

"Ada apa?" tanya Sakura menaruh keranjang pemberian Ino di pangkuannya. Sepasang aquamarine Ino menatap intens Sakura. "Apa yang kau sembunyikan dariku, jidat?"

Sakura mengangakat alisnya tidak mengerti dengan apa yang Ino katakan. "Sembunyikan apa?" tanya Sakura balik karena benar-benar tidak paham. Tiba-tiba Ino bertanya seperti itu. Maksud dari yang disembunyikan?

Satu-satunya hal yang Sakura sembunyikan adalah…

"Dua hari yang lalu," Ino melipat tangan masih menatap Sakura dengan tatapan menuntut. Menekan psikis Sakura yang kini tertunduk setelah terkejut. Dua hari yang lalu, adalah kedatangan Sasuke. Bagaimana Ino bisa tahu?

Apa Ino membentuk segel segitiga saat memeluknya? Hingga dapat membaca apa yang ada di kepala Sakura? Tapi… Sakura tidak merasa sedang memikirkan kejadian duka hari yang lalu saat dipeluk Ino…

"Memangnya," Sakura menggosok sebelah lengannya sambil berdehem, "Apa yang kau ketahui soal dua hari yang lalu?" Manik hijau Sakura tak lagi menatap Ino, hanya terpal di bawah mereka yang menutupi pasir. Angin malam pantai semakin dingin dan hanya terdengar deburan ombak karena Ino tidak menjawab.

Sakura mengangkat kepalanya, Ino masih menatap penuh tuntutan. Akhirnya, Sakura menghela napas gugup. "Baiklah, aku bertemu Sasuke."

"Dia memelukmu …" Ino tidak melanjutkan kata-katanya, sepasang mata biru kehijauannya bergerak kehilangan arah. "Tunggu," jarinya mengetuk kepalanya sendiri, "Bagaimana bisa ia di depan rumahmu?!" kini Ino melempari lagi tatapan menuntut penjelasan pada sahabat merah mudanya.

"Bagaimana kau bisa tahu aku bertemu dengannya, tapi kau tidak tahu bagaimana bisa dia di sana saat itu?" Sakura bertanya balik. Rasanya janggal saja kalau Ino membaca keadaan tidak detail seperti sekarang ini.

Ino menghela napas, "Baiklah, ini jutsu baruku," ungkap si pirang cantik sambil menaruh kedua telapak tangan di atas lututnya yang bersila. "Setiap benda yang kusentuh, aku akan tahu apa yang pernah terjadi dengan benda tersebut."

Sakura menoleh, penasaran. "Benda?" ulangnya dan mendapat anggukan Ino. "Memangnya aku benda?" Sakura bingung dengan nada sedikit tersinggung. Ino mengibaskan tangannya.

"Bukan, aku kan sehabis menyentuh bajumu. Baju yang kaupakai saat dipeluk Sasuke. Setiap benda memiliki memori tak nyata. Aku bahkan bisa tahu kalau bajumu itu sudah pernah empat ratus sembilan puluh tiga kali dicuci, empat ratus tujuh puluh disetrika dan kau memilikinya sekitar tujuh belas bulan yang lalu, ibumu membelinya di pasar dekat kedai dango. Dan pernah menjahitnya enam kali dibagian ketiak karena robek." Terang Ino panjang lebar.

Sakura membuka mulutnya tak berkata-kata. "Sugoi na…!"

Ino tersenyum bangga, memang pada dasarnya setiap shinobi atau kunoichi biasanya bisa membuat jutsu sendiri dari kekkai genkai masing-masing. Dan Ino sudah membuatnya satu yang unik dari khas telepati Yamanaka. "Tapi aku hanya bisa membaca apa yang terjadi dengan yang kusentuh. Selebihnya aku tidak tahu." Ino mengangkat bahu.

Lalu tiba-tiba gadis Yamanaka itu menepuk dahinya, "Ah, kenapa jadi panjang lebar? Yang ingin kutanyakan, kenapa bisa Sasuke di tempatmu?!" telapak Ino mencengkram pelan lengan Sakura. Sakura berjengit bukan karena sakit, tapi karena bingung ingin menjawab apa.

"A-aku…" Sakura menunduk kembali, serentet kata-kata pujian yang siap meluncur untuk jutsu baru Ino urung keluar. "Tidak tahu…" gadis itu berdehem kala Ino semakin mendekat padanya. Kadang-kadang sahabatnya itu membuatnya merinding jika mengintrogasi. Yah, Yamakana…

"Jangan berbohong, Jidat…"

"Sungguh, aku tidak tahu!" Sakura menggerak-gerakan telapak tangannya seperti menyerah. "Dia tahu-tahu ada di sana. Aku juga sempat bingung dan melukainya, bahkan. Tapi dia… mmm!" penjelasan Sakura terpotong oleh telapak tangan Ino.

"Oy, apa yang kalian bicarakan?" tanya Chouji yang baru saja datang membawa ranting-rantingan untuk membuat api unggun. Sebagai satu-satunya laki-laki yang diluncurkan dalam misi ini, Chouji berinisiatif mencari kayu untuk dibakar ketika selesai mendirikan tenda.

"Ah," Ino mengibaskan tangannya, "Ini masalah wanita, kau mau tahu saja!" jari Ino mencubit Sakura diam-diam agar sahabatnya itu mengangguk membenarkan. Sakura meringis mengusap pinggangnya yang terasa sedikit dicabik lalu mengangguk tak ikhlas.

Chouji mengangkat bahu. Pemuda Akamichi itu menyusun ranting-ranting dengan cekatan dibantu Sakura dan Ino yang memilah-milih ranting terbesar untuk dibakar. "Nee, ngomong-ngomong futon-nya cuma bawa dua buah," beritahu Ino kemudian menyisir poni pirangnnya dengan jari, selagi Chouji menggesek dua batu untuk membuat api.

"Tidak apa-apa. Kau dan aku kan bisa berdua," Sakura melegakan. Ia duduk di samping Ino sambil menunggu Chouji yang sedang menggembungkan pipi bersiap untuk meniup api. Dan benar, ketika gemericik kecil kilatan panas itu terlihat, Chouji meniupnya dengan sedikit tekanan chakra sehingga api langsung membakar ranting dengan sempurna.

"Wah, kau ahli menyalakannya!" Sakura berseru kagum meninju lengan Chouji main-main.

Ino mengibaskan tangannya, "Ah tentu saja, ia sering membuat tempat arang yakiniku jika tidak sabar dengan penjual pun dia ikut membantu lho!"

Tim sepuluh minus Shikamaru itu pun tertawa bersama Sakura. Mereka sedikit berbincang-bincang mengenai persiapan perang. Rasanya seperti menghadapi kiamat saja. Tapi Sakura bersyukur. Ia bisa bertemu Sasuke dua hari yang lalu. Ino dan Chouji masih berbincang soal persiapan bekal medis dan persenjataan.

Sementara Sakura menggeser pandangannya pada deburan ombak yang berkilauan disinari rembulan. Suara ombak yang memecah pada batu karang itu membuatnya nyaman. Sepertinya ia mulai menyukai laut.

Terlebih, desau angin yang membuatnya memejamkan mata… seolah dapat merasakan suara berat Sasuke dan aroma tubuh pemuda itu menyelimutinya saat ini.

.

.

.

Sasuke…

.

.

Sakura…

.

.

Satu kelopak mawar terbang ke jendela luar kamar Sakura yang terbuka.

.

.

Misi di pulau Nanakusa mengalami sedikit hambatan karena bertemu dengan shinobi Benisu. Tapi syukurlah Sakura, Ino dan Chouji bertemu dengan tim misi yang lain. Yaitu Naruto bersama Gai-sensei, Yamato-taichou dan Aoba-senpai.

Rupanya Naruto dan tim senior itu punya misi rank S pertama Naruto. Sakura sedikit tersenyum tidak enak sehabis membohongi. Ia tahu misi rank S itu hanya akal-akalan sang Hokage dan Alianshi agar Naruto terisolasi dari perang. Karena tujuan perang yang akan datang adalah untuk melindungi Naruto sang jinchuuriki dan Kyuubi.

Hikmahnya pertemuan mereka di pulau Nanakusa, Naruto melindungi Sakura, Ino dan Chouji dari shinobi Benisu dan pulang dengan selamat membawa bahan dasar ramuan yang ditargetkan dengan sukses. Mereka dan tim Naruto berpisah karena Naruto akan melanjutkan perjalanannya sementara Sakura dan teman-temannya kembali.

Sesampainya di pelabuhan—setelah melewati perjalan selama sehari semalam di laut—dan dengan tubuh lelah mengantar berpeti-peti tanaman obat itu ke gedung Hokage untuk dilaporkan, cukup membuat Sakura, Ino dan Chouji lelah. Setelah selesai membuktikan keaslian tanaman tersebut, tim mereka diperbolehkan pulang dan membuat laporan secara tertulis di rumah saja. Dikumpulkan lusa.

Sakura dan Ino tersenyum senang dan tidak percaya karena tahu kalau Tsunade telah siuman dan kembali menjabat menjadi Hokage. Mereka berdua sampai lupa akan rasa lelah mereka ketika pulang tiada habisnya membicarakan keajaiban siumannya Tsunade-shishou.

Pasalnya, keadaan Tsunade sebelumnya hampir dinyatakan tiada harapan saat koma. Keajaiban berpihak padanya, ternyata.

"Aku lelah sekali," Ino menggerakan lehernya. Gadis pirang itu lemas dan ingin segera tidur. Di mana saja boleh. Di jalan sekarang pun tak apa! Sungguh tubuhnya seperti berteriak minta istirahat. "Oh ya, kau berhutang cerita padaku, Jidat! Chouji sudah tidak ada. Mari ke rumahmu dan kita bicarakan."

"Ide bagus, orang tuaku pergi seminggu ini. Akan kembali besok. Dan aku kesepian." Jawab Sakura cepat. Pulang dengan tubuh lelah dan sendirian adalah hal buruk baginya. Setidaknya jika Ino mampir atau bahkan menginap akan terasa lebih menyenangkan.

Ingat, keduanya tukang gosip!

Setelah mampir untuk membeli beberapa cup ramen instan dan membeli sabun aroma terapi untuk mandi air hangat, kedua gadis itu pun segera bergegas ke rumah Sakura. Meski lelah, keduanya semangat untuk menapaki tangga menuju pintu rumah Sakura.

Tanpa basa-basi keduanya pun langsung menjatuhkan diri di atas sofa.

"Lelahnya…" rasa-rasanya Ino ingin tidur di atas sofa ruang tamu Sakura saja saking lelahnya. Sementara Sakura manaruh beberapa ramen instan di dapur. Ino nyaris saja tidur jika Sakura tidak datang lagi untuk menepuk pundaknya.

"Mandi dulu, Pig!" Sakura memperingatkan, "Setelah itu kita makan dan tidur di kamarku, lebih nyaman!" tawar Sakura lagi. Ino bangkit malas-malasan, ikatan rambut pirangnya mulai kusut berantakan.

"Kedengarannya lebih menyenangkan," Ino berjalan malas-malasan mengikuti Sakura membawa satu botol cairan aroma terapi untuk mereka berendam. Lumayan untuk penghilang lelah dan stres.

Namun baru saja mereka mencapai pintu dan Sakura membukanya…

Ino menubruk tubuh Sakura yang berhenti tiba-tiba.

"Ada apa?"

Botol plastik yang berada di tangan Sakura kini jatuh, menumpahkan isi cairannya yang wangi di atas lantai. Aroma terapi pun menguar. Pelan-pelan, gadis berambut merah muda itu berjalan mendekati fuutonnya.

Wajah Ino tidak lagi mengantuk setelah menyaksikan apa yang Sakura saksikan. Pintu jendela terbuka membuat angin keluar masuk seenaknya. Membuat selambu juga berterbangan tertiup angin. Tapi bukan itu yang membuat keduanya terkejut.

Melainkan bertangkai-tangkai mawar liar besar yang sudah layu. Kelopaknya yang seharusnya berwarna merah itu kini menjadi merah gelap karena sudah tak lagi segar. Tangkai-tangkai mawar itu pun sudah ditinggalkan banyak kelopak mereka.

Kedua lutut Sakura kini telah menapak di atas fuuton. Mendekati mawar-mawar mati itu dengan berserakan. Sakura menghirup napasnya lebih dalam namun terasa berat. Ia bukan gadis bodoh. Ia bisa menganalisa sekitar. Mungkinkah…?

"Ino," Sakura menoleh ke sahabat pirangnya, lalu memegang tangan gadis pirang itu dengan erat, "Kumohon gunakan jutsu barumu itu."

Ino menjilat bibirnya, sesungguhnya ia sudah lelah. Otomatis cakranya juga sedikit sulit dibuat kerja sama. Namun demi sahabat merah mudanya yang sudah hampir menangis, Ino mengangguk lembut.

Gadis pirang bermarga Yamanaka itu merapalkan mantera dan tanpa membentuk segel, telapak tangannya meraba mawar-mawar yang bertebaran di atas fuuton Sakura. Ino menutup matanya.

.

.

Sakura…

.

.

"Masa bodoh!"

"Lukamu bisa bertambah parah! Lupakan gadis itu, mari kita pulang!

Tanganmu sudah tidak bisa menunggu!"

"DIAM!"

"Dia tidak ada di sini, Sasuke!"

"Pergi sendiri saja."

"Sudah saatnya pergi, Sasuke."

"Sebentar lagi."

"Mau sampai kapan kau menunggunya?"

"…"

"Dia tidak di sini."

"…"

.

.

Argh!

Tusukan. Hunusan.

Mawar. Air.

Luka. Perih.

Angin. Tangkai berduri.

Kunai.

Darah.

Darah.

Darah.

.

.

Otanjoubi Omedetou…

.

.

Sakura…

.

.

Ino membuka matanya, napasnya tersengal dan ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia mengangkat wajah dan mendapati Sakura sudah bermata basah. Wajah sahabatnya itu merah.

"Katakan…" Sakura menguatkan suara, bibir gadis itu sudah meranum karena tangis, air mata sudah mencapai rahang dagunya. "Apakah Sasuke-kun ke sini?"

Ino tak sanggup berkata-kata. Lidahnya kelu.

Dari mawar-mawar yang disentuhnya dan digali memorinya. Tersimpan memori dengan sejuta emosi kuat. Sudah dua bulan lebih ia sembunyikan jutsu barunya, sudah banyak benda yang disentuh dan baca memorinya.

Tapi mawar-mawar itu, yang sudah layu nan gelap itu. Menyiksa Ino. Bukan karena ia pernah menyukai Sasuke. Tapi karena mawar-mawar itu ikut menyampaikan bagaimana perasaan sang pemetik dan luka yang dimilikinya.

"INO!" Sakura memekik tak sabar, gadis merah muda itu menuntut Ino untuk segera memberi tahunya.

Ino membuka mulutnya, tatapan Sakura mulai antusias seperti orang tak waras. Namun tak ada sepatah kata pun yang dikatakan oleh Ino. Gadis pirang itu menutup mulutnya kembali dan menelan ludah.

Sakura mengguncang bahu Ino untuk kesekian kalinya.

Ino menggeleng, "Aku tak bisa…" namun tangan Ino terulur menyentuh kepala Sakura. "Aku tak bisa menjelaskannya," Ino merapalkan mantera dan membentuk segel dengan tangannya yang lain, "Tapi mungkin dengan ini, semua akan jelas bagimu…"

Dan pandangan Sakura putih silau. Mendadak kamarnya tak ada Ino. Cuaca siang hari sebelumnya tergantikan oleh malam. Kamarnya Sakura terlihat sedikit tidak rapih seperti biasanya.

Futon lupa digulung, jendela lupa ditutup.

Terlihat seorang pria bertopeng oranye spiral—Tobi—mengajak Sasuke pergi dari tempat ini. Bagai alur mundur kehidupan. Sakura melihatnya. Menyaksikannya.

Waktu berjalan mundur. Sangat cepat.

Sasuke marah.

Tobi mengajak Sasuke pergi.

Sasuke diam.

Tobi mengejek.

Sasuke kesakitan.

Luka di tangan Sasuke.

Darah. Perih. Pedih.

Sasuke menunggu.

Tobi mengejek.

Sasuke tersenyum

Sasuke menaruh mawar.

Tobi dan Sasuke baru saja datang.

Membersihkan duri mawar.

Sakit. Pedih. Perih.

Membersihkan mawar dari tanah dan darah.

Perih. Sakit. Pedih.

Memetik mawar.

Tersenyum

Otanjoubi Omedetou.

Sakura…

Dan seperti diputar maju kembali. Semua jadi jelas. Sasuke memetik mawar. Bergumam mengucapkan selamat ulang tahun pada Sakura. Sasuke yang buta, Sasuke yang terluka, Sasuke yang bersikeras, Sasuke yang menutupi rasa semangat, Sasuke yang datang menunggu, Sasuke yang terdiam, Sasuke yang menahan sakit, Sasuke yang pergi dengan kecewa.

Membiarkan satu persatu kelopak mawar itu terlepas dari tangkainya. Menyisakan daun yang juga mulai rapuh. Meninggalkan tangkai dan terbang berserakan di lantai sampai keluar jendela.

"Hiks."

"Dia di sini, kemarin lusa, Jidat."

"Hiks…"

"Sengaja menyimpan luka di tangannya berharap kau sembuhkan."

Tangis Sakura pecah ruah.


Bersambung…


A/N : Hua, maaf ya kalau feelnya nggak dapet. Somehow aku pengen jadi Yamanaka yang bisa rasukin tubuh orang XD #ngimpi! Nggak bisa ngomong apa2 di sini. Akhir2 ini aku emang lagi minder berat… aku merasa aneh sama tulisan sndiri. Dan makin lama makin ragu nulisnya... tapi udah sdar jelek malah nekat publish XD ya begitulah diriku. makasih untuk feedbacks dan kesetiaannya. Jikalau ada keluh kesah kritik saran dan pertanyaan silakan aku siap menampung ^^ pasti kubalas lewat PM, as always…