Disclaimer :

Kagamine Lenka © Yamaha Crypton Media Future

Kagamine Rinto © Yamaha Crypton Media Future

Kagamine Len © Yamaha Crypton Media Future

Kagamine Rin © Yamaha Crypton Media Future

Suzune Ring © Yamaha Crypton Media Future

Hibiki Lui © Yamaha Crypton Media Future

Warning : OOC, OOT, typo dan miss typo, alurnya kecepetan, ceritanya gak nyambung dan gak jelas, dan kerabat-kerabatnya sekalian \:v/

Genre : Romance

Rated : Teen

Yo minna~ akhirnya berhasil update juga nih chapter enam \:v/

Seperti biasa, saya minta maaf atas keleletan bin kelemotan saya dalam ngapdet *bows*

Okay then, have a nice reading~


Normal POV


Di kediaman keluarga Yowane; lebih tepatnya di ruang tengah, tergeletak empat orang remaja. Dua laki-laki, dan dua perempuan.

Seorang anak laki-laki berambut coklat muda tepar dan terbaring di lantai, seperti orang yang habis berlari keliling lapangan lima kali. Di sebelahnya, seorang gadis berambut biru muda panjang ikut berbaring, sambil tertawa kecil. Terlihat jelas di wajahnya bahwa ia kelelahan, tapi sepertinya ia menikmati perang bantal super maut yang mereka berempat lakukan barusan.

Di seberang mereka, tampak seorang anak laki-laki berambut blonde yang sibuk mengatur nafas. Ia tampak sangat lelah, hal itu terlihat jelas dari keringat yang mengucur deras di wajahnya.

Di sebelah anak itu, ada sesosok gadis berambut blonde yang dikuncir satu, dan ia sedang memegang sebuah bantal.

"Tch— tak dapat kupercaya, makhluk shota itu mengalahkanku ..." keluh si pemuda berambut coklat muda sambil mengusap keringatnya. Dia adalah Lui.

"Siapa yang kau bilang shota, heh? Kau juga shota! Mau merasakan Multiple Attack-ku lagi, hah?" seru si pemuda berambut blonde—Rinto,kesal.

Dan tiba-tiba, gadis berambut blonde itu melemparkan sebuah bantal ke arah Rinto—dan dengan sukses, bantal itu mengenai kepala pemuda itu.

Rinto bertambah kesal, dan langsung menoleh ke arahnya.

"Apaan sih, nenek sihir?!"

"Kau berisik. Dan lagipula, kita kan sudah menang. Untuk apa kau membalas omongannya?" balas gadis itu, ...Lenka.

"Dasar nenek sihir—"

"—Baka."

"Nenek sihir tua yang payah—"

"—Aho."

Si gadis berambut biru pun tertawa dan bangun dari posisi berbaringnya.

"Hei Rinto-kun, Lenka-chan, sudahlah~ perang bantalnya menyenangkan, bukan?" tanya Ring yang sekarang duduk di lantai, di samping Lui.

"Yup!" jawab Lenka ringan, lalu ia tersenyum manis. Membuat Rinto yang berada di sampingnya kaget dan mukanya memerah, dan segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Ring yang tidak mengerti apa-apa hanya menatap keduanya dengan tatapan heran.

Lui menghela nafas, dan bangkit dan ikut duduk.

"... Bodoh ..." gumamnya.

Ring menoleh ke arah pacarnya tersebut, "... Kau menggumamkan sesuatu?"

"Ya. Aku menggumamkan sesuatu."

"Apa itu?"

"Bodoh."

"Bodoh ...?"

"Ya."

"Siapa ... Siapa yang bodoh, Lui?"

"Kau, Ring. Kau payah. Kau tidak bisa menangkap maupun melempar bantal dengan tepat~ kau benar-benar bodoh."

Tampak empat urat muncul di pelipis gadis itu, dan langsung saja ia ... Menghukum pacar tersayangnya?

Baiklah, mari kita abaikan pasangan 'mesra' yang baru saja jadian itu. Kembali ke kedua tokoh utama cerita ini.

Rinto masih menghadap ke arah lain, membuat Lenka heran karenanya.

"Hei, Rinto-"

"Nani?" balas pemuda itu tanpa memandang wajah Lenka.

Lenka hanya menghela nafas dan disusul tawa kecil, "... Dasar baka."

Rinto langsung sweatdrop, dan menatap Lenka dengan wajah cemberut.

"Haah, bukan itu yang mau kukatakan-" gumam Lenka.

"... Kau ngapain sih?"

"Nggak, bukan apa-apa." jawab Lenka sambil tersenyum kecil, dan kemudian ia berdiri dari duduknya. Rinto hanya memiringkan kepala tanda tidak mengerti, dan akhirnya berdiri mengikuti Lenka.

"... Ngomong-ngomong, sampai kapan mereka akan terus-terusan seperti itu?" tunjuk Lenka ke arah Ring yang sedang duduk di atas Lui yang terkapar.

Rinto hanya facepalm, "Oy, pasangan mesra! Kalau mesra-mesraan, jangan di rumah orang!"

Ring tersentak dan buru-buru menyingkir dari hadapan Lui. Lui mendesah pelan, dan kemudian berdiri sambil merapikan bajunya yang berantakan.

"Sepertinya kita harus membereskan kekacauan ini ..." ujar Lui datar sambil melihat ruang tengah yang acak-acakkan itu.

"Acak-acakkan? Hanya beberapa bantal saja kok yang tersebar di lantai." sahut Rinto sambil menyilangkan kedua tangannya.

"... Tapi karena perang bantal yang rusuh tadi, kurasa sofanya jadi bergeser." kata Lenka sambil menunjuk sofa yang tadinya mereka duduki. Yang lain pun melihat posisi sofa itu. Ah, benar juga. Sepertinya agak miring sedikit.

"Bagaimana kalau aku dan Lenka-chan membereskan bantal, dan kalian mengembalikan sofanya seperti semula~?" usul Ring sambil tersenyum cerah.

Yang lain pun menganggukkan kepala mereka, dan ... satu menit kemudian, mereka sudah memulai merapikan ruangan yang keadaannya kece badai itu.


Lenka POV


Akhirnya, setelah delapan menit, kami pun selesai membereskan ruangan itu. Ring, Lui, dan Rinto pun memutuskan untuk pamit pulang, supaya aku bisa beristirahat- kata mereka.

"Kami pulang dulu ya, Lenka-chan. Terima kasih untuk hari ini! Jaa na, matta ashita!" kata Ring sambil tersenyum lebar.

Di sebelahnya, Lui tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya kepadaku dan Rinto yang berada di sampingku. Kami pun membalasnya dengan lambaian tangan, dan setelahnya, mereka berdua sudah menghilang dari pandangan kami.

"Saa, sepertinya aku juga harus pulang." ujar Rinto pelan.

"Pulanglah, kalau begitu. Rumahmu kan dekat."

"Memangnya kau tidak apa-apa sendirian?"

"Tidak apa-apa, kurasa. Toh aku juga sudah merasa baikkan."

"Sini, kupastikan."

Rinto pun menjulurkan tangan kanannya, lalu meletakkan telapak tangannya itu di dahiku.

Deg.

... Kenapa ... Kenapa aku merasa ...

"Kau benar, sepertinya demammu juga sudah surut." katanya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Dan telapak tangannya pun masih menempel di dahiku.

Mukaku agak memerah, kemudian tangan kananku memegang pergelangan tangannya— dan menariknya dari dahiku.

"Tuh kan? Sudah kubilang aku baik-baik saja." ujarku sambil melipat kedua tanganku di dada, dan dengan bibir yang mencibir kecil.

"Maa, maa ... Baiklah. Jangan lupa makan lagi nanti malam, dan minum obat. Istirahat yang cukup, juga. Jaga dirimu, ba-ka." sahutnya sambil menyentil dahiku pelan dengan salah satu jarinya.

"Itte—ugh, wakatta, wakatta! Sudah, cepatlah pulang! Nanti Rui obaa-san cemas!" jawabku sambil mengelus-elus tempat di mana sentilan dari Rinto itu mendarat.

"Kalau begitu, aku per— chotto. Ada yang kelupaan." katanya sambil merogoh saku jaketnya.

"Haah? Apaan?" jawabku sambil memiringkan kepala.

Dia masih sibuk merogoh saku jaketnya, dan akhirnya dia berhasil mengambil apa yang sedari tadi berusaha ia ambil. Ia pun menyodorkannya kepadaku, dengan sebuah senyum lembut...di wajahnya.

Kedua mataku menatap lekat-lekat bungkusan itu dan Rinto bolak-balik— memastikan apa dia serius atau tidak. Tapi...dia serius. Senyuman itu masih di situ, tidak lenyap dari wajahnya.

Sebuah bungkusan dengan pita oranye yang mengikatnya. Di dalamnya, ada cookies, lolipop dan permen, serta ada marshmallow pisang. Lalu...ada sebuah boneka beruang kecil yang manis... Dan ia sedang memegang sebuah kartu bercorak warna kuning.

Aku masih memandang bungkusan yang berada di atas tangan kanan Rinto itu tanpa berkedip.

"Oy, aku tahu aku terlambat karena White Day itu kemarin... Yah, pokoknya— terimalah ini, nenek sihir."

"...M-Maji de? B-Benar-benar untukku?!"

"..Kalau kau tidak mau, ya sudah." katanya sambil berbalik dengan santai.

"A-Aku tidak bilang k-kalau aku menolaknya!" seruku sambil menarik lengannya, lalu aku mengulurkan tanganku dan mengambil bungkusan itu dari tangan Rinto.

Dia terkekeh pelan, lalu menepuk kepalaku sekali.

"Sore jaa, aku pulang dulu."

Dia pun mulai melangkahkan kakinya, menuju rumahnya.

Aku masih terpaku di situ— dengan bungkusan darinya yang masih berada di tanganku.

Kenapa aku merasa aneh?


Esoknya, entah kenapa aku bisa bangun lebih pagi dari biasanya— sehingga aku bisa sarapan bersama tou-san, kaa-san, dan Yukari. Karena aku merasa sudah baikkan, aku pun memutuskan untuk masuk sekolah.

Dan sekarang... Aku sedang berada di depan lokerku, untuk mengganti sepatu. Aku menghela nafas pelan. Dan kemudian, kurasakan ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku pun menoleh. Ternyata Ring.

"Ohayou, Lenka-chan~!" sapanya lembut.

Aku tersenyum lebar, "Ohayou mo, Ringy-chan! Tumben tidak berangkat bersama Lui?" godaku.

Raut mukanya langsung berubah— dan ia menggembungkan kedua pipinya, "Memangnya aku harus selalu bersama dia, ya?"

Aku tertawa kecil, "Ah... Hanya agak aneh saja, melihat kalian tidak ke sekolah bersama. Biasanya kan, begitu."

Kami berdua pun mulai menyusuri koridor sekolah berdua, menuju ke kelas.

Ring kemudian mulai membuka mulutnya, "Uh... Tadi dia berangkat lebih dulu. Mau mengurus izin kita— besok kita berenam akan ke luar kota, kan?"

Aku pun teringat bahwa kita berenam akan tampil di festival musik di Sacho, kota sebelah. Aku menggangguk sambil tersenyum kaku— dan mengatakan pada Ring bahwa aku hampir lupa akan hal itu. Ring hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Setelahnya, kami berdua pun memasuki kelas.

"Ohayou~ Ringy-chan dan—" Rin tampak agak kaget saat melihatku, tapi kemudian ia melanjutkannya dengan intonasi suara yang lebih pelan, "—Lenka-chan..."

Ring membalas sapaan Rin itu.

"Ah, halo Rin." sapaku sambil tersenyum tipis. Aku pun menduduki bangku-ku, begitu pula dengan Ring. Rin yang dari tadi sudah berada di bangkunya... Menatapku dengan tatapan grogi, tanpa sepengetahuanku.

Dan kemudian, bel tanda masuk pun berbunyi.

.

.

Aku berjalan dari perpustakaan bersama Ring, sambil berbincang-bincang kecil mengenai pelajaran sastra barusan. Ring mengeluarkan sebuah lelucon, dan aku pun tertawa pelan karenanya. Tiba-tiba, seseorang memanggil kami berdua. Rin. Ia sedang bersama Neru.

"Ada apa?" tanya kami berdua, bingung.

Rin tampak salah tingkah, lalu dua detik kemudian... Ia mulai bersuara.

"Ringy-chan, bisa aku pinjam Lenka-chan sebentar?"

"...Eh? Tentu saja." kata Ring sambil tersenyum.

Rin pun menarik tanganku— tampaknya ia ingin mengatakan sesuatu. Aku tidak mengatakan apa-apa, melemparkan pandangan pada Ring dan Neru yang mulai berjalan ke kantin (karena sekarang memang waktunya istirahat).

Setelah kami berjalan lumayan lama... Akhirnya kami berdua tiba di bawah pohon sakura di taman belakang. Ini adalah tempat favorit kami bertiga; aku, Rin, dan Ring. Kami berdua sering, sangat sering malah— menghabiskan waktu istirahat di sini; sekedar memakan bekal makan siang, bersendau gurau, atau saling bercerita.

"Ada apa, Rin?" tanyaku, agak heran kenapa ia mengajakku ke sini.

Dia tidak mengatakan apa-apa, dan malah membungkuk di hadapanku.

"Maaf!" serunya, setelahnya.

Kedua mataku membulat kaget. Ada apa ini?

"Uh... Rin-chan? Kenapa?"

Dia berdiri, lalu langsung memelukku... Sambil mulai sesenggukkan. Astaga, sebenarnya ada apa dengannya?

"R-Rin? A-Ada apa? Apa terjadi sesuatu di antara kau dan Len?"

Dia menggeleng, "Tidak, tidak ada hubungannya dengan itu... Aku— maaf, Lenka-chan..."

Aku menepuk punggungnya pelan, "Rin-chan, kenapa kau meminta maaf?"

Dia terdiam sebentar, lalu mulai melanjutkan kata-katanya, "Tentang perasaanmu kepada Len..."

...Oh, tidak. Dia tahu darimana?

"Eh... Itu... Tidak, bukan—"

"Tidak usah mengelak, Lenka-chan... Dan... Aku mengetahuinya, sendiri..."

"Eh? Apa—"

"Kau mulai berubah jadi aneh sejak aku makin dekat dengan Len... Maka, aku menyimpulkannya sendiri..."

Aku tercekat. Tiba-tiba saja, aku merasa tenggorokanku kering.

Rin melanjutkan kata-katanya, "Aku sadar, tapi semua sudah terlambat... Aku minta maaf, Lenka-chan... Aku tidak menyadari perasaanmu... Maafkan aku karena telah merebut Len..."

Aku terdiam, kemudian sedetik kemudian... Aku menepuk kepala Rin dua kali, dengan pelan. Dan itu membuatnya mendongak menatapku.

"...Itu sudah tidak penting lagi, Rin-chan. Aku sudah tidak apa-apa, kok. Untungnya, ada orang-orang yang membuatku bangkit dari keterpurukanku. Aku... Aku senang, di saat kalian berdua senang. Jadi, berbahagialah bersama Len." ucapku mantap.

Ia tampak tidak percaya mendengar kata-kataku, "Lenka-chan... Jangan berbohong kepadaku..."

Aku tertawa pelan, "Hei, kita berempat sudah bersahabat dari kecil. Mana ada seseorang yang tidak senang melihat sahabatnya bahagia? Oh ayolah Rin-chan, masa kau lupa dengan persahabatan yang sudah kita jalin selama ini?"

Kedua matanya membulat... Lalu raut mukanya berubah menjadi senang, "Un! Arigato, Lenka-chan! Aku akan tetap menjaga persahabatan kita berempat! Aku menyayangimu!" teriaknya, lalu ia memelukku hingga aku terjungkal dan kami berdua terjatuh. Aku tertawa pelan.

"Yosh, mari kita berjuang untuk besok!"

"Yup!"

Tanpa sepengetahuanku, seorang pemuda berambut blonde melihat kami berdua dengan lega. Senyum seorang Kaine Rinto, mengembang.


Yo minna-san, gimana chapternya? Agak garing nan lebay kah? Kurang seru kah? Mohon berikan kritik dan saran kalian di kotak review. Golput? Dilarang keras! /shot. Anyway, maafkan saya kudet (re : kurang update) akhir-akhir ini. Karena saya tahun depan akan menghadapi UNAS... Dan juga saya baru saja mendapat modem tercinta (baru) yang lebih baik. Jadi... Gomenasai, kalau saya update-nya lama, ya! o/