Disclaimer: Persona 3 & Persona 4 © ATLUS


Hitomi no Kotae

-Prolog-


Hitam bercampur abu-abu saling beradu mengisi warna kapas yang mengambang di langit. Genangan air terbentuk di mana pun tatapan diarahkan, dan segalanya yang ada, menjadi basah ditumpahi tetesan dingin air dari langit gelap. Gedung, pertokoan, kendaraan, jalanan, rambu-rambu jalan, dan sesosok tubuh, tak ada yang terlewati oleh mereka.

Tetesan air meluncur dari setiap helai rambutnya, dan gumpalan uap terbentuk di saat napas terhembus keluar dari mulut yang membentuk seulas senyuman kecil. Tubuhnya dengan lemah, tetap dapat berdiri di bawah kondisi langit yang buruk, sambil menghadap cahaya hangat yang berjarak beberapa puluh langkah di depannya. Jari-jarinya bergetar, seiring angin menerpa, membuat beberapa helai rambutnya terdorong kebelakang. Dan genangan air hujan menjadi pijakannya, di saat langkahnya dimulai.

Tangannya meraih hampa udara yang ada di depannya sambil meneruskan langkah. Walau perlakuannya membuat napasnya berantakan, tetapi, di setiap langkah yang terbentuk, wajahnya memunculkan kebahagian akan harapan yang diselimuti cahaya tersebut. Semua hal yang ada di sekitarnya membentuk kontrol alasan atas raga beserta akalnya untuk apa yang dilakukannya.

Sebab biji matanya tidak akan melakukan kontak lagi dengan segala latar pemandangan yang ada di belakang punggungnya. Milyaran keping kaca yang letaknya tak beraturan di jalan, tidak akan terpijak olehnya lagi. Reruntuhan tembok dari gedung, pertokoan, dan rumah, akan menghilang dari jalannya. Besi bergerak yang menabrak apa saja tanpa kendali, tidak dapat memutuskan hubungannya dengan mereka, walau waktu tak bekerja. Mulai sekarang, dia selamanya ada di tengah mereka.

Dunia yang kini ia pijaki, bukan semata dunia imajinasi lagi, yang selama sepuluh tahun mengisi memori kecil pikirannya. Dunia, di mana ia sedang berjalan pada waktu ini, adalah dunia yang seharusnya sejak dulu ia jadikan 'rumah'. Ia tidak sedang berkunjung di alam mimpi, atau dimana pun tempat yang bersifat fana.

Ya…, karena indra perabanya benar-benar bekerja ketika ujung jarinya sampai di lingkupan cahaya keemasaan itu. Sedangkan tubuhnya masih dihantam oleh kumpulan tetesan air, di tempat yang membuatnya muak. Tapi, untuk apa mengisi perasaannya dengan rasa benci yang sia-sia? Cahaya indah yang melingkupi jarinya, cukup mengisi perasaannya dengan rasa percaya dan kebahagiaan yang telah melampaui batas.

Tubuh yang terhenti sesaat itu, kini tidak segan mengijinkan kedua kakinya saling berlomba untuk menjadi yang di depan, hingga tubuhnya terbawa ke tengah lingkupan kebahagiaan.

Tangan yang sebelumnya terjulur ke depan, dengan tanpa satu benda pun mengajukan diri untuk menjadi pegangannya, kini memiliki batang kokoh pohon yang merelakan diri mereka untuk mengiringi tubuhnya berlari di antara mereka. Berlari tidak menjadi pembawa masalah bagi tubuhnya, tak kala seperti di saat kakinya membawanya berjalan. Ia tampak sehat− bahkan terlalu sehat, nampaknya− di bawah selimut cahaya hangat yang ia rindukan.

Angin yang mengajak daun-daun berterbangan di udara, seakan menyanyikan lagu pada para daun untuk terus menari bebas tanpa henti, biarpun kakinya berlari sampai tak bergerak lagi di atas permukaan karpet hijau. Kakinya telah selesai membawanya berkeliling di dalam cahaya yang dipenuhi beragam pepohonan indah, serta rumput hijau sebagai lantainya. Semua tetap sama indahnya, kemana pun ia mengarahkan gerakan langkahnya. Semuanya sama …tidak ada jiwa lain selain dirinya.

Namun dengan tenang, ia membiarkan tubuhnya duduk dan meletakan punggungnya pada kayu dari pohon cemara kokoh yang tumbuh di sampingnya. Kedua kakinya yang menginginkan istirahat, dibiarkan terjulur kedepan dengan permukaan lembut rumput yang tertanam di tanah coklat kemerahan sebagai tempatnya. Sedang kedua lengannya dibiarkan terjulur bebas, hingga telapak tangannya bertemu permukaan rumput. Matanya terpejam cukup lama, sebelum pada akhirnya terbuka dengan wajah yang terangkat ke langit biru berawan tenang.

Segalannya berbeda. Langit, sekitarnya, dan termasuk dirinya, ketika berada di tempatnya teristirahat sekarang. Yang perlu dilakukannya sekarang hanya beristirahat, dan membiarkan segalanya tetap utuh. Tempat ini, jiwa, dan perasaannya, ingin ia tunjukan pada mereka semua, ketika mereka sampai dan dapat saling bertatap kembali dengannya. Ia ingin menunjukan pada mereka semua, tentang dunianya, dan wajah bahagianya. Segalanya, sebagai kalimat 'terima kasih' pada mereka semua.

Matanya kembali terpejam, dan kali ini sangat lama, berbanding dengan yang sebelumnya. Semuanya baik-baik saja, karena ketika penglihatanya bekerja kembali, ia pasti dapat melihat wajah mereka.

Tidak masalah, seberapa banyak bulan dan matahari bertukar takhta. Dan berapa lama penglihatannya harus terbuka dengan pemandangan yang selalu terulang. Seluruh keyakinannya percaya pada perkataan mereka. Mereka, termasuk dirinya tidak akan melanggar perkataan yang telah terucap dengan suara mereka sendiri, seperti yang dilakukannya.

Dan segalanya, akan berjalan sebagai mana waktu berulang. Karena dia, dan segalanya adalah sesuatu yang hidup. Ia yakin, jawaban ada di depan biji matanya.


Well… … erh… gimana? Abal, um… pendek pula (ya, ini masih prolog sih) –Dilempar. Ya… memang sangat gaje. Tapi untuk chapter depan (yang saya juga ga yakin, bisa di update secepatnya), akan lebih mudah dimengerti, mungkin…

Oh... apa ada yang merasa tak asing dengan judul fanfic ini? Yap, ini sebenarnya judul lagu ending dari anime "07-Ghost", yang dinyanyikan oleh "Noria".

Terima kasih sudah mau membaca, maaf jika ada miss typo, pengulangan kata, dan lain sebangsa-nya (?). Jika anda berkenan, silahkan review fanfic abal ini…

Arigatou.