"Hey, would you like to hear a story?
It will probably be quite boring for someone like you.
It's a story I heard some-where long ago.
The story of a man who was empty inside."
.
.
.
X – WANTED!
Disclaimer :
Chara ; Naruto © Masashi Kishimoto
Story ; X – WANTED! © Rahma Lau
Warning : Shounen-ai, typo(s), OOC parah, abal, dll.
Pair : SasuNaru, MenmaNaru.
Genre : Crime, Mystery, Friendship, Romance.
Rated : M
Summary : Seorang pencuri ulung berkeliaran setiap malam di kota Tokyo. Bermodalkan trik sulap handal, ia selalu bisa melarikan diri. Kenyataan tentang tragedi 10 tahun lalu yang melibatkan dirinya hampir terungkap. 'Aku ingin bertemu dengan Naruto,' seorang pria melewati waktu dengan tekad seperti itu. Perasaannya saat itu, bagai kegelapan yang mengoyak segalanya.
.
.
.
Trick 10 : Odds and Ends
Adegan itu terasa berputar lambat di mata onyx milik Sasuke saat Naruto menyingkirkan tangannya dan berlari ke arah Menma. Dia melihat dengan jelas kalau ayahnya sedang tersenyum dan menembakkan sebuah peluru dari pistolnya.
"Naruto!" teriak Sasuke saat melihat Naruto telah berdiri di depan Menma. Menma berusaha memperingatkannya, tapi―
DOR!
Satu peluru telah di lepaskan ke udara. Peluru itu tepat menancap di sebelah jantung sang pemuda pirang.
Di kedua bola matanya yang berbeda warna, terpantul sosok tubuh Naruto yang terjatuh di hadapannya dan Fugaku yang sedang menyeringai senang karenanya.
Dibalik seringainya itu, hati Fugaku sebenarnya sangat terguncang. Bocah itu mirip sekali dengan Minato. Ketika dia menembak Naruto, dia seperti dihantui oleh sosok sahabat yang dibunuhnya.
BRUK!
"Naruto!"
Dengan cepat, dia dan Sasuke segera menghampiri tubuh Naruto yang terjatuh di lantai, lalu merengkuh tubuh ringkih laki-laki bermata sapphire itu.
"!"
Kedua pria itu sama-sama terkejut melihat darah yang sangat banyak keluar dari bagian dada sebelah kiri Naruto.
"Kh…!"
Melihat wajah Naruto yang sedang kesakitan dan luka yang cukup banyak dari tubuhnya, darah di tubuh Menma bergejolak penuh kemarahan. Dia mengepalkan tangannya erat sekali sampai buku-buku jarinya memutih.
"Brengsek!" teriak Sasuke seraya menerjang ke arah ayahnya. Dia tidak terima. Naruto tertembak di dekat jantung, kalau dibiarkan begini terus, Naruto akan mati. Dan itu adalah hal yang tidak akan pernah Sasuke biarkan terjadi!
BUAK!
Satu pukulan telak mendarat di wajah Fugaku. Dia terhempas ke lantai sambil mengaduh kesakitan.
"Menma…" ujar Naruto, dengan napas yang terputus-putus.
"Naruto! Kau bisa dengar aku? Aku akan membawamu ke rumah sakit, jadi bertahanlah sebentar!" Menma berkata sembari bersiap-siap untuk menggendong Naruto, tapi si blonde menahan tangannya.
"Sudahlah, tidak akan sempat."
"Pasti masih sempat! Kau pasti akan sembuh dan kita bisa bersama-sama lagi! Kau tidak boleh mati di sini, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" si pencuri mengucapkan itu dengan penuh keyakinan, tapi masih dapat dirasakan sedikit keraguan dalam kata-katanya mengingat kondisi Naruto yang sudah hampir sekarat.
"Haah… kau memang keras kepala, ya. Mungkin itulah yang kusuka darimu," kata Naruto sambil mencoba untuk tersenyum. "Tetapi, biarkan saja aku seperti ini. Mungkin ini akhir yang tidak buruk juga untukku."
Menma terlonjak mendengar perkataan Naruto. Akhir? Tolong, jangan berkata hal yang menyedihkan seperti itu.
TES!
Naruto menengadahkan kepalanya saat dirasakannya sesuatu yang basah menetes di wajahnya. Ternyata itu bersumber dari Menma. Si 'anak iblis' kini tengah menangis. Perlahan, dia membawa Naruto ke dalam pelukannya―memeluknya sangat erat.
"Jangan menangis, itu tidak keren!" kata pemilik mata sapphire itu sambil tertawa renyah.
"Bicara apa kau, bodoh?! Kau selalu saja―"
Perkataan Menma terhenti saat tangan Naruto menggenggam salah satu tangannya.
"Menma, kau selalu ada bersamaku sejak awal. Menghabiskan waktu bersamamu sangat menyenangkan, terimakasih."
"Kau bicara seakan kau akan mati saja!" kali ini Menma ingin marah, tapi nada ketakutan tidak bisa disembunyikan dalam setiap kata-kata yang diucapkannya. Dia sangat takut kalau ketakutannya yang paling besar akan terjadi sekarang. Dia tidak ingin kehilangan Naruto.
"Memang benar, 'kan?" tawa Naruto sekarang diselingi oleh batuk yang mengeluarkan darah. "Menma, aku menyukai kebaikan hatimu, lebih dari siapapun juga. Kau itu teman yang kubanggakan. Tetaplah bersamaku sampai akhir."
Setelah berkata seperti itu, detak jantung Naruto semakin berdetak semakin pelan, lalu semakin lama semakin menghilang. Perlahan , mata biru langit itu pun tertutup.
DEG!
Mata dwi-warnanya melebar melihat tubuh Naruto yang ada di pelukannya sudah tidak bergerak atau mengeluarkan suara sedikitpun.
"Naruto! Kau tidak boleh meninggalkan aku seperti ini!" teriak Menma―sekarang benar-benar putus asa sambil menguncangkan tubuh si pirang berulang-ulang, berharap mata sapphire itu akan kembali terbuka, tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. "NARUTO! HEI, CEPAT BANGUN!"
Hanya satu hal yang sudah dapat dipastikan saat itu. Naruto sudah mati.
Menma kembali mengguncang tubuh Naruto agak keras, sambil berteriak memanggil nama anak tunggal keluarga Namikaze itu, disertai air mata yang tidak bisa berhenti mengalir dari kedua matanya.
"AYO BANGUN, NARUTO!"
Ini tidak mungkin terjadi, 'kan? Naruto tidak mungkin mati. Dia tidak mungkin setega itu meninggalkan Menma sendirian.
"Kumohon, bangunlah…"
Ini pasti cuma mimpi. Ya, pasti begitu. Mimpi yang sangat buruk.
Walaupun menolak menerimanya, tapi kebenaran sudah ada di depan mata. Ini sama sekali bukan mimpi dan Naruto-nya memang benar-benar sudah mati.
Sasuke berlari kembali menuju Menma yang sedang meneriakkan nama Naruto dengan isak tangis diantaranya. Iris onyx itu melebar memandang wajah damai Naruto. Seketika, kakinya terasa lemas.
BRUK!
Sasuke jatuh terduduk di samping tubuh Naruto, pandangannya kosong. Dengan tangan yang gemetar, dia berusaha menyentuh dada Naruto―mencoba merasakan detak jantung di sana. Tidak ada suara sama sekali. Jantungnya sudah berhenti beberapa menit yang lalu.
"Naruto…"
"Kalau ada masalah, bilang saja."
"Kita ini 'kan teman."
"Kau memang selalu memasang wajah dingin, tapi entah kenapa kau terlihat sedih―seperti ingin menangis."
"Mulai sekarang, kau harus lebih jujur pada dirimu sendiri."
"Berarti kau sudah menganggapku teman, 'kan?"
'Memang benar kalau tadinya kukira dia adalah orang yang sangat menyebalkan, tapi aku menyukainya. Aku akan melindungi Naruto dari apapun. Aku bersumpah seperti itu…' batin Sasuke. Dia juga mengingat suatu hal saat Naruto menolak pernyataan cintanya. Dia―Sasuke―sudah berjanji akan membuat si pirang itu juga menyukainya. Tetapi, sayang hal ini tidak sesuai dengan yang ada dipikirannya―benar-benar tidak sesuai. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi Naruto, itulah faktanya yang ada di depan matanya.
"UWAAAAAA!"
Sasuke memegang erat kepalanya dan menunduk ke lantai sambil mengeluarkan air mata. Tubuh sang Uchiha itu pun gemetar hebat. Kepalanya terasa sakit, sangat sulit untuk menerima kejadian yang baru saja terjadi. Dari mulutnya juga terdengar nama Naruto yang dipanggilnya berulang-ulang.
"Haah... Naruto… haah," gumam Sasuke. Nafasnya terdengar menderu. Pikirannya mulai kacau. Kalau begini terus, dia pasti akan tenggelam dalam kegilaan.
Tiba-tiba, Menma berhenti memanggil nama temannya itu. Dengan perlahan dan hati-hati, dia menidurkan tubuh dingin Naruto di lantai.
Dia berbalik dan berjalan pelan ke arah Fugaku yang masih terduduk di lantai. Tatapan matanya saat itu benar-benar sedingin es, begitupun hatinya. Dia harus membalas perbuatan orang itu. Orang yang sudah membuat Naruto menjadi seperti ini.
Sasuke pun ikut menghentikan isakannya. Dia menatap Menma yang sedang berjalan ke arah Fugaku. Dirinya tahu apa yang akan dilakukan Menma setelah ini. Sang pencuri misterius itu akan membunuh ayahnya.
Sasuke tersenyum sinis. Ide itu tidak buruk juga.
Sang Uchiha bungsu pun berdiri dan menyusul Menma. Di dalam dirinya juga penuh keinginan untuk segera menghakhiri hidup sang ayah.
"Ma―mau apa kalian?" tanya Fugaku―gugup sekaligus ketakutan.
"Kau pikir bisa kabur begitu saja setelah melakukan semua ini?" kata Menma dengan tajam.
Fugaku sedikit terkejut dengan nada yang digunakan Menma―terdengar sangat berbahaya di telinganya. Dengan cepat, dia mengambil senapannya lagi, lalu menembakkannya ke segala arah.
Menma berhasil menghindari seluruh pelurui itu. Sasuke mengambil kesempatan untuk mengambil pistol yang tergeletak sembarangan di lantai dan menembakkan peluru kea rah Fugaku.
"Ukh! Apa yang kau lakukan Sasuke? Aku ini ayahmu sendiri!" teriaknya sambil menahan sakit.
Sasuke menatap ayahnya dingin, kemudian tersenyum meremehkan.
"Ayah apa? Aku bahkan sudah membecimu sejak kecil."
Fugaku membulatkan matanya mendengar perkataan kurang ajar yang keluar dari mulut anak bungsunya. Dia berkata, "Apa kau bilang? Setelah kau bersekutu dengan bocah pirang sialan itu―"
DOR!
Sebuah peluru memotong ucapan Fugaku. Tidak cukup untuk membuat kepala keluarga Uchiha itu mati, tapi setidaknya cukup untuk membuatnya menderita kesakitan.
"Aku selalu ada di pihak Naruto, dan akan selamanya seperti itu."
Menma menolehkan kepalanya pada Sasuke yang sedang menatap ayahnya dengan ekspresi dingin, tapi berbicara dengan kata-kata yang meyakinkan. Ternyata, dia pun menyimpan perasaan pada Naruto. Naruto memang anak yang aneh, dia bisa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Senyumannya itu benar-benar bisa membuat hatinya lega.
Menma memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Entah kenapa, kalau mengingat si blonde, kepalanya terasa sakit. Otaknya mulai kacau, penuh pemikiran tentang cara yang bagus dan tentunya mengerikan untuk mengakhiri hidup Uchiha Fugaku yang sudah berani membunuh Naruto.
Kepala kepolisian itu menggeram, kesal melihat kelakuan anaknya. Tidak habis pikir, kalau anak bungsunya akan melawan seperti ini hanya untuk seorang bocah pirang yang tidak ada apa-apanya.
"Jangan main-main denganku, dasar anak sialan!" Fugaku berteriak sambil menembakkan pistol ke arah Sasuke.
Sayangnya, pemuda berambut raven tidak bisa menghindari peluru itu, yang akhirnya tertancap tepat di jantungnya.
"!"
Iris onyxnya itu terbelalak lebar―merasakan sakit yang tiba-tiba menjalar di jantungnya hingga ke seluruh tubuh.
'Ah, aku akan mati, ya,' pikir Sasuke. 'Maaf, aku tidak bisa membalas apa yang Tou-san lakukan padamu, tapi―' Sekilas, gambaran abstark tentang pemuda pirang yang sedang tersenyum dan mengulurkan tangan padanya membuatnya tersenyum sedih. Kematian sudah dekat, rupanya. '―dengan ini, aku bisa bersamamu, Naruto…' batin bungsu Uchiha itu untuk terakhir kalinya sebelum tubuh berbalut kemeja itu langsung jatuh di samping Menma dan tidak bergerak lagi.
Fugaku tertawa keras saat tubuh anaknya menghantam lantai. "Itulah yang akan kaudapat karena telah melawan ayahmu!"
Menma menyaksikan adegan itu dengan tatapan kosong. Pikirannya masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Uchiha Fugaku telah menembak mati anaknya sendiri. Dia benar-benar ayah yang kejam karena bisa berbuat hal itu. Apa dia tidak sedikitpun memikirkan anaknya?
Ah, melihat hal ini membuat Menma tersenyum keji. Dia jadi teringat akan seseorang. Seseorang yang telah menelantarkannya dan menghancurkan hidupnya―ayahnya sendiri. Ayah yang tidak mengakui―bahkan mencoba untuk membunuh anaknya.
'Ternyata, sama saja. Dia juga orangtua yang payah, yang hanya memikirkan dirinya sendiri,' batin Menma, sambil menggeretakkan giginya. Tangannya menjangkau pistol yang tadi dijatuhkan oleh Sasuke kemudian mengarahkannya pada Fugaku.
"Mati sana, brengsek!"
DOR! DOR!
Banyak peluru menembus tubuh Fugaku, hingga dia terjatuh di lantai mansion. Dia berusaha meraih pistol yang tergeletak sekitar 1 meter dari tempatnya, tapi tiba-tiba kaki seseorang menginjak tangannya dengan sangat kasar.
"Ukh!"
Fugaku mendongak. Dia melihat sang pencuri sedang melempar sebuah senyum dingin padanya. Mau tidak mau, hal itu membuatnya ketakutan setengah mati. Ini jelas lebih mengerikan dari sebuah seringai.
"Ka―kau mau―"
SYUTT!
"KH!"
Tangan Fugaku tergores sangat dalam karena Menma baru saja menyayatnya dengan kartu miliknya yang super tajam.
Kemudian, dia kembali menyayat bagian yang lain yang dicapainya. Semua bagian itu telah tercabik dengan mengenaskan dan banyak mengeluarkan darah.
"HENTIKAN, 'ANAK IBLIS' SIALAN!"
TENG! TENG! TENG!
"AKHHHH!"
TENG! TENG!
Jerit kesakitan paling mengerikan sekaligus lonceng menandakan jam 12 malam tepat bergema di seluruh koridor mansion Haruno.
Tetapi, tidak sedikitpun Menma menghentikan aksi mencabik tubuh milik kepala kepolisian itu. Baju yang terkoyak, darah yang mengalir di setiap inchi tubuh Uchiha Fugaku juga tidak dipedulikannya. Dia sudah tidak peduli dengan apapun lagi.
'Karena cuma Naruto yang kupedulikan,' batin Menma.
"Beraninya kau membunuh Naruto!" ujar Menma. Tatapan matanya saat ini benar-benar hampa dan tindakannya mulai seperti orang yang sudah kehilangan akal. Memang benar, saat ini pikirannya sangat kacau. Logikanya sudah tidak bisa membedakan antara yang salah dan benar dan juga rasa simpati. Menma merasa kalau dirinya saat itu benar-benar sudah gila. "Kau juga membunuh semua orang di keluarga Namikaze!"
Tidak puas hanya dengan itu, dia kembali mengarahkan pistol yang ada di tangannya tepat di dahi Fugaku. Kepala keluarga Uchiha itu menatap senjata dingin yang menempel tepat di dahinya dengan tatapan horor.
"Kau salah. Demi Minato, aku―"
Tidak berniat untuk menunggunya menyelesaikan kata-katanya itu, dengan santai, dia menarik pelatuk senapan di tangannya.
DOR!
Mata Fugaku melebar. Jantungnya terhenti seketika saat peluru panas itu menembus kepalanya sampai berlubang. Menma menatap Fugaku dengan dingin―memastikan agar kepala keluarga Uchiha itu sudah mati. Lalu, dia membuang kartu bertuliskan 'X'-nya―yang sudah dipenuhi darah―sembarangan ke lantai.
PRAK!
Kejadian yang persis seperti ini terjadi lagi dalam hidupnya. Sangat mirip dengan saat dia memutuskan untuk membunuh seluruh keluarga Kitsune. Sekali lagi, dia menjadi orang yang terakhir berdiri di tengah genangan darah yang sangat banyak dan tumpukan mayat di sekitarnya yang mati dengan wajah penuh kesakitan. Tetapi aneh sekali. Harusnya saat ini dia ketakutan melihat genangan darah dan mayat-mayat di sekitarnya... tapi kenapa? Kenapa saat ini, dia merasakan dirinya tengah menyeringai lebar?
"Heh."
Menma menyeringai semakin lebar mengingat kejadian itu. Dia sangat suka perasaan seperti ini. Dimana dia puas bisa membunuh seluruh orang-orang menyebalkan yang terus-terusan mengganggu hidupnya dan Naruto. Saat ini, dia sendiri bisa merasakan kalau dirinya benar-benar seorang 'iblis' dari neraka.
Tidak memikirkan―bahkan tidak peduli―dengan sekelilingnya, dengan gontai dan tubuh yang penuh luka, sang 'anak iblis' menyeret kakinya untuk sampai ke tubuh Naruto yang sedang tereletak tak bernyawa di depan matanya.
Dia mendudukan diri di sebelah temannya, dan merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya lagi.
"Naruto…" gumamnya, pelan. Walaupun dia berteriak keras, dia yakin Naruto pun sudah tidak bisa mendengar suaranya lagi. Jadi, dia lebih memilih untuk diam. Lagipula, dia sudah kehilangan kata-kata untuk disampaikan sekarang.
Dengan lembut, Menma menyentuh pipi Naruto dengan tangan kanannya, lalu mencium bibir yang sudah mendingin itu dengan sangat lembut―walau dia tahu kalau Naruto tidak akan membalas ciuman itu.
TES TES
Air mata sang pencuri yang dipanggil 'X' itu menetes di sela-sela ciuman yang panjang namun lembut tersebut. Dia menangis mengingat fakta kalau orang yang sedang diciumnya ini tidak akan pernah tersenyum dan tertawa untuknya lagi.
Memang pada akhirnya dia bisa membalas dendam keluarga Namikaze pada Fugaku, tapi itu semua tidak berarti apa-apa lagi bagi Menma. Kalau tahu ini yang akan terjadi, dia berharap kalau dari awal dia tidak perlu bertemu dengan Naruto 10 tahun yang lalu.
Menma mengakhiri ciuman itu dan kembali memeluk tubuh dingin Naruto. Tangannya menggenggam erat senjata yang tadi dia gunakan untuk membunuh Uchiha Fugaku, masih ada beberapa peluru tersisa di dalamnya.
'Dari awal, dunia ini memang sudah seperti neraka,' pikirnya. Menma mengeratkan pegangannya pada senjata itu saat teringat akan masa lalunya, orang-orang yang berusaha membunuhnya, keluarga yang sudah dibunuhnya, dan kenangan-kenangan lain yang sangat enggan dia ingat.
Menma mengangkat tangannya yang sedang tidak memeluk Naruto kemudian diarahkan senjata itu tepat di sisi kanan kepalanya. Dengan hati yang sudah diyakinkan, dia menaruk pelatuk senjata itu―berniat mengakhiri hidupnya sendiri.
DOR!
Tubuh Menma terjatuh di samping Naruto. Hidup sang pencuri sekaligus 'anak iblis' itu diakhiri oleh dirinya sendiri. Kalau alasannya untuk hidup sudah tidak ada, untuk apa melanjutkan hidup, 'kan? Dunia ini pasti akan terasa seperti kegelapan, sama seperti sebelum Naruto menemukannya.
Sebelum benar-benar bisa menutup mata, Menma sedikit tersentak kaget.
"!"
Dia mendengar sebuah lantunan melodi menyeruak masuk ke telinganya dan bergema di seluruh koridor tempat dia terbaring.
Entah ini ilusi atau bukan, tapi melodi ini seperti―
Ya, tidak salah lagi. Ini adalah melodi yang berasal dari dua kotak musik kecil yang tergeletak sembarangan di lantai―salah satunya terbuka dan mengalunkan melodi yang menyedihkan itu terus-menerus. Melodi yang selalu didengarnya selama 10 tahun berturut-turut saat dia sedang kesusahan atau melewati masa yang sulit―yang selalu mengingatkan pada pemuda pirang itu.
'Entah kenapa aku seperti bisa mendengar sebuah melodi. Melodi yang indah, namun menyayat hati…' batin pencuri misterius itu.
Dengan gemetar dan susah payah, tangannya bergerak perlahan untuk menyentuh tangan Naruto, lalu tersenyum lembut saat membayangkan kalau ini seperti melodi pengantar tidur terakhir yang akan didengarnya.
"Mungkin ini akhir yang tidak terlalu buruk juga untukku."
Mengingat akan kata-kata terakhir Naruto itu membuatnya tersenyum sedih. Airmata masih sedikit menetes dari pelupuk mata sang pencuri.
"Kau benar. Ini hampir menjadi akhir yang cukup bagus untukku."
…
TAP TAP TAP
Suara langkah kaki seseorang bergema di seluruh koridor mansion itu. Seorang laki-laki berambut putih serta memakai kacamata berjalan perlahan melewati genangan darah dan tubuh-tubuh yang telah terbujur kaku.
Langkahnya terhenti di samping tubuh Menma dan Naruto. Tiba-tiba, dia bertepuk tangan saat telah selesai melihat kejadian di depan matanya itu.
PLOK! PLOK! PLOK!
Benar-benar cerita yang sangat menarik, menurutnya. Sangat disayangkan, tidak ada orang lain di sana untuk diajak bertepuk tangan bersamanya.
Hanya memikirkannya saja membuat Kabuto tersenyum sedih. Tangannya terjulur untuk mengambil dua buah kotak musik kecil yang terbuka dan telah mengalunkan melodi terakhir untuk si 'anak iblis'.
"Sayang sekali, tapi tirai harus ditutup sekarang. Ending yang seperti ini sedikit berbeda dengan skenario yang kutulis."
…
[ Beberapa hari kemudian, Tokyo. ]
Setelah kejadian menggemparkan di mansion Haruno tersebut, beberapa saksi yang masih hidup seperti keluarga Haruno, Shikamaru, dan Deidara menolak bicara tentang rincian kejadiannya.
Shikamaru tentunya masih sangat shock tentang kematian Naruto, orang yang paling disayanginya. Ini membuatnya terus mengurung diri di kamar, bahkan terdengar kalau laki-laki pemalas itu sering memanggil nama Naruto berkali-kali. Seorang yang lain―Kabuto, pun tidak muncul lagi sejak saat itu, seperti menyembunyikan keberadaannya.
Kasus yang masih tidak jelas itu, akhirnya ditutup karena tidak mempunyai bukti dan perincian kejadian yang jelas. Polisi pun sudah kewalahan untuk menahan berita tentang 'kejadian berdarah' di mansion Haruno itu agar tidak terlalu menyebar di kalangan orang-orang Tokyo.
Pencuri handal yang dipanggil 'X' itu pun menghilang, meninggalkan banyak misteri―seperti ditelan kegelapan, tidak pernah muncul ke permukaan lagi.
.
.
.
"Apa kau mau mendengarkan sebuah cerita?
Mungkin menurutmu ini cerita yang membosankan.
Cerita ini pernah kudengar dari suatu tempat.
Ini cerita tentang seorang laki-laki dengan hati yang hampa."
.
.
.
PUK!
"Jadi seperti itulah ceritanya," ujar seorang pemuda berambut putih serta berkacamata sambil menutup buku cerita tebal bersampul kulit yang ada di tangannya. Saat ini, dia sedang berada di kebun teh salah satu petinggi di Tokyo. Kebun itu sangat terawat, semilir angin sejuk dan aroma bunga yang samar-samar sungguh cocok dengan kegiatan minum teh sore itu.
"Eh? Ending aneh apa itu?" tanya seorang bocah berambut pirang yang sejak tadi serius mendengarkan. "Kenapa si pencuri juga ikut mengakhiri hidupnya?"
"Itu karena dia mencintai si pemuda pirang. Karena saat si pemuda pirang mati, dunia sudah berakhir bagi si pencuri," jelas sang pembaca cerita yang sebenarnya berprofesi sebagai pengawal keluarga Namikaze dan juga novelis. Salah satu karyanya adalah cerita yang tadi dibacakannya untuk si bocah pirang.
"Lalu, apa akhirnya si pemuda pirang itu membalas perasaan si pencuri atau si raven?" tanya Naruto―penasaran.
Kabuto terperanjat saat mendengar hal itu.
Benar juga. Setelah dipikir-pikir, di buku ini, dia tidak menulis dengan jelas tentang perasaan si pemuda pirang. Karena itu, perihal dia menyukai si pencuri atau si raven, Kabuto juga tidak terlalu mengetahuinya.
"Entahlah. Mungkin karena dia adalah seorang tokoh utama yang tidak mudah ditebak," ujarnya, lalu menyesap secangkir teh hitam yang ada di meja tempat dia sedang bersantai di Kediaman Namikaze.
"Apa kau menyukai si pemuda pirang―tokoh utama di cerita yang tadi kau bacakan?" tanyanya―lagi.
Kabuto menaruh buku cerita itu dan cangkir tehnya yang antik di atas meja. Dia menatap lama bocah pirang yang juga sedang menatapnya dengan mata berwarna biru langit yang tampak begitu cerah. Hal itu membuat Kabuto mengulas senyuman tipis.
"Iya, aku suka," jawab pemuda berkacamata itu―akhirnya, "suka sekali…"
Naruto memandang orang yang tadi membacakan cerita untuknya dengan lambat-lambat. Pria itu―Kabuto―tersenyum dengan lembut sekali, tapi tidak menghilangkan sedikit ketidakpuasan yang tertera di wajahnya. Seolah akhir dari cerita yang diceritakannya tadi itu benar-benar kurang pas―seperti ada yang hilang di sana. Untuknya, paling tidak.
Dan mungkin, tebak Naruto, salah satu yang paling berarti bagi pria berambut putih itu adalah tokoh utamanya. Kelihatannya Kabuto sangat menyayangi tokoh tersebut. Benar-benar orang yang aneh.
Keheningan itu terus berlanjut. Naruto yang masih memandangi Kabuto dengan heran sekaligus serius dan Kabuto yang dengan tenang mulai menyesap tehnya kembali semenjak beberapa saat yang lalu telah dilupakan. Tak lama kemudian, seorang laki-laki dewasa berambut pirang mendatangi meja yang berada di taman milik kediaman Namikaze.
"Kau menikmati cerita yang diceritakan oleh Kabuto-san, Naruto?" tanya Minato sambil mengusap rambut pirang anaknya.
"Iya! Cerita yang sangat bagus―sekaligus menyedihkan," kata Naruto sambil merengganggkan tubuhnya yang sedikit pegal setelah selesai mendengar cerita yang lumayan panjang itu.
Minato lalu menoleh ke arah Kabuto dan tersenyum. "Terimakasih sudah bersedia membacakan cerita padanya."
"Tidak apa-apa," kata Kabuto, tenang, "aku juga sedang ada waktu senggang."
"Tou-san, aku mau video game terbaru yang baru keluar hari ini, ttebayo!" ujar bocah berumur 9 tahun itu sambil menarik-narik baju yang dikenakan oleh ayahnya.
"Video game lagi? Bukankah yang lama baru Tou-san belikan 3 hari yang lalu?"
"Itu, 'kan sudah lama! Pokoknya, aku mau yang baru!" protes Naruto―keras.
Dahi Minato berkedut mengerikan saat telinganya mendengar protes itu. Padahal dia sudah membelikan video game pada anaknya ini beberapa hari yang lau, tapi hari ini dengan seenaknya dia malah meminta yang baru? Alasannya? Pasti bosan, khasnya Naruto. Dengan tidak pelan, dia menjitak kepala Naruto.
"Itte!" keluh Naruto, kesakitan akan aksi barusan.
"Kau tidak berhak berkata seperti itu pada ayahmu!" tukas Minato, suaranya sedikit dia tinggikan.
Naruto mengerucutkan bibirnya, wajahnya tertunduk.
Tiba-tiba, dia melangkahkan kakinya untuk berlari, sambil berteriak dengan suara yang sangat keras, "AKU TIDAK MAU PULANG KE RUMAH KALAU TIDAK DIBELIKAN VIDEO GAME TERBARU!"
"Oi, Naruto!"
Minato berusaha mencegahnya, tapi lari anaknya itu ternyata cepat juga. Dengan cepat dia segera menelpon para bawahannya untuk segera menyusul Naruto. Setelah selesai menelepon, dengan menghela nafas berat dan pasrah, dia akhirnya kembali ke meja barusan.
"Haah, benar-benar, deh. Bagaimana kalau Kushina tahu soal ini?" gumamnya sambil memijit kepalanya yang mendadak terasa pusing menghadapi anak tunggalnya tersebut. "Dasar anak nakal."
Kabuto masih duduk di tempatnya dari tadi. Matanya melirik Minato yang rupanya sedang mengetuk-ngetuk meja kecil bundar tersebut dengan gelisah dan decakan pelan, lalu tatapannya berpindah ke buku bersampul kulit miliknya yang tergeletak terbuka di atas meja penuh kue-kue dan cangkir teh.
"Entah kenapa, dia mirip sekali…" gumam Kabuto dengan bisikan yang pelan sekali, nyaris tidak terdengar. Ucapan itu pun ditujukan lebih kepada dirinya sendiri. Tetapi, sayangnya hal itu tidak luput dari pendengaran Minato.
"Mirip siapa?" tanyanya―penasaran.
Kabuto menyentuh buku bersampul kulit yang merupakan karyanya, kemudian menjawab, "Tokoh utama di dalam cerita itu."
…
[ Tengah kota Tokyo, pukul 10.00 pagi. ]
Di tengah lalu lalang dan suasana dingin di kota Tokyo, seorang anak kecil berambut pirang berlari menerobos kerumunan.
Terus berlari dari orang-orang berbaju hitam yang masih setia mengejarnya di belakang.
'Sial, mereka pasti orang-orang yang di suruh Tou-san untuk mengembalikanku ke rumah!' pikir Naruto.
Dengan nafas yang terengah-engah, bocah berbaju orange itu hampir putus asa, tapi tidak sampai dia melihat sebuah jalan kecil di sudut kota.
Menyelinap di antara kerumunan orang yang berlalu lalang, dia bersembunyi di pojok jalan kecil itu.
"Di sini tidak ada," ucap salah satu orang berbaju hitam yang merupakan pengawal bocah tersebut.
"Sial, kemana dia?"
"Cari lagi! Kita harus segera menemukannya!"
"Baik!"
Saat pengawal-pengawalnya sudah tidak ada lagi di sekitar tempat itu, Naruto menghembuskan nafas lega.
"Haah, pergi juga orang-orang keras kepala itu," gumam Naruto pada dirinya sendiri. "Semoga saja mereka menyerah mencariku."
Beberapa saat berlalu, akhirnya, Naruto mulai meneliti jalan kecil―yang tidak terduga ada di sudut kota Tokyo tersebut.
'Heh, tempat ini bagus juga untuk sembunyi!' pikirnya, senang.
"Ng?"
Naruto mengerutkan kening saat mata biru lautnya mendapati seorang anak laki-laki sedang duduk tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
'Siapa? Kenapa dia duduk sendirian di situ?' batinnya—sedikit heran.
Terdorong rasa penasaran, Naruto berjalan menghampiri anak berjubah yang sedang tertunduk lesu.
TAP!
Anak bersurai pirang menapakkan kakinya dan kini, ia berada tepat di depan anak itu.
Naruto mengamati orang di hadapannya dengan rasa tertarik.
Wajahnya tidak kelihatan karena dia memakai kain lusuh sebagai jubah yang menutupi wajah dan hampir sebagian tubuhnya yang memakai kemeja putih panjang kotor dan celana hitam panjang.
Naruto sedikit menundukkan badannya dan berkata dengan nada riang, "Hei, namaku Naruto! Siapa namamu?"
Dengan suara parau dan bibir yang gemetar, anak laki-laki berambut hitam itu mencoba menjawab.
"A—aku..."
"Ng?"
"A... ku..."
"—Menma. Hanya... Menma."
.
.
.
The End
"A strange ending? What are you talking about? Didn't I tell you right from the start that… it was just a ridiculous fairytale?"
Author's Note : o.0 Err... pertama-tama, tolong jangan bunuh saya gara-gara endingnya yang tidak memuaskan /? Itu udah direncanakan kayak gitu kok dari awal /digampar. Dan makasih buat yang udah me-riview, favorite, dan follow sampai fanfic ini udah End! Hontouni arigatou-ssu!
Read and Review with Your Dying Will!
