Naruto is a property of Masashi Kishimoto. I don't get any material profit from this fanfiction.
Warning : AU, typos, possibly OOC
.
.
.
Ino menjejakkan kakinya di arrival gate Bandara Internasional Konoha. Ia menghirup dalam-dalam hawa yang dirindukannya. Bahkan kalau bisa, dia ingin melompat-lompat gembira. Namun, niat gila itu jelas-jelas diurungkan mengingat Sakura pasti akan menertawainya habis-habisan jika ia melihatnya.
Tujuh tahun hidup di Moskow membuat Ino benar-benar merindukan kampung halaman. Disebut kampung rasanya kurang tepat juga mengingat Konoha kini telah berkembang menjadi areal perkotaan. Bagaimanapun juga, Ino tetap bersyukur ia bisa pulang bahkan akan segera merintis karir modeling-nya di tanah kelahiran.
"Saat kontrak dengan agensimu berakhir nanti, pulanglah ke Konoha. Ibumu sudah capek meladeni designer-designer yang melobi, ingin memakai jasamu. Bahkan ada organisasi pageant yang terang-terangan melamarmu untuk menjadi ratu kecantikan Konoha."
Mengingat kembali perkataan ayahnya, rasanya tak perlu penjelasan lagi kenapa Ino begitu bahagia. Selama ini ayahnya berdiri di garda terdepan orang-orang yang membenci modeling sebagai pilihan karirnya. Ayahnya lebih suka ia memilih profesi apa pun yang bertalian erat dengan hukum, entah itu polisi, jaksa, atau bahkan pengacara. Namun, akhir-akhir ini pria paruh baya itu tampak lebih melunak, membiarkan Ino memilih jalannya.
"Whoaa~~ Pig! Sejak kapan kau jadi setinggi ini?" Jeritan frustrasi gadis muda berambut pendek itu membuyarkan lamunan Ino. Di sebelahnya ada seorang gadis yang juga tampak familiar bagi sosok yang baru datang dari Moskow.
"Sakura-chan, bukankah Ino-chan memang lebih tinggi dari kita? Lagi pula, dia memakai high heels," Hinata berusaha meredam keterkejutan Sakura, "selamat datang kembali di Konoha, Ino-chan."
"Serius, kau ini seperti Miss Konoha yang mau menyambut Presiden Rusia saja, Hinata," seloroh Ino, "tapi terima kasih sambutannya."
"Tidak mungkin~~ Si Pig ini tingginya sama denganku. Yang membuatnya terlihat tinggi cuma high heels-nya itu," protes Sakura.
"Hey, hey," Ino merangkul bahu Sakura, "kalau begitu, kenapa tidak pakai high heels juga? Tambahkan beberapa senti lebih tinggi kalau perlu."
"Oh, terima kasih. Gendang telingaku bisa pecah kalau aku nekat melakukannya. Dokter pembimbingku bisa mengomel seharian kalau aku datang dengan penampilan bak supermodel begitu," tukas Sakura, "hey, Pig. Mana oleh-olehku?"
"Akui saja, aku memang supermodel kok. Kalau kau sih ... yah, memang lebih cocok dengan jas putih konservatif itu," balas Ino. Ia melirik ke arah Hinata yang berinisiatif membantunya mendorong trolley berisi belasan koper miliknya, "Oleh-olehmu di dalam koper. Jatahmu bisa kuberikan buat Hinata kalau kau tidak membantu membawakannya."
"Hey!"
Ino tergelak ringan, memandangi Sakura lalu menjulurkan lidah. Yang ditatap hanya merengut sembari menyumpah-nyumpah. Gadis lain yang melihat interaksi dua sahabatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir bagaimana bisa perilaku mereka tak juga berubah. Padahal ini kesempatan yang bagus untuk duduk tenang menikmati secangkir teh lalu mendengarkan cerita-cerita Ino yang sudah lama hidup terpisah.
"Kauyakin benar-benar ingin meninggalkan dunia modeling-mu di Rusia? Kupikir karirmu sedang bagus-bagusnya di sana," komentar Sakura. Kali ini gadis itu duduk sebagai kendali kemudi. Hinata duduk di sebelahnya, sementara Ino lebih memilih duduk di jok belakang bersama tumpukan koper yang tak mendapat tempat di bagasi.
"Kalau tidak yakin, aku tidak akan di sini sekarang. Asalkan ayahku memberi ijin, di mana pun aku merintis karir, bukan masalah bagiku," jawab Ino, "hey, kapan kalian libur? Temani aku ke pantai."
"Memangnya Ino-chan tidak pernah ke pantai selama di sana?" tanya Hinata. Sejurus kemudian gadis itu tampak menepuk pelan jidat berponinya, "Bodohnya aku. Pantai di sana pasti selalu membeku."
"Yup! Dan aku bukan perempuan gila yang mau berbikini ria dan menceburkan diri ke Laut Baltik. Makanya ... ayo, temani aku. Kapan kalian libur?" ucap Ino setengah merajuk.
"Bukankah kau sendiri juga akan sibuk? Kau kan perlu menemui agensi barumu," komentar Sakura.
Ino menanggapinya dengan cengiran dan berkata, "Sebenarnya aku bilang pada ayahku kalau aku baru akan pulang minggu depan. Makanya aku minta kalian menjemputku. Surprise. Kuharap ayahku tidak akan kena serangan jantung karena melihatku hari ini."
Sakura dan Hinata hanya bisa mengelus dada. Cukup memahami kebiasaan jahil teman mereka. Terkadang memang menjengkelkan, tetapi tak jarang pula kejutannya membuat kebahagiaan menjadi lebih bermakna. Kalau boleh jujur mereka malah merindukan sifat-sifat jahil si gadis Yamanaka.
Sakura boleh jadi menjadi teman yang paling mengharapkan kedatangan Ino. Bukan semata karena ia sahabat dekatnya, tetapi juga karena ia mendapatkan tugas dari hopbiro. Dan tugas utamanya adalah menggiring sahabatnya pada sebuah animo.
Karena Sakura tak ingin tugas besar pertamanya sampai mengalami fiasko.
.
.
.
Ino mengernyitkan alisnya begitu tiba di tempat ini. Bola matanya tergerak menelusuri detail bangunan dengan lebih terperinci. Rasanya ada yang aneh, cenderung seperti sebuah anomali. Tapi sebagai warga Konoha yang lahir dan dibesarkan di sini, tidak mungkin kan kalau Sakura sampai salah membaca direksi?
Catatan pertama : Bangunannya. Tak ada sentuhan-sentuhan artistik nan dinamis yang biasanya ada. Bangunan ini terlalu sederhana. Malah lebih mirip areal perkantoran sebuah perusahaan kelas menengah yang kerap dilihatnya. Ino sedikit ragu untuk meyakini bahwa bangunan ini sebagai kantor Senju Tsunade, pemilik agensi model sekaligus perwakilan dari Yayasan Miss Konoha.
"Ayo, kenapa masih diam di sini?" Sakura memutar-mutar kunci minibus di tangannya. Ia melangkah penuh percaya diri ke dalam areal bangunan bercat cokelat muda yang berdiri angkuh di hadapan mereka.
Ino tak punya pilihan lain selain mengikuti jejak sahabatnya. Ia hanya menebar senyum ketika seorang sekuriti menyambut mereka. Dari perbincangan singkat mereka—Sakura menanyakan nama perwakilan Yayasan Miss Konoha padanya—Ino bisa menebak kalau teman baiknya sudah menjadi tamu reguler yang kerap melakukan kunjungan kerja.
Catatan kedua : Dalam perjalanan waktu, Sakura akan menjadi seorang dokter. Bidang yang paling ingin dikuasainya adalah forensik. Jadi, kenapa dari caranya mengajak Ino seolah-olah ia dan pemilik agensi model ini punya hubungan yang baik?
Semakin melangkahkan kakinya lebih jauh, Ino semakin tak yakin jika ini adalah kantor agensi. Terlalu restriktif, tak ada gairah fashion dan seni dari setiap sudut sisi. Apa mungkin kantornya berdampingan dengan kantor lain di sini? Kalau begitu, berarti agen yang akan menaunginya nanti bukanlah agen yang cukup bergengsi.
Catatan ketiga : Orang-orang yang berlalu lalang sejak tadi hanyalah pria dan wanita berpakaian rapi. Melangkah tergesa-gesa dengan beberapa map berisi dokumen yang tampaknya harus segera ditangani. Terlampau restriktif, terlampau konservatif, bertolak belakang dengan dunia fashion yang pernah ia geluti.
Tiga catatan, rasanya sudah cukup untuk menuding segala keganjilan yang sulit diabaikan. Hanya saja, tindakan impulsif bisa saja berujung riskan. Ia tak tahu tempat apa ini, penghuninya berbahaya atau tidak, dan apa yang akan mereka lakukan jika Ino membuat kesalahan. Datang bersama Sakura pun percuma, bahkan mungkin ia salah satu bagian dari komplotan.
Net!
Ino merutuk dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri tentang pikirannya yang tidak-tidak tentang Sakura. Ia mengenal gadis itu sejak mereka masih sama-sama memakai popok dan berebut biskuit susu buatan ibunya. Rasanya tak ada alasan yang bagus untuk menuding Sakura telah merencanakan sesuatu yang buruk terhadapnya. Kecuali kalau ia telah di-brainwash dan...,
Oh, lagi-lagi ia berpikir terlalu jauh. Huh, bagaimana bisa pikiran-pikiran aneh itu bisa sedemikian jujuh. Sepertinya film-film tentang spionase yang kadang-kadang ditontonnya telah unjuk gigi dalam memberi pengaruh. Sialnya pengaruh-pengaruh ini justru membuat batinnya semakin kiruh.
"Tegang?" tebak Sakura, menyadari ada ekspresi kegelisahan yang tersirat dari garis muka sahabatnya.
"Umm ... sedikit," kata Ino, "Forehead, aksenku tidak aneh, kan?"
Sakura tertawa ringan, "Jujur, ya. Jika didengarkan dengan saksama, aksenmu memang terdengar berbeda dengan orang-orang Konoha pada umumnya. Hey, jangan ngambek. Aku bilang kalau didengarkan dengan saksama, lho."
Ino hanya mencibir, mencoba untuk tak terprovokasi ejekan tersirat gadis yang ia juluki Forehead itu. Sakura pasti tahu, Ino akan sangat menahan diri untuk termakan provokasinya yang kerap berujung dengan pertengkaran seru. Image-nya sebagai supermodel Rusia dipertaruhkan di sini dan Ino tak mau merusaknya hanya karena tutur kata Sakura tak mampu ia kalicau.
Sakura mengetuk pintu sebuah ruangan, membukanya perlahan setelah suara di dalam mempersilakan. Ino mencoba mengintip ke dalam, mendapati seorang wanita paruh baya dan seorang pemuda yang memasang wajah bosan. Mungkin pemuda itu sedang mengantuk karena banyaknya volume pekerjaan. Ino kerap melihat asisten-asisten kritikus mode yang tampak pontang-panting dengan padatnya jadwal, sama sekali tak menyenangkan.
"Kau datang lebih cepat dari dugaanku, Nona Yamanaka," wanita itu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ino, "Senju Tsunade."
"Aku merindukan Konoha," jawab Ino sembari menyambut uluran tangan Tsunade.
Tsunade tampak senang mendengarnya, memuji-muji Ino sebagai sosok yang begitu mencintai tanah kelahirannya. Agak berlebihan memang, tapi mungkin saja ini memang menjadi bagian dari lip service agar Ino mau menerima pinangan Tsunade untuk menjadi Miss Konoha. Sesekali terselip keluhan wanita itu tentang betapa sulitnya membujuk para model asal Konoha untuk berpartisipasi dalam beauty pageant untuk membawa nama daerah mereka.
Setidaknya, Tsunade memang benar-benar mengetahui seluk beluk dunia modeling. Namanya ada dalam deretan teratas ketika semalam Ino mencoba mencari tahu namanya dengan meng-googling. Bagi Ino, itu saja sudah cukup untuk menempatkan Tsunade sebagai sosok yang penting.
"Bagaimana?" Sakura memasang wajah penasaran. Alih-alih ikut serta dalam negoisasi tadi, Sakura malah memilih menunggu di parkiran.
Ino menatapnya dengan sedikit gusar. Bola matanya menjeling, memastikan keadaan sekitar. Tatapannya menajam, seolah berusaha menelanjangi Sakura yang tengah menyembunyikan asrar. Sakura mulai merasa tak enak hati, merasa ada sesuatu yang tidak benar.
"Hey, kalau kau tidak suka, kau kan tidak perlu sampai begitu," kata Sakura sembari menggerakkan tangan untuk membuka handle pintu mobilnya.
"Apa. Yang. Kalian. Rencanakan."
Sakura tersenyum, kemudian menyeringai. Ia melipat tangan di depan dada, membalas tatapan tajam Ino dengan penuh percaya diri. Detik itu pula, Ino bersumpah, tatapan dari manik kehijauan itu bukanlah tatapan mata sahabat ia kenali.
Belum sempat ia bereaksi, Sakura bergerak lebih cepat. Entah bagaimana, tiba-tiba saja Sakura sudah berdiri di belakangnya, mengunci kedua tangan Ino di belakang pinggang dengan erat. Seolah belum cukup, tangan kanan Sakura menodongkan sepucuk pistol yang siap memuntahkan peluru-peluru yang akan membombardir dengan hebat.
"Aku mengerti," Ino mencoba untuk tetap tenang. Menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik menyerang.
Braakk!
Kali ini tubuh Sakuralah yang terpelanting menabrak kap mobil.
.
.
.
"Bagaimana menurutmu?"
Mata sipit pemuda itu mengerjap begitu mendengar pertanyaan Tsunade. Ia cukup paham, pertanyaan wanita itu mengarah pada supermodel Rusia yang digadang-gadang akan menjadi bagian dari reserse. Hanya saja Shikamaru—pemuda itu—merasa gadis itu masih membutuhkan pelatihan intens sebelum masuk slagorde.
"Gorgeous. Stunning. Fierce. Mau apa lagi kalau bukan itu?" tukas Shikamaru tanpa minat.
Tsunade tertawa ringan, "Aku tanya pendapatmu sebagai profesional di bidangmu, Shikamaru."
"Plain."
"Huh?" Kali ini Tsunade menaikkan alis, "Separah itu?"
"Memangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang gadis yang bahkan tak tahu pasti apa tujuannya dikirim ke sini," komentar Shikamaru, "jika bukan Inspektur Yamanaka sendiri yang memintanya, kurasa aku akan berpikir seratus kali lagi untuk memasukkannya ke dalam jajaran reserse."
"Rencanamu?" tanya Tsunade.
"Buatkan jadwal intensif selama tiga bulan. Kurasa dia lebih cocok dilatih untuk menghadapi lawan dari jarak dekat," Shikamaru menunjuk ke arah layar digital yang menyorot pergulatan Ino dan Sakura dari CCTV, "kemampuan bela dirinya cukup bagus."
"Kemampuan komunikasinya sepertinya juga bagus," timpal Tsunade, "itu akan memudahkannya untuk mengorek informasi-informasi penting dari para pembesar negeri tanpa ketahuan. Aku tidak mengerti, bagian mana dari seorang Yamanaka Ino yang membuatmu meragukannya. Ayolah, Sakura juga begitu saat pertama kali kita melatihnya."
"Dia cerewet," kata Shikamaru singkat, "dan itu bisa jadi sebuah bumerang."
Cukup itu saja yang perlu Tsunade ketahui. Toh, dijelaskan panjang-panjang pun ia belum tentu mengerti. Wanita itu bukanlah anggota resmi dari satuan intelijen pengaman negeri. Ia hanya seorang relasi yang dipercaya untuk ambil bagian dalam masa recruitment ini.
Sekitar dua bulan yang lalu, Kōanchōsa-chō memutuskan untuk menambah jumlah intelijen baru sehubungan dengan ancaman narco terrorism yang semakin hari semakin karut. Dalam rapat Inspektur Yamanaka begitu gigih ingin menempatkan putrinya sebagai salah satu kandidat intelijen baru yang akan direkrut. Menurutnya, mereka perlu sosok intelijen yang memiliki ruang lingkup pergaulan yang luas untuk dapat menyusup ke pesta-pesta yang dibukut.
Nepotisme, tapi Shikamaru tak pernah benar-benar peduli dengan hal ini. Baginya sepanjang orang yang diajukan memang kompeten, maka nepotisme bukanlah masalah berarti.
Bagaimanapun Yamanaka Ino bukanlah pilihan yang buruk, tetapi juga bukan pilihan terbaik. Nilai plusnya hanya terletak pada penampilan fisik—Shikamaru tak begitu yakin soal prestasi akademik. Nilai minusnya jelas-jelas terletak pada pribadinya yang berisik. Akan sangat merepotkan bila seorang intelijen alih-alih mengeruk informasi malah justru dimanfaatkan balik.
Well, tapi tak ada salahnya juga mencoba memercayai gadis itu. Toh, ia juga masih menunggu laporan lengkap Sakura tentang impresi macam apa yang ada dibenak sang calon reserse baru. Dari pertikaiannya dengan Sakura tadi, sepertinya ia cukup peka untuk membelu. Semoga saja Tsunade dan teman-temannya di Training Institute bisa mengubahnya menjadi sosok yang lebih bermutu. Itu saja yang menjadi harapan Shikamaru.
Dan sembari menunggu Yamanaka Ino dipersiapkan, ia akan punya banyak waktu untuk bersantai. Punya waktu untuk bersantai berarti ia punya waktu tambahan untuk menyapa bantal dan merangkai mimpi. Urusan internal departemen lainnya biarlah diambil alih wakilnya, Hyuuga Neji.
"Tanda tangan."
Shikamaru nyaris saja mengumpat dan menghujat siapapun yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia baru saja menelungkupkan wajah di atas meja, bersiap untuk menjejaki utopia. Pemuda itu mendengus kesal begitu melihat pelakunya ternyata seorang Hyuuga.
"Kenapa kau yang datang?" Setengah enggan, Shikamaru mengguratkan tanda tangan di atas lembaran kertas yang disodorkan Neji.
"Sekretarismu sudah mengetuk pintu, menunggu bermenit-menit untuk mendapatkan tanda tanganmu," Neji menukas dengan sederet intonasi sebal. Sekretaris yang dimaksud Neji segera memasang raut wajah lega dan mengucapkan terima kasih berkali-kali setelah menerima kembali laporan yang telah ditandatangani.
"Kau kan bisa mewakiliku," gumam Shikamaru seraya bertopang dagu. Agaknya ia masih belum rela agenda tidurnya terganggu.
"Aku tidak bisa mewakilimu dalam segala hal," komentar Neji. Kali ini tanpa intonasi apa pun. "Dan itu berarti, kau harus bisa menertibkan jadwal tidurmu yang serampangan itu. Kalau kau tidak mampu, carilah seorang perempuan yang bisa mengatur hidupmu."
"Aku bukan kau," cibir Shikamaru, "aku jadi kasihan pada Hinata. Nasibnya sial sekali sampai-sampai punya tunangan yang merepotkan sepertimu."
"Bantal dan kasus tidak bagus untuk kesehatan mentalmu." Neji balas mengomentari kebiasaan Shikamaru. Ia mengamati layar digital di hadapan Shikamaru yang tak diacuhkan si empunya, "Kudengar dari Tsunade-san, putri Yamanaka-san datang hari ini."
"Ya. Dia datang bersama Sakura. Kurasa Training Institute punya pekerjaan besar untuk menjadikannya intelijen yang bermutu," komentar Shikamaru.
"Kau meragukannya?" tanya Neji.
"Sulit untuk bicara tidak," jawab Shikamaru, "kau tidak kembali ke ruanganmu? Memeriksa dokumen atau sekadar menelepon tunanganmu mungkin?"
"Bilang saja kau ingin mengusirku agar bisa meneruskan tidurmu," seloroh Neji tanpa tedeng aling-aling, "tapi baiklah. Selamat berburu wanita di mimpimu, Pak Ketua." Lelaki Hyuuga itu menyeringai tipis sebelum melangkahkan kakinya untuk keluar.
Shikamaru menguap tertahan, kemudian menelungkupkan kepalanya di atas meja lagi. Tak lebih dari satu menit, lelaki itu kembali dibuai mimpi.
.
.
.
"Kau akan jadi intelijen sekaligus model dan Miss Konoha tahun ini."
Inspektur Yamanaka Inoichi menjawab pertanyaan putrinya dengan tegas. Tampaknya ia memang sudah mempersiapkan jawaban dan penjelasan andaikata putrinya melayangkan protes keras. Melihat putrinya datang dengan wajah kusut—seperti menyimpan amarah setelah tahu keadaan sebenarnya—membuat pria paruh baya itu lega sekaligus merasa cemas. Di satu sisi ia lega karena kejelian putrinya mengamati setiap anomali membuktikan bahwa putrinya memang cukup cerdas. Di sisi lain, pilihan Ino untuk menindaklanjuti apa yang sudah dilihatnya juga membuktikan bahwa putrinya tak cukup mawas. Shikamaru pasti telah mencatat satu poin minus dalam standar fisibilitas.
"Kenapa Ayah tidak bilang sejak awal? Takut kalau aku tidak setuju? Ck ... seharusnya aku sudah curiga kenapa Ayah tiba-tiba setuju dengan karir modeling-ku," Ino masih menyimpan rasa kesal bertumpuk-tumpuk begitu telah mengetahui dirinya telah dibohongi.
"Ini solusi win-win untuk Ayah dan juga untukmu, Ino-chan. Kau bisa memenuhi cita-cita Ayah tanpa meninggalkan passion-mu di dunia modeling," ucap Inoichi.
"Aku tidak suka senjata api. Tidak suka terlibat baku hantam. Tidak suka berurusan dengan mayat. Tidak suka berurusan dengan penjahat-penjahat barbar," Ino mengerjapkan mata sekilas. Mencoba mengingat kembali alasan-alasannya tak mau menggeluti profesi yang disarankan ayahnya.
"Dunia kriminal tidak sesempit itu, Pi ... Ino-chan," Sakura akhirnya buka suara, "pernah dengar white-collar crime?"
"Uh ... yeah .. aku tak benar-benar paham maksudnya," kilah Ino.
"Aku akan meminjamimu bukunya kalau kau mau," kata Sakura.
"Hey, aku kan belum bilang setuju!" protes Ino, "Daripada memberiku buku, kenapa tidak dijelaskan lagi bagaimana job description dari intelijen itu."
Inoichi tersenyum, menyadari putrinya tak lagi bersikap antipati, "Yang perlu kaulakukan hanyalah mendengar dan menggali informasi. Seperti yang disinggung Sakura tadi, urusanmu bukanlah dengan penjahat-penjahat barbar. Kau akan berhadapan dengan oknum-oknum perlente. Dandy dan berdasi."
"Itu saja?" Ino sedikit tak percaya.
Ayahnya mengangguk, "Hanya itu saja. Tugasmu memang hanya menggali informasi, bukan terjun dalam misi-misi berbahaya atau bahkan mengambil keputusan."
"Hahh ... kalau hanya itu, kenapa tidak bilang sejak awal. Kalau memang benar hanya itu, aku juga tidak keberatan menjadi telinga pihak kepolisian," Ino mendesah pelan.
"Jangan bicara seolah kau tidak pernah bersikap antipati terhadap dunia kriminal. Kau langsung menghindar begitu aku ingin mengajakmu bicara tentang perbedaan mafia Italia dengan mafia Rusia," cibir Sakura.
Ino hanya bisa nyengir menanggapi cibiran Sakura. Selama ini ia memang tak peduli dengan urusan kriminalitas yang selama ini digeluti ayahnya. Dalam benaknya, yang namanya kriminalitas pastilah berurusan dengan penjahat-penjahat barbar, lebih keren sedikit paling berurusan dengan mafia. Itu pun tetap saja dibumbui baku hantam dan segala tindak kekerasan yang bisa membuatnya sakit kepala.
Memandangi Sakura, Ino jadi ingat ketika beberapa belas menit yang lalu mereka masih ada di parkiran kantor yang semula dikira agency. Ingat bagaimana Sakura tiba-tiba menyerangnya, kemudian ia berbalik menyerang, dan memaksa gadis itu untuk menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Ada segumpal emosi yang meletup di kepalanya begitu mengetahui ayahnyalah dalang di balik semua ini.
Kemudian fakta-fakta lain berhasil ia dapatkan tanpa hambatan berarti. Kantor tadi bukanlah kantor agensi model milik Senju Tsunade, melainkan salah satu kantor cabang organisasi intelijen negeri. Pemuda yang memasang wajah mengantuk tadi juga bukan asisten Tsunade, melainkan pimpinan kantor cabang di kota ini. Senju Tsunade sendiri memang seorang designer dan representasi Yayasan Miss Konoha, tetapi sama seperti Sakura, ia juga menjalani dua profesi.
"Masih ngambek?" goda Sakura. Gadis itu memeluk boneka beruang milik Ino ketika si empunya tengah asyik membolak-balik halaman demi halaman buku tebal di kamarnya. Ayahnya baru saja memberikan buku berisi kajian white-collar crime ini untuk ia baca.
"Kau sendiri, sejak kapan tertarik dengan dunia intelijen begini?" Ino balik bertanya.
"Umm ... kira-kira sejak tahun keduaku di universitas. Awalnya aku hanya ikut mengobservasi ketika ada otopsi. Lama-lama aku tertarik. Ketika itu ada open recruitment intelijen-intelijen baru. Aku ikut seleksinya, kemudian mendapat pelatihan rahasia dari Training Institute," jelas Sakura, "kautahu, sebagian intelijen tidak berasal dari unit kepolisian. Mereka punya profesi ganda. Sebagai profesional bidang mereka sendiri sekaligus sebagai informan. Aku salah satunya. Dan kau akan segera menyusulku."
"Aku mengerti...," Ino mengangguk-anggukkan kepala, "semacam untuk mengendus kejahatan yang terorganisasi dengan baik, begitukah?"
Sakura mengacungkan jempol, kemudian mendadak ia teringat sesuatu, "Ngomong-ngomong, skill bela dirimu membuatku terkejut. Kau belajar karate juga di sana?"
Ino mengangguk, "Agency-ku menyuruhku latihan bela diri. Sebagai model, aku tak bisa menggantungkan proteksi penuh pada bodyguard. Apalagi beberapa waktu yang lalu sedang marak kasus-kasus penculikan."
Sakura mengangguk-anggukan kepala sementara tangannya memeluk boneka beruang Ino lebih erat. Temannya masih membolak-balik lembaran kertas putih di tangannya dengan cepat. Kelihatannya Ino memang tidak terlampau berminat. Sakura pun memakluminya, memang tak mudah memahami dunia kriminal dalam waktu singkat.
"Tapi kalau kupikir-pikir lagi, jangan-jangan agency-ku menyuruhku begitu juga atas suruhan ayahku," Ino bertopang dagu, "kalau dari ceritamu, masuk akal juga kan kalau salah satu petinggi agency-ku juga ikut terlibat. Menjadi anggota tak resmi SVR atau FSB lalu bekerja sama dengan ayahku misalnya."
Bola mata Sakura beraversi ke sisi lain, setengah menghindari tatapan sahabatnya. Sepertinya ia harus meralat praduganya tentang Ino yang tak begitu berminat dengan bidang kriminal yang ditawarkan ayahnya. Atau mungkin Ino memang tak begitu fokus membaca referat yang tersedia, tetapi ia mengandakan ketajaman nalar yang dimilikinya.
Gadis berambut merah muda itu tersenyum, merasa lega karena sepertinya sahabatnya tak butuh waktu yang terlampau lama untuk beradaptasi dengan tugas barunya.
Selamat datang di dunia spionase, Nona Yamanaka.
.
.
.
TBC
.
.
Glossary :
White-collar crime : Kejahatan kerah putih. Kejahatan jenis ini terbagi dalam empat kelompok kejahatan, yakni kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malapraktik, dan kejahatan individu.
Kōanchōsa-chō (Public Security Intelligence Agency) : Badan intelijen nasional Jepang di bawah Kementerian Kehakiman yang bertugas menjaga keamanan internal dan spionase terhadap ancaman keamanan negara.
FSB dan SVR : Nama badan intelijen Rusia.
ShikaIno genre crime (dan mungkin misteri) untuk Saqee-chan, juga untuk memenuhi keinginan saya yang kepingin menambah archive crime ShikaIno.
Chapter pertama, saya tidak ingin banyak berkoar. Yang jelas, saya menantikan feedback baik dalam bentuk tabokan, cubitan, ataupun pujian (kalau ada).
Spasiba ^^
