Chapter 3: In the Midst of Midnight
.
.
.
Kuncinya adalah gadis penyanyi itu.
.
.
Ia lupa menyebutkan yang seorang lagi.
.
.
.
Meiko menggertakkan gigi.
"Aku.."
Spade melambaikan tangannya dan mengalihkan pandangannya dari Meiko dan tersenyum sinis. "Tak perlu merasa bersalah. Lagipula bukan kau yang melakukannya–itu seratus persen murni perbuatan Aria sang Ksatria Merah."
"Apa yang kau lakukan di sini? Bulan purnama sudah lewat, seharusnya kekuatanmu tidak cukup besar untuk mengambil alih tubuh…," Meiko tak sanggup mengucapkan nama itu, nama Kagamine yang lebih muda. Ia memang tak begitu dekat dengan kedua Kagamine, tapi kehadiran mereka tak dipungkiri lagi membawa kesan khusus dalam kehidupannya–satu-satunya pasangan kembar SMP Kiriyama, dan perbedaan mereka dalam keahlian yang mencolok itu menjadikan Meiko selalu menantikan kabar terbaru tentang sang kapten tim basket dan ace time baseball. Lucu baginya bagaimana dalam acara lomba ataupun kejuaraan, ia dan Kagamine Rin seringkali berada dalam tim yang sama. Sedangkan dalam setiap sesi hukuman, wajah pasrah Kagamine Len tidak pernah absen dari kantor OSIS dan 'ketukan' bokken Meiko sang Penjaga. Namun salah satu di antara mereka kini berada di sini, menatap Meiko dengan senyuman di wajah, padahal Meiko tahu kalau laki-laki itu bukan Kagamine Len.
"Bulan purnama, katamu? Katakan, dapat teori dari mana kau? Keluarga picisan Megurine itu?"
Meiko mengeratkan genggamannya. "Megurine bukan keluarga picisan."
Spade tertawa hambar. "Aku suka keluarga kalian para ksatria–Sakine–meski kepalaku berakhir di tangan salah seorang anggota kalian. Tapi Megurine dan Kamui–tidak ada yang lebih kubenci daripada kedua klan itu. Kau tidak perlu tahu kenapa. Dan kurasa sudah saatnya kau meningalkan tempat ini sekarang. Aku tidak akan melakukan apapun."
Meiko menatap pria di hadapannya dengan kemarahan yang berkobar. "Tidak melakukan apapun, katamu?! Kalau begitu yang terjadi pada gadis berambut hijau itu apa?!" Napasnya memburu saat mengingat Gumi, dan dengan susah payah ia menahan diri untuk tidak membelah tubuh milik Kagamine Len menjadi dua. "Katakan, dimana Elena?! Biar kuseret pembunuh berdarah dingin yang kejam itu dan–"
"Elena bukan pembunuh!"
Bentakan pria yang dikenal sebagai Pelayang sang Tiran itu seolah membekukan udara, menghancurkannya jadi kepingan kemudian mencengkram serpihannya–membuat waktu bagai terhenti dan suasana berubah mencekam.
Meiko menguatkan cengkramannya pada gagang pedang merah legendarisnya dengan tenaga yang lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Keheningan mengisi ruang kelas itu selama entah berapa lama–yang terasa bagai selamanya bagi Meiko. Spade menatapnya dengan pandangan murka, namun ia menarik napas dalam dan memperoleh ketenangannya kembali.
"Kukatakan sekali lagi, Elenaku bukan pembunuh. Kau bertanya-tanya tentang gadis berambut hijau itu? Ya, Elena memang meminum darahnya, tapi bukan Elena yang membunuhnya. Elena memang tiran kejam berdarah dingin tanpa perasaan–terserah kalian mau menyebutnya apa–tapi ia tidak pernah membunuh. Setidaknya, belum." Spade berjalan mengirati meja dan menghampiri Meiko. Tangannya terkepal di dadanya, telunjuknya mengarah ke wajahnya sendiri. "Aku. Akulah pembunuh gadis itu. Juga orang-orang yang terpaksa menyrahkan darah mereka–tidak, itu semua bukan Elena, meski dia yang memmerintahkan, tapi aku. Aku, Spade, adalah sang pembunuh."
Suasana kembali hening. Meiko menelan ludah. Pria ini benar-benar mengerikan. Bukan karena dia adalah pembunuh atau statusnya sebagai adik kembar dari Elena sang Tiran, tapi hal lain dari ucapannya. Seperti.. ia begitu berkeras kalau dia, Spade, adalah pembunuhnya. Seakan dia ingin dikenal sebagai pembunuh kejam. Tapi jauh di dalam, ada emosi lain dari ucapannya–makna yang lebih dalam yang Meiko rasa ia harus mengerti.
"Kalau kalian ingin memanggil Elena tiran," lanjut Spade, "setidaknya panggil-lah aku dengan sebutan yang sama. Karena dalam diri kami mengalir darah yang sama."
Kini semua menjadi jelas bagi Meiko. Perasaan Spade, harapannya, keinginannya, penderitaannya, rasa bersalahnya -semuanya. Tak perlu kata-kata untuk menggambarkannya, Meiko sudah mengerti semuanya.
"Dengar, Spade–"
"U-uh. Aku sedang tidak ingin mendengar ceramah sekarang ini." Spade menatap Meiko dengan senyum menghina, yang sekaligus pahit. "Kau mau bilang kau mengerti? Maaf saja, puluhan tahun aku mendengar hal itu, tapi kata-kata itu hanya sekadar cangkang kosong."
Meiko menelan ludah. Saat sang Pelayan berkata seperti itu, ia merasa bagian dari hatinya teriris dengan alasan yang tidak ia ketahui. Pedihnya entah kenapa terasa dalam, membuatnya ngilu. Ia bahkan tidak tahu kronologi kisah legendaris sang Ratu Tiran dan pelayannya, tapi ia mengerti maksud Spade.
"Aku.. tadinya aku kemari untuk memeriksa. Begitu melihatmu, rasanya aku ingin membunuhmu begitu saja. Kalau bukan karena itu tubuh Kagamine Len, aku pasti sudah menebasmu daritadi."
Spade tertawa lagi–kali ini bukan tawa hambar, melainkan tawa sungguhan. Ia terdengar begitu geli saat suara tawanya menggema di ruang kelas. "Kalau ini bukan tubuh Kagamine Len, Ksatria, ataupun tubuh orang lain, kau pastilah sudah terbaring sekarat di lantai. Dan kemungkinan besar sekolah ini akan.. diinvasi. Atau sejenisnya. Ingat, orang-orang menakuti kami berdua bukan karena kami kembar–yah, itu juga–tapi terutama karena kami kuat. Kuingatkan untuk tidak meremehkan pisau rotiku." Sembari berkata seperti itu, Spade menarik empat buah pisau roti dan menggenggamnya di antara jari-jarinya.
Refleks, Meiko menerjang dan mengangkat pedangnya.
Tanpa pekikan–atau sekadar utaran kekagetan–Spade menghindar ke samping. Cukup satu langkah halus tanpa gerakan lain yang tidak diperlukan. Ia menoleh untuk menatap Meiko. "Tak perlu terburu-buru. Dalam tubuh ini, aku tidaklah sehebat itu. Kalau aku telat menghindar, bisa-bisa bocah Kagamine ini yang mati."
Meiko menggigit bibir. Ia benar.
"Tapi," lanjut Spade, "sebagai hadiah untuk keberanianmu, aku akan memberimu sebuah hadiah–kenapa menurutmu aku bisa mengambil alih tubuh bocah ini saat bukan bulan purnama?"
Meiko mengerutkan kening. "Aku tak mengerti jalan pikirmu. Bukankah kau baru saja bilang kalau teori itu salah?"
"Aku tidak bilang kau salah. Maksudku, kalau kau berbicara tentangku, maka kau memang salah. Tapi hal itu berlaku kalau kita bicara tentang Elena. Elena hanya bisa bangkit pada saat bulan purnama." Kerutan di kening Meiko makin dalam saat Spade berlalu dan menatap langit malam dari jendela. "Dan karena itu, perburuan hanya akan terjadi setiap bulan purnama."
"Tch," Meiko menggertakkan gigi. "Bagaimana aku bisa yakin kalau kau tidak akan melakukan apapun? Hanya bulan purnama? Tapi kau di sini sekarang. Tak ada jaminan kalau kau sendiri tidak akan melakukan perburuan."
Spade mengalihkan pandangannya dari langit malam dan menatap Meiko. Meiko tertegun. Ia samasekali tidak pernah menyangka kalau ia akan melihat ekspresi kesedihan yang begitu dalam. Spade tersenyum, namun senyumnya terlihat lelah, sirat penyesalan tiba-tiba saja begitu kentara di wajahnya.
"Kau bertanya-tanya kenapa? Bukannya sudah jelas–karena saat bukan bulan purnama, tidak ada yang memintaku melakukan perburuan."
Jantung Meiko terasa ngilu saat mendengarnya. Ia tidak berniat untuk masuk ke dalam kisah kehidupan sang Kembar dalam Legenda, tapi perasaan yang tumpah lewat kalimat yang diucapkan Spade barusan menyeruak masuk ke dalam dirinya. Potongan teka-teki mulai tersusun dalam kepalanya, dan ia mulai mengerti perihal kejadian yang katanya hanya legenda itu. Tapi bukannya lega karena ia mengerti, Meiko malah makin takut.
"Kau.."
Spade mendengus. "Heh, memang menurutmu kenapa lagi aku melakukan pekerjaan kotor itu? Kesenangan?" Spade tertawa hambar. Kali ini lebih kosong dan mengerikan daripada sebelumnya. "Aku melakukan ini semua demi Elena, Ksatria."
Meiko merasa perutnya baru saja dihantam palu godam. Entah kenapa mendengarnya membuat Meiko sakit. Ia merasa bisa merasakan apa yang dirasakan Spade. Pria yang tidak pernah memiliki niat.. Mungkin semua orang hanya lekas menyalahkannya. Meiko menurunkan pedangnya dan bergumam lirih.
"Apa? Maaf, aku tak mendengarmu. Tapi jangan merasa bersalah. Jangan juga simpati. Ini semua terjadi karena kelemahanku." Memutar badannya, Spade berjalan kembali ke meja tempat ia meletakkan mutiara hijau toska itu.
"Spade, aku.. aku.. maaf..," suara Meiko memudar. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Spade tersenyum pahit. "Terima kasih. Aku tak menduga kau bisa menyusun seluruh cerita dalam waktu yang begitu singkat."
Keheningan kembali mengisi ruangan. Yang terdengar hanyalah bunyi jangkrik dari luar dan beberapa suara mencicit dari koridor. Mungkin tikus, batin Meiko. Tanpa ia sadari, sang pelayan telah berdiri di hadapannya sekarang.
"Kalau boleh, Ksatria, aku ingin meminta tolong padamu."
Tenggorokan Meiko terasa kering saat ia menatap wajah Kagamine–tapi dengan suara milik Spade. Ia menelan ludah dan berkata dengan suara serak, "apa itu?"
Spade terdiam sejenak, sebelum akhirnya meraih tangan kiri Meiko yang tidak menggenggam pedang. Tangannya terasa dingin di tangan Meiko. Lalu Spade meletakkan sesuatu di atas telapak tangan sang penjaga. Mutiara hijau toska tadi.
"Ini," katanya. "Tolong kembalikan ini kepada pemiliknya. Dan," Spade menghela napas sebelum melanjutkan. "Tolong jauhkan ia dari pasangan kembar ini. Paling tidak, pastikan ia menjaga jarak."
Meiko terdiam. Apa maksudnya? Ia bahkan tak tahu pemilik permata ini..
"Kalau begitu, aku akan kembali," ujar Spade sembari melangkah keluar ruangan kelas.
"Spade!"
Pria itu menoleh.
"Bagaimana dengan Pandora? Di mana kotak itu sekarang?"
Spade tersenyum kecil. "Si kembar ini yang menyimpannya."
"Mereka benar-benar membuka kotak itu? Mereka memainkan permainan dalam kotak itu?"
Spade tertawa. "Kau tahu, Ksatria, untuk ukuran seorang Ksatria kau ini benar-benar mudah panik. Yah, kurasa mereka memang membukan dan memainkannya–mungkin sebulan sebelum perburuan pertama. Tapi, mereka samasekali tidak ingat."
"Apa maksudmu?"
"Ingatan mereka saat bermain Pandora terhapus, singkatnya."
Meiko terbelalak. "Bagaimana bisa?"
"Aku sendiri juga tidak tahu."
Perlahan, berkas cahaya masuk ke dalam pandangannya. Ia menyipitkan mata sampai lensa metanya menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitarnya. Ia menyisir sekelilingnya perlahan, dan melihat angka di jam digital tertulis 09.19.
Hm, masih pagi. Toh sekarang hari libur, pikir Len dan kembali merebahkan badannya.
Aneh sekali.
Len merasa aneh sekali. Perasaannya kemarin ia tidur cepat, tapi badannya terasa lelah bukan main–seperti ia baru saja begadang. Ia tidak begadang, tentu saja, terutama setelah kejadian kemarin, yang terjadi pada Gumi..
Len menghela napas. Gumi.
Biasanya ia paling sering bertengkar dengan Gumi, dan Kaito akan menengahi. Yah, itu dulunya. Sekarang tidak lagi. Tentu saja–Gumi sudah pergi. Len memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang ke tempat lain yang tidak menentu. Jadi, apa yang akan ia lakukan sekarang…?
Miku. Ah, Miku sedang sakit, bukan? Ia belum menjenguknya kemarin karena ia tidak bisa meninggalkan Rin begitu saja. Mungkin ia bisa mengunjunginya hari ini dan lihat apa yang bisa ia lakukan untuknya. Tapi Len akan melihat Rin terlebih dahulu. Ia berharap kakak kembarnya itu sudah mengumpulkan kembali semangatnya. Len bangkit dan meregangkan badannya. Perlahan ia menurunkan kaki kanannya untuk berdiri–saat ia merasakan sesuatu di bawah kakinya.
"Ouch," ia menoleh ke bawah dan terpekik kaget. "Rin?"
Kakak kembarnya terbaring di karpet dekat kasurnya, matanya masih sembab, tapi terlihat lebih baik. Kelihatannya ia tertidur. Saat Len mengangkat kakinya dan mengguncangkan tubuh Rin, Rin hanya bergumam, "ya.. satu mangkuk sup krim pasti kurang.. ambilkan tiga lagi.. ya, begitu Len, anak baik.."
Len sweatdrop. Bahkan dalam mimpinya, Len tetap menjadi objek bully Rin. Ia tidak yakin apakah ia harus marah atau tertawa.
"Rin, hei Rin. Bangun. Apa badanmu tidak sakit? Lagipula hari ini suhu di bawah 15 derajat. Ayo, kau bisa flu."
Perlahan, yang dipanggil membuka matanya. Dengan pandangan tidak terfokus, Rin menggumam, "pandora.."
Len mengerutkan kening. "Apa? Aku tidak bisa mendengarmu. Kurasa lebih baik kau pindah tempat kalau ingin melanjutkan tidurmu."
"Len?"
"Hai. Akhirnya seluruh kepingan nyawamu terkumpul juga. Untuk kesekian kalinya, ayo, bangun. Kau bisa pakai tempat tidurku kalau mau. Lagi pula, kau ini ada-ada saja. Seharusnya kalau mau tidur di kamarku, kau bilang saja. Aku bisa menyiapkan tatami. Oh, tunggu, seharusnya kau kan bisa menyiapkan tatami untukmu sendiri."
Rin bangkit dengan gontai, matanya masih setengah tertutup. Ia menghempaskan dirinya di atas kasur dan menghela napas. "Apa yang akan kau lakukan hari ini, Len?"
Len berpikir sejenak. "Entahlah. Aku akan menjenguk Miku, kurasa."
Rin mengangguk. "Hati-hati. Semoga beruntung."
Len menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil menggerutu. Yah, kalau Rin sedang menggodanya–atau pun tidak–ia hanya bisa pasrah. Toh tak ada gunanya mendebat sekarang. Rin memang benar tentang perasaannya terhadap Miku. Len mendengus sebal. Kenapa ia selalu kalah adu bacot, sih? Mengecek jam, Len menarik handuknya dari jemuran dan masuk ke kamar mandi. Sudah bagus ia tidak bangun terlalu siang seperti biasanya pada hari libur dan ia rasa waktunya pas untuk menjenguk Miku.
Hatsune Miku, ya.
"Haaah…," Len menghela napas. Ia sudah tidak ingat sejak kapan ia mulai memperhatikan gadis itu. Aura positif yang dipancarkannya, semangat dan mata jernihnya.. kesemuanya itu, adalah hal-hal yang membuat Miku berbeda di mata Len. Bukannya Len sok tahu kalau Miku juga menyukainya–ia samasekali tidak tahu. Tapi, ia hanya berharap, walaupun sedikit.
Meski ia sedikit banyak tahu kalau Miku selalu memperhatikan Kaito.
Masalah cinta bukan kesukaan Len–terutama cinta segitiga. Tunggu, apa memang benar ini cinta segitiga? Sungguh konyol. Tak adakah masalah lain yang lebih penting daripada ini? Sepanjang hidupnya sampai saat ini, Len paling anti dengan masalah cinta segitiga. Kalau bisa, ia ingin melangkah keluar saja dari segitiga itu. Yah, kalau bisa, sih. Lagipula mereka baru SMP kan? Jalannya masih panjang. Mungkin saja cinta sejatinya akan muncul di masa depan. Entah ya.
Yang paling penting sekarang, Len hanya berniat baik untuk emnjenguk Miku. Sejujurnya, Len punya masalah lain yang jadi prioritasnya–Gumi dan Rin. Ia tersenyum kecil sembari memakai kausnya dan mengeringkan rambut. Benar juga. Ketimbang memikirkan cinta segitiga, ia punya masalah yang lebih penting. Ia tentu saja tidak akan menyerah dengan Miku, tapi kalaupun akhirnya Miku memilih Kaito, ia masih punya Kaito dan Rin–sahabatnya sejak kecil. Che, kenapa hal ini malah berubah menjijikan ala sinetron?
Len keluar dari kamar mandi dan bergegas menuju kamarnya. Di dalam, Rin sedang memegang ponselnya. Kelihatannya ia tampak bersemangat.
"Hei kak. Apa yang membuatmu begitu bersemangat?"
Rin bahkan tidak menoleh.
"Cih, kau ini. Ya sudah, aku berangkat. Oh iya, apa yang akan kau lakukan?"
Rin masih tersenyum lebar saat ia mengangkat kepalanya adri layar ponsel. "Apa? Ah tidak. Kurasa hanya sekadar berjalan-jalan sedikit bersama Kaito."
Len mengangkat alis. "Kai? Tumben. Sudahlah. Bukan urusanku. Aku pergi dulu."
Len memutar gagang pintu begitu mendengar sahutan Miku. Di dalam, sang diva berambut hijau toska sedang duduk di pinggir tempat tidurnya, menggenggam sesuatu yang tampak seperti sandwich. Mulutnya sibuk mengunyah saat ia tersenyum kepada Len.
"Ohayou."
"Uh, ohayou.. bagaimana kabarmu, Miku-san?"
Miku mengangguk. "Baik. Kemarin Kaito-san juga menjengukku dan membawakanku buah. Kau mau? Masih ada banyak."
Len menggeleng. "Terima kasih. Ini, aku bawakan roti. Dari Rin juga. Ia titip salam untukmu."
"Sampaikan terima kasihku padanya. Silakan duduk, Len-kun."
Len berjalan perlahan ke arah sebuah kursi dekat meja rias. Ia tidak tahu harus memulai obrolan apa. Apa yang disukai sang diva? Musik? Tapi Len tak tahu terlalu banyak tentang itu. Game? Ia tak yakin kalau Miku suka. Dengan cepat suasana berubah canggung. Selama beberapa menit berikutnya, Len hanya memandang sekeliling kamar Miku, memperhatikan langit-langitnya atau lantai. Meski Miku adalan manager tim baseball, Len tidak begitu sering bicara dengannya.
Mata Len menangkap sesuatu di atas meja rias. Kalung.. dengan sebuah mutiara hijau toska sebagai bandulnya.
"Miku-san, ini punyamu?"
Miku berpaling dan mengangguk. "Ya. Itu warisan dari.. buyut buyut buyutku. Seharusnya ada dua mutiara, tapi yang satunya hilang entah kemana. Padahal minggu lalu masih ada."
Len manggut-manggut. Hmm.. mutiara hijau toska ya.. kelihatannya mahal. Tentu saja, hasil kerjanya mulus sekali dan mengilap. Ia jadi bertanya-tanya, apa orang yang pertama kali membelinya adalah keluarga bangsawan atau kerajaan. Tapi semakin Len memperhatikan, ia merasa ada yang aneh–seakan ia tahu benar di mana mutiara yang satunya, hanya saja ia tidak bisa mengingat. Ia yakin benar kalau ia belum pernah melihat benda ini, tapi otaknya seakan membisikkan memori lain–semacam de javu kalau ia pernah memegang benda itu sebelumnya.
"Len-kun?"
"Eh, iya?"
"Ada masalah?"
"Bu-bukan begitu. Hanya saja aku merasa aneh.."
"Eh? Aneh apanya?"
Len terdiam sejenak, lalu ia menggeleng. "Lupakan saja. Mungkin aku sedang mengantuk."
"O-oke."
Meski berkata demikian, Len tetap penasaran dengan mutiara hijau itu. Hih, jangan-jangan ia kerasukan? Sudahlah, berpikir macam-macam tentang arwah juga takkan membantu. Len terdiam beberapa saat sampai akhirnya berkata, "Miku-san, kau ada waktu?"
"Sekarang?"
Len mengangguk.
"Eto… mungkin saja. Kurasa tak masalah. Ada apa?"
Len tidak mengerti kenapa ia menanyakan hal itu. Dan sebelum dirinya bisa mencegah perkataannya, ia sudah bertanya lagi, "bisa kau ikut aku ke sekolah? Hari ini memang weekend, tapi aku ingin.. melihat-lihat kegiatan klub."
Klub baseball sendiri tak ada latihan.
Miku terkejut, tapi ia terlihat senang. "Ah, sekolah? Tentu saja! Meski baru sehari tak masuk aku merasa sudah berbulan-bulan tak melihat sekolah."
Len mengangguk dengan semangat. "Baiklah, ayo. Ada yang bisa kubantu?"
"Mari lihat…," Miku terlihat berpikir sejenak, sampai akhirnya ia menatap Len dengan senyuman yang membuat Len merasa isi perutnya sedang diaduk. "Well, bagaimana kalau menunggu di luar sampai aku selesai ganti baju?"
Lagi-lagi Len tak mengerti apa yang ia lakukan–mengajak Miku ke sekolah di hari sabtu? Terlebih lagi, tanpa ada kegiatan ekskul? Ia takut kalau pikirannya mulai memiliki pikiran sendiri. Apa hal itu mungkin? Mungkin saja, kalau neuron memiliki sub-neuron di dalam mereka. Kalau begitu, akan ada aku di dalam diriku? Duh, batin Len. Di luar dugaan, pelajaran tentang sel saraf itu nyantol di otaknya yang tampaknya tidak punya cantolan samasekali. Mungkin hasil dari digempur selama tiga hari tiga malam oleh Rin, yang–tidak seperti Len–otaknya punya stok cantolan yang tak terbatas. Mungkin rin membagi sedikit kepada Len.
Tapi tentu saja bukan itu maksudnya. Ia, entah kenapa, merasa kalau mereka harus pergi ke sekolah. Pikiran itu muncul saat ia melihat kalung Miku tadi. Apa ini ada hubungannya? Tapi kalau begitu, kenapa Len samasekali tidak mengerti? Masa instingnya sendiri mengalahkan dirinya? Len tidak mengerti lagi.
Di sela-sela perang batin yang sedang berkecamuk dalam pikiran Len, ia tersentak. Saat menoleh, ia mendapati bukan hanya Miku saja yang ada di sebelahnya, namun juga sang prefek sekolah, Sakine Meiko. Len bergidik dan spontan mengambil langkah cepat mundur.
"Ha-halo, Senpai."
Bukannya memberi jawaban, Meiko malah menatapnya dalam-dalam dengan pandangan tajam dan kening berkerut. Aneh, biasanya ia membentak, tapi kali ini Meiko hanya diam dan menatap Len. Sejujurnya, Len lebih memilih dibentak daripada ditatap dengan aura kelas monster berkobar di belakang Meiko.
"Errr.. Se-senpai? Halo? A-ada masalah?"
Meiko menggeleng–dengan tampang enggan. Dan meskipun sang Senpai mengalihkan pandangannya ke arah Miku, sesekali Len dapat merasakan Meiko melirik ke arahnya dengan tatapan yang sama dari sebelumnya. Len menelan ludah.
"Eh, Miku-chan, jadi apa yang kau dan..," Meiko mengerling ke arah Len, yang lagi-lagi sukses membuat Len bergidik, "lakukan di sini? Kukira klub baseball tidak ada jadwal latihan hari ini."
"Eh.. itu.. Len-kun hanya memintaku menemani melihat-lihat."
Meiko terlihat skeptis. "Begitukah? Baiklah kalau begitu. Aku–"
Tiba-tiba saja sang Senpai yang terkenal killer itu membelalakkan matanya. Len berpikir, mungkin kalau seseorang memukul kepalanya dari belakang, bola mata Meiko pasti sudah menggelinding keluar.
"Ara.. Miku-chan, itu kalung apa?" tiba-tiba saja Meiko menunjuk kalung yang tergantung di leher Miku.
"Eh? Ini? Kalung dari buyut-buyutku. Memangnya kenapa, Senpai?"
Meski terlihat ragu, akhirnya Meiko berkata, "kau… apa seharusnya kalung itu memiliki dua mutiara?"
Miku membulatkan matanya dan Len terlonjak. Hei, tunggu. Bagaimana mungkin ini semua kebetulan? Ini seperti skenario saja. Coba bayangkan, tepat setelah mereka membicarakan kalung itu, tiba-tiba Meiko mengungkitnya, seakan ia tahu tentang kalung itu. Lebih lagi, Len baru ingat kalau perasaannya yang terus mendesaknya ke sini berhubungan dengan mutiara itu.
"Eh?! Bagaimana kau bisa tahu, Senpai?"
Meiko merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah mutiara yang sama. Ia mengulurkan tangannya dan memberikan mutiara itu kepada Miku. Miku makin terkaget-kaget.
"Ba-bagaimana kau bisa menemukan benda ini?"
Sambil menggigit bibir, Meiko berkata, "tadi malam, Spa–maksudku, tadi malam aku menemukannya."
"Dimana?"
"Eh, itu–"
"Di ruang kelas Miku-san," tanpa sadar, Len mengucapkan kalimat itu. Ia menarik napas kaget. Hei, ada apa dengan mulutnya? Lagi-lagi ia mengalami de javu. Miku juga terlihat kaget, tapi Meiko–ia menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya.
"Bagaimana kau bisa tahu, Len-kun?"
"I-itu.. eh, aku hanya asal tebak. Ahahahahaha…."
Miku terlihat ragu tapi ia mengangguk pelan. Ada apa ini, atmosfer terasa tidak enak.
"Sudahlah, silakan lanjutkan tamasya kalian. Dan Spa–maksudku, Len."
Len mengangkat sebelah alisnya, sambil berharap kalau Meiko berhenti menatapnya seperti itu. Bukan hanya aura monster yang Len rasakan. Ada perasaan alin dalam tatapan sang Prefek yang sepertinya memiliki banyak arti. Sangat disayangkan Len bukan psikolog.
"Lebih baik kau tidak mengajak Miku–maksudku, kau tahu, ia kan baru saja sakit." Meiko terkesan buru-buru menambahkan kalimatnya yang terkhir itu. Tapi, lagi-lagi, Len tidak mengerti, kenapa ia tak berniat lagi berjalan di sekolahnya. Apa karena mutiara itu sudah ditemukan? Entahlah. Mungkin iya. Mungkin juga bukan. Banyak faktor. Meiko telah berlalu, sekarang Len dan Miku sama-sama terdiam dalam kediaman yang canggung.
"Eh, Miku-san, apa kau ingin pergi ke tempat lain?"
"Eh? Boleh saja. Tapi kurasa aku tidak bisa terlalu lama, Len-kun."
"Memangnya ada apa?"
"Itu…," Miku tersipu dan bibirnya membentuk seulas senyuman. "Sebenarnya Kaito-san mengajakku ke suatu tempat."
"Oh.."
Terdengar bunyi bedebam saat Len menutup pintu. Ia melangkahkan kakinya ke arah kamarnya sambil memijat-mijat bahunya. Entah kenapa, sekarang ia merasa benar-benar lelah. Mungkin orang-orang memang benar—fisik Len terlalu lemah sampai-sampai ia bisa kelelahan walau cuma jalan keluar beberapa jam. Tapi ia heran, bagaimana bisa ia sejago itu kalau masalah baseball? Entahlah.
Yang ia pikirkan sekarang hanyalah 'berkencan' dengan kasur tercintanya dan menuju negeri mimpi, melepas seluruh penat. Barangkali, ia bisa mendapat mimpi indah menjadi raja Arthur di dalamnya, atau bertransformasi menjadi bocah serigala. Keren. Len membuka pintu 'perlahan' sehingga pintu kamarnya menjeblak terbuka. Ia terhenti mengangkat alis manakala melihat kakak kembarnya masih di sana, duduk bersandar ke dindinh sambil menyelonjorkan kakinya. Kepalanya terkulai lemas di bahunya. Ekspresinya tidak lebih baik. Kenapa Rin? Mengapa ia tidak juga beranjak dari kamar Len hingga sore?
Len teringat sesuatu dan menghampiri Rin.
"Hei Rin. Apa yang kau lakukan? Bagaimana acaramu dengan—oh, benar, tadi Miku bilang ia akan pergi bersama Kai. Apa kau membatalkan janji dengannya?"
Rin mengangkat kepalanya perlahan. Len terkejut menemukan bahwa mata Rin terlihat sembab.
"Ah, selamat datang, Len." Suaranya serak, dan lebih terdengar seperti gumaman lirih yang menyayat hati. Len merasa jantungnya ditarik keluar dari rongga dadanya. Rasanya perih sekali melihat Rin yang biasanya ceria jadi begini.
"Eh, Rin, kau baik-baik saja?"
Rin tersenyum pahit. "Aku baik. Maaf kau harus melihatku dalam keadaan begini."
"Hei, kalau kau ada masalah, ceritakan saja." Len melempar dirinya ke atas kasur dan duduk di sebelah Rin. Rin hanya menggeleng. "Tidak mungkin tidak ada apa-apa." Lagi-lagi Rin menggeleng dan tersenyum. Len menggigit bibir. Ia merebahkan diri dan menaruh kepalanya di atas pangkuan Rin.
"Kau tahu, Rin. Sejak kejadian kemarin, kau tidak juga membaik," Len berkata pelan setelah keheningan mengisi ruangan beberapa saat. "Aku tahu kau sedih. Aku dan Kai juga sama. Tapi keadaanmu yang paling parah. Apa ini tentang Gumi?"
Rin menggeleng.
"Kalau begitu?"
Tak ada jawaban.
"Rin, kumohon bicaralah. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-menerus sementara hanya bisa melihat seperti orang tolol yang tidak tahu harus melakukan apa. Apa yang bisa kulakukan, Rin?"
"Sudah kubilang, aku—"
"Kau TIDAK baik-baik saja!" Teriakan Len membuat Rin terdiam. Len menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Setidaknya kau bisa cerita padaku. Kalau kau kesulitan, kumohon, mita tolonglah padaku. Setidaknya aku tahu apa kesulitanmu, meski tidak yakin dapat membantu. Tapi, tapi.."
Len tidak melanjutkan kalimatnya. Tetes demi tetes air mata mulai mengaliri pipinya. "Aku ini sungguh payah.."
Rin membelai rambut adik kembarnya. Tangannya terasa dingin di kepala Len—mungkin suhu ruangan yang terlalu rendah. Tapi Len tidak peduli dan menaruh telapak tangan kembarannya itu di pipinya.
"Sekali-kali kau harus mendengarkanku, Kak. Tidakkah kau kasihan padaku?"
Rin terkekeh dan mengusap matanya yang sembab. "Maaf Len. Sebenarnya, ini hanya tentang Kaito. Dia yang membatalkan rencana, bukan aku."
"Eh?"
"Ya, dia bilang maaf, karena ingin mengajak Miku ke penampilan penutup sebuah sirkus hari ini. Ia bilang sayang sekali penutupannya hari ini, jadi ia tak punya waktu lain untuk mengajak Miku."
Meiko berjalan dengan terburu-buru. Rasa-rasanya ia tidak bisa tenang meskipun bulan setengah bersinar di langit malam, membuat pemandangan di sekelilingnya luar biasa indah. Cahaya bulan yang keperakan berkilau di permukaan kolam halaman di sisi kirinya. Bulan keperakan memang indah.. kalau bulan purnama, ia akan menjadi keemasan.
Emas. Warna Spade dan Elena.
Seharusnya, di tengah udara yang sejuk dengan angin yang berembus pelan menghanyutkan ini Meiko bisa merilekskan saraf dan urat-urat tubuhnya yang tegang. Ditambah penampakkan tembok batu kokoh yang mengelilingi halaman di sisi kirinya ini, serta tembok-tembok kokoh dengan hiasan obor di dinding. Gedung ini adalah perpustakaan terlengkap di negara mereka–dibangun sejak ratusan tahun yang lalu, atas perintah ratunya, yang berharap kalau kembarannya akan kembali. Oleh Elena.
Dalam dongeng-dongeng, tidak begitu dikisahkan siapa keluarga Elena dan Spade, lalu detil yang terlihat sepele padahal penting. Mereka hanya menceritakan bagaimana pada zaman dahulu kala, ada seorang ratu tiran yang masih sangat muda namun sangat kuat pemerintahannya, bersama dengan pelayan pribadinya, yang adalah kembarannya sendiri. Lalu diceritakan kalau sang Ratu jatuh cinta kepada seorang pangeran, tapi sayangnya pangeran itu telah mencintai gadis lain dan mereka telah bertunangan. Spade akhirnya membunuh gadis tunangan pangeran itu atas perintah Elena. Namun sang pangeran tidak terima, dan entah bagaimana ia mengetahui kalau Elena-lah yang merencanakan pembunuhan itu. Maka pangeran itu akhirnya menyerang kerajaan Elena, dibantu oleh sebuah klan ksatria, Sakine. Elena dipenggal, dan pelayannya menghilang entah kemana, begitu saja tanpa jejak. Dalam dongeng, turut dikisahkan pula bahwa Elena suka meminum darah penduduk negerinya. Setiap malam bulan purnama, akan ada satu orang yang diambil dan dibunuh untuk diminum darahnya. Tentu saja dongeng tidak menjelaskan kenapa Elena melakukan hal sekejam itu. Hanya dongeng belaka. Tak ada yang mau pusing-pusing memikirkan sebabnya.
Tapi bukan dongeng belaka. Pada sebagian orang yang percaya kalau kisah itu nyata, tersebar rumor bahwa perpustakaan terbesar di negeri ini dibangun oleh sang Tiran sendiri. Untuk itulah Meiko datang ke sini, untuk mencari kebenaran. Setidaknya, kalau memang benar tempat ini dibangun atas perintah langsung Elena, dan Meiko mengetahui fakta kalau dongeng ini bukan hanya sekadar dongeng, Meiko merasa ia bisa mendapatkan sesuatu–walaupun hanya seujung benang.
Dan Meiko memang tidak salah. Ia mendapatkan sesuatu–banyak, sebenarnya. Dan itu semua membuat kepelanya berdenyut lebih cepat dari sakit kepalanya yang biasanya. Tentu saja file semacam itu disegel dan dijaga baik-baik. Tapi berkat hubungannya dengan keluarga Megurine, ia bisa mendapatkan akses mudah menuju file yang disegel itu. Meiko tidak mengerti mengapa sekarang ia menjadi sangat terobsesi untuk menuntaskan legenda ini–yang sudah ratusan tahun berusaha ditangani, tapi tidak kunjung menemukan jalan penyelesaian. Dahulu pun, Meiko menerima tugasnya untuk membantu Luka hanya karena ia tak ingin ada korban lebih jauh. Tapi sekarang lain. Ia tak ingin ada korban lagi, tapi lepas dari semua itu, ia sangat ingin membantu Kagamine. Dan juga Spade dan Elena. Membatu dalam hal apa, Meiko pun masih tak yakin. Tapi ia yakin akan satu hal; seandainya ia adalah Spade atau Elena, dan terutama Kagamine, ia yakin ia sudah hancur lebur–sebatas cangkang kosong tak berisi, bagaikan tubuh tanpa jiwa. Karena Meiko kini mengerti.
Kuncinya, adalah gadis penyanyi itu; Hatsune Miku. Dan kalung permatanya itu.
Suka atau tidak, mau atau tidak, mulai dari titik ini, mereka akan berada dalam sebuah peperangan—entah itu yang terakhir, atau, kalau mereka gagal, maka legenda ini akan terus berlanjut. Bukan perang dengan tank baja, peledak, senapan, atau senjata-senjata keren lainnya.
Ini hanyalah perang mental yang sederhana. Sekaligus rumit.
Len terbangun, mengusap matanya yang agak sakit terkena cahaya lampu.
Sudah jam berapa ini? Ia menggerakkan kepalanya untuk menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan. Normal…
Rin.
Oh, kemana ia? Seingat Len, ia sedang merebahkan kepalanya di pangkuan kakak kembarnya itu sebelum ia tertidur. Apa tadi yang sedang mereka bicarakan? Ah, ya, masalah Kai dan Miku. Miku, ya… sudahlah, Len tidak begitu tertarik dengan masalah percintaan sekarang. Yang jelas, ia hanya heran, mengapa sudah terasa lama sekali sejak kematian Gumi. Semuanya terasa kabur sejak itu, padahal baru kemarin. Tunggu—apa kemarinnya lagi? Entahlah. Len tidak ingat lagi.
Limbung, ia bangkit dan menyentuhkan telapak kakinya di lantai. Dingin sekali. Apa Rin yang menurunkan suhunya? Sudahlah, tak penting. Kemana pula Rin sekarang? Kalau saudarinya itu ada di kamarnya sendiri, Len berniat akan protes karena seenaknya menurunkan suhu pendingin ruangan tapi ia sendiri pindah.
Dengan limbung Len berjalan kelar kamarnya, tak yakin apa yang sebenarnya diinginkan dirinya sendiri. Mungkin mengemil, atau minum? Entahah. Ini pun sudah tengah malam, pikirnya ketika melihat jam dinding di kamarnya. Len melangkah keluar tanpa menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekati tangga. Ia baru saja akan menapakkan kaki di anak tangga pertama dari atas, saat sesuatu menghentikannya.
Isakan.
"Rin?" panggilnya. Siapakah itu? "Kaukah itu?"
Tak menerima jawaban, Len bergegas menuruni tangga. Asal suaranya dari lantai bawah, tampaknya dari dapur. Dalam sekejap rasa kantuknya hilang digantikan rasa penasaran.
Saat ia sampai di dapur, Rin tengah berdiri di depan wastafel, punggungnya menghadap Len.
"Rin, kau kenapa?" tanya Len heran setelah yakin isakan itu asalnya dari kakak kembarnya.
Tak ada jawaban. Hanya isak tangis tertahan.
"Hei, Rin," panggil Len lagi. Namun Rin bergeming. "Rin?" ia kini mulai gusar dan menaikkan volume suaranya.
Rin tetap tak menggubris Len.
Dengan sedikit gusar ia menghampiri kembarannya itu lalu mendaratkan salah satu tangannya di pundak Rin yang kecil.
Pundak itu gemetar hebat.
"Hei, Ri-Rin?"
Tak yakin, dan karena terkejut, ia membalikkan saudaranya perlahan.
Nyaris Len terjerambab ke lantai.
Sontak Len mundur, matanya melotot dengan horor sementara mulutnya mengap-megap mencari udara.
"Len… apa yang harus kulakukan…?" di sela isakannya, Rin berkata, nyaris tak terdengar. Wajahnya sangat menderita; Len tak sampai hati melihatnya.
Di hadapannya, Rin berdiri menggenggam sebilah pisau dapur dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya berlumur darah segar yang menetes ke lantai saat tangannya menjauh dari wastafel. Mati-matian Len berusaha menahan agar tidak berteriak dengan menekankan telapak tangannya sangat keras ke mulutnya.
"R-r-ri-ri-ri-Ri…n?" suaranya tak lebih dari sebuah bisikan serak—campuran rasa takut dan cemas. "Rin? Apa yang kaulakukan?!"
Rin tak bisa menjawab. Keheningan terisi hanya dengan isak tangisnya.
"Rin?!" kali ini Len berdiri, menyambar bahu kakaknya dan mengguncang-guncangkannya. Sementara sorot mata Rin balik menatapnya dengan penuh rasa sakit dan pedih.
"Jangan dekati aku, Len. Aku… aku telah berubah jadi monster…"
"Apa maksudmu?! Kenapa kau memegang pisau begitu? Kenapa tanganmu berlumuran darah?!"
"I-itu…," tak kuat, akhirnya Rin membuang pisau itu ke lantai dan membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. "Aku tak tahu, Len—aku tak mengerti! Tiba-tiba saja aku bangun tidur, lalu aku mengambil pisau itu dan… dan… nyaris saja aku melukaimu!"
Terkejut, Len terus mendorong. "Apa maksudmu 'nyaris melukaiku'?"
Isakan Rin pecah menjadi tangisan. Gadis berambut pendek yang kini tak keruan itu tersungkur di lantai.
"Aku tidak tahu Len! Aku nyaris melukaimu—karena aku ingin meminum darahmu!"
Shock bagai tersambar petir, Len tak dapat berkata-kata. Pandangannya menjadi nanar, ditatapnya saudara kembarnya yang tersungkur dan tengah menangis hebat. Meminum darahnya? Apa maksudnya?
"Kemudian aku sadar," lanjut Rin dengan tangisan yang sedikit mereda. "Namun keinginanku tidak kunjung hilang. Aku nyaris gila, Len! Nyaris! Akhirnya kuputuskan melakukan hal nekat ini; kuminum darahku sendiri. Aku tak tahu harus bagaimana!"
Ya, Len juga tak tahu harus merespon dengan apa. Meminum darah?
"Sekarang ini keinginan itu sudah hilang. Tapi aku takut ia akan datang lagi."
Saat-saat berikutnya hanya Len habiskan untuk mendengarkan tangisan Rin. Ia perlahan berlutut dan mengulurkan tangannya untuk mendekap saudaranya, tak peduli darah yang menetes-netes menodai pakaiannya. Ia berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang terlalu mengerikan, sehingga ia bisa terbangun dan menemukan semuanya baik-baik saja. Sesungguhnya ia tak yakin apa yang harus mereka lakukan sekarang karena terlalu shock.
"Tenanglah Kak, tenang…," bisik Len parau sembari mengelus rambut honey blond Rin yang kusut, tak yakin apakah ia sebenarnya sedang menenangkan dirinya sendiri. Hari ini berlalu cukup buruk, dan kejadian aneh ini membuat kepalanya serasa berputar. Saat ia merasakan gemetar tubuh saudaranya itu, ia mendekapnya lebih erat.
Mereka butuh bantuan. Siapa pun itu.
Tampaknya Len sudah terpikirkan seseorang, dan itu membuatnya sedikit—hanya sedikit—tenang.
Sayang sekali tampaknya ia tak tahu yang terburuk belum menghampiri mereka.
Ja-jaaaaan!
Maaf beribu maaf untuk para pembaca karena update yang kelewat lama. Saya harap masih ada yang mau mengikuti kisah ini meski saya bukan penulis yang cepat…
Bagaimana menurut kalian? Kekurangan dalam chapter kali ini tampaknya banyak, jadi dengan senang hati saya menerima kritik. Saran sangat ditunggu dan keluh-kesah serta pendapat dengan senang hati saya baca hehehe…
Sekali lagi saya minta maaf yang sebesar-besarnya, semoga bisa dinikmati :)
—Black