Previous Chap :

"Memangnya... k-kau... mau membawaku ke mana?"

Naruto terdiam. Ia berpikir.

"Ke apartemenku."

"Tapi ini sudah malam."

"Justru itu waktu yang tepat."

Sakura menelan ludah. Ia menatap Naruto melalui mata sembabnya. "Apa maksudmu?"

"Aku ingin berbicara empat mata denganmu di sana."

.

.

Mobil Mazda kepunyaan Naruto Uzumaki terparkir rapi di tempat parkir apartemen mewah. Hal itu bertepatan dengan munculnya langit malam yang membentang di atas tanah Tokyo. Tak heran sih. Naruto dan Sakura kan meninggalkan universitas ketika sore telah menjelang.

"Kita sudah sampai. Ayo turun." Pria pirang itu melepas sitbelt.

"Naruto..." Suara Sakura. "Aku mau pulang."

"Tidak boleh." Naruto tersenyum.

Cklek.

Naruto yang telah mematikan mesin mobilnya segera keluar. Ia berjalan memutar dan membukakan pintu Sakura. Meski harus melalui jalur paksaan, akhirnya Sakura bisa beranjak dari dalam mobil. Bersama langkah yang terseret gadis berambut pendek itu mengikuti Naruto yang sedang menarik pelan tangannya.

Wajah lesu Sakura memandang atas. Ia amati permukaan gedung mewah yang menyimpan banyak ruangan di dalamnya. Dan Naruto akan membawanya ke salah satu ruangan di sana. Mata sembabnya beralih ke punggung Naruto.

"Kenapa... kau membawaku ke apartemen?"

Pertanyaan dadakan dari Sakura membuat Naruto berbalik. Pria itu terdiam sebentar, dan kemudian ia tersenyum tipis.

"Aku ingin memperlihatkan sesuatu."

"Apa?" Sakura menahan langkah. Jelas, ia pernah ditipu oleh Naruto, dan ia tidak ingin hal itu terulang lagi. "Apa yang ingin kau perlihatkan?"

"Tenang saja. Bukan hal aneh." Naruto berbisik lirih. Pedih. "Ada salah satu kamar apartemen... yang merupakan tempat tinggal keluargaku."

Sesuatu yang seharusnya diisi olehmu, Sakura. Yang telah susah payah kupersiapkan hanya untukmu.

.

.

.

SERPIHAN MERAH MUDA

"Serpihan Merah Muda" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Naruto Uzumaki x Sakura Haruno]

Romance, Hurt/Comfort, Drama

AU, OOC, Typos, Threeshot, etc.

.

.

THIRD. Akhir Berdua

.

.

Cklek.

Dua insan berambut kontras memasuki kamar apartemen yang berada di lantai 15. Itu adalah apartemen yang diatasnamai oleh Uzumaki—yang artinya jelas bahwa itu adalah milik Naruto seorang; bukan sekedar sewaan.

"Silahkan duduk."

"Hm..." Sakura menuruti kalimat Naruto. Masalahnya ia kurang enak saja duduk santai di rumah orang. Terlebih lagi Sakura sedang mewaspadai gerak-gerik Naruto. Pria itu tidak boleh lebih dekat dalam radius semeter darinya. Ia pun mengedarkan pandangan. Suasana di apartemen yang luas ini sih rapi—walau agak tidak teratur. Tapi terlalu sepi. Seolah tak ada unsur-unsur kehidupan. "Keluargamu mana? Katanya ini rumah keluarga?"

"Kau mau makan?"

"Jawab aku dulu." Diam-diam gadis itu menelan ludah. "Mana mereka? Mana ayah dan ibumu?"

Melihat kekhawatiran di wajah Sakura, Naruto memahami sesuatu. Ia dapat menangkap raut ketakutan darinya.

"Tenanglah Sakura. Ayah-ibuku sibuk. Mereka belum pulang. Ah, atau mungkin tidak pulang—"

"Oh, jadi maksudmu kita cuma berduaan di sini?"

Naruto yang berdiri di samping ruang tengah menaikkan kedua alisnya. Sakura berdesis.

"Baiklah. Selamat tinggal—"

Krucuk...

Perut Sakura berbunyi. Dan keadaan itu menjadi penolong bagi seorang Naruto yang saat ini terkikik geli. Ia memaksa Sakura kembali duduk. "Kau selalu lucu, Sakura-chan. Untung tadi kutanyakan mau makan atau tidak..."

"Aku kan sudah bilang tidak."

"Tapi bayimu berkata iya."

Sakura bungkam. Meski jejak air mata masih tercetak, mata sembab, hidung merah dan banyak kekurangan lain, Sakura masih bisa menambah rona malu di wajahnya. Bibirnya cemberut dan tangannya menekan-nekan perutnya.

"Baiklah. Aku akan makan. Tapi biarkan aku yang memasak." Sakura berdiri. Dia tidak ingin Naruto berkesempatan untuk menjebaknya lagi. Siapa tau kali ini ia akan menggunakan makanan, misalnya? "Setelah jam 20.00 aku akan pulang."

Naruto menggeleng. "Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin kau menginap di sini."

"Apa katamu? Menginap? Kau ingin aku menginap?" Intonasi suara Sakura mengeras. "Lebih baik aku pergi sekarang juga!" Segeralah ia ke pintu keluar, tapi tubuh tegap Naruto terlebih dulu menghalanginya. Ia tidak mengizinkan Sakura untuk meninggalkan apartemen ini.

"Apa maksudmu, Naruto!? Minggir!" Sakura berteriak. Dilihat dari kedua pupil matanya yang melebar, ia terlihat cemas. Ia takut.

"Tenang." Naruto menatapnya, lekat. "Aku tidak akan menidurimu lagi, Sakura. Aku janji. Aku tak akan mengulang dosa beratku sebanyak dua kali."

Tubuh Sakura melemas. Ternyata Naruto tau apa yang dia pikirkan. "La-Lalu... kenapa kau tidak mengizinkanku pulang?"

"Aku mau kau di sini menemaniku semalaman. Itu saja. Entah kau mau tidur, duduk diam, melamun, atau berdiri pun terserah. Yang penting jangan pergi."

Sakura menatap Naruto, heran. "Kenapa?"

"Karena awalnya apartemen ini kupikir akan menjadi milik kita bertiga."

Kejujuran Naruto membuahkan keheningan. Tak ada yang bersuara sesudah Naruto mengatakan kalimat itu. Sakura menelan ludah.

"A-Aku tidak mengerti..." Bisiknya. "Apa maksud dari 'milik kita bertiga'...?"

Untuk yang kesekian kalinya Naruto harus mencoba bersabar. Sakura ternyata benar-benar melupakan janji yang pernah ia ucapkan—janji di mana Naruto akan menanggung dia dan bayinya. Naruto pun segera berbalik dan duduk di sofa. Ia menyandarkan punggungnya ke tumpukan bantal dan menyalakan televisi melalui remote yang ia temui di sofa.

Pria itu menoleh sekilas ke Sakura. Gadis itu masih memandangya, menunggu jawaban. Maka dari itu, Naruto melanjutkan. "Pikir saja sendiri..."

Terdengar helaan nafas panjang dari hidung Sakura. Gadis itu terlihat kebingungan. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan di sini.

"Dan daripada diam saja, lebih baik kau memasak deh, Sakura. Katanya kau lapar dan ingin buat makanan sendiri?" Tanyanya. Lalu ia nyengir. "Bikin dua porsi, ya? Satu porsi besar untukku."

Sakura mengamati Naruto. Lama memperhatikan wajah tan milik si Uzumaki itu membuat segala prasangka buruknya memudar. Tampaknya Naruto tidak ada niatan jahat. Sakura mengangguk. Sambil berpikir-pikir akan membuat apa, ia membuka kulkas apartemen yang ada di dapur. Sebenarnya sih tidak banyak makanan yang bisa ia temukan. Hanya ada telur, kubis, parutan kashuoboshi, dan beberapa saus. Sisanya selai dan roti lapis yang sudah setengah beku.

"Isi kulkasmu... aneh."

Naruto di depan televisi tertawa. "Jangan heran begitu. Aku kan baru pindah. Lagi pula kemarin aku sempat mau buat takoyaki."

Sebuah pemikiran memasuki benak Sakura. Ia tidak pandai memasak, tapi untuk okonomiyaki sepertinya bisa. Ia ambil kubis dan meletakkannya ke talenan. Tapi sebelumnya ia menguncir rambutnya dulu dan kemudian memakai celemek.

Dari sofa Naruto melirik. Ia pandangi punggung Sakura yang membelakanginya. Rambut gadis itu telah dicepol tinggi. Celemek ukuran pria menempel di tubuhnya yang kurus. Kubis hijau muda ia iris tipis-tipis. Terdengar suara bunyi pisau yang membentur alas secara berurutan.

Naruto menahan nafasnya dalam-dalam. Ia memutar kepalanya ke arah lemari kaca. Ada pantulan dirinya yang dilatarbelakangi oleh Sakura yang sibuk di dapur. Di detik ke lima, Naruto mendesah lirih. Seandainya hal ini akan terus terjadi hingga selamanya...

Ya. Sakura memasak makanan untuknya, dan dia menonton televisi sambil mengendong seorang bayi manis yang masih kecil.

Naruto tertawa sinis. Menertawakan dirinya sendiri. Harapan bodoh yang sebelumnya ia imajinasikan kala kakinya pertama kali menyentuh apartemen dan siap melamar Sakura. Imajinasi yang terlalu muluk. Ternyata hidup itu tak seindah alam khayalan.

Dan jika ia memiliki keberanian, Naruto yakin dirinya bisa bergerak menuju dapur dan memeluk Sakura dari belakang, tepat di saat ini juga.

.

.

~zo : serpihan merah muda~

.

.

"Gochisousama..."

Naruto mengatupkan kedua telapak tangannya sesudah ia melahap abis okonomiyaki buatan Sakura. Ia tersenyum dan terkekeh pelan.

"Enak. Kapan-kapan buat lagi, ya?"

Sakura yang duduk di hadapannya terdiam. Tangannya masih memegang sumpit, sedangkan matanya menerawang. Ia tidak menjawab kalimat Naruto.

"Ada apa, Sakura?"

Sakura menggeleng, kemudian memandangi okonomiyaki-nya di piring. Bulatan yang agak tak berbentuk itu basah oleh minyak. Saus dan mentega yang menghiasi bagian atasnya sama sekali tak menolong citarasa buruknya. Wajar jika Sakura baru sedikit memakannya. Oke, dia memang lapar. Tapi makanan ini... sama sekali tidak enak. Dikunyah malah seperti memakan tepung minyak, dan sulit ditelan. Malah rasa mual yang mengganjal perutnya yang keroncongan.

Mungkin karena tadi ia terlalu lama menggoreng adonan okonomiyaki-nya, ya? Ah, atau karena cara memasaknya yang salah? Okonomiyaki itu dipanggang atau digoreng sih, sebenarnya?

"Maaf, Naruto..."

"Maaf kenapa?" Naruto mengangkat piring kotor dan ke dapur.

"Masakanku tidak enak."

"Enak kok."

"Jangan bohong."

"Aku serius. Lihat, piringku bersih tak bersisa."

Sakura menghela nafas. Ia menjauhkan piringnya dan meneguk air putih. Naruto berdiri di sebelahnya, ia mengangkat piring Sakura. "Kalau tidak mau makan, aku yang akan habiskan."

Sakura berdesis dan menahan piringnya. "Tidak usah. Ini akan kubuang. Maaf karena telah menghamburkan bahan makananmu—"

"Sayang dibuang. Buat aku saja."

Nada Sakura mengeras. "Tidak, Naruto! Ini tidak enak! Seperti sponge yang dipenuhi minyak! Seharusnya kau memuntahkannya! Kau bisa sakit perut!"

"Perutku kebal." Naruto merebut masakan sakura. "Nanti akan kumakan."

Sakura menggebrak meja.

"Sudahlah! Hentikan kepura-puraanmu! Masakanku tidak enak! Dari dulu kau sudah tau kemampuan masakku, kan!? Jangan hanya karena kau menyukaiku, kamu pura-pura membuatku senang dengan cara ini!"

Naruto menyipitkan matanya. "Kau sendiri kenapa marah-marah terus, hah? Ini kan hanya makanan? Dan juga, apa kau tidak ingat dari dulu telah memakan seluruh masakan gagalmu? Menurutku yang ini lumayan enak."

Sepersekian detik, Sakura terbelalak. Ingatan masa kecil merambat ke kepalanya. Benar apa kata Naruto. Dimulai dari kelas 6 SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah, selalu Naruto lah yang mencicipi semua masakan hancurnya. Ino dan Tenten—kedua sahabatnya—sudah berani angkat tangan untuk menghindar dari kuliner buatan Sakura Haruno.

Dan bahkan saat tahun lalu ia membuatkan cokelat home made ke Sasuke di hari valentine, siapa yang dijadikan Sakura sebagai bahan percobaan—memakannya pertama kali agar bisa tau enak atau tidak cokelat tersebut?

Naruto, kan?

Walau harus sakit perut tiga hari dua malam, Naruto tak pernah jera memakan masakan dari orang yang dikasihinya.

Enak kok, Sakura-chan! Cuma kurang sedikit di beberapa bagian, katanya.

Enak. Selalu enak.

Mata Sakura berkaca-kaca.

Maka saat ini Naruto bukan baik kepadanya.

Naruto Uzumaki sangatlah baik.

Sakura yang nyaris menitikkan air mata memilih untuk bangkit dan ke ruang tengah. Ia hanya sedih. Apalagi saat tau segala perjuangan pria itu agar bisa mendapatkan hatinya. Padahal Sasuke yang merupakan kekasihnya adalah sahabat Naruto. Tapi tak sedikit pun sikap Naruto berubah.

Pria itu masih mempertahankan hatinya.

"Sakura, ini sudah malam. Apa kau tidak dingin memakai pakaian seperti itu? Butuh jaket?"

Naruto melepaskan jaketnya.

"Ini..."

Jaket itu lagi-lagi Sakura abaikan dengan sengaja. Menoleh pun tidak. Pada akhirnya Naruto meletakkan jaket cokelatnya di meja kecil depan sofa. Itu sangat jelas jaket kesayangan Naruto sejak SMP. Dikasih ayahnya yang bernama Naruto Namikaze. Dulu sih kedodoran, tapi sekarang badan Naruto sudah pas saat mengenakan jaket yang terlihat mahal tersebut.

Dan jika kembali diingat, jaket itulah yang Naruto pernah dipinjamkan kepadanya saat darmawisata SMP, saat meneduhinya dari hujan saat SMA, dan juga jaket yang hampir lima kali melindungi roknya apabila terdapat corak hasil tembusan menstruasi.

Lagi-lagi kenangan mulai bergulir.

Sakura menangis tanpa suara dan dia membuang muka.

Naruto—yang melihat Sakura memalingkan wajah—cuma terdiam. Takut berbuat salah, dia mengusap tengkuknya.

"Ah, ini sudah jam 21.00, lebih baik kau tidur." Tangan Sakura ia tarik. Gadis itu nurut dan mengikuti Naruto ke kamar. Naruto tersenyum tipis. "Silahkan anggap rumah sendiri."

Sakura dia buat untuk duduk di tepi ranjangnya. Dan ketika kedua manik biru itu menjumpai raut lemas yang ditampilkan Sakura, Naruto berjongkok di depannya.

"Kau kenapa, Sakura?" Tanyanya.

"Aku mau pulang..." Suara Sakura yang begitu pelan membuat Naruto tak bisa mendengar jelas.

"Apa?"

"A-Aku mau pulang!"

Naruto menatapnya lurus. Baru diketahuinya wajah Sakura telah dibanjiri oleh air mata. "Aku mau pulang, Naruto! Aku tidak mau di sini! Kumohon!"

"Tapi... kenapa kau menangis?"

Tangan Naruto berniat menyentuh wajah Sakura, tapi gadis itu malah menolak. Dengan suara tangisan yang mengencang, Sakura membalik tubuhnya dan membenamkan seluruh tubuhnya dengan kain selimut.

Naruto berdiri tegak. Telapak tangannya mengelus pelan kepala Sakura.

"Tidak apa, wajar kalau kau begini..." Suara Naruto memang tak mengalahkan tangisan Sakura, tapi tetap saja gadis pink itu bisa mendengarnya dengan jelas. "Soalnya aku memang tidak pantas kau anggap ada. Terutama karena aku sudah menghancurkan hidupmu."

Sakura terkejut. Naruto menggaruk kepalanya yang agak pusing, lalu menduduki pinggiran kasur.

"Aku mengerti kok. Mana bisa kau kembali nyaman denganku? Untuk apa juga menghabiskan waktu dengan orang yang menghamilimu tanpa ikatan yang sah?" Naruto tertawa. "Pacarmu adalah orang lain. Menjabat sebagai sahabatmu lagi pun tidak. Aku bukan siapa-siapamu sama sekali."

"Tapi... aku minta tolong satu hal..."

Diam. Keadaan hening. Sakura di balik selimutnya terus mendengarkan.

"Tolong jangan membenciku."

Naruto berdesis dan melanjutkan dengan cepat. "Aku memang bukan Sasuke, idola dari satu tempat kuliah. Otakku tidak pintar. Peluang kerjaku kecil karena otak pas-pasan. Tingkah lakuku jauh dari kata romantis. Dan aku sering berbuat kesalahan."

Naruto berhenti sejenak.

"Tapi... asal tau saja... cintaku... lebih besar dibandingkan Sasuke, ayahmu, atau siapa pun." Naruto tersenyum, kali ini senyumannya terlihat lembut. Sayang Sakura tak bisa melihatnya. "Aku sangat mencintaimu. Sangat dan sangat sampai-sampai mataku buta dan aku melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan. Perasaan ini menekanku. Membuatku menjadi pribadi yang malah menyakitimu."

Naruto pun menghela nafas—kali ini lebih berat.

"Itu saja yang ingin kukatakan padamu. Mungkin kau sudah bosan mendengarnya, ya?" Ia tertawa. "Dan terakhir, aku ingin memberikan sebuah pesan. Kuharap kau mau mendengarnya."

Naruto memutar tubuhnya. Ia pandangi lagi tubuh Sakura yang tercetak jelas si lekukan selimut.

"Sebenarnya... aku tidak tau siapa lagi yang kau inginkan untuk menjadi ayah dari anak kita..." Ia memberi jeda. "Tapi setidaknya... bayi di perutmu itu harus tetap mempunyai ayah."

Naruto tersenyum.

"Dia tidak boleh menjadi anak yatim... hanya karena kesalahanku seorang." Ia berbisik lirih. "Karena itu, carilah Ayah yang hebat untuk anak kita. Kalau bisa yang lebih hebat dari Sasuke. Yang sangat menyayangimu."

Sakura merasakan tubuhnya merinding.

"Iya kan, Sakura?"

Lalu Naruto tersadar. "Eh, aku banyak bicara, ya? Maaf. Aku kan cerewet. Tapi entahlah. Mungkin ini karena aku yang terlalu senang—karena awalnya, kupikir aku tidak akan bisa berbicara lagi denganmu."

"Baiklah. Itu saja." Pria itu berdiri. "Aku akan tidur di sofa. Selamat tidur, Sakura..."

Di tempatnya, Sakura menelan ludah. Lama. Sampai ketika ia merasa tubuh Naruto tak ada lagi di sampingnya, ia membuka selimut dengan sentakan keras dan menahan tangannya.

Sakura memanggil. "Naru..."

"..."

"Na-Naru..." Mulai terbata, isakan Sakura semakin terdengar keras. "Naruto..."

"Hm?"

"Maaf..."

Suasana di ruangan ini diam, senyap, tak bersuara. Hanya ada suara tangisan Sakura.

"Ma-Maaf..." Ia memeluk selimut, mencengkram kainnya dengan kencang. Kedua matanya terpejam rapat, dan dari selanya keluarlah butiran air mata yang berujung. "Maafkan aku..."

"Aku memang bodoh..."

"Karena itu, tolong maafkan aku..."

Naruto menghela nafasnya erat-erat, lalu memandang Sakura yang masih terus menyesali perbuatannya. Dari sana, kedua tatapan matanya meredup—belum ada ekspresi nyata yang ia tampilkan.

"Du-Dulu... aku s-sengaja mengabaikan kalimatmu... p-padahal... padahal kamu sudah bersedia untuk... bertanggung jawab. A-Aku begitu frustasi, sampai-sampai t-tidak tau harus berbuat apa. Ka-Karena itu, aku—"

Mendadak dua jari Naruto yang hangat menutup mulutnya, menahan laju kalimat yang sempat akan ia lontarkan. Sakura melebarkan kedua kelopak matanya. Meski buram, dapat ia lihat wajah tampan Naruto yang sedang menatapnya dari jarak yang dekat.

"Lalu... bagaimana?" Dengan perlahan, kedua sudut bibir Naruto sedikit meninggi. Lalu ia lepaskan kedua belah bibir Sakura. "Coba katakan apa maumu. Katakan kepadaku..."

"Jadilah..." Sakura berterus terang. "Jadilah ayah... dari anak kita..."

Tak butuh banyak basa-basi lagi, tubuh Naruto merinding. Kedua bola matanya berair. Kebahagiaan, rasa sesak, rasa sakit, dan juga penyesalannya seakan tumpah dalam waktu yang bersamaan. Tumpah menjadi satu oleh sebuah air mata yang mengalir melewati pipinya.

Disentuhnya dagu Sakura, lalu dia tempelkan kedua belah bibirnya ke bibir Sakura yang lembut. Ia memagut lidah Sakura, dan menekannya perlahan. Di momen itu, Sakura tak melawan; ia merespons. Meski air mata masih terus menyertainya, ia tetap membalas perlakuan Naruto.

Tak ada kata-kata lagi. Hanya cumbuan dan juga desah nafas kasih sayang yang dihasilkan oleh keduanya. Wajah yang memerah dan jantung yang berdegup kencang. Lembut dan hangat. Naruto melepaskan ciuman mereka. Ia jauhkan wajahnya, lalu ia tersenyum.

"Membawamu ke sini sebenarnya bukan keinginanku untuk berbicara seperti ini. Tapi aku tak bisa lagi terlalu lama memendamnya..." Naruto berbisik. "Aku terlalu mencintaimu, Sakura."

Tes.

Setitik butiran air menjatuhi dahi Sakura. Dan baru Sakura sadari, kedua sudut mata Naruto terus mengeluarkan buliran bening yang mengalir bagaikan air. Pria itu menangis, menangis bahagia. Dia yang merupakan Naruto Uzumaki, seorang senior yang sejak SD terus mengganggunya.

Tapi kelebihannya, pria itu mencintainya.

Sangat mencintainya.

"Aku berjanji... akan membuat keluarga kecil kita... menjadi sangat bahagia."

Kemudian ia merendahkan tubuhnya, lalu ia memeluk Sakura erat-erat.

"Aku janji tak akan membuatmu kecewa..."

Sakura tersenyum. Sembari memejamkan mata, ia memeluk tubuh Naruto yang lebih besar dibandingkan dirinya.

Seharusnya dari dulu Sakura menyadari seberapa beruntungnya dia dicintai oleh seorang Uzumaki Naruto.

Namun, meski ini sedikit terlambat... paling tidak mereka mendapatkan ending yang bahagia.

.

.

OMAKE

.

.

Beberapa tahun kemudian, saat ini Sakura sedang menempati dapur apartemen kediaman Uzumaki. Tangannya sibuk mengaduki dua kopi secara bergantian. Di salah satu tangan, tepat di jari manis, terlihat dengan jelas ada sebuah cincin platina yang terselip erat. Sakura tersenyum puas setelah semua siap. Ia letakkan cangkir-cangkir cantik itu ke nampan, diangkat, lalu membawanya ke ruang tengah.

Ia jumpai sesosok Naruto Uzumaki yang sedang menggendong seorang bayi perempuan yang masih berumur 18 bulan. Iris mata dan kulitnya seperti Sakura, sedangkan warna rambut dan sifatnya persis dengan ayahnya, Naruto.

"Chiku terbang~!" Naruto mengangkat bayi itu tinggi-tinggi. Lalu kembali ia turunkan sambil mengecupnya. "Chiku mendarat~!"

"Kyaahahaha!

Bayi perempuan berambut pirang itu tertawa renyah. Kedua tangan dan kakinya bergoyang ke sana-sini.

"Chiku terbang—!"

Ketika Naruto akan mengangkat tubuh anaknya lagi, Sakura sudah terlebih dulu menyenggolnya dengan tangan. Naruto menoleh, ia menatap iris emerald Sakura yang sedang memberikan tatapan cemberut kepadanya.

"Kalau sampai Chiku terbang, aku marah loh."

"Mana mungkin. Meski perempuan, Hinachiku Uzumaki kita kan berat." Candanya. Dan itu langsung direspons oleh Chiku—nama bayi mereka—yang memukuli wajah Naruto dengan tangan mungilnya yang diberikan sarung tangan khusus.

"Jangan singgung berat badan kalau lagi bicara ke perempuan, Naruto." Sakura jadi tertawa. "Yang penting, taruh Chiku-chan ke kursi bayinya, Naruto."

Pria yang kini sudah berumur 24 tahun itu tersenyum geli. Ia letakan bocah berpopok itu ke atas permukaan kursi kecil yang dirancang khusus untuk bayi. Dan sesudah Sakura meletakkan minumannya ke meja, Naruto langsung menggendong Sakura tinggi-tinggi dari belakang.

"E-Eh!? Naruto! Turunkan aku!"

"Kalau begitu gantian; bagaimana kalau sekarang ibunya yang bermain denganku? Siapa tau Chiku bisa mendapatkan adik?"

"Naru, lepaskan aku! Naru—kyaaa!"

Dan terdengarlah suara debaman di sofa.

Cklek.

Dan ketika keluarga Sasuke dan Hinata membuka pintu apartemen yang tak terkunci ini, Sasuke langsung menghela nafas sambil menutupi mata Hinata dengan pelukan tangannya. Matanya menatap sinis Naruto yang sedang menoleh—tapi masih belum menjauhkan tubuhnya dari Sakura yang ia tiban.

"Oi, kalau mau berbuat mesum, tolong lakukan di dalam kamar yang terkunci, baka."

.

.

THE END

.

.

Author's Note :

Akhirnya selesaii. Semoga kalian masih inget dan suka. Oh, ya. Moga kapan-kapan aku bisa bikin fict NaruSaku MC yang lebih cepet deh terbitnya hehe. Doain, yaa... :D

.

.

Thankyou for Read & Review!

Special Thanks to :

Dee chan - tik, Fuschia Li-sama, naruto lover, Guest, spring field sakura, Nagasaki, Manguni, Guest, Musashi, isazou, Geesuke, Soraka Menashi, Dorara Doremi, borax, Dear God, Mxxxx, Guest, Guest, kHaLerie Hikari, Kawaguchi, Archillessdewa perang, Archilles, BungaCicikana, adityaisyours, Narusaku lover, Tsar, amerta rosella, MysteriOues Girl, Guest, elliototaku, Namiuzu, yei, Klay Ashter, Guest, Soputan, STAvo, YR, mw ripiuw, Kyuubi no Gaki, LastMelodya, caesar, Luluk Minam Cullen.

.

.

Pojok Balas Review :

Chap 3 terakhir? Iyaa. Mau bicara apa Naruto malem-malem gini? Itu (?). Kasian NaruSaku-nya. Moga chap ini udah agak mendingan ya hubungannya. Munculin SasuHina lagi, ya. Udah kukabulin :) Ada typo dan kalimat yang bingungin. Edited. Thankss. Chap 1 sama 2 bikin nangis. Kayaknya chap 3 biasa aja, huhu. Ngga enjoy karena ada SasuHina. Susah kalo ngehilangin SasuHina dari NaruSaku. Gomen :')

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to R&R?

.

.

THANKYOU