"Jadi, terima kasih sudah datang, Yamanaka." Profesor bernama Sarutobi Hiruzen itu berkata sembari mempersilakan Ino untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya.
Ino menyunggingkan senyum seadanya. Sebagai seorang mahasiswa jurusan Psikologi yang sedang menempuh pendidikan pasca-sarjana, Ino telah banyak diingatkan bahwa saat berhadapan dengan orang lain dalam konteks profesional, ia tidak boleh menebar tawa riang yang akan membuatnya terlihat tidak serius. Psikolog adalah profesi yang akan menuntut kepercayaan dari orang lain; klien mana yang akan merasa nyaman saat melihat Psikolog-nya tampak main-main? Ramah itu keharusan, tapi tidak dengan cengiran kekanakan.
"Tidak masalah, Profesor," jawab Ino dengan suara jernih. "Ada apa sampai Profesor memanggil saya?"
"Ya, ya," Profesor Sarutobi mengambil pipa yang ada di hadapannya dan berkata, "sebagai mahasiswi yang memiliki minat tinggi dalam bidang klinis, kau menunjukkan prestasi yang mengagumkan, Yamanaka."
Senyum Ino merekah lebih lebar. Meskipun demikian prinsip untuk tidak menunjukkan emosinya secara berlebihan itu tetap melekat seolah sudah terinternalisasi sedemikian rupa. Ino senang mendapatkan pujian dari Profesor yang ia kagumi. Jika ia sedang tidak berhadapan langsung dengan sang Profesor, bisa dipastikan dia akan menyerukan 'yes' dengan tangan yang mengepal dan teracung ke udara. Lalu, mungkin juga ia akan langsung mengabarkan cerita sederhana tapi menggembirakan ini pada ayahnya, Haruno Sakura—sahabatnya, dan Uchiha Itachi—kekasihnya.
Sayangnya, posisi Ino saat ini hanya memungkinkan Ino untuk mengatakan, "Terima kasih." Dengan ketenangan yang mampu ia tunjukkan sebagai manifestasi dari sosok mahasiswi teladan.
"Baiklah, langsung saja. Aku ingin kaudatang ke Rumah Sakit Jiwa Konoha besok dan mulai secara spesifik menangani satu pasien."
"Eh?"
"Sebetulnya, klien kali ini sedikit spesial. Tapi aku tidak akan memberitahukan apa-apa terlebih dahulu agar tidak memengaruhi penilaianmu terhadapnya." Profesor Sarutobi mengangguk-angguk. "Dan jika kau berminat dengan kasus ini, kau bisa menjadikannya sebagai bahan penelitian kualitatif untuk tesismu nanti. Tentu saja aku bersedia menjadi pembimbingmu. Bahkan, jika kau membutuhkan, kau juga boleh mendapatkan supervisi langsung dari dokter Kabuto seraya penanggung jawab ahli dari si pasien. Bagaimana menurutmu?"
Rasa semangat menjalari tubuh Ino. Ia akan diberi kesempatan untuk terjun langsung dan menghadapi salah satu penderita gangguan kejiwaan. Tidak berhenti sampai di sana, kasus si klien ini pun bisa ia jadikan bahan untuk tesisnya nanti. Kemujuran seperti ini akan jarang terjadi, bukan?
Tidak ada alasan bagi Ino untuk menolak.
KLINISCHE CHARME
Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto
I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.
Story © Sukie 'Suu' Foxie
Warning: Probably rush and a bit OOC. AU.
(Perhaps, you prefer to read A/N at the end of story before continue reading?)
A fanfiction for Thie-chan / Thi3x Noir / Noira Hikari
Chapter 1. Der erste Eindruck
.
First Impression
Pagi-pagi sekali, Yamanaka Ino sudah berangkat ke Rumah Sakit Jiwa Konoha. Ia membawa mobilnya dengan perasaan berdebar. Ini bukan pertama kalinya ia datang ke rumah sakit jiwa. Ini juga bukan pertama kalinya ia harus berhadapan dengan mereka-mereka yang memiliki gangguan. Sebagai mahasiswi yang tertarik di bidang klinis, ia beberapa kali harus mendatangi tempat itu dengan tujuan memperlajari karakter dan tingkah laku dari pasien sebagai bahan tugas. Namun, kali ini terasa sedikit berbeda.
Ino akan secara spesifik menangani satu pasien. Dan tugas ini tidak sembarang tugas. Tugas ini akan digunakan sebagai bahan tesisnya. Gelar Magister sudah di depan mata, pun gelar Psikolog sudah di ujung genggaman.
Sesampainya di Rumah Sakit Jiwa Konoha, Ino segera memarkirkan mobilnya di bawah salah satu pohon rindang. Ia turun dan mengunci mobilnya dengan saksama. Sebuah tas berukuran sedang sudah disandangnya dan sebuah map didekapnya. Ino mengangguk sambil memandang gedung berwarna putih di hadapannya sebelum ia melangkahkan kakinya ke dalam gedung tersebut.
Di bagian administrasi, Ino segera menyebutkan keperluannya. Administrator di sana—yang memang sudah cukup sering melihat Ino—memintanya meyimpan barang-barangnya terlebih dahulu di loker yang sudah tersedia sementara menunggu kedatangan dokter penanggung jawab yang dimaksud. Ino mengangguk sambil menerima sebuah kunci loker. Ino pun menyimpan tas berukuran sedangnya di sana dan hanya menyisakan map, bolpoin dan sebuah buku berukuran kecil, serta sebuah tape recorder berukuran mini.
Setelah selesai menyimpan barang-barangnya, Ino pun mendatangi meja administrator itu lagi dan mendapati seorang lain membawakannya sebuah jas putih. Ino pun tidak membutuhkan waktu lama untuk mengenakan jas tersebut dan tanda pengenalnya. Ke dalam jas itulah, Ino memasukkan bolpoin dan buku kecilnya serta tape recorder-nya. Setelah mengucapkan terima kasih, Ino mengambil tempat duduk di dekat sang administrator.
Suara administrator yang sedang berbicara dengan telepon hanya terdengar samar-samar. Ino pun memutuskan untuk membuka mapnya. Ada surat pengantar dari Profesor Sarutobi di sana.
Tak lama, sosok tegap seorang pemuda berjas putih menghampirinya. Dengan suara yang tenang, pemuda berkacamata dengan umur yang mungkin baru di pertengahan tiga puluhan, menyapa Ino yang sudah bangkit dari tempat duduknya.
"Yamanaka-san?"
"Yakushi Kabuto-sensei," sapa Ino sambil menjabat tangan Kabuto. "Ano, ini pengantar dari Prof. Sarutobi."
Dr. Kabuto menerima map yang disodorkan Ino padanya dan membacanya sekilas. Ia kemudian tersenyum dan menutup kembali map itu. Ia kemudian mengangguk.
"Baiklah, jadi kau akan melakukan penelitian ini untuk tesismu, ya?" tanya Kabuto sambil memberi isyarat bagi Ino untuk mulai berjalan. Map dari Ino ia kepit di ketiak kirinya.
"Ya. Atas rekomendasi Prof. Sarutobi." Ino menyejajari langkah Dr. Kabuto. "Tapi saya sama sekali belum diberi tahu perihal pasien yang akan saya tangani. Maksud saya," ralat Ino segera, "saya hanya diberi tahu bahwa pasien yang akan saya tangani memiliki nama panggilan 'Tobi'."
Dr. Kabuto mengangguk sambil membetulkan posisi kacamatanya. Bersamaan dengan itu, ia tertawa kecil. "Ya. Dia bahkan sering membahasakan dirinya dengan sebutan itu. Entah mengapa. Kau mungkin bisa mencari tahunya nanti."
"Apa dia pasien yang baru masuk?"
Dr. Kabuto meletakkan tangan kanannya di dagu. "Tidak juga. Sudah hampir tiga bulan dia di sini." Setelah mengatakan itu, dr. Kabuto mengangguk pada seorang petugas yang kebetulan lewat dan ia kemudian mengeluarkan access card dan membuka satu pintu.
Bau tidak sedap seketika merasuki indra penciuman Ino. Tapi ia tidak kaget. Sudah cukup sering ia membaui hawa tidak sedap yang khas ini tatkala ia datang ke bangsal perawatan pasien.
Dari plang yang ada di samping pintu tadi, Ino bisa menerka bahwa pasien yang akan ditanganinya termasuk pasien yang tidak terlalu berbahaya. Tidak menyerang—lebih tepatnya. Tentu Prof. Sarutobi tidak akan sembarangan memilihkan pasien untuknya. Kan konyol jika sampai seorang mahasiswi andalannya secara tidak sengaja mengalami cedera—atau paling parah, mati—di tangan pasien yang akan dijadikan bahan tesisnya.
"Nah," ujar Kabuto sambil menunjuk ke salah satu pintu dengan ujung jempolnya, "siap bertemu dengan pasienmu, Yamanaka-san?"
Ino meneguk ludah. "Ah, ya …."
Ino memang merasa gugup. Namun, lebih daripada itu, ia justru merasa bersemangat. Ia akan membuktikan bahwa sebagai mahasiswi teladan, ia tidak hanya bisa diandalkan secara teori dan ingatan, tetapi juga dalam praktik. Ia pasti akan bisa menghadapi pasien ini—apa pun jenis gangguan mental yang dialaminya.
Kabuto menyentuh gagang pintu yang jelas menunjukkan bahwa kamar tersebut tidak dikunci. Ino menggangguk maklum.
Tidak berbahaya, ulangnya dalam hati.
Pintu terbuka ke arah dalam dan Ino pun mendahului dr. Kabuto untuk memasuki kamar pasien yang disebut 'Tobi' tersebut. Namun, belum satu langkah pun ia menginjak kamar Tobi, Ino harus membelalakkan mata sembari meloncat mundur satu langkah.
Di hadapannya, berdiri sesosok makhluk yang rupanya tidak jelas. Makhluk berpakaian serba hitam itu setengah membungkuk dan memiringkan kepalanya. Ino pun segera sadar bahwa 'makhluk itu' adalah manusia yang mengenakan topeng berwarna oranye dengan alur-alur yang menyerupai bentuk lollipop. Hanya ada satu lubang di topeng itu, dan lubang itu adalah lubang untuk matanya.
Tak butuh waktu bagi lama bagi Ino untuk kembali menyadari bahwa sosok tersebut adalah pasiennya. Dan pasiennya itu kini tengah menatapnya intens hanya dengan satu-satunya mata yang terlihat.
Ino menoleh ke arah dr. Kabuto yang tampak mati-matian menahan senyum. Dokter tersebut kemudian menganggukkan kepalanya yang membuat Ino semakin yakin, memang sosok itulah pasiennya. Sosok itulah 'Tobi'.
"Ha-halo?" sapa Ino kikuk sambil mengangkat sebelah tangannya.
Tobi masih dalam posisi rigid. Ia mengamat-amati Ino beberapa saat lagi sebelum mendadak saja, pemuda bertopeng oranye tersebut menarik tangan Ino dan dengan cepat menutup pintu kamarnya.
"O-oi, Tobi?" Suara panik dr. Kabuto mulai terdengar dari luar. Sementara itu, Tobi masih menahan pintunya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya mencengkeram tangan Ino.
Tu-tunggu! Bukankah dia ini pasien yang tidak berbahaya? batin Ino mulai panik sementara ia masih berupaya melepaskan tangan Tobi dari tangannya.
"Ssshhh," ujar Tobi sambil melepaskan tangan Ino dan meletakkan telunjuk di depan mulutnya—tepatnya, di depan topeng yang menutupi bagian mulut.
Ino hanya bisa melongok bingung sementara ia berusaha mengendalikan diri. Memalukan jika ia terlihat panik di depan pasien yang akan ia tangani.
"Ano, Tobi-san," panggil Ino perlahan. Suara dr. Kabuto masih terdengar di balik pintu—dalam nada membujuk. Ino menyipitkan mata. "Buka pintunya, tolong?"
"Tidak bisa," jawab Tobi cepat sembari memegang gagang pintu dengan kedua tangannya kali ini. Tubuhnya membelakangi pintu. "Kalau aku membukanya, mereka akan segera menangkapmu. Kemudian mereka akan menginterogasimu dan mereka akan menemukan tempatku di sini."
Ino mengernyitkan alis. "Mereka siapa maksudmu?"
"Mereka … orang-orang itu …." Tobi menundukkan kepalanya. "Mereka tidak boleh menemukanku. Mereka akan membunuhku."
Sekejap, Ino mendapat insight[1] mengenai apa yang menimpa Tobi. Ia pun tersenyum lembut.
"Begitukah? Kalau begitu, sebaiknya kita memberi tahu dr. Kabuto agar memperkuat pintu keamanan," saran Ino sembari memegang dagunya. "Biar aku yang mengatakan pada dr. Kabuto." Ino sudah hendak menyingkirkan Tobi dari depan pintu, tapi Tobi tampak tidak mau beranjak sedikit pun dari tempatnya.
"Sebentar saja." ujar Ino sambil tetap bersikeras meraih gagang pintu.
"Mereka … tidak akan menangkapmu, 'kan?" tanya Tobi terdengar cemas. "Kalau mereka menangkapmu …."
"Dr. Kabuto tahu apa yang harus ia lakukan," ujar Ino menenangkan.
"Apa dia bisa dipercaya?"
Ino berkacak pinggang. "Tentu. Justru dia yang mengirimku ke sini untuk menolongmu."
Tobi masih terlihat ragu-ragu. Namun, pegangannya pada gagang pintu mulai terlihat melemah. Satu serangan lagi.
"Aku ke sini untuk menolongmu. Karen a itu … biarkan aku berbicara sebentar dengan dr. Kabuto, oke?"
Tobi pun akhirnya menyingkir. Ino membuka pintu—nyaris lebar-lebar saat Tobi mendadak berteriak,
"Jangan membuka pintunya lebar-lebar!"
Ino bergidik sesaat sebelum ia menyisakan hanya sedikit celah di antara pintu dan kusennya—setidaknya memberikan akses baginya untuk bertatap muka langsung dengan dr. Kabuto. Ino akhirnya bisa melihat wajah dr. Kabuto yang tampak sedikit bingung dan memaksakan sebuah senyum.
"Maafkan aku. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Kau baik-baik saja?" tanya dr. Kabuto. Ino mengangguk.
Gadis berambut pirang itu kemudian mengangkat sebelah tangannya ke samping mulut. Matanya melirik berhati-hati ke arah Tobi yang ada di samping kirinya sebelum ia berbisik,
"Paranoid[2]? Persecutory delusional—waham persekutori[3]?"
Kabuto mengangkat sebelah alisnya sebelum mengangguk. "Yah …. Tapi sebenarnya akhir-akhir ini dia sudah lebih tenang. Entah mengapa …."
"Aku mau berbicara lebih lanjut dengannya," ujar Ino bersemangat. "Anamnesa awal. Boleh?"
"… Kau yakin?"
Ino mengangguk cepat. Belum sempat Ino maupun Kabuto berkata-kata lebih lanjut, mendadak pintu kembali tertutup.
"Sudah, 'kan? Kau berbicara dengannya terlalu lama," ujar Tobi yang terdengar tidak senang. "Kau jadi tidak mengacuhkanku."
Ino memiringkan kepala. Sesaat, ia mendengar suara dr. Kabuto yang setengah berbisik dari balik pintu, 'Baiklah, kuserahkan ia padamu. Kalau ada apa-apa, tekan saja tombol merah yang ada di dekat tempat tidurnya.'
Ino membisikkkan jawaban bahwa ia mengerti sebelum ia kembali beralih pada Tobi yang kembali menempelkan punggungnya ke pintu (saat itu, samar-samar Ino bisa mendengar suara langkah kaki dr. Kabuto yang bergerak menjauh). Kepala pemuda itu—Tobi—tampak tertunduk memilukan layaknya seorang anak kecil yang menuntut perhatian lebih dari ibunya akan tetapi sang ibu lebih memedulikan ayahnya. Ino tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum dan kemudian menyentuh kepala Tobi dengan jemarinya.
"Maafkan aku, Tobi. Tetapi sekarang, waktuku akan kugunakan hanya untukmu."
Ino memperlihatkan seulas senyum menenangkan setelah ia mengangkat tangannya dari kepala Tobi. Tobi pun seolah kembali kaku. Sementara Ino juga tidak beranjak dari tempatnya berdiri saat ini.
Mereka seolah saling memandang dalam keheningan. Bukan seolah. Mereka memang saling memandang.
Saat itulah, dalam kabur, Ino merasa bahwa sosok di hadapannya ini sangat familier. Bola mata kelam yang terlihat samar-samar dari bagian lubang di topengnya seolah mengingatkan Ino akan seseorang. Namun, saat itu Ino tidak diberi kesempatan untuk berpikir lama-lama karena tangan Tobi mendadak menggenggam tangannya.
Ino mengangkat kepala dengan mata yang menyorotkan pertanyaan. Mulutnya sudah hendak membuka saat tiba-tiba Ino dikejutkan oleh suara Tobi,
"Aku memang sudah lama ingin berbincang-bincang denganmu … Ino."
***TO BE CONTINUED***
Apa iniiiii? Y-Yah … ini sebenernya adalah fanfict yang sudah lama saya janjikan untuk Thie-chan dan baru terealisasi sekarang. Fanfict dengan main chara TobiXIno! Waaay! Ng, diperkirakan, fanfict ini bakal beres di chapter 4, btw. :D
Temanya tentang psikologi, tepatnya psikologi klinis. Jujur, klinis itu sebenarnya bukan benar-benar bidang yang saya minati (walau penyakit-penyakitnya terdengar menarik untuk dipelajari), karena itu, saya mohon maaf jika ada kesalahan penggunaan istilah, kegiatan-kegiatan teknis (khususnya pelaksanaan pengambilan data untuk tesis S2 Psikologi), maupun penggambaran setting di fanfict ini. Gambaran RSJ-nya juga cuma dari gambaran setengah-setengah yang saya dapat dari film-film dan dari cerita teman-teman saya yang pernah berkunjung langsung ke RSJ. Lalu, saya gabung dengan imajinasi saya sendiri karena pada dasarnya, setting tempat di fanfict ini pun tidak asli dan hanya karangan belaka. :""P Tapi, kalau ada yang lebih tahu soal setting RSJ atau psikologi klinis dan segala macam teknis mengenai penyelesaian tesis S2 Psikologi, boleh kok memberitahukannya lewat review / PM. I'll appreciate it. ;))
Beberapa penjelasan istilah:
[1] Insight: semacam pencerahan/ ide yang datang tiba-tiba.
[2] Paranoid: kecemasan yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak nyata.
[3] Waham persekutori: keyakinan yang salah bahwa dirinya tengah dikejar-kejar seseorang / terancam oleh keberadaan seseorang.
Sumber: ingatan jangka panjang saya dari pelajaran-pelajaran yang saya dapat semasa kuliah /dor/ untuk lebih yakinnya, silakan browsing sendiri, ya~ /doubledor/ X"D
Eeeh … semoga fanfict ini tidak begitu mengecewakan dan masih dapat diterima, ya? So … sila beri tahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang fanfict ini via review~ :""3
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie.
~Thanks for reading~
