Time to Love || KyuMin || Chapter 1 – Time to Try

By: d'Blank

Main Pair : KyuMin

Genre : Romance, Drama

Rate : T

Disclaimer : Kyuhyun belongs to Sungmin, Sungmin belongs to Kyuhyun, KyuMin belongs to KyuMin shipper. This fict belongs to me. Don't like? Don't read and go away! Not allowed to bash and don't be silent readers. Thanks.

Warning : Genderswitch fanfiction, typos, strange, etc. All ideas aren't mine, because I'm inspired by Manga. But I can't remember the title and author of that comic. Mianhae... I hope, you all can enjoy, read, and comment this story. I'll be happy (: HAEppy reading...

Summary : Lee Sungmin hanyalah gadis biasa sebelum bertemu dengan laki-laki tak dikenal yang mengaku sebagai calon suaminya. Ia menolak menikah dengan laki-laki itu. Hanya saja laki-laki itu memberikan sebuah tantangan yang menurutnya tak masuk akal dalam waktu sebulan padanya. Hanya sebulan...

~oOo~

"Bagaimana jika aku membuatmu mencintaiku?"

"Sungmin berangkat dulu Pa," teriak seorang gadis dengan kaos berkrah warna pink dari luar rumahnya. Lee Sungmin sudah duduk di atas sepeda gunungnya.

"Hati-hati," sahut suara berat dari dalam rumah beberapa detik kemudian.

Lee Sungmin mulai mengayuh sepedanya, meninggalkan area rumah mungil namun terlihat begitu asri. Mungkin karena banyaknya tanaman yang tumbuh di halaman rumah tersebut. Sungmin mengulas sebuah senyuman di sepanjang jalan menuju sekolahnya.

Ia adalah seorang siswa salah satu sekolah menengah atas favorite di kotanya. Sekolah yang konon katanya sulit 'dimasuki' oleh orang-orang, kecuali kau punya kelebihan uang atau kelebihan kecerdasan otak atau kalau bisa keduanya harus kau miliki. Sayangnya Sungmin hanya memiliki salah satu. Bisa dilihat dari sepedanya yang tampak usang, Sungmin bukan berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tapi berkat kecerdasan yang dimilikinya ia bisa menjebol masuk sekolah tersebut.

Sungmin adalah pribadi yang ceria sekalipun dirinya sedang berada dalam sebuah masalah. Ia jarang menunjukan kesedihannya pada orang lain kecuali jika ia benar-benar sudah tak sanggup untuk menampungnya sendiri. Tapi ia kadang terlihat murung jika sedang kesal kepada seseorang.

"Pagi Lee Sungmin," sapa seorang laki-laki berparas tampan saat Sungmin sedang memakirkan sepedanya.

"Pagi Lee Donghae. Sendirian saja?"

"Seperti yang kau lihat. My Anchovy sedang sakit, jadi dia tak bisa berangkat hari ini," jawab Donghae dengan nada sedih.

"Semoga Anchovy-mu cepat sembuh."

"Ya, trims. Ah kau sudah dengar? Hari ini kita pulang lebih awal." Donghae berkata sambil berjalan meninggalkan area parkir.

Sungmin mengikutinya, kemudian menyejajarkan langkah dengan laki-laki itu. "Benarkah? Memangnya ada acara apa?"

"Kudengar guru-guru akan berkunjung ke sekolah lain. Entahlah aku tak begitu tahu. Tapi, semoga saja kabar itu benar, jadi aku bisa langsung pergi ke rumah Eunhyuk. Dia terlihat menyedihkan. Aku sangat khawatir."

"Aku yakin Eunhyuk gadis yang kuat. Dia pasti cepat sembuh."

"Benar. Dia bahkan memaksa untuk berangkat hari ini. Tentu saja orang tuanya dan aku langsung melarang. Dia benar-benar keras kepala, tapi aku mencintainya."

Percakapan terhenti ketika mereka sampai di depan sebuah kelas dengan label 'Chemistry-1'. Sungmin berhenti , menatap Donghae lantas berkata, "Aku sudah sampai. Kelasmu di mana?"

"Di ruang Biologi-2. Baiklah, sampai jumpa Min..." Donghae melambai ke arah Sungmin kemudian berjalan menjauhi gadis itu.

"Aku pu-"

Sungmin tak melanjutkan ucapannya saat ia melihat ada orang lain di ruang tamu rumahnya. Ia tak mengenal orang berpakaian mewah itu. Baru pertama kali melihat, sepertinya kenalan Papanya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi Sungmin tahu mereka sedang membicarakan hal yang serius. Terlihat dari raut wajah keduanya yang mengeras dan tidak ada senyuman.

"Ah Sungmin, kau sudah pulang." Papa Sungmin menyadari keberadaan anaknya, segera menghentikan perbincangan dengan kawannya. "Kalau begitu, bisakah kau masuk ke kamarmu dulu?"

Sungmin mengangguk. Ia tak berani membantah perkataan sang Papa, apalagi ada orang lain di sana. Ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah dan segera berjalan menuju kamarnya yang terletak di ujung rumah, tepat di hadapan sebuah padang rumput liar. Ia suka sekali menghabiskan waktunya di sana, di padang rumput itu. Hanya berdiam diri, memandang ke alam sekitarnya.

Padang rumput itu sudah lama tak dikunjungi manusia –kecuali Sungmin tentu. Tinggi rumput-rumput di sana sekitar 1-2 meter. Bisa untuk bersembunyi. Tapi Sungmin tidak terlalu suka berlama-lama di sekeliling rumput tersebut. Di tempat itu, ada lapangan kecil dan terdapat sebuah pohon besar. Ia tak tahu apa nama pohon itu. Yang ia tahu, dia menyukainya karena di bawah pohon terasa nyaman dan sejuk.

Pernah suatu kali Sungmin tertidur di bawah pohon. Ketika bangun, malam sudah menjelang dan betapa terkejutnya ia ketika mendongakan kepala ke arah langit. Terhampar di sana beribu bintang yang berkelap-kelip begitu memesona. Ia hanya membuka mulutnya saking kagumnya akan keindahan Tuhan. Kemudian ia tersenyum. Mungkin bintang-bintang itu dikirim oleh Mamanya yang berada di Surga untuk menemani dirinya yang kesepian.

Sungmin meletakan tasnya di meja, lalu berjalan ke arah jendela kamarnya. Ia mengamati keadaan rumput-rumput yang bergoyang seirama karena belaian sang Angin. Ia tersenyum. Betapa beruntungnya ia dan Papanya tinggal di daerah ini. Meskipun berada di daerah pinggiran yang belum banyak dihuni manusia, tapi Sungmin sangat bersyukur.

Ia bisa menikmati udara segar sepuas dia mau. Coba saja jika dia tinggal di daerah perkotaan, setiap hari dia harus menggunakan masker saat mengendarai sepedanya karena banyak polusi dari asap knalpot kendaraan. Sementara di sini, Ia tak perlu repot-repot menggunakan masker, tak susah untuk mencari sumber air bersih tanpa campuran zat kimia. Ia juga bisa melihat gugusan bintang-bintang setiap malam.

CEKLEK.

Suara pintu terbuka membuat Sungmin membalik badan. Seketika senyuman manis terpatri di bibirnya saat melihat kedatangan sang Papa. Tapi sebuah perasaan tak enak menyelimuti dirinya. Ia merasa Papa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, meskipun pria paruh baya itu berusah tersenyum padanya.

"Ada apa Pa?" tanya Sungmin, lalu duduk di tepi ranjangnya.

"Papa ingin memberitahumu sesuatu." Papa Sungmin duduk di sebelah anaknya.

"Apa? Sesuatu yang penting?"

"Mungkin ini membebani pikiranmu nantinya. Tapi Papa harus bilang. Saat ini..." Papa Sungmin berhenti sebentar, lalu membasahi bibirnya. "Keuangan Papa sedang tidak baik, sangat tidak baik. Jadi.."

"Papa ingin aku lebih berhemat?" sela Sungmin dengan sedikit nada gurauan di sana.

Tapi Papanya tidak tersenyum. "Seperti itulah. Ada satu hal lagi. Dengarkan baik-baik, Papa punya hutang, cukup besar. Kepada orang yang baru kau lihat di ruang tamu. Papa sudah bernegosiasi dengannya baik-baik. Papa sudah bilang kepada orang itu, Papa akan segera melunasi hutang Papa. Sesegera mungkin. Tapi orang itu..."

"Orang itu?"

"Orang itu bilang, hutang Papa akan lunas... jika... dia membawamu pergi bersamanya..."

Hening. Sungmin sedang mencerna ucapan sang Papa baru saja. Maksudnya membawa pergi bersamanya?

"Kau akan menikah dan dibawa pergi."

"Papa tidak setuju kan?" sahut Sungmin beberapa detik kemudian. Raut mukanya berubah cemas, memikirkan keputusan sang Papa.

"Papa sudah... menyetujuinya," tukas Papa Sungmin lirih, hampir seperti bisikan keputusasaan.

Mata Sungmin membulat. Kecemasannya terjadi. Tapi dia tak percaya pada keputusan sang Papa. Itu berarti... dirinya dijual? Benarkan? Bagaimana mungkin seorang ayah tega menjual anaknya untuk melunasi hutangnya? Itu terlalu keji untuk dipikirkan. Tapi semua telah terjadi. Kenyataannya, dia memang sudah dijual.

Sebutir air mata meluncur di pipi mulus Sungmin pada akhirnya. Ia sangat menyayangi Papanya, tapi kenapa sang Papa berbuat seperti itu?

"I-itu tidak benar kan Pa?" tanya Sungmin meyakinkan.

"Kau akan segera menikah."

Sungmin menggelengkan kepalanya. Tidak, ia tidak mau menikah. Paling tidak untuk saat ini. Ia masih sekolah. Bagaimana mungkin ia harus menjadi ibu rumah tangga di usianya yang terbilang masih belia? Terlebih lagi, ia harus menikah dengan pria itu? Walaupun hanya sekilas melihatnya, Sungmin bisa menebak berapa umur pria itu. Sekitar kepala tiga mungkin?

Semenit berlalu dalam keheningan. Menit berikutnya, Sungmin berlari keluar kamarnya. Ia sama sekali tak berniat meninggalkan Papanya, tapi kedua kakinya terus bergerak hingga ia menjauh dari tempat tinggalnya. Ia tak tahu sudah berapa lama ia berlari sambil menangis, yang pasti ia tak mengenal daerah ini.

Sungmin mengedarkan pandangan. Ketakutan melanda dirinya. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat pepohonan tinggi dan lebat. Bodohnya ia, kenapa bisa berlari sampai sejauh ini? Sungmin membalik badan. Namun pekikan terkejut dan ketakutan keluar dari pita suaranya tatkala melihat setengah lusin pria berbadan sangar tengah menatapnya.

Ia harus melakukan sesuatu. Apa? Berlari? Benar, ia harus berlari. Baru saja Sungmin akan membalik badan, tubuhnya sudah ditangkap oleh salah satu dari pria-pria itu. Sedetik kemudian, ia tak merasakan apapun lagi dan semuanya gelap.

Tubuh itu menggeliat pelan di atas sebuah ranjang berukuran besar. Ia menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia –Lee Sungmin memaksakan dirinya untuk duduk meskipun Ia merasa pusing. Matanya terarah ke sekitar ruangan Ia berada. Ia belum pernah berada di tempat seperti ini sebelumnya. Sebuah tempat –yang menurutnya adalah kamar dari seorang putri.

Bagaimana tidak, ruangan itu sangat besar. Mungkin jika rumahnya bisa dipindah-pindah bisa masuk ke ruangan ini. Terdengar berlebihan? Tapi memang begitulah yang ada di sana. Ruangan ini teramat indah dengan ornamen-ornamen bergaya Eropa di atapnya. Jangan lewatkan beberapa lukisan yang terlihat begitu nyata dan Sungmin tahu, harganya senilai dengan satu buah mobil yang cukup mewah. Sungmin tak berani membayangkannya.

Ruangan itu 'dihuni' oleh perabot-perabot yang tak kalah mahal dari lukisan yang tergantung di dinding-dindingnya. Bahkan di ruangan itu terdapat sebuah grand piano berwarna putih. Bagaimana bisa?

Sebenarnya di mana ia berada? Dalam mimpikah? Seingatnya ia ditangkap oleh pria-pria bertampang sangar kemudian ia tak sadarkan diri. Itu berarti ia diculik kan? Kalau di film-film yang pernah ia tonton, kalau diculik bukankah tangannya diikatkan pada sebuah kursi atau tiang dan ditempatkan di ruangan yang gelap, kotor. Bukan seperti sekarang. Ia dibaringkan di ranjang empuk dan ditempatkan di ruangan semegah ini. Apa yang terjadi?

Tak kunjung mendapatkan jawaban, membuat Sungmin menghela nafas pasrah. Ia turun dari ranjangnya –ranjang milik orang yang menculiknya, lalu menghampiri grand piano di ruangan itu. Sedari kecil, ia sangat suka piano. Hanya saja ia tak bisa memainkannya. Ia tak punya uang lebih untuk les piano atau bahkan membeli alat musik itu. Jadi saat ia mulai sekolah, ia mengikuti klub musik. Hanya saja, ia tak seberuntung seperti yang ia perkirakan. Piano di sekolahnya tak boleh disentuh siapapun, kecuali pemain yang sudah ahli. Menyebalkan!

Sungmin memutar kepalanya ke berbagai arah. Merasa tak ada mata yang mengawasi, ia duduk di depan piano itu. Ragu-ragu, Sungmin melayangkan kedua tangannya di atas tuts-tuts piano. Sesaat kemudian ia mulai menekan sembarangan tuts-tuts tersebut dan menghasilkan melodi yang tidak terlalu buruk.

"Kau menyukai piano itu?"

Sebuah suara di belakangnya membuat Sungmin menghentikan permainan pianonya. Seketika tubuhnya terasa kaku. Apa orang yang di belakangnya adalah pemimpin dari orang-orang yang membawanya tadi –atau kemarin? Apa orang itu juga terlihat menakutkan, apalagi ia ketahuan sedang bermain dengan piano miliknya?

Dengan takut-takut, Sungmin memutar kepalanya hingga melihat orang di belakangnya. Ia begitu terkejut melihat orang itu. Alih-alih mendapatkan dan bertatap muka dengan pria berwajah sangar, di hadapannya berdiri dengan tegap dan gagah laki-laki –terlihat masih muda dan sangat tampan– dengan bola mata berwarna hitam yang terlihat tajam dan bisa menembus hingga ke hati Sungmin, saat ini juga.

"Aku senang melihatmu sudah sadar, dan terlihat baik-baik saja."

Sungmin tak bereaksi ataupun menyahut. Ia masih dalam keadaan di mana seluruh otot-otot di tubuhnya tiba-tiba kaku karena terlalu terkejut... dan takut. Siapa sih yang tidak takut mendapati dirimu hanya berdua dengan laki-laki asing berada dalam ruangan tertutup? Yah, Sungmin tahu, laki-laki di hadapannya tidak terlihat jahat tapi kan ia tak tahu bagaimana 'dalamnya' orang itu.

"Jangan takut, aku takkan menyakitimu. Rileks."

Ia tak bisa rileks, terlebih saat ini. Laki-laki itu mendekat ke arahnya kemudian... duduk di sebelahnya. Sungmin berhasil memutar kepalanya hingga menghadap kembali ke arah piano. Ia baru sadar, daerah di sekitar lehernya terasa sedikit sakit. Mungkin karena tadi terlalu lama menolehkan kepala ke belakang.

"Lee Sungmin..."

Oke, sekarang ia tahu. Laki-laki itu tahu namanya. Bagaimana bisa? Apa penculikan ini terencana?

"Mulai saat ini kau akan tinggal di sini. Yah, kami tahu mungkin ini terlalu mendadak... tapi begitulah keputusannya."

Kami? Siapa saja yang dimaksud kami? Keputusan? Siapa yang memutuskan? Terlalu banyak pertanyaan di otak cemerlang Lee Sungmin, tapi ia sama sekali tak bisa mengeluarkannya. Walau hanya secuil untuk saat ini.

"Kau pasti sudah dengar kan tentang pernikahanmu?"

Tunggu... Pernikahan? Jadi, orang yang menculiknya adalah pria yang ada di rumahnya itu? Pria yang meminjami Papanya sejumlah uang. Tapi... pria itu bukanlah laki-laki yang sekarang ada di sebelahnya? Jadi siapa laki-laki ini?

"Laki-laki yang akan menikah denganmu... Dia itu aku, Cho Kyuhyun."

"Ya?"

Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara. Tapi ia terlalu bodoh hingga hanya mengeluarkan gumaman tak jelas. Ia sudah menatap ke arah laki-laki yang mengaku dirinya beranama Cho Kyuhyun. Tapi laki-laki itu tak balas menatapnya. Kyuhyun sedang menunduk. Seperti sedang memikirkan sesuatu, kata Sungmin dalam hati. Ternyata ia salah, karena dua-tiga detik kemudian telinganya mendengar melodi yang indah. Laki-laki itu, Cho Kyuhyun sedang memainkan sebuah nada dengan piano itu.

Mata Sungmin terus terarah pada Kyuhyun hingga laki-laki itu menyeselaikan permainannya. Sungmin tetap bergeming.

"Kenapa menatapku terus seperti itu?" tanya Kyuhyun pelan. Lagi-lagi, dia menundukan kepala.

"Aku butuh penjelasan," sahut Sungmin.

"Penjelasan apa yang kau butuhkan? Bukankah sudah jelas? Kau-akan-menikah-denganku." Kyuhyun menekankan kata dalam kalimat terakhirnya.

"Aku bahkan belum menyetujuinya. Kalau aku bilang tak mau bagaimana?"

"Kau tak akan pernah bilang seperti itu. Kau tak punya pilihan, selain menjawab iya."

"Tapi pernikahan... Astaga, apa yang sedang dipikirkan orang-orang ini? Pernikahan bukan hanya sekedar omong kosong, pernikahan tidak semudah kau melakukan gunting-batu-kertas. Pernikahan harus dilandasi dengan cinta. Dan kita, ti-dak mempunyai itu. Aku tak mencintaimu dan kau.."

"Aku mencintaimu. Itu cukup kan?"

Kalimat Cho Kyuhyun sukses membuat Sungmin bungkam. Apa? Kyuhyun mencintai dirinya? Apa laki-laki itu sudah gila? Mereka baru pertama kali bertemu dan dengan lancangnya mengucapkan 'Aku mencintaimu', kalimat yang bagi Sungmin merupakan kalimat sakral yang harus diucapkan dengan sungguh-sungguh.

Akhirnya Sungmin hanya menganggap itu hanya sebuah gurauan dari Kyuhyun. "Terserah apa katamu, tapi aku-tidak-mencintaimu dan aku belum cukup umur. Itu cukup kan?" kata Sungmin mengulangi kutipan kalimat Kyuhyun mengakhiri ucapannya.

"Kau tidak kasihan pada ayahmu? Kalau dia tidak melunasi hutangnya segera dia bisa dijebloskan ke penjara oleh ayahku. Kau tega melakukan hal itu pada satu-satunya keluargamu yang tersisa?"

Sungmin tak menyahut. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, ke manapun asalkan bukan ke arah laki-laki sok tahu dan menyebalkan ini. Jika ia menolak pernikahan ini, apa ia bisa dibilang egois karena tidak memikirkan bagaimana nasib Papanya? Tapi, ia masih merasa ia adalah sebuah benda yang bisa digunakan untuk membayar hutang.

"Kau bilang kau tidak mencintaiku? Bagaimana jika aku membuatmu mencintaiku?" Terpaksa, Sungmin kembali menatap Kyuhyun yang tak lagi menundukan kepalanya. Ia mengerutkan dahi, bertanya tanpa kata. "Beri aku waktu satu bulan untuk mengubah perasaanmu padaku. Jika aku tak berhasil dan kau tetap tidak mencintaiku, aku akan bilang pada ayahku untuk membatalkan pernikahan ini dan kau boleh kembali ke pelukan ayahmu. Hutang ayahmu akan dianggap lunas. Bagiamana?"

Terdengar menarik dan cukup menggiurkan. Sungmin menimbang tawaran Kyuhyun. Ia yakin, ia tidak akan mencintai laki-laki itu. Ia bukan orang yang mudah mengubah perasaannya apalagi dalam waktu satu bulan, bukan waktu yang lama.

"Baiklah. Lalu bagaimana jika kau yang berhasil?"

Mendengar pertanyaan Sungmin, Kyuhyun terkekeh pelan. "Sudah jelas bukan, kau akan menjadi istriku."

Sungmin berdiri di depan jendela kamarnya –kamar barunya. Tangannya disilangkan di depan dada. Matanya menerawang ke arah luar, ke arah perbukitan yang berbaris di hadapannya. Ia baru saja menyelesaikan makan malamnya dengan keluarga Kyuhyun, lebih tepatnya bersama Mamanya Kyuhyun. Entah pergi ke mana ayah dan anak Cho itu.

Wanita yang mengenalkan dirinya sebagai Cho Heechul sebenarnya membuat Sungmin merasa nyaman. Tak heran, ia sudah kehilangan Mamanya sejak berumur 9 tahun. Heechul menyuruh Sungmin memanggilnya Mama. Astaga, apa Kyuhyun tak bilang pada orang tuanya bahwa ia –Lee Sungmin sudah menolak pernikahan mereka? Oke, lupakan soal taruhan.

Tapi Sungmin sedikit tidak keberatan memanggilnya Mama. Dia menikmatinya.

"Nona Sungmin..."

Sungmin membalik badan dan melihat setengah lusin wanita sudah berdiri di depannya. Masing-masing membawa beberapa helai pakaian berbagai jenis model dan warna.

"Kami disuruh Tuan Muda Kyuhyun untuk mengantarkan beberapa pakaian untuk Anda. Dia berkata, 'Pakailah pakaian-pakaian ini saat kau sekolah besok.' Seperti itu Nona. Tapi sebelumnya, dia menyuruh kami untuk membersihkan diri Nona," ujar salah satu dari wanita itu dengan suara halus dan terdengar begitu sopan di telinga Sungmin. Ah ya, sekolah Sungmin memang tidak menyediakan seragam bagi siswa-siswanya. Jadi mereka menggunakan pakaian bebas, asalkan sopan.

"Membersihkan diri?" tanya Sungmin bingung.

"Kami akan memandikan Nona.."

"Apa? Aku bisa mandi sendiri!" sela Sungmin cepat, jelas menolak perintah yang diberikan oleh Kyuhyun. "Tunjukan saja di mana kamar mandi dan peralatan mandinya. Aku... Ish..." Sungmin mengacak rambutnya sendiri. "Baiklah, salah satu dari kalian tinggal di sini sebentar. Sisanya, kalian boleh keluar dan sampaikan pesanku pada Tuan Muda kalian. 'Aku bisa mandi sendiri. Terima kasih bajunya. Tapi, aku lebih suka pakaianku yang ada di rumah.' Tak apa kan?" tukas Sungmin pelan diiringi senyuman.

Wanita-wanita itu mengangguk.

"Lemari itu kosong kan? Simpan saja pakaiannya di sana." Sungmin menunjuk lemari berplitur silver di pojok ruangan, tak jauh dari ranjang tempat dia tak sadarkan diri beberapa jam lalu. "Jadi kau yang akan tinggal di sini?" tanya Sungmin, menunjuk wanita yang sedari tadi membuka mulut.

Setelah kelima wanita itu keluar, Sungmin menatap wanita yang tertinggal di ruangan itu. "Jadi... siapa namamu? Namaku Lee Sungmin."

"Nama saya Jung Nari."

"Jangan terlalu formal, aku kan bukan majikanmu? Jadi, aku boleh memanggilmu Kakak?"

"Eoh? Tapi, Tuan Muda Kyuhyun..."

"Kalau kita sedang berdua saja, bersikaplah biasa dan jangan terlalu kaku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka diperlakukan seperti tadi."

"Baiklah Nona..."

"Sungmin... Sungmin saja."

Nari mengangguk lagi ketika Sungmin menjatuhkan dirinya di ranjang.

"Duduklah," titah Sungmin, menunjuk beberapa buah kursi yang tertata rapi di pinggir ruangan. "Kakak sudah lama tinggal di rumah ini?"

"Sekitar 4 atau 5 tahun. Kenapa?"

"Bagaimana Cho Kyuhyun? Dia... Laki-laki yang seperti apa?"

"A-aku tidak terlalu mengenlanya. Dia baru pulang dari kuliahnya di Amerika setahun yang lalu. Hampir setiap hari dia pulang malam karena mulai belajar berbisnis di perusahaan Tuan Cho. Menurut pelayan yang lebih lama bekerja di sini, dia terkesan dingin dan tertutup meskipun dia masih bersikap menghargai kepada orang-orang di bawahnya."

"Kakak tahu tentang pernikahanku dan dia?"

"Tidak sebelum hari ini, sebelum kau dibawa kemari. Aku tahu, ini terlalu mendadak untukmu. Tapi cobalah berpikir lebih dulu. Kau dilamar oleh sosok yang nyaris sempurna. Kalau aku jadi kau, aku pasti menjadi wanita paling bahagia di dunia."

Sungmin tersenyum mendengar penuturan Nari. Ya, ia akan bahagia jika semua ini bukan paksaan. Tapi ia tak menyuarakan isi hatinya.

TBC